“Islam itu Sunda, Sunda itu Islam”. Jargon ini konon
dicetuskan oleh H. Endang Saifuddin Anshari. Kenapa jargon tersebut bisa
muncul? Jakob Sumardjo dalam buku Paradoks
Cerita-cerita Si Kabayan menerangkan bahwa hal itu dilatari oleh karakter
masyarakat Sunda yang berbasis huma atau ladang.
Jika dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan Jawa yang
berdasarkan masyarakat sawah yang menetap, maka kebudayaan istana di
kerjaan-kerajaan Sunda hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat
negara saja. Masyarakat negara adalah masyarakat Sunda yang berada di wilayah
yang benar-benar dikuasai oleh kerajaan secara langsung. Di luar wilayah
kekuasan kerajaan, masih terdapat kampung-kampung Sunda yang berpindah-pindah
akibat hidup dari berladang.
Hidup yang berpindah-pindah membuat hubungan antara istana
dan rakyat di luar wilayah kekuasan amat tipis, maka di zaman penyebaran agama
Islam di Jawa Barat, agen-agen perubahan ke arah Islam leluasa keluar masuk
kampung-kampung Sunda. Tidak mengherankan apabila di kalangan masyarakat Sunda
di pedesaan kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindu amat tipis, bahkan tidak
mengenal zaman seperti itu. Hal tersebut tercermin dalam mitos-mitos rakyat
terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
“Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awalnya
ada di Sunda. Sunda itu Islam,” tulis Jakob Sumardjo.
Meski Islam tidak identik dengan Arab apalagi negara Arab
Saudi, namun karena Islam di Nusantara datang dari Hadramaut, Yaman, wilayah
yang penduduknya berbangsa Arab, maka Islam sering dilekatkan dengan bangsa
tersebut.
Satu contoh kaitan Sunda dengan Arab dipaparkan oleh Nanang
S, spk dalam buku Taneuh Sakeupeul ti
Mekah (Tanah Sekepal dari Mekah) yang menceritakan tentang asal mula
lahirnya Kampung Mahmud, di Kabupaten Bandung, yang merupakan salah satu
kampung tempat penyebaran agama Islam di tatar Sunda.
Kampung ini didirikan oleh Dalem Abdul Manaf, seorang ulama
yang masih keturunan Sultan Mataram, yang ketika mudanya pernah pergi ke Mekah
untuk melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu. Sekembalinya dari Mekah,
beliau membawa tanah sekepal. Padahal waktu itu hal tersebut sangat dilarang,
tapi Dalem Abdul Manaf nekad.
“Taneuh téh dicecebkeun dina ranca, di ieu
lembur. Ti wangkid harita ieu tempat téh
dingaranan Kampung Mahmud. Kampung nu masarakatna ngagem Islam, nanjeurkeun ajén-inajén
Islam,” ceuk Haji Safe’i, kuncén éta kampung.
“Tanah tersebut ditanam di dalam rawa, di kampung ini. Mulai
saat itu tempat tersebut dinamai Kampung Mahmud. Kampung yang masyarakatnya
memeluk Islam, menegakkan kehormatan Islam,” kata Haji Safe’i, kuncen kampung
tersebut.
Dengan latar kondisi seperti itu, yaitu Sunda yang Islam,
dan Islam yang kerap dilekatkan dengan Arab, tak membuat masyarakat Sunda
mengurangi rasa humornya. Acep Zamzam Noor malah menulis bahwa sosok si Kabayan
yang humoris adalah perwujudan dari seorang mursyid
(pembimbing murid di kalangan sufi) yang sudah “teu nanaon ku nanaon” (tidak apa-apa oleh apapun).
“Cerita-cerita si Kabayan sangat kuat unsur humornya, yang
secara tidak langsung menunjukkan karakter masyarakat Sunda yang intuitif,
santai namun serius. Karakter yang juga banyak dimiliki para sufi,” terang
Acep.
Sebagian orang Sunda, tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada
Islam yang mereka anut, kerap menjadikan orang Arab (pembawa Islam Ke Nusantara)
sebagai bahan guyonan. Beberapa guyonan bahkan kadang kelewat vulgar.
Kang Ibing dan Aom Kusman, dua orang tokoh Sunda yang
populer berkat guyonannya dan tergabung dalam grup komedi De Kabayan, dalam sebuah lakon berjudul Ngaronda pernah memasukkan unsur Arab dalam guyonannya.
Dikisahkan suatu hari Kang Unang (Aom Kusman) dan Jang Aceng
(Kang Ibing) tengah berdiskusi ihwal Siskamling (sistem keamanan lingkungan).
Mereka yang kebetulan satu regu, kebingungan mencari kawan lain yang cocok
untuk dimasukkan ke dalam regunya. Beberapa nama disebut, namun belum ada yang
pas, termasuk tokoh Abah Wikanta yang terkenal jago bercerita namun ceritanya
penuh dengan kebohongan.
Salah satu cerita bohong Abah Wikanta yang dituturkan oleh
Jang Aceng yaitu ia mengaku pernah membeli kupat tahu bersama Raja Farouk (ini
Raja Mesir sebetulnya) di Mekah. “Di mana
di Mekah maké aya kupat tahu sagala nya,
kang,” (Di mana di Mekah ada ketupat tahu segala ya, Kang), ujar Jang Aceng
menegaskan.
Kang Unang mengiyakan kebohongan cerita tersebut. Lalu Jang
Aceng dengan guyonannya yang khas menambahkan, “Enya, paling henteu kasedepna meureun teu sangu konéng mah,” (Iya, paling tidak
kesukaannya—Raja Farouk, itu nasi kuning).
Di lain waktu, ketika Kang Ibing beranjak tua dan mulai
diundang untuk berdakwah di banyak tempat, dalam satu ceramahnya beliau bercerita
tentang pengalamannya ketika melaksanakan ibadah haji. Ketika jamaah telah
memadati Masjidil Haram dan berdesakan, Kang Ibing salat persis di belakang seorang
Arab yang berperawakan tinggi besar. Ketika bangkit dari sujud, penglihatan
Kang Ibing gelap, rupanya kepala beliau masuk ke dalam jubah orang Arab
tersebut.
“Cengkat tina sujud,
poék. Sihoréng hulu abus ka jero jubah. Éta kacipta urang Arab cékérna
totojér, ceuk dina haténa téh,
‘Ari sia rék naon susurungkuyan ka dieu,”
(Bangkit dari sujud, gelap. Rupanya kepala masuk ke dalam jubah. Terbayang
orang Arab itu kakinya menyepak-nyepak, mungkin katanya dalam hati, ‘Kamu mau
apa masuk ke dalam jubah’), ujar Kang Ibing yang disambut gelak tawa hadirin.
Selain itu, Kang Ibing juga bercerita tentang pengalamannya
pertamakali ke Mekah. Kata orang-orang di Indonesia, di Mekah memegang janggut
dan kepala, meskipun itu kepada orangtua, tidak akan dimarahi oleh si empunya.
Karena penasaran, Kang Ibing kemudian mencoba memegang janggut seorang Askar (keamanan)
sambil berucap, “Assalamualaikum.” Askar tersebut menjawab salam Kang Ibing dan
tidak marah.
Merasa belum puas, Kang Ibing mencoba lagi kepada seorang
Arab yang berperawakan tinggi besar dan berjanggut panjang serta lebat. “Assalamualaikum,”
ucap Kang Ibing sambil memegang jenggot orang Arab tersebut. Namun tak disangka
sebelumnya, orang Arab tersebut malah menjawab, “Kang Ibing, abdi mah urang Pasar Baru, Bandung.” Hadirin kembali
tergelak.
Dulu, ibu-ibu di kampung penulis, kalau Piala Dunia tiba dan
Arab Saudi lolos, mereka selalu tertawa sambil berkomentar, “Tingali urang Arab mah calanana gé koatka sontog, éta téh
lantaran panjang teuing ampir teu kawadahan.” “Lihat orang Arab celananya
sampai (memakai) sontog, itu karena (alat vitalnya) terlalu panjang sampai
hampir tidak muat (di celana biasa).” Saeed Al-Owairan (yang mengobrak-abrik
pertahanan Belgia) dkk, menjadi bahan tertawaan.
Dalam keseharian, meski mulanya tidak diketahui dari mana,
beredar beberapa cerita lisan vulgar dalam bahasa Sunda yang menjadikan orang
Arab sebagai objek guyonan. Seperti misalnya kisah tentang perlombaan penis
panjang antar bangsa. Perlombaan diadakan di dalam ruangan, dan peserta
dipanggil satu persatu. Peserta dari Amerika Serikat dipanggil dan menunjukkan
penisnya yang sepanjang botol air mineral ukuran 600ml. Lalu peserta dari
Indonesia yang ukurannya lebih panjang sedikit dari peserta pertama. Negara
berikutnya selalu lebih panjang sedikit dari negara sebelumnya. Berpuluh dipanggil
bergantian, sampai dipungkas oleh peserta dari Arab Saudi.
Ketika peserta terakhir dipanggil, terdengar pintu ruangan
diketuk. Tim juri mempersilakan masuk, namun peserta tak kunjung muncul. Salah
seorang juri kemudian membuka pintu, dan tak menemukan orang, ternyata yang tadi
mengetuk pintu adalah kepala penis orang Arab. Saking panjangnya: orangnya
entah di mana, kepala penisnya sudah sampai duluan. [irf]
No comments:
Post a Comment