Sekali waktu saya pernah naik ke bukit Batu Taréngtong di daerah Merakadampit. Bukit
yang mahiwal jika dibandingkan dengan
perbukitan yang ada di sekelilingnya. Meski sama-sama ditanami palawija dan
tanaman bumbu, namun di bukit tersebut banyak terdapat bebatuan. Minggu, 9
April 2017, bersama rombongan yang agak banyak dari Komunitas Aleut, saya
kembali ke bukit tersebut.
Perjalanan seperti biasa dimulai dari Kedai Preanger,
Buahbatu. Tujuan pertama adalah Baru Ajax, bekas peternakan dan sentra susu
sapi di daerah Lembang, kepunyaan P.A. Ursone—pendatang berkewarganegaraan Italia. Sentra susu sapi ini
terkait erat dengan Bandung Milk Centre yang pusatnya berada di Jalan Aceh, tak
jauh dari Masjid Al Ukhuwah.
Setelah P.A. Ursone dan istrinya meninggal, kepemilikan aset
yang berupa tanah dan bangunan, menjadi sengketa antara keturunan P.A. Ursone,
keturunan orang kepercayaan P.A. Ursone, dan keturunan kerabat istri P.A.
Ursone. Informasi ini saya dapatkan dari salah seorang cicit P.A. Ursone yang
tinggal di bilangan jalan dengan nama kedokteran.
Harta kekayaan P.A. Ursone dan istrinya amat banyak, di
antaranya yaitu tanah yang meluas panjang dari Simpang Dago sampai daewah di
sekitar kampus UNIKOM sekarang. Daerah itu dulunya adalah tempat penanaman
pakan ternak. Selain itu ada juga tanah di daerah Cipaganti. Jika selama ini
saya dan sebagian warga Kota bandung bertanya-tanya ihwal keberadaan Masjid
Cipaganti yang letaknya di wilayah permukiman orang-orang Eropa, rupanya dulu
di dekat masjid tersebut ada pabik coklat Mafalda milik P.A. Ursone.
Mafalda adalah nama anak P.A. Ursone dari pernikahannya
dengan seorang buruh yang berasal dari Majalaya. Karena mayoritas pegawai
pabrik coklat adalah warga pribumi muslim, maka P.A. Ursone kemudian mendirikan
sebuah masjid yang dirancnag oleh seorang arsitek terkenal, yaitu C.P. Wolff
Shoemaker.
Aset P.A. Ursone beserta istri sebetulnya masih banyak, tersebar
di hampir sekujur Kota Bandung, namun atas pertimbangan keperluan hukum, maka
kami tidak mendapatkan informasinya secara terperinci.
Kami momotoran via Dago Giri, lalu masuk Lembang. Di Pasar
Lembang kami sempat masuk ke sebuah jalan buntu. Buntu sebenar-benar.
Berhadapan dengan pintu gerbang sebuah perusahaan susu. Balik kanan dan
berbelok ke Jalan Adiwarta. Tak jauh dari situ lalu sampai di sebuah sekolah Islam
milik keluarga seorang kawan, persis sebelum pintu gerbang bekas rumah P.A.
Ursone. Kami sejenak menikmati susu murni yang aduhai: kesegaran hakiki.
Komplek bekas peternakan dan sentra susu murni milik P.A.
Ursone sekarang berada dalam kepemilikan sebuah perusahaan. Beberapa satpam
nampak berjaga di pintu gerbang. Kawan yang rumahnya tak jauh dari perusahaan
tersebut mencoba berkomunikasi dengan seorang satpam. Lalu satpam tersebut
menelpon atasannya. Hasilnya kami tak diizinkan masuk ke dalam komplek
perusahaan, kecuali hanya tiga orang. Beberapa kawan kemudian dipilih untuk
sekadar mendokumentasikan kondisi di dalam komplek perusahaan.
Dari luar pagar nampak bekas rumah P.A. Ursone yang relatif
masih berdiri kokoh lengkap dengan menaranya yang terlihat cantik. Sambil
menunggu tiga orang kawan yang sedang memotret di dalam, kami berbagi cerita
tentang keluarga Ursone dan kiprahnya di Bandung. Cuaca cerah, langit biru
manis manja grup.
Perjalanan dilanjutkan melewati Wangunsari, Neglasari, Stamford
School, dan berhenti di Warung Bandrek. Kami istirahat untuk sekadar mengisi
perut sambil mendengarkan cerita seorang kawan terkait sejarah terbentuk dan
bobolnya Danau Bandung Purba. Dari ketinggian nampak Kota Bandung memutih,
dipenuhi permukiman warga yang centang-perenang. Gunung dan bukit mengelilingi
sekujur kota.
Rombongan melanjutkan perjalanan dengan melewati Barutunggul,
Sékéreundeu, Bukit Moko, dan berhenti lagi di Merakdampit. Kami
berhenti persis di bawah bukit yang dipenuhi bebatuan. Saya dan beberapa kawan
menunggu di bawah untuk menjaga motor, sementara yang lain naik memanjat bukit
tersebut. Kondisinya bukit masih sama dengan ketika saya mengunjunginya untuk
pertama kali, yaitu dipenuhi tanaman palawija dan bawang.
“Kadé, di luhur loba pepelakan, ati-ati ulah nepi katincak,” ujarnya kepada rombongan. Suara kawan-kawan mulai terdengar
menjauh, mereka nampak letih namun penuh kegembiraan. Saya duduk di atas asbes
(tembok sebagai tanda gorong-gorong air) sambil mengarahkan pandangan ke
Cisebel. Dari kejauhan terlihat beberapa gundukan pohon.
“Tuh, itu makam karamat
Cisebel,” kata Mang Alex sambil menunjuk. Saya
hanya mengangguk. Kemudian Mang Alex menunjukkan beberapa foto lewat hp-nya:
gambar bukit berbatu dan makam keramat Cisebel. Dia memang kerap melengkapi
informasi lisan dengan gambar, seolah khawatir lawan bicaranya tidak percaya
ucapannya.
Tak lama kemudian seorang kawan berteriak dari atas bukit, “Irfaaan... tuh itu Cisebel!” Saya balik berteriak sambil
meng-iya-kan. Siluet berjajar, kawan-kawan di bukit terlihat hitam. Rokok
habis, air habis, kerongkongan kritis. Saya pergi mencari warung terdekat.
Sore mulai datang, matahari perlahan tergelincir ke Barat. Kawan-kawan
mulai menuruni bukit sambil berbicara dan tertawa. Kamera di mana-mana, berlomba
menjerat peristiwa. Lalu mereka segera menghabiskan persediaan air.
Pasanggrahan, Cibanteng, dan Cimenyan berturut-turut kami
lewati. Sebelum kembali ke Kota Bandung, kami mampir dulu ke Caringin Tilu. Langit
mulai gelap, paduan antara menjelang magrib dan hendak hujan. Kami berbagi
cerita sambil menikmati beberapa sajian di sebuah warung. Di bawah, Kota
Bandung mulai dihiasi lampu-lampu.
Hujan belum reda ketika kami akhirnya pulang via Saung
Angklung Udjo, Padasuka, Jalan Pahlawan, Jalan Supratman, Jalan Ahmad Yani, Jalan
Laswi, dan Buahbatu. [irf]
No comments:
Post a Comment