28 July 2014

Salvador Allende

Beberapa minggu sebelum pemungutan suara pilpres di tanah air digelar, sempat juga saya membaca buku yang ditulis oleh peraih hadiah Nobel Sastra tahun 1982 dari Kolombia; Gabriel Garcia Marquez. Sebetulnya buku tersebut berkisah tentang petualangan klasdestin seorang sutradara film yang menembus jantung pemerintahan diktator Jenderal Augusto Pinochet di Chile dengan maksud mengolok-olok, namun ada satu fragmen yang membuat saya tercenung, yaitu bagaimana ingatan kolektif masyarakat begitu kuat menempel dalam kehidupan sehari-hari tentang pemimpin yang dicintainya.
Tanpa dimaksudkan untuk mencari referensi ihwal presiden ideal, atau bergenit dengan niat menggembosi salah satu calon presiden, pembacaan pada buku tersebut mulanya murni karena cara berkisahnya yang menawan.
Adalah Miguel Littin, salah seorang pelarian dari sekira 5.000 orang yang namanya masuk dalam daftar manusia yang tidak boleh kembali ke negerinya. Dia selama enam minggu menyelinap di negeri yang dicintainya melalui kamuflase yang sangat canggih dan rumit. Dalam petualangannya tersebut Littin berhasil membuat sekitar 100.000 kaki film tentang negaranya yang selama 12 tahun berada di bawah cengkeraman rezim militer.
Dengan dukungan tiga crew film asal Eropa (Italia, Prancis, Belanda), Littin melakoni petualangannya dalam intaian bahaya yang menegangkan. Ketika tiba di kantong-kantong kemiskinan Chile (poblaciones), Marquez menyebutnya sebagai “teritori yang tidak dapat diganggu gugat”, Littin dan timnya berhasil mendokumentasikan tentang kenangan masyarakat kepada presiden yang digulingkan oleh rezim militer, dialah Salvador Allende.
Allende masih hidup dalam kenangan masa lalu dan telah menjadi legenda. Secara spontan dan jujur, orang-orang kerap menjawab pertanyaan dengan antusias. Beberapa pengakuan sering terlontar dan hampir sama, “Saya selalu memilih dia, tidak pernah memilih lawan politiknya.”
Jika politisi lain dikenal hanya lewat surat kabar, televisi, atau radio, Allende justru melakukan kampanye secara hangat; datang ke rumah-rumah dan berlaku seperti seorang dokter keluarga. Littin mengakui bahwa selama melakukan perjalanan di Chile, dia tidak pernah menemui satu tempat pun yang tidak pernah dikunjungi oleh Allende. Dia pernah menyembuhkan seseorang dari batu rejan yang parah dengan meracik teh dan rempah-rempah yang didapati di halaman rumah warga. Atau sekali waktu sempat juga menjadi wali baptis bagi seorang anak. Beberapa orang pernah ia beri pekerjaan atau ia kalahkan dalam permainan catur. Dan selalu ada saja yang disalaminya.
“Salvador Allende adalah satu-satunya presiden yang memperhatikan hak-hak perempuan,” demikian kata beberapa orang perempuan. Hal-hal sederhana yang ia sentuh seolah menjadi keramat. Beberapa orang menunjukkan benda dan mengatakan, “ia memberi kami ini.”
Bersama penyair Pablo Neruda yang juga banyak dipuja rakyat Chile, kisah kenangan masyarakat terhadap Allende seolah menggulirkan satu kenyataan bahwa pemimpin harus dekat dengan rakyat adalah suatu keniscayaan. Memang semua menjadi sempurna karena justru junta militer yang menggulingkan presiden pujaan rakyat itu. Kondisi berbalik drastis dan pembanding begitu kontras. Maka tak heran jika pada sebuah tembok pagar di sekitar rumah Neruda terdapat tulisan, yang bahkan polisi pun tak dapat melarangnya :
Cinta tak pernah mampus, Jenderal. Allende dan Neruda tetap hidup. Satu menit dalam kegelapan takkan membuat kami buta. [ ]

No comments: