10 September 2017

Dilan dan Beberapa Fragmen tentang Buahbatu




Lélés Kadungora Buahbatu Dayeuhkolot
Héés di nu ngora nyatu di nu kolot

---pantun yang cukup populer di kalangan pejuang revolusi

Saya memanggilnya Akay. Ia mempunyai motor yang amat semenjana. Sekali waktu, tepatnya malam Minggu, ia kedatangan tamu dari jauh: seorang perempuan muda yang wajahnya menguarkan aroma ramah-tamah. Di sebuah kedai kopi di Jalan Solontongan, mereka berhadap-hadapan, membicarakan entah. Sebelum larut malam, mereka pergi.

Dia ingin tahu suasana Buahbatu gara-gara baca novel Dilan, ujar Akay. Rupanya semalam mereka pergi ke Jalan Buahbatu. Akay kawan saya, oleh karenanya ia tak sungkan berkisah.

Novel Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq yang digemari banyak pembaca, terutama anak-anak muda, banyak menyebut Buahbatu. Hal itu karena sekolah Dilan dan Mileadua tokoh utama dalam novel tersebut, bersekolah di Buahbatu.

Ketika Akay pergi bersama kawan perempuannya ke Jalan Buahbatu, barangkali ia merasa ganteng, atau setidaknya merasa seperti Dilan yang tengah membonceng Milea.

Para pembaca novel Dilan, muda-mudi yang menjompak keinginannya untuk menelan usia SMA dengan kisah semanis madu, atau mereka yang telah lewat kepala dua dan kembali mengenang masa-masa sekolah, barangkali mengenal Buahbatu hanya sebuah ruas jalan yang memanjang dari perempatan Jalan Sukarno-Hatta sampai perempatan Jalan BKR.

Saya tak hendak mendaku sebagai kuncen Buahbatu. Tidak juga ingin menjadi bajingan yang menyenangkan seperti Dilan. Saya hanya ingin berkisah tentang Buahbatu. Ada beberapa fragmen yang hendak saya tuturkan.

Desa Buahbatu

Buahbatu yang dikenal sekarang adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Jadi sebetulnya, Buahbatu posisinya lebih ke selatan dari pusat Kota Bandung, dan cukup jauh dari SMA 8 dan SMA 22 (dua sekolah yang diprediksi menjadi sekolah Dilan dan Milea). Maka di titik ini, penamaan Jalan Buahbatu dan Jalan Terusan Buahbatu, jika mengacu kepada posisi Desa Buahbatu, kiranya harus di balik: Jalan Buahbatu seharusnya dari perempatan Sukarno-Hatta ke selatan, dan Jalan Terusan Buahbatu dari perempatan Sukarno-Hatta ke utara.

Jadi, Jalan Buahbatu yang sekarang dipenuhi oleh merek niaga kuliner terkenal seperti KFC, Dunkin Donuts, Mc Donald, Starbucks, Pizza Hut, J Co, Hoka Hoka Bento, dan Richeese Factory, sejati berada di pinggiran Buahbatu, bukan sebaliknya.

Masjid Agung Buahbatu

Tak jauh dari Pasar Kordon, tepatnya dekat simpang Jalan Terusan Buahbatu Jalan Margacinta, terdapat masjid tertua di Bandung selatan, yaitu Masjid Agung Buahbatu. Masjid ini diresmikan pada 22 Jumadil Awal 1358 H atau 9 Juli 1939 M. Dulu masjid ini bernama Masjid Kaum Buahbatu. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Padoeka Kandjeng Dalem Raden Wiranatakoesoema (Bupati Bandung).

Selain Bupati Bandung, berdasarkan plakat berhuruf Latin dan berbahasa Sunda yang menempel di dinding masjid tersebut, dalam peletakan batu pertama hadir pula Patih Bandung, Penghulu Bandung, Wedana Ujungberung, dan undangan lainnya.

Pertempuran

Persis di depan Masjid Agung Buahbatu terdapat Pasar Kordon. Pasar yang kerap dituding sebagai biang kemacetan itu menjadi salah satu pasar paling ramai di Bandung selatan. Selain di Buahbatu, nama Kordon ternyata ada juga di daerah Dago. Lalu apa arti Kordon? Lema ini dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti garis pelindung atau garis pertahanan. Sedangkan dalam khazanah bahasa Inggris, Cordon diartikan sebagai a line of people, military posts, or ships stationed around an area to enclose or guard it.     

Karena secara harfiah kata Kordon terkait dengan kemiliteran, maka kemudian timbul pendapat yang menyatakan bahwa penamaan Kordon yang berada di Buahbatu erat hubungannya dengan peristiwa revolusi di Bandung. Satu contoh pertempuran dapat diambil dari memoar seorang anggora Resimen Pelopor yaitu R.J. Rusady W dalam buku Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947.

Pada bulan Juli 1946, di Buahbatu terjadi pertempuran hebat dengan Kompi Ambon Anjing NICA yang mengakibatkan puluhan korban di pihak Hizbullah. Pada pertempuran di Buahbatu ini yang menghadapi musuh adalah dari pihak Hizbullah. Persenjataan musuh lebih lengkap dan modern, sedangkan pihak Hizbullah hanya bermodalkan beberapa senapan, pistol, golok serta bambu runcing, tulisnya.

Sedangkan beberapa tahun sebelumnya, yaitu ketika Jepang merangsek ke Pasifik dan Belanda mulai kewalahan, seperti ditulis oleh Robert P.G. A Voskuil, dkk dalam buku Bandung Citra Sebuah Kota, Jalan Buahbatu sempat menjadi landasan pacu darurat bagi para petinggi sipil dan militer Belanda yang melarikan diri dari Bandung pada tengah malam tanggal 6 Maret 1942. Mereka antara lain dr. H.J. van Mook, dr. Ch. O. Van der Plas, dan komandan KNIL Mayor L.H. Van Oyen.

Penerbangan ini, dengan KNILM-DC3 Wielewaal, seperti pada tengah malam sebelumnya, dilakukan dari Jl. Buahbatu yang diperlebar, yang dalam minggu-minggu peperangan terakhir sebelumnya sudah berkali-kali digunakan sebagai lapangan udara pembantu, tambahnya.         

Dalam Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, dkk, Buahbatu menjadi jalur pengungsian warga ketika kota dikosongkan dalam peristiwa Bandung lautan Api.

Didi Affandy, seorang saksi mata yang juga ikut mengungsi, menuturkan pengalamannya kepada tim penulis buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Ia yang waktu itu masih kecil mencoba menuturkan rekaman kejadian di masa-masa revolusi tersebut.

Bapak saya marah-marah, cepat, cepat! katanya, sambil membanting jendela. Saking ketakutan, saya sendiri cuma melongo saja. Kemudian ibu saya keluar dari rumah. Saya dituntun. Saya anak ke lima. Waktu itu ngumpul semua. Saya pakai baju kodok. Ayah saya belakangan. Saya menunggu agak jauh, terhalang pohon bambu. Ayah saya baru datang pakai kampret. Baju jawara Sunda. Setelah kumpul kita evakuasi. Ke Ciganitri, Buahbatu. Nah, pada waktu saya lewat, saya lihat orang-orang pada melempar obor. Ya, untuk membakar. Waktu itu saya belum mengerti. Kok, lempar-lemparan api. Buahbatu dulu sawah-sawah. Kiri kanan rumahnya habis dibakar, ujarnya.

Curug Écé

Sungai yang membelah Pasar Kordon tipikal sungai-sungai yang ada di sekujur Nusantara: kotor, penuh sampah, dan bau. Jika ada yang menarik dari sungai ini tentu adalah cerita rakyat tentang Curug Écé. Persis di bawah pasar, terdapat air terjun/curug kecil yang cukup melegenda. Asal usul penamaan Écé pun terbelah menjadi dua cerita.

Pertama, Écé adalah seorang tua yang pikirannya agak terganggu. Setiap hari dia bermain di sekitar curug tersebut. Suatu hari orang-orang menemukan jasadnya telah mengambang di permukaan curug tersebut. Kedua, ada dua orang jawara/jagoan yang hendak beradu kekuatan dengan jalan menenggelamkan diri di sungai tersebut. Satu orang berasal dari Sekelimus, dan satu orang lagi dari Buahbatu yang bernama Écé. Dan ternyata Écé menang, sampai sekarang dirinya tidak pernah muncul lagi ke permukaan, tenggelam selamanya di dekat curug tersebut.

Migrasi Burung Blekok

Hari ini habitat burung belekok (burung kuntul) di Bandung hanya tersisa di daerah Ranca Bayawak, Gedebage. Ini pun kondisinya rentan terganggu karena lingkungan pendukung di sekitarnya mulai dikembangkan menjadi komplek hunian dan perkantoran.  

Menurut penuturan Ridwan Hutagalung (50), warga Buahbatu yang mengalami masa ketika sawah masih berkuasa di Bandung selatan, ia mengatakan bahwa Buahbatu adalah salah satu jalur lintasan migrasi kawanan burung blekok. Mengapa demikian? Karena Buahbatu, seperti banyak daerah di Bandung selatan, dulunya adalah hamparan sawah yang luas.

Hari ini sisa sawah itu masih bisa ditemui di daerah Bojongsoang, dan kalau kita memperhatikan di pojok perempatan Jalan Buahbatu Jalan Sukarno-Hatta ada sebidang lahan kosong yang dipagari tembok, seingat saya itulah sawah terakhir yang berada di ujung Jalan Buahbatu. (preanger.id - irf)

No comments: