Beberapa bulan ini Komunitas Aleut jarang melakukan ngaleut dalam kota, diganti dengan momotoran ke beberapa tempat di wilayah
Priangan, dan sesekali melakukan perjalanan jauh menyusuri pantai selatan Jawa
Barat dan Banten. Konon ada yang berkomentar dengan nada sinis, ”keur resep ngadatangan
tempat angker jeung jujurigan anyeuna mah.” Barangkali benar belaka apa yang
pernah dikicaukan seorang kawan, “yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya
minat berkomentar.”
Minggu, 16 April 2017, melintasi 5 kota dan kabupaten (Kota
Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Subang), momotoran hendak menuju
Gunung Héjo dan Bukit Patenggéng. Dua tempat ini terlihat jelas
dari tol Cipularang, dan kerap mengundang rasa penasaran: yang satu khas hutan
hujan tropis, dan satu lagi gersang berbatu.
Sekira 15 motor bersiap dari Kedai Preanger, Jl. Solontongan-Buahbatu,
sementara satu motor lagi menunggu di daerah Cimindi. Perjalanan seperti biasa
aduhai, kecuali ketika melintas di ruas jalan Gado Bangkong: ada razia
kendaraan dari kepolisian. Beberapa kawan berdegup kencang, termasuk saya.
Ketika masuk Purwakarta, rombongan beberapa kali berhenti
untuk bertanya arah jalan kepada warga. Ya, google
maps terbaik adalah manusia: ada sapa, senyum, dan nuhun. Sampai di sini barangkali jelas, kami menemui manusia bukan jurig.
Dari ruas jalan utama yang menghubungkan Bandung dan
Purwakarta, rombongan berbelok ke Darangdan, kemudian berbelok lagi ke sebuah
jalan desa yang semakin menyempit. Jalan aspal habis diganti makadam. Makadam
habis diganti tanah. Tanah habis diganti lagi makadam kecil, mirip setapak. Dan
berakhir di pinggir jalan tol. Buntu.
Deru mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi, pembatas
jalan, dan perbukitan mengingatkan saya pada 3 Hari untuk Selamanya. Film garapan Riri Riza yang menceritakan
sepasang sepupu yang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta itu punya
satu adagen di jalan tol. Yusuf yang diperankan oleh Nicholas Saputra sempat
kencing di pinggir Cipularang yang berbukit.
“Lewat sudah tiga hari tuk selamanya / dan kekallah
detik-detik di dalamnya / Tunggu sejuta rasa di hati / yang dulu diingkari /
Mungkinkah cinta itu di sana / dua hati merekah...”
Tiga orang datang, baru pulang dari ladang. Sambil membawa
petai dan diiringi beberapa anjing mereka bertanya, “mau pada ke mana?” Mereka lalu menyarankan agar motor
kami diparkir agak menjauh dari jalan tol. “Rawan di sini mah, belum lama ini ada yang hilang motor,” ujarnya. Beberapa kawan lalu memutuskan
untuk tidak ikut jalan ke Gunung Héjo, mereka memilih menunggu motor: kurang makan, kurang
minum, kurang rokok, ngantuk, dan jomblo.
Di kejauhan, Gunung Héjo nampak anggun: rimbun dan teduh. Tempat ini dikenal
sebagai wilayah penuh mistis. Konon tempat orang-orang melakukan pesugihan atau
munjung dalam bahasa Sunda.
Pembangunan jalan tol Cipularang pun tidak lepas dari kisah angker Gunung Héjo. Cerita lisan mengabarkan bahwa
rencana pembangunan jalan tol seharusnya menggerus gunung tersebut, namun beberapa
kali gagal, sampai akhirnya ruas jalan tol dibelokkan. Beberapa kecelakaan lalu
lintas sempat terjadi tak jauh dari Gunung Héjo, hal ini tentu semakin menyuburkan kisah mistis.
Kami berjalan menyusuri pinggir jalan tol yang becek sehabis
hujan. Kemudian masuk lorong gelap di bawah jalan yang lembab. Dinding dipenuhi
coretan, dan terdengar gemericik air. Dari ujung lorong terlihat undakan yang
melemaskan lutut. Ditingkahi udara panas, kami mulai berjalan naik. Keringat membanjir,
beberapa kawan nampak seperti baru terjatuh ke sungai: basah kuyup.
Suara burung, tonggeret, dan entah binatang apa lagi
menyambut kami. Hawa sejuk mulai menelusup. Sebelum sampai di puncak, ada
tangga yang terbuat dari besi ringan berwarna hijau. Kondisinya sudah tidak
terlalu baik, pegangannya ringkih dan bergoyang. Setelah tangga habis dilewati,
kami disambut pepohonan besar dan tua dengan diameter batang yang melebihi
tubuh dua orang manusia. Bebatuan hijau dilapisi lumut. Tanah gembur ditaburi
daun-daun yang membusuk.
Nafas tersengal dan putus-putus ketika akhirnya kami sampai
di sebuah petilasan. Di papan informasi tertulis bahwa petilasan ini adalah
tempat bertemunya Prabu Siliwangi dan Kian Santang, anaknya. Ada sebuah batu dibalut
kain putih yang konon merupakan sumbat puseur
dayeuh (pusat kota), dan sebuah pondok kecil untuk sekadar duduk serta
merebahkan badan. Sedikit bergeser ke Utara, nampak sepetak tanah dilindungi
plastik putih, kiranya tempat berteduh orang-orang yang menginap.
Di sekitar petilasan, tepatnya di tebing menuju jurang,
sampah berkuasa. Jejak manusia yang tak terbantahkan. Ada juga beberapa botol
air mineral yang dipenuhi cairan berwarna kuning tua dan jingga. Apakah itu air
seni? Saya tak tak bisa memastikan.
Deru mobil terdengar sampai puncak, merusak suasana hutan
yang teduh dan sejuk. Seorang kawan sibuk mencatat nama-nama tumbuhan, hasilnya
tak kurang dari 130 jenis. Ada baduyut, kawao, cangkuang, gadung, kosambi, dll.
Di tempat yang diselubungi misteri, alam seringkali terlindungi. Manusia takut pamali.
Sekitar pukul dua, kami turun dan kembali ke tempat parkir
motor. Persediaan air minum semakin menipis, sementara wajah-wajah masih
dibakar matahari. Perjalananan dilanjutkan menuju Patenggéng.
“Sadatang ka kabuyutan / meuntas di Ci Saunggalah / leumpang aing ka
baratkeun / datang ka Bukit Pategeng / sakakala Sang Kuriang / masa dek nyitu
Ci Tarum”
“Sesampai ke tempat suci / nyebrang di Ci Saunggalah / aku
berjalan ke arah Barat / datang ke Bukit Patégéng /
sakakala Sang Kuriang / waktu akan membendung Ci Tarum”
Bujangga Manik, anak mahkota Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang
merupakan rahib pengelana, menuliskan perjalanannya dengan menyebut banyak
sekali nama tempat, salah satunya Patégéng. Salah
seorang penulis buku Bandung Purba yang
diterbitkan oleh Pustaka Jaya mencoba mengoreksi nama Patégéng yang disebutkan oleh Bujangga Manik.
Dengan diawali dua kata “Saya menduga”, penulis tersebut menjelaskan bahwa Patégéng seharusnya Patenggéng. Nama itu dikaitkan dengan bentuk bukit tersebut yang tegéng atau tengéng, yang dalam bahasa Sunda dipakai
untuk menggambarkan tubuh yang pinggangnya lebih melengkung ke dalam.
Dugaan ini saya kira lemah. Karena bentuk bukit yang terlihat
tegéng atau tengéng hanya terlihat dari arah tol
Cipularang, sedangkan dari arah lain, misalnya kampung Citukung, bentuk bukit
tersebut sama sekali tidak tegéng, malah mengerucut. Sedangkan tol Cipularang sendiri baru
selesai dibangun pada 2005 menyambut peringatan Konferensi Asia Afrika ke-50 di
Bandung. Selain itu, sebaran permukiman warga pun jarang di wilayah yang membuat
bukit tersebut terlihat tegéng.
Di luar toponimi tersebut, dari perspektif geologi, Patenggéng merupakan sumbat lava dari sebuah
gunung purba yang meletus jutaan tahun yang lalu. Lava yang hendak keluar
keburu membeku dan membentuk batuan. Hujan menghancurkan lapisannya yang rapuh,
dan menyisakan batuan keras Patenggéng sekarang.
Kami duduk di pinggir sawah, di atas batuan andesit di
kampung Citukung. Beberapa kawan mengguyur kepala dengan air yang mengalir ke
sawah dan berbau karat. Obrolan ringan berlangsung ditemani asupan air yang
baru dibeli oleh dua orang kawan. Hamparan sawah hijau kekuning-kuningan,
rahmat bagi petani di sekitar Patenggéng.
Hari semakin sore dan kami tersadar belum makan siang. Darurat
pangan selamat di Jalan Sawit-Bojong, Kampung Cijolang, Desa Linggasari,
Kecamatan Darangdan. Sate maranggi, goreng ayam, dan mie instant menjadi menu
pilihan. Seorang kawan yang kelaparan (mukanya terlihat pucat) menghabiskan
duapuluh tusuk sate. Ketika bayar, si ibu penjual kaget dan tersenyum, “itu teh sendiri atau berdua, neng?”
Sebelum gelap, menjelang sore dijemput malam, perjalanan
dilanjutkan ke arah Wanayasa. Setelah salat magrib, hujan mulai turun. Beberapa
kawan tidak punya jas hujan, tapi perjalanan harus terus berlanjut. Penglihatan
kawan-kawan yang memakai kacamata minus cukup terganggu, termasuk saya. Pedoman
hanya lampu belakang motor yang di depan. Sebelum Sagalaherang, motor seorang
kawan terjatuh dilanggar ketinggian aspal. Tak ada yang terluka, hanya kaget mendera.
Kami akhirnya sampai di Jalan Cagak, lalu berbelok ke arah
Lembang. Dingin. Dingin menekan mendesak. Di Ciater kami berhenti untuk sekadar
mengisi perut dengan nasi dan kopi. Lembang yang kami khawatirkan macet
ternyata lancar belaka. Para wisatawan mungkin sudah kembali ke rumahnya
masing-masing. Pengisian bensin terakhir dilakukan di Jalan Setiabudi sebelum
Cihampelas.
Di titik ini kami berpisah. Sebagian kawan berbelok ke arah
Babakan Siliwangi, sebagian lagi ke arah Cihampelas. Tiba di titik awal, di
Kedai Preanger, kami langsung minum kopi dan tertawa berderai-derai.
Rute perjalanan hari itu adalah Buahbatu, Cimahi, Padalarang,
Cikalongwetan, Sawit, Wanayasa, Sagalaherang, Jalan Cagak, Ciater, Lembang, Buahbatu.
Total jarak yang ditempuh sekira 160 km. Kami ingin melakukannya lagi, dan
lagi. [irf]
No comments:
Post a Comment