09 December 2007

Cerita Tentang Cita-cita

Kalau kalian tidak tahu dan tidak mau tahu, biar saya ceritakan di sini saja kawan saya yang satu ini. Orang-orang memanggilnya Irfan, tapi saya lebih senang menyebutnya Uwa, tapi biarlah nama berdiri sendiri terserah bagaimana orang memperlakukannya. Waktu kecil dia tidak punya cita-cita seperti anak-anak kebanyakan. Maka jika dia ditanya tentang cita-cita, jawaban yang keluar adalah kata : “tidak ada”. Entah kenapa, dan biarlah waktu menyimpan semua misterinya.

Beranjak remaja baru dia punya sebuah harapan : “ingin jadi juara kelas”. Dan itu tak terlalu susah untuk mendapatkannya, tapi hanya sampai SMP saja itu berlaku, karena selebihnya adalah kekalahan. Masa SMA bukan sebuah jembatan waktu yang patut dikenang baginya, karena kenyataan telah menyeretnya ke dalam sebuah pencapaian yang nyaris tak ada hasil, nyaris nol besar. Orang-orang berlari saling berebut mengeksekusi kesuksesan akademik, sedangkan dia hanya merenung-renung dan menimbang-nimbang sebuah kecemasan. Kecemasan akan masa depan. Kecemasan yang hampir saja membunuhhya, dan inilah waktu di mana untuk pertama kalinya cita-citanya patah.

Dan orang-orang tidak tahu. Dan orang-orang tidak mau tahu. Maka biarlah saya saja yang tahu.

Lalu menjelang dewasa idelismenya mulai timbul dan menumpuk menemani langkah dan aktivitas, sebelum akhirnya terjerembab dalam kampus abu-abu. Sebenarnya bukan di situ tujuan segala pemikiran dan rencana aktivitasnya, tetapi prestasi akademik harus berbicara lain, dia punya cara sendiri untuk mengkotak-kotak manusia, keinginan dan harapan. Dan inilah patahan kedua dari cita-cutanya yang tidak tercapai.

Biarlah saya saja yang tahu, kalau orang-orang tidak tahu dan tidak mau tahu.

Dan waktu berjalan terus melewati semua kejadian dan kenangan. Dan dia akhirnya lulus membawa segenggam impian dan kenyataan. Garis batas keduanya ternyata berjauhan. Ketika impian membumbung setinggi langit, sedangkan kenyataan masih berjejak di bumi, maka hal inilah yang tidak terlalu mudah untuk dihadapi. Dan dia menghadapinya. Dan dia harus menghadapinya. Mencoba dan akhirnya gagal adalah lebih baik daripada tidak pernah sama sekali. Dan inilah yang aku lihat sekarang pada semesta dirinya.

Desember baru memasuki hari keempat, sebentar lagi hari kelahirannya. Seperti juga kematian, hari kelahiran bukanlah sesuatu yang teramat istimewa untuk dirayakan, dan saya merayakannya dengan menulis ini.

Benar katamu kawan, kesendirian adalah kado terbaik untuk mengenang hari kalahiran. Kesendirian akan menghadirkan keheningan. Hening yang senyap dan padat, lalu menekan ke dalam dan akhirnya akan timbul sebuah titik balik yang mencerahkan. Tapi saya tidak tahu setelah ini, apakah cita-cita itu akan mengalami pencerahan atau sebaliknya akan menghadirkan patahan-patahan baru?. Untuk yang satu ini saya benar-benar tidak tahu.

Apa sesungguhnya yang lebih misteri selain hari yang belum dijalani?. Dan saya tahu dia akan menghadapi semua yang tanda tanya itu. [ ]

No comments: