Minggu datang lagi. Motor siap dihangatkan. Kali ini ngaleut Palintang: 2 April 2017. Seperti
biasa titik berangkat dari Kedai Prenger, Buahbatu. Baru sampai Jalan Laswi,
motor seorang kawan sudah dihunjam paku. Rombongan menunggu sebelum pintu
perlintasan kereta api, di kejauhan nampak gedung baru warna-warni. Sebagian
rombongan menunggu di Simpang Dago.
Cuaca cerah, perjalanan dilanjutkan via Buniwangi. Di sebuah tanjakan yang curam, seorang kawan menyerah, motornya tak mau naik. Pasangan dipecah, disesuaikan dengan medan turun-naik yang menghadang. Selepas Buniwangi, ada lagi yang dihunjam paku, terpaksa mencari tambal ban ke arah sebelumnya. Rombongan lagi-lagi menunggu, cukup lama. Kopi, minuman dalam gelas, dan rokok bersahut-sahutan. Yang mulai ngantuk tiduran di pinggir jalan. Obrolan santai mengalir dari tema ke tema, diselingi tawa berjamaah.
Seorang tua pedagang gula lewat. Kami menyapanya, melempar beberapa pertanyaan, dan membeli barang dagangannya. Gula kelapa manis aduhai. Pak tua berjalan kaki berkilo-kilo meter menjajakan barang manis itu. Setelah yang menambal selesai, perjalanan dilanjutkan melewati Maribaya dan sebuah ruas jalan yang macet parah di sekitar The Lodge.
Jalan yang semula sepi, kini kerap dipenuhi kendaraan yang hendak menuju tempat wisata yang menawarkan wahana ayunan dan naik sepeda di tali. Pemandangan di belakang wahana itu adalah penghuni Instagram yang populer. Volume kendaraan yang tinggi perlahan menghancurkan jalan. Macet bertubi-tubi, melongsorkan kesabaran sedikit demi sedikit.
Cuaca cerah, perjalanan dilanjutkan via Buniwangi. Di sebuah tanjakan yang curam, seorang kawan menyerah, motornya tak mau naik. Pasangan dipecah, disesuaikan dengan medan turun-naik yang menghadang. Selepas Buniwangi, ada lagi yang dihunjam paku, terpaksa mencari tambal ban ke arah sebelumnya. Rombongan lagi-lagi menunggu, cukup lama. Kopi, minuman dalam gelas, dan rokok bersahut-sahutan. Yang mulai ngantuk tiduran di pinggir jalan. Obrolan santai mengalir dari tema ke tema, diselingi tawa berjamaah.
Seorang tua pedagang gula lewat. Kami menyapanya, melempar beberapa pertanyaan, dan membeli barang dagangannya. Gula kelapa manis aduhai. Pak tua berjalan kaki berkilo-kilo meter menjajakan barang manis itu. Setelah yang menambal selesai, perjalanan dilanjutkan melewati Maribaya dan sebuah ruas jalan yang macet parah di sekitar The Lodge.
Jalan yang semula sepi, kini kerap dipenuhi kendaraan yang hendak menuju tempat wisata yang menawarkan wahana ayunan dan naik sepeda di tali. Pemandangan di belakang wahana itu adalah penghuni Instagram yang populer. Volume kendaraan yang tinggi perlahan menghancurkan jalan. Macet bertubi-tubi, melongsorkan kesabaran sedikit demi sedikit.
Setelah kemacetan terurai, perjalanan dilanjutkan ke arah
Batuloceng. Di tempat ini terdapat sebuah situs keramat yang letaknya di
perbukitan. Sebelum ke lokasi, kami menemui dulu Pak Maman, juru kunci situs
tersebut. Informasi dari beberapa warga berhasil membawa kami ke rumah Pak
Maman. Di halaman depan rumahnya nampak ada warung kecil tempat berjualan
seblak, rupanya itu warung anaknya Pak Maman.
“Silakan masuk saja, A,” kata si teteh warung. Tiga orang kawan masuk duluan, sementara saya masih agak was-was, teringat sepatu yang dipakai belum dicuci berbulan-bulan, khawatir menebarkan aroma rempah yang tajam. Bismillah, akhirnya saya memberanikan diri. Kekhawatiran yang berlebihan saya kira. Nyatanya aroma rempah hanya menguar dari arah dapur rumah Pak Maman, tidak dari sepatu saya.
Kepada Pak Maman kami menyampaikan maksud. “Sebentar, saya ambil dulu fotocopiannya,” ujar Pak Maman sambil pergi ke kamar. Tak lama beliau kembali membawa beberapa lembar teks buram. Isinya adalah sejarah situs Batuloceng yang disampaikan turun-temurun. “Baca saja tulisannya, kalau ada yang tanya juga bapak mah jarang menjelaskan secara lisan, paling disuruh membaca saja,” kata Pak Maman.
“Silakan masuk saja, A,” kata si teteh warung. Tiga orang kawan masuk duluan, sementara saya masih agak was-was, teringat sepatu yang dipakai belum dicuci berbulan-bulan, khawatir menebarkan aroma rempah yang tajam. Bismillah, akhirnya saya memberanikan diri. Kekhawatiran yang berlebihan saya kira. Nyatanya aroma rempah hanya menguar dari arah dapur rumah Pak Maman, tidak dari sepatu saya.
Kepada Pak Maman kami menyampaikan maksud. “Sebentar, saya ambil dulu fotocopiannya,” ujar Pak Maman sambil pergi ke kamar. Tak lama beliau kembali membawa beberapa lembar teks buram. Isinya adalah sejarah situs Batuloceng yang disampaikan turun-temurun. “Baca saja tulisannya, kalau ada yang tanya juga bapak mah jarang menjelaskan secara lisan, paling disuruh membaca saja,” kata Pak Maman.
Karena tempat fotocopy jauh, kami hanya bisa memotretnya. Setelah dikasih izin untuk mengunjungi situs batuloceng, kami kemudian pamit. Sambil kembali mengenakan sepatu, saya bertanya ihwal letak Bukit Tunggul. “Yang itu, A. Itu, jelas pisan dari sini,” ujar si teteh penjual seblak.
“Yang ada halimunnya?” tanya saya. Si teteh terdiam, rupanya dia tidak tahu apa itu halimun. Lalu saya meralat pertanyaan, “yang ada kabutnya, bukan?” Dia segera membenarkan. Kawan-kawan dan Pak Maman tertawa mendengarkan dialog pendek tersebut. Halimun, bagi si teteh penjual seblak, yang merupakan orang Sunda, rupanya sebuah kata asing.
Kami dan rombongan besar yang menunggu di bawah, kemudian menuju sebuah warung di dekat Sasak Beureum, tak jauh dari plang Bukit Tunggul, persis di simpang jalan menuju kampung Cikapundung. Lapar yang mulai mendera membuat rombongan menyerbu leupeut dan bala-bala: pasangan aduhai untuk menambal keroncongan.
Setelah fisik agak pulih, kami bersiap menuju situs
Batuloceng. Karena beberapa pertimbangan, sebagian kawan memutuskan tidak ikut:
ada yang menunggu di warung, di jembatan, dan ada pula yang justru mengunjungi
kampung Pasir Angling.
Di perkampungan warga, seperti biasa kami bertanya arah jalan. Anjing peliharaan menggonggong bersahutan. “Ke Batuloceng mah harus sama kuncennya,” ujar seorang ibu. Kami menjelaskan bahwa sebelumnya kami sudah menemui Pak Maman dan telah diberi izin. Ibu itu mengerti lalu memberi tahu arah jalan.
Jalan menuju Batuloceng menanjak dan melewati lahan warga yang hanya ditanami kopi, pisang, serta tanaman lainnya. Di sebuah pertigaan jalan setapak, suara kami terbelah dua: mengambil jalan ke kanan atau sebaliknya. Di kondisi seperti ini lagi-lagi bertanya kepada warga menjadi kunci.
Jalan terus menanjak dan licin. Bukit Tunggul dan Gunung Palasari nampak di kanan kiri jalan. Semakin mendekati tujuan, jalanan semakin licin. Suara nafas tersengal begitu jelas. Situs Batuloceng merupakan komplek beberapa tinggalan, di antaranya ada makam sepanjang empat meter, makam dengan ukuran normal, batu yang mirip perah kujang, dan batu berbentuk lonceng.
Batukujang dan Batuloceng berada di dalam bangunan terpisah. Tanah dan bebatuan di sekelilingnya diselimuti lumut hijau, menghampar serupa permadani. Situs ini dikaitkan dengan Ciungwanara atau Manarah, salah seorang Raja Galuh yang kisahnya populer di masyarakat. Namun situs ini sendiri, jika dilihat dari susunan juru kunci dari masa ke masa, dimulai dari pertengahan abad ke-16, artinya ketika Islam sudah masuk di Priangan.
Di perkampungan warga, seperti biasa kami bertanya arah jalan. Anjing peliharaan menggonggong bersahutan. “Ke Batuloceng mah harus sama kuncennya,” ujar seorang ibu. Kami menjelaskan bahwa sebelumnya kami sudah menemui Pak Maman dan telah diberi izin. Ibu itu mengerti lalu memberi tahu arah jalan.
Jalan menuju Batuloceng menanjak dan melewati lahan warga yang hanya ditanami kopi, pisang, serta tanaman lainnya. Di sebuah pertigaan jalan setapak, suara kami terbelah dua: mengambil jalan ke kanan atau sebaliknya. Di kondisi seperti ini lagi-lagi bertanya kepada warga menjadi kunci.
Jalan terus menanjak dan licin. Bukit Tunggul dan Gunung Palasari nampak di kanan kiri jalan. Semakin mendekati tujuan, jalanan semakin licin. Suara nafas tersengal begitu jelas. Situs Batuloceng merupakan komplek beberapa tinggalan, di antaranya ada makam sepanjang empat meter, makam dengan ukuran normal, batu yang mirip perah kujang, dan batu berbentuk lonceng.
Batukujang dan Batuloceng berada di dalam bangunan terpisah. Tanah dan bebatuan di sekelilingnya diselimuti lumut hijau, menghampar serupa permadani. Situs ini dikaitkan dengan Ciungwanara atau Manarah, salah seorang Raja Galuh yang kisahnya populer di masyarakat. Namun situs ini sendiri, jika dilihat dari susunan juru kunci dari masa ke masa, dimulai dari pertengahan abad ke-16, artinya ketika Islam sudah masuk di Priangan.
Sementara kisah yang beredar di masyarakat, Batuloceng kerap dikaitkan dengan perubahan zaman. Salah satu yang terkenal yaitu pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang, ditandai dengan hilangnya batuloceng dari tempat semula. Setelah Jepang berkuasa, batu tersebut kembali ke asalnya. Masyarakat mempercayai bahwa hilangnya batu tersebut sebagai pertanda pergantian kekuasaan.
Menjelang pukul dua, kami mulai meninggalkan situs Batuloceng, kembali ke warung dekat Sasak Beureum tempat kawan yang lain menunggu. Sebelum melanjutkan perjalanan, sebagian kawan melaksanakan dulu salat dzuhur di masjid perkampungan warga. Langit mulai mendung dan hujan pun turun. Kami kemudian melaju ke arah Palintang, menyusuri jalan yang nantinya tembus ke Alun-alun Ujungberung.
Kabut turun menyelimuti Gunung Kasur, Sirah Munding, dan perbukitan lainnya. Pohon kina dan kayu putih berjajar di sepanjang perkebunan Bukit Tunggul. Di dekat Sirah Munding, tepat di sisi sebuah lapangan, ada warung kecil tempat kami berhenti untuk mengisi perut yang kedinginan. Ramai-ramai memesan mie rebus, kopi, dan menghabiskan beberapa sisir pisang. Hujan mulai reda, sementara obrolan mulai menderas.
Kata bapak yang menjaga warung, Palintang berasal dari kata Palintangan yang artinya persinggahan. Namun ketika dicek di kamus bahasa Sunda susunan R.A. Danadibrata, Palintang artinya “dua barang nu dipasang dipaliwatkeun” (dua barang yang dipasang bersilangan). Sementara Palintangan artinya “elmu nu ngeunaan béntang” (ilmu yang berkaitan dengan bintang).
Malam kemudian turun diiringi hujan yang kembali membasahi
bumi. Kami bersiap pulang. Di perkampungan warga berhenti sebentar untuk
melaksanakan salat magrib. Saya dan seorang kawan sempat kaget ketika melihat
seorang ibu dengan mukena putih lengkap tiba-tiba keluar dari rumah dengan
pencahayaan minim. Setelah itu jalan menurun dan terus menurun. Beberapa ruas
ada tumpahan lumpur dan pasir yang licin. Seorang kawan sempat terjatuh,
sementara yang lain mengalami kekurangan daya cengkram rem.
Tiba di alun-alun Ujungberung kemudian berbelok menyusuri Jalan Rumah Sakit. Di perempatan Gedebage berbelok lagi ke kanan menuju Buahbatu. Ervan, seorang kawan yang waktu itu bersiap menghadapi Ujian Nasional berucap, “Wa, hayu urang ngebut!” Kami pun memacu motor dengan kecepatan lumayan tinggi dan waspada yang tetap terjaga. Saya kembali ke Buahbatu, juga ke Jalan Waas tentu saja. [irf]
Tiba di alun-alun Ujungberung kemudian berbelok menyusuri Jalan Rumah Sakit. Di perempatan Gedebage berbelok lagi ke kanan menuju Buahbatu. Ervan, seorang kawan yang waktu itu bersiap menghadapi Ujian Nasional berucap, “Wa, hayu urang ngebut!” Kami pun memacu motor dengan kecepatan lumayan tinggi dan waspada yang tetap terjaga. Saya kembali ke Buahbatu, juga ke Jalan Waas tentu saja. [irf]
No comments:
Post a Comment