Yang ada dalam pikiran saya hanya satu tafsir, satu
perkiraan, bahwa menulis memang terkadang mengundang marabahaya. Ini adalah
respon terhadap komentar seorang kawan yang berbunyi : “Saya sudah takut
menulis.”
Juga hal ini mengundang semacam ke-insyaf-an, yang meskipun
tidak saya terima semuanya, bahwa menulis adalah sebuah gerak menabur jejak
yang berpotensi dicitrakan sebagai bercak, sebagai noda, sebagai track record
yang mungkin akan bisa memburamkan masadepan.
Alasan ini memang cukup kuat, terlebih bagi tulisan-tulisan
yang bertabur metafor, kiasan-kiasan berbahaya nan absurd, dan aroma sindiran
berinsting karnivora. Jangankan tulisan seperti itu, bahkan esai dan kolom di
koran pun yang sebenarnya benderang masih layak untuk disusupi
pengertian-pengertian berbeda dari para pembacanya. Tapi inilah belantara
bahasa yang ditumbuhi ribuan pohon kata, setiap kalimat bukan rumus eksakta
dengan presisi yang mengagumkan.
Tentu, tak ada secuil pun paksaan untuk menulis. Tak ada
sebiji dzarah pun alasan yang patut dipaksaan kepada siapa pun untuk bergiat
mencatat. Kalau pun saya masih saja mencoba setia di titian ini, tak lebih
hanyalah sebuah cara untuk melarung setiap peristiwa, setiap kegelisahan, dan
beberapa batu tapal yang hangus dibakar waktu. Sebab saya tidak menemukan cara
yang lebih lirih untuk merayakan hal-hal tersebut.
Disadari ataupun tidak, pergeseran makin terasa. Baik dalam
wujud perspektif, maupun nalar logis-praktis. Penyebabnya beragam, dan
salahsatunya adalah pemetaan ulang tentang tanggungjawab. Hormat saya tak
berkurang sehasta pun kepada kawan-kawan yang sudah maju ke medan laga,
menembus batas kenyataan, yang sudah berhasil menyingkap tirai tebal berbahan
obrolan-obrolan masamuda, menuju setapak lain yang lebih syahdu dan dewasa.
Namun begitu, ini bukan sebuah apologi, bukan pula sebuah
nasihat berkarat, hal-hal semacam itu sudah biasa kita cairkan dengan tertawa
renyah berderai-derai. Pun di titik ini, dari sudut pandang paling karib, bagi
saya tak ada yang berubah sedikit pun. Dalam derajat yang egaliter, hormat dan
cinta saya tak pernah berkurang. Mungkin band dari Yogya sudah gatal ingin
menuliskan sebuah lirik bagi persahabatan seperti ini, namun lagi-lagi kita
buyarkan hal itu dengan saling maklum yang membebaskan.
Sebait puisi Sitok Srengenge nampaknya lebih cocok ditujukan
kepada manusia lembut dari jenis yang
berlainan, namun entah, saya memaknainya lebih luas lagi :
Aku rangkum rahim di
mana kau dulu mukim, rentang tangan yang selalu
menjagamu, kubebaskan
kau bergerak dan berbiak dalam diriku
Aku kosong abadi yang
menghendaki kau sebagai isi.[ ]
juni ‘13
4 comments:
ini sindiran buat penulis cewe ya????
ini sindiran buat penulis cewe ya?
ini sindiran buat penulis cewe ya?
kenapa bisa menafsirkan seperti itu?
Post a Comment