Perempuan itu sedang sibuk mengajar di depan kelas. Belum terlalu siang waktu itu. Murid-muridnya dengan serius memperhatikan apa yang diucapkannya, tapi ada juga beberapa yang melamun, ada juga yang mengganggu teman sebangkunya bahkan ada yang terkantuk-kantuk, mungkin semalam kurang tidur. Dia, perempuan itu dengan sabar melaksanakan tugasnya, mendidik anak-anak itu dengan penuh kasih sayang. Mengajar di Sekolah Dasar (SD) mempunyai citarasa tersendiri dibanding mengajar di level pendidikan yang lebih tinggi, karena usia SD selain sedang jernih-jernihnya menyerap ilmu juga masih belum bisa lepas dari perhatian seorang ibu. Dan dia menjalaninya, karena dia menikmatinya. Perempuan itu mungkin saja kamu, seseorang yang suatu saat akan aku cintai. Perempuan itu tidak mustahil adalah kamu, calon istriku.
Di halaman depan sebuah rumah yang teduh, perempuan itu sedang menyapu daun-daun yang berguguran. Dia baru saja selesai memasak di dapur, sambil menunggu suaminya pulang dia menyapu halaman. Rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun bunganya yang mungil, dia cabuti sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Burung-burung yang hinggap di dahan pohon rambutan, menemaninya sambil berebut mencari makan dari dahan satu ke dahan yang lain. Perempuan itu suatu saat akan mencintaiku dan aku akan mencintainya. Perempuan itu mungkin saja kamu.
Selepas maghrib, hujan belum juga reda bahkan semakin lebat. Langit terus menghitam menutup bintang-bintang dan bulan yang akan keluar. Dia cemas menunggu suaminya yang belum pulang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sementara yang dinantinya belum juga datang. Sesekali dia mengintip keluar dari kaca jendela yang basah oleh percikan hujan, lalu duduk lagi di sofa depan televisi. Hatinya sangat tidak tenang. Hp suaminya tak bisa dihubungi, dan suaminya tak menghubungi dia. Sebuah penantian kabar yang cukup menegangkan. Lalu daun pintu terdengar ada yang mengetuk dari luar. Dia langsung meloncat membuka pintu lalu menghambur kepada orang yang berdiri di balik pintu itu. Suaminya basah kuyup kehujanan. Dan angin berhembus kencang. Perempuan yang cemas itu adalah kamu. Suatu saat siapa pun kamu pasti akan aku cintai, dan kamu akan mencintaiku.
Sekarang katanya zaman emansipasi, maka kamu bisa saja seorang dokter, seorang jurnalis, seorang aktivis HAM, seorang karyawan swasta, seseorang yang berwirausaha, seorang penulis buku dan profesi-profesi lain yang padat karya. Tapi jika akhirnya pekerjaan itu menjadikan kamu lupa dan menelantarkan keluarga, maka itu bukan kamu. Bukan seseorang yang akan aku cintai.
Ketergesaan menggapai-gapai hal yang masih misteri akan membawa kita pada suasana yang berwarna, jika hal itu telah ditemui. Bisa gembira, bisa juga kecewa. Tergantung kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Mencari dan menggapai-gapai pasangan hidup salah satunya. Coba saja tanya kepada mereka yang telah berkeluarga. Kamu akan temui jawabannya.
Jika hal itu telah dialami, maka yang menjadi kewajiban kita adalah bertanggungjawab terhadap pilihan. Baik-buruknya pasangan hidup adalah pilihan kita, kecuali jika masih hidup dalam keluarga konvensional ala Siti Nurbaya. Maka bagaimana pun dan siapa pun dia, pasangan hidup kita adalah organ yang telah menyatu dengan kehidupan kita. Silahkan bercita-cita. Silahkan berusaha. Tapi jangan jadi pengecut dengan menyakiti pasangan hidup pilihan sendiri. [ ]
Di halaman depan sebuah rumah yang teduh, perempuan itu sedang menyapu daun-daun yang berguguran. Dia baru saja selesai memasak di dapur, sambil menunggu suaminya pulang dia menyapu halaman. Rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun bunganya yang mungil, dia cabuti sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Burung-burung yang hinggap di dahan pohon rambutan, menemaninya sambil berebut mencari makan dari dahan satu ke dahan yang lain. Perempuan itu suatu saat akan mencintaiku dan aku akan mencintainya. Perempuan itu mungkin saja kamu.
Selepas maghrib, hujan belum juga reda bahkan semakin lebat. Langit terus menghitam menutup bintang-bintang dan bulan yang akan keluar. Dia cemas menunggu suaminya yang belum pulang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sementara yang dinantinya belum juga datang. Sesekali dia mengintip keluar dari kaca jendela yang basah oleh percikan hujan, lalu duduk lagi di sofa depan televisi. Hatinya sangat tidak tenang. Hp suaminya tak bisa dihubungi, dan suaminya tak menghubungi dia. Sebuah penantian kabar yang cukup menegangkan. Lalu daun pintu terdengar ada yang mengetuk dari luar. Dia langsung meloncat membuka pintu lalu menghambur kepada orang yang berdiri di balik pintu itu. Suaminya basah kuyup kehujanan. Dan angin berhembus kencang. Perempuan yang cemas itu adalah kamu. Suatu saat siapa pun kamu pasti akan aku cintai, dan kamu akan mencintaiku.
Sekarang katanya zaman emansipasi, maka kamu bisa saja seorang dokter, seorang jurnalis, seorang aktivis HAM, seorang karyawan swasta, seseorang yang berwirausaha, seorang penulis buku dan profesi-profesi lain yang padat karya. Tapi jika akhirnya pekerjaan itu menjadikan kamu lupa dan menelantarkan keluarga, maka itu bukan kamu. Bukan seseorang yang akan aku cintai.
Ketergesaan menggapai-gapai hal yang masih misteri akan membawa kita pada suasana yang berwarna, jika hal itu telah ditemui. Bisa gembira, bisa juga kecewa. Tergantung kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Mencari dan menggapai-gapai pasangan hidup salah satunya. Coba saja tanya kepada mereka yang telah berkeluarga. Kamu akan temui jawabannya.
Jika hal itu telah dialami, maka yang menjadi kewajiban kita adalah bertanggungjawab terhadap pilihan. Baik-buruknya pasangan hidup adalah pilihan kita, kecuali jika masih hidup dalam keluarga konvensional ala Siti Nurbaya. Maka bagaimana pun dan siapa pun dia, pasangan hidup kita adalah organ yang telah menyatu dengan kehidupan kita. Silahkan bercita-cita. Silahkan berusaha. Tapi jangan jadi pengecut dengan menyakiti pasangan hidup pilihan sendiri. [ ]
No comments:
Post a Comment