“Bung, kau dipanggil Ketua Program Studi, segera!.” Kabar
itu saya terima waktu memimpin rapat persiapan ospek jurusan, di siang yang
terik, di sebuah rungan kecil yang pengap oleh asap rokok.
Saya pamit, dan rapat diteruskan dengan dipimpin oleh wakil
saya, Wakil Ketua Pelaksana Ospek Jurusan. Ada yang berkecamuk di kepala
sepanjang saya menuju ruang kerja Ketua Program Studi. Ada apa gerangan?. Selintas
terpikir, apakah ini ada hubungannya dengan perijinan kegiatan ospek?, tapi
bukankah tidak ada yang ganjil dari kegiatan tahunan ini?.
Di pintu, saya mengetuk dan mengucap salam. “Silakan masuk,”
kemudian saya duduk di kursi, tepat di hadapan Ketua Program Studi. Beliau
tidak langsung bicara, hanya melihat sebuah ---mungkin jurnal penelitian. Tak
lama berselang, masuk wali kelas saya, seorang dosen mata kuliah Kewirausahaan.
Perempuan, muka masam mengandung gemuruh kemarahan. “Ini Pak, anak ini yang masuk
keruangan saya dan mengacak-ngacak meja kerja sampai berantakan!.”
Saya tersentak. Apa?, mengacak-ngacak meja kerja sampai
berantakan?!.
Ketua Program Studi masih diam, hanya saja sekarang
pandangannya tertuju ke saya. Dosen yang marah entah duduk atau berdiri, yang
jelas dia persis di belakang saya. “Kamu ikut ibu dulu ke ruangannya,” dan saya
berjalan mengikuti dosen marah itu. Ini pembantaian!.
Dan benar saja. “Duduk!.” Pesakitan mengikuti perintah
dosen. “Kamu mau pending!”
***
Adalah kampus yang jauh dari hiruk-pikuk kota tempat saya menghabiskan
masa muda selama tiga tahun. Judulnya kuliah, tapi yang dilakoni tentu saja
melebihi kata itu jika perspektifnya hanya transfer ilmu secara formal. Pada
semester ke-5 awal, yaitu ketika mahasiswa-mahasiswi baru mencoba memulai
mengadu peruntungan di kampus yang sepi itu, saya entah kenapa, secara aklamasi
terpilih menjadi Ketua Pelaksana Ospek Jurusan. Bagi saya ini sebuah gegar leadership. Apa sebab?. Dari semester
satu dan mulai bergiat di organisasi, saya tak pernah sekalipun menjadi kampiun
dalam soal pemilihan pemimpin, tak pernah menjadi objek “sorot kamera”, tak
pernah sekalipun berjalan di titian para “selebritis” itu. Saya malah lebih
sering bergerak di belakang layar. Membuat konsep, merancang strategi, dan
belajar bermanuver dalam politik kampus. Maka tak berlebihan jika saya merasa
gamang ketika terpilih sebagi Ketua Pelaksana.
“Susun konsep yang cerdas, agar kita bisa melewati pagar
birokrasi,” demikian bisik seorang kawan waktu rapat belum dimulai. Satir
memang. Di kampus yang jauh dari “peradaban” dan pergaulan, jajaran dosen dan
pimpinan kampus seringkali dijadikan sebagai musuh, dianggap sebagai birokrasi
yang seringkali menghambat kegiatan mahasiswa.
Lalu riwayat saya tarik beberapa bulan ke belakang. Di
kelas, dosen dan kawan-kawan seringkali mampus tak berkutik dihajar debat yang
tendensius, gemuruh, panas, yang padahal itu hanyalah bumbu masa muda saja. Waktu
berlalu berkejaran, maka sekali waktu datanglah tugas itu : buat makalah
tentang kewirausahaan. Detik-detik itu adalah juga bertepatan dengan kesibukan
mempersiapkan ospek jurusan. Saya terlambat mengumpulkan tugas!. Pada sebuah
sore yang sepi, saya naik ke lantai dua dan menengok ruangan dosen yang kosong
melompong, tak seorang pun. Dengan tugas di tangan, saya masuk ke ruangan lalu
menaruhnya di tumpukan karya kawan-kawan sekelas yang lebih dulu selesai
dikerjakan. Besoknya, terjadilah malapetaka itu.
***
“Saya perhatikan, setiap kali saya mengajar di kelasmu, kamu
selalu saja sentiment, berusaha memojokkan saya sebagai dosen!.” Tahu kan suara
perempuan yang sedang marah?. “Kalau kamu merasa lebih pintar, silakan gantikan
saya. Ngomong sama Ketua Jurusan!.” Dalam hati : “Sudahlah Bu, ini sudah sore,
saya mesti mimpin rapat.”
Kemudian ibu dosen membawa si pesakitan ke ruangan Ketua
Jurusan. Yang didatangi dengan enteng berujar, “tunda saja kelulusannya setahun.”
What!!.
Yang terbayang langsung dua hal : biaya kuliah dan malu!. Lulus
yang tertunda adalah pembengkakkan biaya. Jatah disangoni selama tiga tahun
harus bertambah lagi satu tahun, dan orangtua menanggung beban semuanya : biaya
uang semester, biaya kost, biaya makan, dan tetek bengek yang lain. Lagi pula,
malu juga jika harus mengulang satu tahun bersama dengan para junior.
Sore itu keputusan masih menggantung; antara pending atau
hanya peringatan tertulis. Hal yang kedua yang saya harapkan. Tapi entah harus
menunggu berapa lama lagi. Maka mulai detik itu kecemasan berparade di titian
waktu. Bukan soal riwayat akademik yang cacat yang saya takutkan, tapi tanggungan
biaya hidup dan biaya kuliah yang menggantang itulah yang membebani pikiran,
dengan alasan apapun alangkah tidak bersopan santun kalau harus menambah beban
orangtua lagi.
Menjelang maghrib saya menemui kawan-kawan organisasi dan
mengatakan semuanya. “Ini bukan soal keberanian, tapi kegiatan kaderisasi yang
kita pertaruhkan. Saya mundur bukan berarti takut dihadang para dosen, namun jika
usaha saya dipukul mundur, organisasi ini akan mencatat sejarah tentang
kegagalan. Kita tentukan dengan voting untuk memilih Ketua Pelaksana yang
baru.” Dan kawan-kawan setuju. Mereka maklum dengan masalah, dan menghargai
keputusan saya. Selanjutnya saya kembali ke fitrah, kembali bergerak di
belakang layar.
***
Dalam cemas yang masih berparade akibat tekanan dosen dan
pihak jurusan, saya mencari obat penawar. Pada sebuah petang rembang yang
gerimis, sebuah angkot saya hentikan. Saya meluncur ke toko buku di jalan
Merdeka. Buku itu tergeletak begitu saja. Tanpa bungkus plastik, dan sedikit
lusuh. covernya berwarna coklat, dan tinggal satu biji : “Aku, Buku, dan
Sepotong Sajak Cinta”.
Buku yang kesepian itu, tanpa disangka-sangka sebelumnya,
langsung saya bawa ke kasir. Di kamar kosan yang bercahaya remang, saya
menggigil. Ada spirit meluap-luap dari apa yang dituturkan penulisnya; drop
out, miskin, tapi bersikeras memilih dan meyakini jalan. Inilah jalan tetirah.
Penawar luka kecewa dari hidup yang terus dicangkul dan diseret. Saya seperti
baru lahir. Batu tapal bagi setapak jalan yang membuat saya bisa menghirup kembali
udara segar. Saya bubuhkan tanggal, tanda tangan, dan sebaris catatan di
halaman sebelum pengantar : “Bandung, 2 Juli 2004---di bawah tekanan jurusan.”
Sekira dua minggu lagi buku ini akan ulangtahun yang ke-9
semenjak saya membelinya. Sedapat-dapat saya catat ulang Kata Pengantar-nya. Bukan
untuk memperingati dendam, bahkan ajakan rekonsiliasi bagi diri saya sendiri
untuk melarung masalalu yang penuh dengan kecemasan. “Scripta Manent Verba
Volant. Yang tertulis tetap mengabadi, yang terucap berlalu bersama angin.”
***
Gelombang datang
dan pergi, tiada pernah berakhir. Sepotong kalimat pendek yang sengaja
didahulukan dalam pengantar ini, bisa jadi terkesan klise. Tetapi selama nafas
masih menikahi kehidupan, begitulah yang terjadi. Gelombang besar menggairahkan
gemuruh, sebuah pergolakan, bahkan perburuan liar. Sedangkan gelombang yang
kecil, tenang, dan landai, melahirkan cinta dan keindahan, sebuah romantika
yang tak jarang memabukkan.
Demikian pula
dengan sebuah pribadi, sebuah perjalanan jiwa di selembar peta, mencari alamat
menuju muara. Siapakah yang tak pernah berontak, jengkel, marah, misuh-misuh,
atau bahkan sebaliknya, cuek begitu saja menghadapi sebuah persoalan. Dan siapa
pula yang tak pernah begitu penasaran, sangat perhatian, menunggu sepenuh
kecemasan, dan memimpikan sebuah hal yang sangat diharapkan. Demikianlah, namun
segalanya kerap seperti angin, berdesir begitu saja menghampiri reranting dan
dedaunan, membelai lembut atau malah memperkosa bunganya, dan setelah itu
pergi, hilang entah ke mana.
Tetapi tidak
demikian bila segalanya mampu direkam, dituturkan, atau lebih penting lagi :
dicatatkan. Sebuah pengalaman tidak mudah hilang dan dilupakan. Bagi sebagian
orang, sesungguhnya tradisi menulis ini sudah dilakukan semenjak manusia mulai
mengenal peradaban. Mereka menggurat setiap hal yang dianggapnya menarik dengan
simbol, gambar, dan tulisan di batu-batu, dinding-dinding gua, kulit-kulit
binatang, atau di sebilah senjata tajam. Bukan sebagai apai yang suatu saat
bisa meletupkan dendam, tetapi menjadi cermin, pelajaran sekaligus evaluasi,
baik bagi diri maupun orang lain. Setidaknya, dengan menuangkan gagasan, dalah
bahasa Hannah Arendt, “Derita menjadi tertanggungkan ketikaia menjelma cerita”.
Apalagi menuangkan cerita tidak sekedar dengan kata-kata yang terucapkan,
tetapi tertuliskan. Keberadaannya menjadi lebih abadi. Kapan dan di mana saja
dapat dibuka dan dibaca kembali. Oleh siapa saja.
Maka, buku yang
berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak
Cinta ini sengaja dihadirkan untuk pembaca, sesungguhnya hanyalah ingin
menyuguhkan sebuah hal yang penting : sebuah perjalanan yang pada akhirnya
harus dicatat. Di dalamnya pembaca akan menemukan sebuah pribadi yang menarik
dan penuh pergolakan; sebuah pengalaman yang unik dan sarat pergulatan. Adalah
Muhidin M. Dahlan, seorang yang sangat mencintai dunia tulis-menulis dan
perbukuan, bahkan demi kecintaannya ini, ia menjadi sangat kuat menahan lapar
dan derita, kehidupan nggetih yang
dijalaninya meski tak jarang malah melahirkan kekecewaan. Namun, justru karena
itulah akhirnya buku ini lahir dan beberapa bukunya yang lain. Sebuah karya
yang enak dibaca, karena Muhidin menulisnya sepertinya dengan easy going begitu saja, nyaris tak
berbeda dengan orang yang sedang bertutur, namun sarat dengan muatan.
Apabila pembaca
menemukan gelombang yang bergemuruh dan meledak-ledak dalam buku ini, tangkaplah
gelombang itu, tundukkan, agar kita dapat berselancar atau berenang menuju
pantai berpanorama keindahan. Atau sekalian menyelam menuju kedalaman yang
paling dalam, untuk menemukan ketenangan. Sebab hanya dengan keindahan---meski ini
sangat tergantung pada bagaimana kenyataan itu disikapi sehingga menjadi
indah---dan ketenangan, konon kata para pertapa, biksu, pelaku meditasi, dan
sufi agung, kebijaksanaan dan kebahagiaan hidup akan dapat diraih. Tetapi
akhirnya, semua terserah dan berpulang kepada para pembaca bagaimana menyikapi
buku ini. Semoga berguna tidak hanya bagi pembacca yang mencintai dunia tulis-menulis
dan perbukuan, tetapi bagi siapa saja yang masih menghargai komitmen, keyakinan,
pilihan hidup, dan keindahan cinta. Selamat membaca. [ ]
Jendela, 2003
---uwa, juni ‘13
No comments:
Post a Comment