23 July 2014

Postulat Keseimbangan




Di bulan Juni-Juli ini setidaknya ada sekira empat peristiwa besar yang nyangkut di ruang informasi dan emosi kita. Dari Piala Dunia, Pilpres, serangan ke Gaza, sampai Bulan Puasa. Tentu setiap orang berbeda-beda ihwal mana yang hanya sebatas informasi, dan mana yang mula-mula hanya informasi tapi kemudian dibarengi dengan emosi. Pada kedua sikap itu hampir selalu ada gemuruh, entah hanya sebatas komentar alakadarnya, ataupun respon hiperbola yang meluap-luap. Di seluruh gorong-gorong media, empat peristiwa tersebut berparade di titian waktu pemirsa; menggelontorkan informasi, basa-basi, rayuan-rayuan niaga, sampai dusta terang-terangan. Di tengah keramaian itu, jika saya tak silap, ada beberapa potong mozaik yang bila disatukan akan menerbitkan dugaan tentang kebenaran yang remang-remang.  

Saya sempat menyangka bahwa Piala Dunia 2014 akan menjelma menjadi semacam pesta bangsa tiran. Dominasi yang keterlaluan. Bagaimana tidak, Brazil yang sudah menempelkan lima gambar bintang di atas logo federasi sepakbolanya, masih juga hendak menambahnya dengan jalan yang hampir sempurna. Bertindak selaku tuan rumah, memiliki skuad yang rata-rata merumput di seantero liga-liga nomor wahid, terbiasa dengan cuaca tropis, dan berada di group yang tidak terlalu berbahaya, membuat Brazil seolah tinggal selangkah menempelkan gambar bintang yang ke enam. Pada fase group, penonton televisi yang tak senang kepada timnas Brazil mungkin melihat wajah-wajah supporter tuan rumah begitu yakin dan sekaligus menyebalkan. Mereka begitu jumawa. Inilah konco-konco kesebelasan tiran.

Namun pada akhirnya kita tahu, tim tuan rumah yang didukung mayoritas itu mesti mengubur dalam-dalam mimpi agungnya. Dan tak cukup di sana, sebuah noktah memalukan pun terpaksa masuk ke dalam arsip sejarah sebuah bangsa sepakbola yang begitu cemerlang tersebut. Bagi masyarakat Brazil, barangkali kekalahan 7-1 dari Jerman di laga semifinal bukanlah kekalahan yang biasa. Itu adalah trauma yang tak bakal sembuh dengan cepat. Drama berdarah-darah Brazil kemudian ditutup dengan sempurna ketika mereka dibungkam Belanda 3-0 pada perebutan juara ketiga.   

***

Tak ada yang memekakkan ruang informasi, di bulan-bulan ini, melebihi hiruk-pikuk Pemilu Pemilihan Presiden. Dari kampanye sampai hitung cepat, semuanya dikemas dengan perang terbuka skala nasional. Mungkin karena calonnya hanya dua pasang, jadi warga dipaksa berhadap-hadapan, terpolarisasi, berjejak di kutub-kutub yang berlawanan.

Namun terlepas dari serunya pertempuran di “padang kurusetra”, ada satu hal yang menurut hemat saya cukup mengagetkan. Seperti ada dominasi yang cair kemudian luruh. Meskipun kubu Jokowi cenderung akan memenangkan Pilpres, namun jika dilihat dari angka yang beredar di mana-mana, selisih antara dua calon tidak begitu jauh. Dugaan saya, atau mungkin juga banyak orang, Jokowi akan memenangkan pertarungan ini dengan mudah. Alasannya sederhana saja; sebagai anak emas media (jauh sebelaum pilpres berlangsung) yang melalui corong-corongnya berhasil mempengaruhi ruang olah informasi massa, Jokowi tidak akan sulit menyentuh alam bawah sadar masyarakat. Namun kenyataan berbicara bahwa Jokowi dan segenap tim suksesnya mesti berjibaku, mati-matian dalam mengamankan peluang kemenangan.

Di sini ada hantaman yang mengagetkan. Ada pukulan sporadis yang membuat goyah harapan-harapan. Ada sesuatu yang nampaknya lambat disadari oleh kubu Jokowi.

***

Sebetulnya tanpa ada serangan Israel ke Gaza pun media sosial kita sudah sangat ramai oleh Piala Dunia dan Pilpres yang berlarut-larut. Namun begitulah jadinya, militer berbendera Bintang David terus membombardir sekerat tanah Palestina di Jalur Gaza. Israel tidak akan kaget dengan hujan simpati dan kutukan; simpati untuk Palestina, dan kutukan untuk dirinya. Yang membuat gusar Israel adalah roket-roket Hamas yang berliweran di langit dekat rumahnya. Maka operasi militer jilid 2 (setidaknya dari tahun 2008) pun digelar.

Di benak tentara-tentara Israel sepertinya ada keheranan yang berlapis-lapis; mengapa sekerat tanah itu tak kunjung tunduk dan menyerah?. Pada perang kota militant Hamas begitu menakutkan dan kerap memukul mundur pasukan Israel yang bersenjata lengkap. Ada semacam kekuatan tak kasat mata yang merintangi niat bangsa Netanyahu untuk melumat tanah tersebut.

***

Di hampir empat hari tengah Ramadhan saya menimbang hal-hal di atas. Entah kenapa seperti ada “kasih tak sampai” yang berulang. Dari Brazil sampai Israel. Dari sepakbola sampai senjata. Ada beberapa dominasi yang melemah; Brazil yang gagal juara, Jokowi yang tidak “menang” mudah, dan Israel yang kesulitan menembus tanah jajahan. Sampai kemudian kesadaran itu merayap juga ke bulan puasa; bukankah di bulan ini banyak katup-katup keinginan yang gagal meledak? Hasrat yang tertahan? Dan ambisi yang mereda? Kemudian saya teringat dengan sekerat tulisan Andrea Hirata di novel Padhang Bulan:

“Kurasa itulah postulat pertama hukum keimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat.”

Jika pada Piala Dunia 2018 Belanda menjadi juara, saya kira kiamat tidak akan lagi terlalu lama ditunda. Wallu’alam. [irf]

No comments: