“Lélés Kadungora Buahbatu Dayeuhkolot
Héés di nu ngora nyatu di
nu kolot”
---pantun yang cukup populer di kalangan pejuang revolusi
Saya memanggilnya Akay. Ia mempunyai motor yang amat
semenjana. Sekali waktu, tepatnya malam Minggu, ia kedatangan tamu dari jauh:
seorang perempuan muda yang wajahnya menguarkan aroma ramah-tamah. Di sebuah
kedai kopi di Jalan Solontongan, mereka berhadap-hadapan, membicarakan entah. Sebelum
larut malam, mereka pergi.
“Dia ingin tahu suasana Buahbatu gara-gara baca novel Dilan,” ujar Akay. Rupanya semalam mereka
pergi ke Jalan Buahbatu. Akay kawan saya, oleh karenanya ia tak sungkan
berkisah.
Novel Dilan: Dia adalah
Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq yang digemari banyak pembaca, terutama anak-anak
muda, banyak menyebut Buahbatu. Hal itu karena sekolah Dilan dan Milea—dua tokoh utama dalam novel tersebut,
bersekolah di Buahbatu.
Ketika Akay pergi bersama kawan perempuannya ke Jalan Buahbatu,
barangkali ia merasa ganteng, atau setidaknya merasa seperti Dilan yang tengah
membonceng Milea.
Para pembaca novel Dilan, muda-mudi yang menjompak
keinginannya untuk menelan usia SMA dengan kisah semanis madu, atau mereka yang
telah lewat kepala dua dan kembali mengenang masa-masa sekolah, barangkali
mengenal Buahbatu hanya sebuah ruas jalan yang memanjang dari perempatan Jalan
Sukarno-Hatta sampai perempatan Jalan BKR.
Saya tak hendak mendaku sebagai kuncen Buahbatu. Tidak juga ingin
menjadi bajingan yang menyenangkan seperti Dilan. Saya hanya ingin berkisah
tentang Buahbatu. Ada beberapa fragmen yang hendak saya tuturkan.
Desa Buahbatu
Buahbatu yang dikenal sekarang adalah sebuah desa yang berada
di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Jadi sebetulnya, Buahbatu
posisinya lebih ke selatan dari pusat Kota Bandung, dan cukup jauh dari SMA 8
dan SMA 22 (dua sekolah yang diprediksi menjadi sekolah Dilan dan Milea). Maka
di titik ini, penamaan Jalan Buahbatu dan Jalan Terusan Buahbatu, jika mengacu
kepada posisi Desa Buahbatu, kiranya harus di balik: Jalan Buahbatu seharusnya dari
perempatan Sukarno-Hatta ke selatan, dan Jalan Terusan Buahbatu dari perempatan
Sukarno-Hatta ke utara.
Jadi, Jalan Buahbatu yang sekarang dipenuhi oleh merek niaga
kuliner terkenal seperti KFC, Dunkin Donuts, Mc Donald, Starbucks, Pizza Hut, J
Co, Hoka Hoka Bento, dan Richeese Factory, sejati berada di pinggiran Buahbatu,
bukan sebaliknya.
Masjid Agung Buahbatu
Tak jauh dari Pasar Kordon, tepatnya dekat simpang Jalan Terusan
Buahbatu – Jalan
Margacinta, terdapat masjid tertua di Bandung selatan, yaitu Masjid Agung
Buahbatu. Masjid ini diresmikan pada 22 Jumadil Awal 1358 H atau 9 Juli 1939 M.
Dulu masjid ini bernama Masjid Kaum Buahbatu. Peletakan batu pertamanya
dilakukan oleh Padoeka Kandjeng Dalem Raden Wiranatakoesoema (Bupati Bandung).
Selain Bupati Bandung, berdasarkan plakat berhuruf Latin dan
berbahasa Sunda yang menempel di dinding masjid tersebut, dalam peletakan batu
pertama hadir pula Patih Bandung, Penghulu Bandung, Wedana Ujungberung, dan
undangan lainnya.
Pertempuran
Persis di depan Masjid Agung Buahbatu terdapat Pasar Kordon. Pasar
yang kerap dituding sebagai biang kemacetan itu menjadi salah satu pasar paling
ramai di Bandung selatan. Selain di Buahbatu, nama Kordon ternyata ada juga di
daerah Dago. Lalu apa arti Kordon? Lema ini dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti “garis
pelindung” atau “garis pertahanan”. Sedangkan dalam khazanah bahasa
Inggris, Cordon diartikan sebagai “a line of people, military posts, or ships stationed around an area to
enclose or guard it.”
Karena secara harfiah kata Kordon terkait dengan kemiliteran,
maka kemudian timbul pendapat yang menyatakan bahwa penamaan Kordon yang berada
di Buahbatu erat hubungannya dengan peristiwa revolusi di Bandung. Satu contoh
pertempuran dapat diambil dari memoar seorang anggora Resimen Pelopor yaitu
R.J. Rusady W dalam buku Tiada Berita
dari Bandung Timur 1945-1947.
“Pada bulan Juli 1946, di Buahbatu terjadi pertempuran hebat
dengan Kompi Ambon ‘Anjing
NICA’ yang mengakibatkan puluhan korban di
pihak Hizbullah. Pada pertempuran di Buahbatu ini yang menghadapi musuh adalah
dari pihak Hizbullah. Persenjataan musuh lebih lengkap dan modern, sedangkan
pihak Hizbullah hanya bermodalkan beberapa senapan, pistol, golok serta bambu
runcing,” tulisnya.
Sedangkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu ketika Jepang
merangsek ke Pasifik dan Belanda mulai kewalahan, seperti ditulis oleh Robert
P.G. A Voskuil, dkk dalam buku Bandung
Citra Sebuah Kota, Jalan Buahbatu sempat menjadi landasan pacu darurat bagi
para petinggi sipil dan militer Belanda yang melarikan diri dari Bandung pada
tengah malam tanggal 6 Maret 1942. Mereka antara lain dr. H.J. van Mook, dr. Ch.
O. Van der Plas, dan komandan KNIL Mayor L.H. Van Oyen.
“Penerbangan ini, dengan KNILM-DC3 Wielewaal, seperti pada
tengah malam sebelumnya, dilakukan dari Jl. Buahbatu yang diperlebar, yang
dalam minggu-minggu peperangan terakhir sebelumnya sudah berkali-kali digunakan
sebagai lapangan udara pembantu,” tambahnya.
Dalam Saya Pilih
Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu
Sitaresmi, dkk, Buahbatu menjadi jalur pengungsian warga ketika kota
dikosongkan dalam peristiwa Bandung lautan Api.
Didi Affandy, seorang saksi mata yang juga ikut mengungsi,
menuturkan pengalamannya kepada tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Ia
yang waktu itu masih kecil mencoba menuturkan rekaman kejadian di masa-masa
revolusi tersebut.
“Bapak saya marah-marah, ‘cepat, cepat!’ katanya, sambil membanting jendela. Saking ketakutan, saya
sendiri cuma melongo saja. Kemudian ibu saya keluar dari rumah. Saya dituntun. Saya
anak ke lima. Waktu itu ngumpul semua. Saya pakai baju kodok. Ayah saya
belakangan. Saya menunggu agak jauh, terhalang pohon bambu. Ayah saya baru
datang pakai kampret. Baju jawara Sunda. Setelah kumpul kita evakuasi. Ke
Ciganitri, Buahbatu. Nah, pada waktu saya lewat, saya lihat orang-orang pada
melempar obor. Ya, untuk membakar. Waktu itu saya belum mengerti. Kok,
lempar-lemparan api. Buahbatu dulu sawah-sawah. Kiri kanan rumahnya habis
dibakar,” ujarnya.
Curug Écé
Sungai yang membelah Pasar Kordon
tipikal sungai-sungai yang ada di sekujur Nusantara: kotor, penuh sampah, dan
bau. Jika ada yang menarik dari sungai ini tentu adalah cerita rakyat tentang
Curug Écé. Persis di bawah pasar, terdapat air terjun/curug kecil yang cukup melegenda.
Asal usul penamaan Écé pun terbelah menjadi dua cerita.
Pertama, Écé adalah seorang tua yang
pikirannya agak terganggu. Setiap hari dia bermain di sekitar curug tersebut.
Suatu hari orang-orang menemukan jasadnya telah mengambang di permukaan curug
tersebut. Kedua, ada dua orang jawara/jagoan yang hendak beradu kekuatan dengan
jalan menenggelamkan diri di sungai tersebut. Satu orang berasal dari
Sekelimus, dan satu orang lagi dari Buahbatu yang bernama Écé. Dan ternyata Écé
menang, sampai sekarang dirinya tidak pernah muncul lagi ke permukaan, tenggelam
selamanya di dekat curug tersebut.
Migrasi Burung Blekok
Hari ini habitat burung belekok (burung kuntul) di Bandung
hanya tersisa di daerah Ranca Bayawak, Gedebage. Ini pun kondisinya rentan
terganggu karena lingkungan pendukung di sekitarnya mulai dikembangkan menjadi
komplek hunian dan perkantoran.
Menurut penuturan Ridwan Hutagalung (50), warga Buahbatu yang
mengalami masa ketika sawah masih berkuasa di Bandung selatan, ia mengatakan
bahwa Buahbatu adalah salah satu jalur lintasan migrasi kawanan burung blekok.
Mengapa demikian? Karena Buahbatu, seperti banyak daerah di Bandung selatan,
dulunya adalah hamparan sawah yang luas.
Hari ini sisa sawah itu masih bisa ditemui di daerah
Bojongsoang, dan kalau kita memperhatikan di pojok perempatan Jalan Buahbatu – Jalan Sukarno-Hatta ada sebidang
lahan kosong yang dipagari tembok, seingat saya itulah sawah terakhir yang
berada di ujung Jalan Buahbatu. (preanger.id - irf)
No comments:
Post a Comment