Tarik menarik kepentingan antara Republik Indonesia dan Belanda di
sekitar revolusi kemerdekaan sempat melahirkan beberapa negara “boneka”.
Dengan kekuatan modalnya, Belanda mencoba menggembosi kekuatan Republik
Indonesia yang baru lahir.
Di Jawa Barat, pada April 1948 lahir Negara Pasundan. Negara ini sejatinya adalah percobaan kedua Belanda setelah Negara Pasundan jilid 1 yang didirikan oleh Partai Rakyat Pasundan pada 1947 gagal. Kedua negara yang pembentukannya didukung oleh Belanda ini berusia pendek, seiring dengan perkembangan diplomasi, perang, dan sikap rakyat Pasundan yang mayoritas menolak negara tersebut.
Berbagai peristiwa politik dan konflik fisik yang membuat Republik Indonesia menjadi lemah, kemudian mendorong lahirnya Negara Pasundan. Jadi penting juga digarisbawahi kemunculan dua jilid Negara Pasundan ini, termasuk negara-negara yang lain di deaerah lain Indonesia, tidak melulu hanya karena disponsori atau diongkosi Belanda. Ada dinamika internal, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memperumit persoalan.
Di Jawa Barat, menurut catatan Lindayanti dalam "Negara Pasundan Tahun 1947: Uji Coba Ide Politik Federal di Jawa Barat" (Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia), terjadi beberapa pergolakan rakyat yang bersifat kedaerahan, di antaranya terjadi di Banten, Karawang, Tangerang, dan Cirebon. Umumnya mereka menentang pejabat pemerintah yang berasal dari luar daerahnya sendiri.
Pada Oktober 1945, di Tangerang yang waktu itu belum masuk wilayah Banten, terjadi perebutan kekuasaan posisi bupati yang semula dijabat oleh Abas Padmanegara yang diambil alih oleh kelompok H. Akhmad Khairun. Kelompok ini kemudian menyusun sistem pemerintahan baru yang disebut Badan Diktatorium Dewan Pusat dan memutuskan hubungan pemerintahan pusat. Sementara di Banten, perebutan kekuasan itu terjadi pada Desember 1945. Di Serang, pejabat pemerintah yang mayoritas dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari Priangan, dikudeta oleh masyarakat yang dipimpin Ce Mamat, tokoh kiri yang berpengaruh.
Peristiwa Bandung Lautan Api yang membuat Kota Bandung ditinggalkan oleh pasukan Republik, juga berbagai perundingan yang hasilnya merugikan Indonesia, terutama Perjanjian Renville pada awal 1948, yang membuat tentara Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat, memang sangat berdampak melemahkan kekuatan Indonesia. Belanda memang tidak pernah berniat meninggalkan Indonesia begitu saja. Hindia Belanda, nama resmi pemerintah jajahan yang didirikan Belanda, selalu ingin ditegakkan kembali oleh mereka.
Pasca Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan, Belanda masih bernafsu untuk mendirikan kembali Pemerintahan Hindia Belanda karena mereka taat kepada pidato Ratu Wilhelmina yang dibacakan pada 7 Desember 1942 di London. Pidato itu melahirkan konsepsi yang menyatakan bahwa, sepertinya halnya Suriname dan Cuaracao, status Indonesia terikat dalam Kerajaan Belanda Raya. Konsepsi itulah yang membuat Belanda merasa masih sangat berhak menentukan masa depan Indonesia.
Posisi Indonesia yang cukup kuat di Jawa dan Sumatera dianggap membahayakan ambisi itu. Oleh karena itu, H.J. Van Mook, Kepala NICA (Netherlands Indies Civil Administration), mencetuskan ide politik federal untuk mengurangi kekuatan tersebut. Ide yang berlaku juga di Jawa Barat ini menemukan momentumnya setelah posisi Republik Indonesia kian melemah di Jawa Barat.
Di tengah situasi seperti itu, tepatnya pada 20 Nopember 1946, Partai Rakyat Pasundan didirikan dengan formasi awal kepengurusan sebagai berikut: R.A.A.M. Musa Suria Kartalegawa sebagai Pengurus Besar Partai Rakyat Pasundan, Ketua Partai Cabang Bandung adalah R. Sadikin, Wakil Ketua adalah Mas Soepenah, Sekretaris adalah Mas Machmoed, Bendahara adalah R. Wiradimadja, dan anggota-anggota terdiri dari M. Soemeng Karmidjaja, Mas Andamihardja, Joesoef, Djajadisastra, dan Sukarsa.
Belanda yang baru memberikan izin resmi kepada Partai Rakyat Pasundan pada 7 Desember 1946, seperti dijelaskan oleh Lindayanti, “Membantu gerakan partai ini dengan memberi kebebasan kepada tokoh-tokohnya untuk mencari dukungan di daerah pendudukan Belanda, terutama di Bandung, Cianjur, Bogor, dan daerah pinggiran Jakarta, sedangkan di kota Jakarta perkembangan partai agak mendapat hambatan dari pihak Belanda.”
R.A.A.M. Musa Suria Kartalegawa dengan bersandar kepada konferensi Malino yang memutuskan berdirinya Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur, dan atas dukungan dari beberapa pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Kol Thomson di Bogor, Residen Priangan M. Klaasen, dan gubernur Jakarta C.W.A. Abbenhuis, kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Pasundan pada 4 Mei 1947.
Di Jawa Barat, pada April 1948 lahir Negara Pasundan. Negara ini sejatinya adalah percobaan kedua Belanda setelah Negara Pasundan jilid 1 yang didirikan oleh Partai Rakyat Pasundan pada 1947 gagal. Kedua negara yang pembentukannya didukung oleh Belanda ini berusia pendek, seiring dengan perkembangan diplomasi, perang, dan sikap rakyat Pasundan yang mayoritas menolak negara tersebut.
Berbagai peristiwa politik dan konflik fisik yang membuat Republik Indonesia menjadi lemah, kemudian mendorong lahirnya Negara Pasundan. Jadi penting juga digarisbawahi kemunculan dua jilid Negara Pasundan ini, termasuk negara-negara yang lain di deaerah lain Indonesia, tidak melulu hanya karena disponsori atau diongkosi Belanda. Ada dinamika internal, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memperumit persoalan.
Di Jawa Barat, menurut catatan Lindayanti dalam "Negara Pasundan Tahun 1947: Uji Coba Ide Politik Federal di Jawa Barat" (Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia), terjadi beberapa pergolakan rakyat yang bersifat kedaerahan, di antaranya terjadi di Banten, Karawang, Tangerang, dan Cirebon. Umumnya mereka menentang pejabat pemerintah yang berasal dari luar daerahnya sendiri.
Pada Oktober 1945, di Tangerang yang waktu itu belum masuk wilayah Banten, terjadi perebutan kekuasaan posisi bupati yang semula dijabat oleh Abas Padmanegara yang diambil alih oleh kelompok H. Akhmad Khairun. Kelompok ini kemudian menyusun sistem pemerintahan baru yang disebut Badan Diktatorium Dewan Pusat dan memutuskan hubungan pemerintahan pusat. Sementara di Banten, perebutan kekuasan itu terjadi pada Desember 1945. Di Serang, pejabat pemerintah yang mayoritas dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari Priangan, dikudeta oleh masyarakat yang dipimpin Ce Mamat, tokoh kiri yang berpengaruh.
Peristiwa Bandung Lautan Api yang membuat Kota Bandung ditinggalkan oleh pasukan Republik, juga berbagai perundingan yang hasilnya merugikan Indonesia, terutama Perjanjian Renville pada awal 1948, yang membuat tentara Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat, memang sangat berdampak melemahkan kekuatan Indonesia. Belanda memang tidak pernah berniat meninggalkan Indonesia begitu saja. Hindia Belanda, nama resmi pemerintah jajahan yang didirikan Belanda, selalu ingin ditegakkan kembali oleh mereka.
Pasca Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan, Belanda masih bernafsu untuk mendirikan kembali Pemerintahan Hindia Belanda karena mereka taat kepada pidato Ratu Wilhelmina yang dibacakan pada 7 Desember 1942 di London. Pidato itu melahirkan konsepsi yang menyatakan bahwa, sepertinya halnya Suriname dan Cuaracao, status Indonesia terikat dalam Kerajaan Belanda Raya. Konsepsi itulah yang membuat Belanda merasa masih sangat berhak menentukan masa depan Indonesia.
Posisi Indonesia yang cukup kuat di Jawa dan Sumatera dianggap membahayakan ambisi itu. Oleh karena itu, H.J. Van Mook, Kepala NICA (Netherlands Indies Civil Administration), mencetuskan ide politik federal untuk mengurangi kekuatan tersebut. Ide yang berlaku juga di Jawa Barat ini menemukan momentumnya setelah posisi Republik Indonesia kian melemah di Jawa Barat.
Di tengah situasi seperti itu, tepatnya pada 20 Nopember 1946, Partai Rakyat Pasundan didirikan dengan formasi awal kepengurusan sebagai berikut: R.A.A.M. Musa Suria Kartalegawa sebagai Pengurus Besar Partai Rakyat Pasundan, Ketua Partai Cabang Bandung adalah R. Sadikin, Wakil Ketua adalah Mas Soepenah, Sekretaris adalah Mas Machmoed, Bendahara adalah R. Wiradimadja, dan anggota-anggota terdiri dari M. Soemeng Karmidjaja, Mas Andamihardja, Joesoef, Djajadisastra, dan Sukarsa.
Belanda yang baru memberikan izin resmi kepada Partai Rakyat Pasundan pada 7 Desember 1946, seperti dijelaskan oleh Lindayanti, “Membantu gerakan partai ini dengan memberi kebebasan kepada tokoh-tokohnya untuk mencari dukungan di daerah pendudukan Belanda, terutama di Bandung, Cianjur, Bogor, dan daerah pinggiran Jakarta, sedangkan di kota Jakarta perkembangan partai agak mendapat hambatan dari pihak Belanda.”
R.A.A.M. Musa Suria Kartalegawa dengan bersandar kepada konferensi Malino yang memutuskan berdirinya Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur, dan atas dukungan dari beberapa pejabat sipil dan militer Belanda, seperti Kol Thomson di Bogor, Residen Priangan M. Klaasen, dan gubernur Jakarta C.W.A. Abbenhuis, kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Pasundan pada 4 Mei 1947.
Bandung dipilih sebagai tempat dilaksanakannya Proklamasi Negara
Pasundan. “Jalannya proklamasi disiarkan oleh Radio Resmi di Bandung dan
dihadiri oleh Van Mook, wakil partai politik Belanda seperti KVP
(Katho-lieke Volks Partij), IEV (Indo Europess Verbond) dan CP (Civiele
Politie). Hadir pula wakil partai politik Cina, wakil partai politik
Indonesia seperti perkumpulan orang Menado, Timor, dan Ambon.
Korespondensi dari luar negeri seperti Amerika, Inggris, dan Perancis.
Rakyat Sunda yang datang terutama dari Ujungberung dan Kiaracondong,
mereka datang diangkut truk-truk militer Belanda,” tulis Lindayanti
mengutip koran Rakyat edisi 5 Mei 1947.
Negara Pasundan yang diproklamasikan oleh Suria Kartalegawa tidak mendapat mendapat dukungan, bahkan dikecam oleh masyarakat dan beberapa tokoh Sunda seperti R.A.A. Wiranatakusumah, Mohammad Enoch (Paguyuban Pasundan), Kesultanan Cirebon, para pamong praja di Cianjur, dan bahkan oleh keluarga Kartalegawa di Garut. Sementara masyarakat yang pro Republik menyebut Suria Kartalegawa dengan sebutan “Suria-Nica-Legawa”.
Tujuh hari setelah proklamasi, Negara Pasundan mengadakan rapat umum di Jakarta yang bertempat di kebun binatang Cikini. Masyarakat yang hadir ternyata lebih lebih tertarik melihat binatang daripada mendengarkan pidato Suria Kartalegawa. Pramoedya Ananta Toer dalam "Kalau Mang Karta di Jakarta" yang terhimpun di buku Menggelinding 1 merekam peristiwa ini.
“Kedatangannya di Jakarta dibarengi dengan propaganda yang hebat. Kolportir-kolportir disebar ke seluruh pelosok kota untuk mencari orang yang ingin mendapat karcis kuning, ialah karcis pembagian Nigeo. Yang menyatakan mau, terus diikat menjadi anggota Partai Rakyat Pasundan, yang rupanya tidak membedakan golongan Sunda dan golongan lain,” tulis Pram.
Meski propaganda disebar di seluruh Jakarta, namun Pram menambahkan, rapat umum itu berjalan mengecewakan. Orang yang datang hanya beberapa ratus saja, tidak sebanding dengan propagandanya. Yang hadir sebagian besar orang-orang perempuan udik yang didatangkan dari pinggiran kota Jakarta.
“Tetapi mereka lebih suka melihat binatang-binatang daripada mendengarkan pidato Mang Karta. Apalagi tempat hadirin yang disediakan di situ sangat becek berlumpur,” terang Pram.
Kekecewaan masyarakat yang hadir semakin bertambah karena mereka yang awalnya diiming-imingi pembagian beras dan melihat binatang justru diberi semboyan dan bendera putih hijau serta merah putih biru. Tak lupa mereka pun dibagikan teks Proklamasi Negara Pasundan dan Panji Rakyat. Sebagian dari mereka ada yang mengeluh dan menyumpah.
“Buset dah, katanya suruh lihat kebun binatang. Di sini disuruh membawa bendera. Mana bisa, Kranji bukan daerah Pasundan disuruh mengikuti Kartalegawa,” tulis Pram mengutip ucapan seorang pemuda dari Kranji.
Lindayanti menjelaskan, bahwa pada 23 Mei 1947, terjadi aksi sepihak dari Partai Rakyat Pasundan yang merebut kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Bogor. Rumah beberapa pejabat pemerintah Republik di Bogor digedor dan mereka diculik. Selain itu, orang-orang Partai Rakyat Pasundan pun mulai menduduki kantor-kantor Republik seperti stasiun Kereta Api Bogor, Bank Rakyat, Kantor Kabupaten Bogor, Kantor Pos, dan Kantor Distribusi. Para pegawai kantor tidak diperbolehkan masuk dan bendera Merah-Putih tidak lagi berkibar. Kegiatan sehari-hari tidak dapat berjalan karena kantor-kantor diduduki anggota Partai Rakyat Pasundan yang melakukan penjagaan dengan tanda pengenal bendera kecil hijau putih di bahunya.
Negara Pasundan yang diproklamasikan oleh Suria Kartalegawa tidak mendapat mendapat dukungan, bahkan dikecam oleh masyarakat dan beberapa tokoh Sunda seperti R.A.A. Wiranatakusumah, Mohammad Enoch (Paguyuban Pasundan), Kesultanan Cirebon, para pamong praja di Cianjur, dan bahkan oleh keluarga Kartalegawa di Garut. Sementara masyarakat yang pro Republik menyebut Suria Kartalegawa dengan sebutan “Suria-Nica-Legawa”.
Tujuh hari setelah proklamasi, Negara Pasundan mengadakan rapat umum di Jakarta yang bertempat di kebun binatang Cikini. Masyarakat yang hadir ternyata lebih lebih tertarik melihat binatang daripada mendengarkan pidato Suria Kartalegawa. Pramoedya Ananta Toer dalam "Kalau Mang Karta di Jakarta" yang terhimpun di buku Menggelinding 1 merekam peristiwa ini.
“Kedatangannya di Jakarta dibarengi dengan propaganda yang hebat. Kolportir-kolportir disebar ke seluruh pelosok kota untuk mencari orang yang ingin mendapat karcis kuning, ialah karcis pembagian Nigeo. Yang menyatakan mau, terus diikat menjadi anggota Partai Rakyat Pasundan, yang rupanya tidak membedakan golongan Sunda dan golongan lain,” tulis Pram.
Meski propaganda disebar di seluruh Jakarta, namun Pram menambahkan, rapat umum itu berjalan mengecewakan. Orang yang datang hanya beberapa ratus saja, tidak sebanding dengan propagandanya. Yang hadir sebagian besar orang-orang perempuan udik yang didatangkan dari pinggiran kota Jakarta.
“Tetapi mereka lebih suka melihat binatang-binatang daripada mendengarkan pidato Mang Karta. Apalagi tempat hadirin yang disediakan di situ sangat becek berlumpur,” terang Pram.
Kekecewaan masyarakat yang hadir semakin bertambah karena mereka yang awalnya diiming-imingi pembagian beras dan melihat binatang justru diberi semboyan dan bendera putih hijau serta merah putih biru. Tak lupa mereka pun dibagikan teks Proklamasi Negara Pasundan dan Panji Rakyat. Sebagian dari mereka ada yang mengeluh dan menyumpah.
“Buset dah, katanya suruh lihat kebun binatang. Di sini disuruh membawa bendera. Mana bisa, Kranji bukan daerah Pasundan disuruh mengikuti Kartalegawa,” tulis Pram mengutip ucapan seorang pemuda dari Kranji.
Lindayanti menjelaskan, bahwa pada 23 Mei 1947, terjadi aksi sepihak dari Partai Rakyat Pasundan yang merebut kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Bogor. Rumah beberapa pejabat pemerintah Republik di Bogor digedor dan mereka diculik. Selain itu, orang-orang Partai Rakyat Pasundan pun mulai menduduki kantor-kantor Republik seperti stasiun Kereta Api Bogor, Bank Rakyat, Kantor Kabupaten Bogor, Kantor Pos, dan Kantor Distribusi. Para pegawai kantor tidak diperbolehkan masuk dan bendera Merah-Putih tidak lagi berkibar. Kegiatan sehari-hari tidak dapat berjalan karena kantor-kantor diduduki anggota Partai Rakyat Pasundan yang melakukan penjagaan dengan tanda pengenal bendera kecil hijau putih di bahunya.
Aksi Partai Rakyat Pasundan tersebut disokong oleh Kolonel Thomson,
Komandan Tentara Pendudukan yang melindungi beberapa bangunan yang
sebelumnya direbut oleh partai tersebut dari Republik. Thomson
menempatkan tantaranya untuk menjaga bangunan dan kantor-kantor yang
direbut dari Republik.
Selang dua bulan, situasi politik kemudian berubah, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama. Eskalasi politik dan perang yang semakin memanas membuat Negara Pasundan pimpinan Suria Kartalegawa tidak berkembang. Namun demikian, Belanda tetap ingin mendirikan negara di Jawa Barat.
Evaluasi yang dilakukan Belanda terhadap gagalnya Negara Pasundan pimpinan Suria Kartalegawa menyimpulkan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh figur yang tidak tepat. Belanda menganggap Suria Kartalegawa sebagai seorang oportunis yang tidak bisa dipercaya, serta tokoh-tokoh Partai Rakyat Pasundan bukan pemimpin politik yang terdidik. Setelah itu Belanda kemudian mengadakan beberapakali konferensi dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat.
Dalam Riwajat Singkat Terdirinja Negara Pasoendan yang disusun oleh J.M.A. Tuhuteru, disebutkan pasca kepemimpinan Kartalegawa digelar tiga kali Konferensi Jawa Barat yang melatari terbentuk Negara Pasundan. Konferensi pertama yang diadakan tanggal 13-18 Oktober 1947 dianggap sebagai dasar terbentuknya Negara Pasundan. Dua bulan kemudian diadakan lagi konferensi yang kedua (16-20 Desember 1947). Lalu konferensi yang ketiga (28 Februari-5 Maret 1948). Pada konferensi yang terakhir tersebut terdapat perbedaan yang semakin meruncing antara kaum Republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso dengan kaum Federal yang dipimpin Pandji Soenario.
Konferensi itu akhirnya memilih R.A.A. Wiranatakusumah (pro Republik) sebagai Wali Negara Pasundan. Meski Van Mook tidak menghendaki Wiranatakusumah, namun menurut K.M.L. Tobing dalam buku Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Renville, Van Mook tidak berdaya menghalangi hal tersebut. Apalagi Wiranatakusumah, tokoh Sunda paling brilian di masa pergerakan, seorang ambtenaar dalam birokrasi kolonial yang menguasai banyak bidang, pada dasarnya memang lebih berpihak pada Indonesia.
Selang dua bulan, situasi politik kemudian berubah, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama. Eskalasi politik dan perang yang semakin memanas membuat Negara Pasundan pimpinan Suria Kartalegawa tidak berkembang. Namun demikian, Belanda tetap ingin mendirikan negara di Jawa Barat.
Evaluasi yang dilakukan Belanda terhadap gagalnya Negara Pasundan pimpinan Suria Kartalegawa menyimpulkan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh figur yang tidak tepat. Belanda menganggap Suria Kartalegawa sebagai seorang oportunis yang tidak bisa dipercaya, serta tokoh-tokoh Partai Rakyat Pasundan bukan pemimpin politik yang terdidik. Setelah itu Belanda kemudian mengadakan beberapakali konferensi dengan mengundang tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat.
Dalam Riwajat Singkat Terdirinja Negara Pasoendan yang disusun oleh J.M.A. Tuhuteru, disebutkan pasca kepemimpinan Kartalegawa digelar tiga kali Konferensi Jawa Barat yang melatari terbentuk Negara Pasundan. Konferensi pertama yang diadakan tanggal 13-18 Oktober 1947 dianggap sebagai dasar terbentuknya Negara Pasundan. Dua bulan kemudian diadakan lagi konferensi yang kedua (16-20 Desember 1947). Lalu konferensi yang ketiga (28 Februari-5 Maret 1948). Pada konferensi yang terakhir tersebut terdapat perbedaan yang semakin meruncing antara kaum Republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso dengan kaum Federal yang dipimpin Pandji Soenario.
Konferensi itu akhirnya memilih R.A.A. Wiranatakusumah (pro Republik) sebagai Wali Negara Pasundan. Meski Van Mook tidak menghendaki Wiranatakusumah, namun menurut K.M.L. Tobing dalam buku Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Renville, Van Mook tidak berdaya menghalangi hal tersebut. Apalagi Wiranatakusumah, tokoh Sunda paling brilian di masa pergerakan, seorang ambtenaar dalam birokrasi kolonial yang menguasai banyak bidang, pada dasarnya memang lebih berpihak pada Indonesia.
Setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948 dan peristiwa APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Westerling pada Januari 1950, posisi Negara Pasundan semakin melemah. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1950, Negara Pasundan bubar dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 27 Maret 2017
No comments:
Post a Comment