Bandung tempo dulu tak hanya dibaluri julukan yang bertendensi
pujian macam Parijs van Java, The Garden of Allah, Paradise in Exile,
Europe in de Tropen, De Bloem der Indische Bergsteden, dll, namun juga
menyisakan kisah tentang candu atau madat.
Seperti ditulis James R. Rush dalam Candu Tempo Doeloe, pemerintah kolonial Belanda pernah menjadikan candu sebagai pundi-pundi kas negara. Persebaran candu di Pulau Jawa ternyata masuk dan beredar di Bandung, kota pegunungan yang menjadi salah satu “anak emas” pemerintah kolonial.
Agak sulit sebetulnya mendapatkan catatan yang gamblang ihwal candu di Bandung, namun jika menilik beberapa teks fiksi dan memoar, akan banyak ditemukan fragmen-fragmen pendek yang setidaknya menjelaskan bahwa candu telah ada dan hidup dalam keseharian sebagian masyarakat Bandung.
Dalam roman Rasia Bandoeng yang terbit mula-mula pada 1918, candu dipakai sebagai medium untuk menjelaskan salah satu saudara tokoh utama roman tersebut. Buku ini berkisah tentang perkawinan satu marga di kalangan orang Tionghoa yang waktu itu tabu. Tokoh utamanya yaitu Tan Gong Nio atau Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw. Dalam bab yang menjelaskan keluarga pihak laki-laki ditulis:
“Orang yang kaduwa ada berbadan sedikit kecil, kulit mukanya putih-pucat, bibirnya yang tebal ada berwarna sedikit biru, mengutaraken rupanya saorang yang suka ‘papun’ (madat), berumur kira-kira 40 tahon, orang ini ada tuwan Tan Tjin Pian sudara tuwa dari tuwan Tan Tjin Hiauw.”
Jika merujuk pada tahun terbit roman tersebut, candu di Bandung setidaknya telah hadir sejak satu abad lampau.
Bahkan dalam naskah Wawatjan Tjarios Moenada anoe Prantos Kadjadian Hoeroe-hara di negeri Bandoeng di kaping 30 boelan December 1842, meski ditengarai baru diterbitkan oleh Balai Pustaka sekitar 1921, namun tokoh utamanya, yaitu Munada, adalah juga seorang pemakai candu.
Dalam naskah yang menceritakan peristiwa pembunuhan Asisten Residen Bandung, C.W.A. Nagel tersebut, Munada sang pembunuh yang sebelumnya membakar pasar lama Bandung yang berada di Ciguriang (daerah sekitar jalan Kepatihan sekarang) digambarkan sebagai pemadat.
Pada wawacan nomor 29, dengan menggunakan pupuh Sinom, tertulis:
“Ganti ngaranna Munada / tapi kalakuan tadi / nyeret jeung nginum madatna / teu pisan eureun saeutik / tetep kumaha tadi / maén kartu maén dadu / di Cianjur téh cicingna / tapi henteu kungsi lami / ti Cianjur pindah ka Bandung nagara.”
“(Ia) berganti nama (menjadi) Munada / tapi kelakuan asal / menipu dan mengisap madat / sedikit pun tidak berhenti / tetap seperti semula / bermain kartu bermain dadu / (ia) bertempat tinggal di Cianjur / hanya tidak lama kemudian / (ia) berpindah ke kota Bandung.”
Terkait pemakaian candu, meski tidak dijelaskan secara eksplisit apakah Munada di tahun ketika ia melakukan pembakaran pasar dan pembunuhan masih memakai candu, namun wawacan ini kiranya bisa memprediksi bahwa di akhir abad ke-19, di Bandung telah ada pemakai candu.
Sementara dalam jilid pertama buku Bandung Baheula karangan R. Moech. A. Affandie yang terbit pertama kali pada 1969, menceritakan peristiwa perkelahian seorang patih dengan seorang warga Tionghoa yang dilatari tuduhan menjual madat.
Seorang Tionghoa dipanggil ke kantor patih dan ditanya ihwal penjualan madat-gelap (mungkin madat ilegal). Yang ditanya merasa tidak menjual dan menjelaskan bahwa dirinya hanya menjual rokok dan tembakau, namun sang patih tidak percaya dan terus mendesak orang Tionghoa tersebut untuk mengaku. Patih mendesak, orang Tionghoa tetap bertahan, akhirnya terjadi perkelahian.
Kisah tersebut sayangnya tidak menjelaskan tahun kejadian, nama tempat, dan nama tokoh sesungguhnya yang memang disengaja oleh si penulis demi "kebaikan". Di pengantar buku, Affandie menjelaskan:
“Nanging, sanadjan sugri nu ditjarioskeun dina ieu buku kapungkurna leres2 ogé kadjadian, kanggo ngudag margining kautamian, boh tina perkawis wasta tempat, boh tina perkawis wasta djalma miwah kalungguhanana nu kaunggel dina masing2 tjarios; di antawisna aja ogé anu ngahadja digentos, dibentenkeun tina aslina.”
(Namun, meskipun setiap yang diceritakan dalam buku ini dulunya betul-betul terjadi, untuk mengejar kebaikan, baik nama tempat, juga nama tokoh dan kedudukannya yang disebut dalam masing-masing cerita; di antaranya ada juga yang sengaja diganti, dibedakan dari aslinya.”
Keterangan lain tentang madat di Bandung didapat juga dalam sebuah foto yang diunggah tropenmuseum yang memperlihatkan seorang lelaki kurus berambut pendek dengan tulisan (tanpa keterangan tahun) di bawahnya: “Een opiumschuiver aan het begin en na afloop van een ontweningskuur in het gemeente ziekenhuis Juliana te Bandoeng, Java" atau "Perokok opium pada awal dan akhir proses detox di rumah sakit Kota Bandung Juliana, Jawa". Rumah sakit tersebut sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin).
“Tahun 70-an ke Rumah Sakit Immanuel sering ada pasien tua yang kurus kering kebetulan dari etnis Cina yang kecanduan madat, yang sambil menunggu hasil laboratorium oleh pengantarnya diberikan madatnya yang kalau tidak salah rupanya seperti dodol Garut begitu. Ketika ditanya alamatnya dari Pecinan,” tulis Eman Sudinta dalam blognya yang diunggah pada 10 Oktober 2012.
Catatan Eman Sudinta tersebut ada kesamaan dengan pengalaman Us Tiarsa dalam buku memoarnya yang berjudul Basa Bandung Halimunan (Saat Bandung Berkabut), yaitu soal madat dan Pecinan. Dalam sub-bab Madat, penulis menceritakan pengalaman masa kecilnya yang berlangsung pada era 1950 sampai akhir 1960-an.
Di kawasan Pecinan Bandung yang juga dulunya, menurut catatan Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, merupakan kampung Arab, tepatnya di Gang Aljabri, setiap anak kecil termasuk dirinya selalu dilarang oleh orangtua untuk main atau hanya melintas di gang tersebut. Anak-anak kecil itu ditakut-takuti akan ditangkap polisi jika berani-berani mendekati Gang Aljabri.
Seperti ditulis James R. Rush dalam Candu Tempo Doeloe, pemerintah kolonial Belanda pernah menjadikan candu sebagai pundi-pundi kas negara. Persebaran candu di Pulau Jawa ternyata masuk dan beredar di Bandung, kota pegunungan yang menjadi salah satu “anak emas” pemerintah kolonial.
Agak sulit sebetulnya mendapatkan catatan yang gamblang ihwal candu di Bandung, namun jika menilik beberapa teks fiksi dan memoar, akan banyak ditemukan fragmen-fragmen pendek yang setidaknya menjelaskan bahwa candu telah ada dan hidup dalam keseharian sebagian masyarakat Bandung.
Dalam roman Rasia Bandoeng yang terbit mula-mula pada 1918, candu dipakai sebagai medium untuk menjelaskan salah satu saudara tokoh utama roman tersebut. Buku ini berkisah tentang perkawinan satu marga di kalangan orang Tionghoa yang waktu itu tabu. Tokoh utamanya yaitu Tan Gong Nio atau Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw. Dalam bab yang menjelaskan keluarga pihak laki-laki ditulis:
“Orang yang kaduwa ada berbadan sedikit kecil, kulit mukanya putih-pucat, bibirnya yang tebal ada berwarna sedikit biru, mengutaraken rupanya saorang yang suka ‘papun’ (madat), berumur kira-kira 40 tahon, orang ini ada tuwan Tan Tjin Pian sudara tuwa dari tuwan Tan Tjin Hiauw.”
Jika merujuk pada tahun terbit roman tersebut, candu di Bandung setidaknya telah hadir sejak satu abad lampau.
Bahkan dalam naskah Wawatjan Tjarios Moenada anoe Prantos Kadjadian Hoeroe-hara di negeri Bandoeng di kaping 30 boelan December 1842, meski ditengarai baru diterbitkan oleh Balai Pustaka sekitar 1921, namun tokoh utamanya, yaitu Munada, adalah juga seorang pemakai candu.
Dalam naskah yang menceritakan peristiwa pembunuhan Asisten Residen Bandung, C.W.A. Nagel tersebut, Munada sang pembunuh yang sebelumnya membakar pasar lama Bandung yang berada di Ciguriang (daerah sekitar jalan Kepatihan sekarang) digambarkan sebagai pemadat.
Pada wawacan nomor 29, dengan menggunakan pupuh Sinom, tertulis:
“Ganti ngaranna Munada / tapi kalakuan tadi / nyeret jeung nginum madatna / teu pisan eureun saeutik / tetep kumaha tadi / maén kartu maén dadu / di Cianjur téh cicingna / tapi henteu kungsi lami / ti Cianjur pindah ka Bandung nagara.”
“(Ia) berganti nama (menjadi) Munada / tapi kelakuan asal / menipu dan mengisap madat / sedikit pun tidak berhenti / tetap seperti semula / bermain kartu bermain dadu / (ia) bertempat tinggal di Cianjur / hanya tidak lama kemudian / (ia) berpindah ke kota Bandung.”
Terkait pemakaian candu, meski tidak dijelaskan secara eksplisit apakah Munada di tahun ketika ia melakukan pembakaran pasar dan pembunuhan masih memakai candu, namun wawacan ini kiranya bisa memprediksi bahwa di akhir abad ke-19, di Bandung telah ada pemakai candu.
Sementara dalam jilid pertama buku Bandung Baheula karangan R. Moech. A. Affandie yang terbit pertama kali pada 1969, menceritakan peristiwa perkelahian seorang patih dengan seorang warga Tionghoa yang dilatari tuduhan menjual madat.
Seorang Tionghoa dipanggil ke kantor patih dan ditanya ihwal penjualan madat-gelap (mungkin madat ilegal). Yang ditanya merasa tidak menjual dan menjelaskan bahwa dirinya hanya menjual rokok dan tembakau, namun sang patih tidak percaya dan terus mendesak orang Tionghoa tersebut untuk mengaku. Patih mendesak, orang Tionghoa tetap bertahan, akhirnya terjadi perkelahian.
Kisah tersebut sayangnya tidak menjelaskan tahun kejadian, nama tempat, dan nama tokoh sesungguhnya yang memang disengaja oleh si penulis demi "kebaikan". Di pengantar buku, Affandie menjelaskan:
“Nanging, sanadjan sugri nu ditjarioskeun dina ieu buku kapungkurna leres2 ogé kadjadian, kanggo ngudag margining kautamian, boh tina perkawis wasta tempat, boh tina perkawis wasta djalma miwah kalungguhanana nu kaunggel dina masing2 tjarios; di antawisna aja ogé anu ngahadja digentos, dibentenkeun tina aslina.”
(Namun, meskipun setiap yang diceritakan dalam buku ini dulunya betul-betul terjadi, untuk mengejar kebaikan, baik nama tempat, juga nama tokoh dan kedudukannya yang disebut dalam masing-masing cerita; di antaranya ada juga yang sengaja diganti, dibedakan dari aslinya.”
Keterangan lain tentang madat di Bandung didapat juga dalam sebuah foto yang diunggah tropenmuseum yang memperlihatkan seorang lelaki kurus berambut pendek dengan tulisan (tanpa keterangan tahun) di bawahnya: “Een opiumschuiver aan het begin en na afloop van een ontweningskuur in het gemeente ziekenhuis Juliana te Bandoeng, Java" atau "Perokok opium pada awal dan akhir proses detox di rumah sakit Kota Bandung Juliana, Jawa". Rumah sakit tersebut sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin).
“Tahun 70-an ke Rumah Sakit Immanuel sering ada pasien tua yang kurus kering kebetulan dari etnis Cina yang kecanduan madat, yang sambil menunggu hasil laboratorium oleh pengantarnya diberikan madatnya yang kalau tidak salah rupanya seperti dodol Garut begitu. Ketika ditanya alamatnya dari Pecinan,” tulis Eman Sudinta dalam blognya yang diunggah pada 10 Oktober 2012.
Catatan Eman Sudinta tersebut ada kesamaan dengan pengalaman Us Tiarsa dalam buku memoarnya yang berjudul Basa Bandung Halimunan (Saat Bandung Berkabut), yaitu soal madat dan Pecinan. Dalam sub-bab Madat, penulis menceritakan pengalaman masa kecilnya yang berlangsung pada era 1950 sampai akhir 1960-an.
Di kawasan Pecinan Bandung yang juga dulunya, menurut catatan Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, merupakan kampung Arab, tepatnya di Gang Aljabri, setiap anak kecil termasuk dirinya selalu dilarang oleh orangtua untuk main atau hanya melintas di gang tersebut. Anak-anak kecil itu ditakut-takuti akan ditangkap polisi jika berani-berani mendekati Gang Aljabri.
Meski orangtua mereka sudah memberitahu bahwa Gang Aljabri adalah
tempat orang mengkonsumsi madat, namun karena alasan akan ditangkap polisi
dianggap tidak masuk akal, maka beberapa bocah memberanikan diri melintas di
gang tersebut. Di balai sebuah rumah, Us Tiarsa melihat tiga orang Tionghoa
sedang duduk, terlihat seperti tengah sakit keras: badannya kurus, bungkuk, dan
pipinya pada cekung.
Setelah bertanya ke temannya, akhirnya Us Tiarsa tahu bahwa di Bandung, tepatnya di Gang Aljabri sampai tahun 1970-an, memang ada tempat yang sengaja disediakan untuk orang-orang yang hendak menggunakan madat. Dan hal tersebut sudah diketahui oleh warga Bandung sejak lama. Menurut kabar yang diterimanya, yang suka madat di situ adalah orang-orang Tionghoa totok yang sejak dari negerinya sudah menggunakan madat. Hampir semuanya sudah tua dan mereka tidak ada yang dilahirkan di Bandung.
“Di dinya disayagikeun madat jeung pakakas keur ngamadatna. Nyaho sotéh ti babaturan, akéw urang Kebonkawung, cenah akina pamadatan. Padudan paragi madatna teu diasupkeun ka bong. Ku anak incuna dipaké hihias dina témbok di imahna.”
“Di sana disediakan madat dan peralatan untuk menggunakannya. Hal ini tahu dari teman, (seorang) Tionghoa orang Kebonkawung, katanya kakek dia seorang pengguna madat. Pipa untuk menggunakan madat tidak dimasukkan ke dalam bong. Oleh anak cucunya dipakai hiasan di tembok rumahnya,” tulis Us Tiarsa. (tirto.id - irf/zen)
Setelah bertanya ke temannya, akhirnya Us Tiarsa tahu bahwa di Bandung, tepatnya di Gang Aljabri sampai tahun 1970-an, memang ada tempat yang sengaja disediakan untuk orang-orang yang hendak menggunakan madat. Dan hal tersebut sudah diketahui oleh warga Bandung sejak lama. Menurut kabar yang diterimanya, yang suka madat di situ adalah orang-orang Tionghoa totok yang sejak dari negerinya sudah menggunakan madat. Hampir semuanya sudah tua dan mereka tidak ada yang dilahirkan di Bandung.
“Di dinya disayagikeun madat jeung pakakas keur ngamadatna. Nyaho sotéh ti babaturan, akéw urang Kebonkawung, cenah akina pamadatan. Padudan paragi madatna teu diasupkeun ka bong. Ku anak incuna dipaké hihias dina témbok di imahna.”
“Di sana disediakan madat dan peralatan untuk menggunakannya. Hal ini tahu dari teman, (seorang) Tionghoa orang Kebonkawung, katanya kakek dia seorang pengguna madat. Pipa untuk menggunakan madat tidak dimasukkan ke dalam bong. Oleh anak cucunya dipakai hiasan di tembok rumahnya,” tulis Us Tiarsa. (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 1 Maret 2017
No comments:
Post a Comment