Sebelum lupa bagaimana caranya memasukkan tulisan ke dalam botol, kiranya ada baiknya juga saya catatkan sedikit renonansi tulang rusuk itu. Tapi saya bukan Chairil, lagi pula dia sudah lama terbaring di Karet. Hanya saja kemarin waktu si pembaca sarang angin tiba-tiba merasa gelisah karena jarak tinggal sedikit lagi, saya pula demikian saja tiba-tiba teringat sekuplet tulisan Chairil :
Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Waktu mula-mula kita kenal pun, dulu, kita sudah tidak bisa menolak dewasa. Kita bukan kanak-kanak lagi. Tapi cinta kita, kawan, selamanya akan selalu muda. Seperti dua orang bapak yang kita bayangkan tengah berbincang dalam dialog yang paling karib dan penuh canda, di musholla itu.
Saya tidak menemukan sekolah puisi, tapi siapa sesungguhnya yang bisa mengajarkan rasa?. Lagu cinta picisan menjadi terdengar elegan, dari seberang lautan kau bercinta di udara, macam RRI saja. Nasib itu sendiri bukan metafora, melainkan---lagi-lagi kata Chairil---“kesunyian masing-masing”. Ini mungkin akan terdengar terburu-buru, hanya saja saya sempat membuka catatan harian dan mendapati empat paragraph tulisan kau yang di bawahnya dilengkapi dengan embel-embel : Budayawan dan Konsultan. Macam betul. Tapi begini paragraph awalnya :
Kalau kamu baca tulisan ini, mungkin saya sedang bermesraan dengan istri, atau juga sedang main petak umpet dengan anak saya.
Tiga paragraph lagi sudah saya catat di kertas bungkus cigarette dan dimasukkan ke dalam botol bekas minuman berenergi, dan tenang, sudah saya buang ke sungai. Kau ambillah nanti di laut. Kalau kau temukan, pastikan itu botol, bukan perahu kertas. Sebab dirimu sendiri adalah perahu kertas bagi dirinya. Ah, bagaimana kau bisa lupa, bukankah begitu apa yang telah dimantrakan oleh Sapardi :
Kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali, alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di Bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.”
Lupakan episode Bintang jatuh dan Ikan Kerapu, kini saatnya untuk kau menepati janjimu, kawan. Kronik arsip yang saya simpan masih jelas mencatat dalam lembaran-lembaran risalah bertajuk Pirates of Cigarettes. Di seri kedua sequel tersebut kau pernah begitu syahdu menulis :
Tak banyak yang sanggup bertahan dengan kita
Di mana kejutan hanya dalam tenda dan penat belaka
Tapi jika nanti ada yang bisa mengerti
Dia pasti kita jadikan tuan puteri
Anggap saja ini semacam mukadimah, sebab saya belum ingin berhenti menulis. Ah, tapi mungkin ada benarnya juga kata Chairil, sementara ini saya menjadi Ahasveros dulu. [ ]
juni '13
No comments:
Post a Comment