Dari Persib hingga Kodam Siliwangi, maung/harimau lekat dengan Sunda Jawa Barat |
Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang
Sunda. Kita bisa menemukan maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa
Barat, seperti Cimaung dan Cimacan yang bisa ditemukan di beberapa
daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll), lambang Kodam Siliwangi,
sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa Barat dan Sunda yang
dijuluki Maung Bandung.
Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda.
Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan:
“Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”
"Dari mulai hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan nada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, tapi menelusurinya harus memakai dasar. Tapi sayangnya yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.” (Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit, hal. 16).
Setelah menyampaikan pesan, Prabu Siliwangi kemudian nga-hyang. Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung.” (Kalau aku sudah tidak menemanimu, lihat saja tingkah laku harimau).
Hal ini, salah satunya, yang mendasari keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bersalin rupa menjadi harimau. Sebagian pendapat menerangkan harimau di sini tidak bermakna harfiah, melainkan lebih merujuk karakter harimau yang diidentifikasi sebagai pemberani dan menyayangi keluarga. Poin kedua dari karakter itu, yaitu menyayangi keluarga, dikaitkan dengan pilihan Prabu Siliwangi yang konon memutuskan untuk mundur dan tidak meladeni pasukan Islam karena menghindari pertumpahan darah. Alasannya: pengejaran itu dipimpin oleh Kian Santang, salah satu keturunan Prabu Siliwangi.
Dalam budaya pop kiwari, salah seorang seniman Sunda yaitu Yayan Jatnika mengabadikan kisah ini dalam lagu Sancang:
“Ceunah ceuk béja baheula aya nagara/ Sancang Pakuan Pajajaran katelahna/ Prabu Siliwangi nu jadi rajana/ sakti mandraguna/ badé di-Islam-keun anjeunna alim/ diudag putrana Prabu Kian Santang/ ilang di leuweung éta tilem di leuweung éta/ Sancang nu canéom geueuman.”
(Konon dulu ada negara/ Sancang Pakuan Pajajaran disebutnya/ Prabu Siliwangi yang jadi rajanya/ sakti mandraguna/ hendak di-Islam-kan beliau tidak mau/ dikejar anaknya Prabu Kian Santang/ hilang di hutan itu lenyap di hutan itu/ Sancang yang angker).
Uraian bahwa Prabu Siliwangi menghilang karena terdesak oleh masuknya Islam mengandaikan bahwa dialah raja terakhir Pajajaran. Dan memang tidak sedikit yang menganggap Siliwangi sebagai raja terakhir Pajajaran sehingga nga-hyang atau moksanya Siliwangi sebagai akhir dari Pajajaran sendiri.
Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda.
Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan:
“Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”
"Dari mulai hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan nada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, tapi menelusurinya harus memakai dasar. Tapi sayangnya yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.” (Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit, hal. 16).
Setelah menyampaikan pesan, Prabu Siliwangi kemudian nga-hyang. Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung.” (Kalau aku sudah tidak menemanimu, lihat saja tingkah laku harimau).
Hal ini, salah satunya, yang mendasari keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bersalin rupa menjadi harimau. Sebagian pendapat menerangkan harimau di sini tidak bermakna harfiah, melainkan lebih merujuk karakter harimau yang diidentifikasi sebagai pemberani dan menyayangi keluarga. Poin kedua dari karakter itu, yaitu menyayangi keluarga, dikaitkan dengan pilihan Prabu Siliwangi yang konon memutuskan untuk mundur dan tidak meladeni pasukan Islam karena menghindari pertumpahan darah. Alasannya: pengejaran itu dipimpin oleh Kian Santang, salah satu keturunan Prabu Siliwangi.
Dalam budaya pop kiwari, salah seorang seniman Sunda yaitu Yayan Jatnika mengabadikan kisah ini dalam lagu Sancang:
“Ceunah ceuk béja baheula aya nagara/ Sancang Pakuan Pajajaran katelahna/ Prabu Siliwangi nu jadi rajana/ sakti mandraguna/ badé di-Islam-keun anjeunna alim/ diudag putrana Prabu Kian Santang/ ilang di leuweung éta tilem di leuweung éta/ Sancang nu canéom geueuman.”
(Konon dulu ada negara/ Sancang Pakuan Pajajaran disebutnya/ Prabu Siliwangi yang jadi rajanya/ sakti mandraguna/ hendak di-Islam-kan beliau tidak mau/ dikejar anaknya Prabu Kian Santang/ hilang di hutan itu lenyap di hutan itu/ Sancang yang angker).
Uraian bahwa Prabu Siliwangi menghilang karena terdesak oleh masuknya Islam mengandaikan bahwa dialah raja terakhir Pajajaran. Dan memang tidak sedikit yang menganggap Siliwangi sebagai raja terakhir Pajajaran sehingga nga-hyang atau moksanya Siliwangi sebagai akhir dari Pajajaran sendiri.
Paparan di atas, yang merujuk legenda dan alam pikiran masyarakat Sunda,
kiranya mesti diperiksa ulang. Benarkan Prabu Siliwangi seperti yang
dikisahkan sebelumnya adalah penguasa Kerajaan Pakuan Pajajaran yang
terakhir?
Dalam buku Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Saleh Danasasmita diterangkan beberapa pendapat tentang siapa sebetulnya Prabu Siliwangi.
Poerbatjaraka berpendapat Prabu Siliwangi adalah raja Sunda yang gugur di Bubat. Dalam Carita Parahiyangan, yang dijadikan sumber olehnya, disebutkan bahwa raja yang berangkat mengantar putrinya ke Majapahit adalah Prabu Maharaja, ayah dari Wastu Kancana. Sedangkan Jayadewata (Sri Baduga) adalah cucu Wastu Kancana. Dalam naskah itu Prabu Maharaja disebutkan “keuna kalawiyasa” (terkena perbuatan khianat), sementara Jayadewata disebut sebagai “Sang mwakta ring Rancamaya” (yang dikuburkan di Rancamaya).
Poerbatjaraka menafsirkan bahwa arti kata "kalawiyasa" sama dengan kata "Rancamaya", artinya menganggap Prabu Maharaja dan Jayadewata adalah orang yang sama. Padahal kalimat lengkapnya “Wastu Kancana nu surup di Nusalarang, Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata mwakta ring Rancamaya” (Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang, Tohaan di Galuh yang dikuburkan di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata yang wafat di Rancamaya).
“Berdasarkan maksud kalimat ditambah dengan adanya kata sambung yang menyatakan tempat yaitu di dan ring, tentunya Nusalarang, Gunung Tiga, dan Rancamaya adalah nama tempat,” tulis Saleh. Hal ini tentu saja menggugurkan teori Poerbatjaraka, yang artinya siapa sosok Prabu Siliwangi menjadi tidak jelas.
Sementara dalam Babad Siliwangi, diterangkan bahwa Siliwangi berarti "asilih wewangi" (berganti nama/gelar). Hal ini bersesuaian dengan Prasasti Batutulis yang menerangkan bahwa Sri Baduga atau Jayadewata dua kali dinobatkan. Pertama ia dinobatkan dengan menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, lalu namanya diganti ketika dinobatkan untuk kali kedua:
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang.”
Saleh Danasasmita menulis bahwa nama raja yang resmi dalam bahasa Sunda sering disebut "wawangi". Arti harfiahnya adalah "seuseungit" karena "seungit" (harum atau wangi) atau kemasyhuran raja terletak pada namanya yang resmi, sebab upacara penobatan biasanya harus diikuti dengan penetapan nama resmi.
Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, yang diidentikkan dengan Prabu Siliwangi, pun sesungguhnya bukanlah raja terkahir dari Pakuan Pajajaran. Masih ada lima raja lagi setelahnya yaitu: Prabu Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra Tohaan di Majaya (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana sebagai raja terakhir ketika pengaruh Islam mulai masuk dan meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1579.
Fakta ini tentu saja tidak sesuai dengan legenda Prabu Siliwangi yang digambarkan sebagai raja Pakuan Pajajaran penghabisan yang nga-hyang dan kemudian melahirkan simbol maung. Ada rentang waktu yang cukup panjang antara Sri Baduga Maharaja dengan berakhirnya kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya ada periodesasi yang gamblang untuk memetakan betapa berakhirnya masa hidup Prabu Siliwangi bukanlah akhir dari Pajajaran. (tirto.id - irf/zen)
Dalam buku Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Saleh Danasasmita diterangkan beberapa pendapat tentang siapa sebetulnya Prabu Siliwangi.
Poerbatjaraka berpendapat Prabu Siliwangi adalah raja Sunda yang gugur di Bubat. Dalam Carita Parahiyangan, yang dijadikan sumber olehnya, disebutkan bahwa raja yang berangkat mengantar putrinya ke Majapahit adalah Prabu Maharaja, ayah dari Wastu Kancana. Sedangkan Jayadewata (Sri Baduga) adalah cucu Wastu Kancana. Dalam naskah itu Prabu Maharaja disebutkan “keuna kalawiyasa” (terkena perbuatan khianat), sementara Jayadewata disebut sebagai “Sang mwakta ring Rancamaya” (yang dikuburkan di Rancamaya).
Poerbatjaraka menafsirkan bahwa arti kata "kalawiyasa" sama dengan kata "Rancamaya", artinya menganggap Prabu Maharaja dan Jayadewata adalah orang yang sama. Padahal kalimat lengkapnya “Wastu Kancana nu surup di Nusalarang, Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata mwakta ring Rancamaya” (Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang, Tohaan di Galuh yang dikuburkan di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata yang wafat di Rancamaya).
“Berdasarkan maksud kalimat ditambah dengan adanya kata sambung yang menyatakan tempat yaitu di dan ring, tentunya Nusalarang, Gunung Tiga, dan Rancamaya adalah nama tempat,” tulis Saleh. Hal ini tentu saja menggugurkan teori Poerbatjaraka, yang artinya siapa sosok Prabu Siliwangi menjadi tidak jelas.
Sementara dalam Babad Siliwangi, diterangkan bahwa Siliwangi berarti "asilih wewangi" (berganti nama/gelar). Hal ini bersesuaian dengan Prasasti Batutulis yang menerangkan bahwa Sri Baduga atau Jayadewata dua kali dinobatkan. Pertama ia dinobatkan dengan menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, lalu namanya diganti ketika dinobatkan untuk kali kedua:
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang.”
Saleh Danasasmita menulis bahwa nama raja yang resmi dalam bahasa Sunda sering disebut "wawangi". Arti harfiahnya adalah "seuseungit" karena "seungit" (harum atau wangi) atau kemasyhuran raja terletak pada namanya yang resmi, sebab upacara penobatan biasanya harus diikuti dengan penetapan nama resmi.
Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, yang diidentikkan dengan Prabu Siliwangi, pun sesungguhnya bukanlah raja terkahir dari Pakuan Pajajaran. Masih ada lima raja lagi setelahnya yaitu: Prabu Surawisesa (1521-1535), Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra Tohaan di Majaya (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana sebagai raja terakhir ketika pengaruh Islam mulai masuk dan meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1579.
Fakta ini tentu saja tidak sesuai dengan legenda Prabu Siliwangi yang digambarkan sebagai raja Pakuan Pajajaran penghabisan yang nga-hyang dan kemudian melahirkan simbol maung. Ada rentang waktu yang cukup panjang antara Sri Baduga Maharaja dengan berakhirnya kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya ada periodesasi yang gamblang untuk memetakan betapa berakhirnya masa hidup Prabu Siliwangi bukanlah akhir dari Pajajaran. (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertamakali di tirto.id
tanggal 14 Maret 2017
No comments:
Post a Comment