“Rumah Kartini sekarang sudah jadi tempat berjualan obat
perkasa!” ujar seorang kawan sebelum tawanya pecah. Ia bersama seorang kawan
yang lain baru pulang menyusuri rumah para tokoh rekaan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja.
Bandung telah lama menjadi melting pot berbagai suku bangsa, agama, dan pemikiran. Zonasi
klasik terkait pemukim dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang
Belanda dan Eropa mayoritas ditempatkan di sebelah Utara, masyarakat Timur Jauh
(Arab, Tionghoa, Pakistan, India) berkumpul di sekitar rel kereta api, dan inlander alias warga pribumi ditempatkan
di selatan.
Para tokoh perintis kemerdekaan dan tokoh nasional lainnya
banyak yang pernah bermukim di Kota Bandung. Mereka menuntut ilmu, membibit
gerakan politik, berdakwah, dan menggodok bakat intelektualnya di sini. Sekadar
contoh, ada Tan Malaka, Sukarno, Sosrokartono, Natsir, Sjahrir, Dewi Sartika, Ernest
Douwes Dekker, A. Hasan, dll. Kiprah dan jejak mereka terhampar di buku-buku
dan menjadi bagian dari semesta sejarah Kota Bandung.
Memoar ditulis, novel dibikin. Beberapa di antaranya berlatar
Kota Bandung, yang menjadikan kota ini semakin kaya dengan tinggalan teks yang
menjerat kisah dan peristiwa masa lalu yang berdenyut seiring dinamika kota.
Novel Atheis
mula-mula terbit pada tahun 1949. Achdiat K. Mihardja, sastrawan kelahiran
Cibatu, Garut, mendedahkan sebuah melting
pot pemikiran di kalangan para pemuda Kota Bandung yang menyeret beberapa
tokoh utamanya ke dalam tragedi kemanusiaan yang menggiriskan.
Sabtu, 29 Juli 2017, Komunitas Aleut menggelar kegiatan rutin
dengan tajuk “Kelas Literasi pekan ke-103: Atheis”. Acara diskusi selo tapi gak selo-selo amat itu mencoba menyigi novel Atheis yang sudah berusia 68 tahun ke hadapan para pembaca muda,
generasi millennial yang doyan mewedarkan kehidupannya di IG story. Keesokan
harinya, mereka juga Ngaleut (acara
menelusuri jejak sejarah yang telah diadakan lebih dari satu dasawarsa) dengan
tema yang sama.
Rumah Kartini beralamat di Jl. Lengkong Besar 27, Rusli di
Jl. Kebon Manggu 11, dan rumah bibinya Hasan di Sasakgantung 18. Nama-nama itu adalah tokoh
utama dalam novel Atheis. Rute yang dilalui
para pegiat Komunitas Aleut dengan berjalan kaki tidak hanya tiga tempat itu
saja, namun melintas juga ke Jl. Suniaraja, Jl. Otista, Jl. Dalem Kaum, dll,
disesuaikan dengan peristiwa kejadian yag ditulis Achdiat.
Hasan adalah pemuda alim dengan keyakinan puritan. Ia
dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat menjalankan segala perintah dan
larangan agama Islam. Setelah lulus dari MULO Bandung dan mulai bekerja di
Jawatan Air Kotapraja, ia mendalami ilmu agama dengan belajar tarekat seperti
yang dianut oleh kedua orangtuanya.
Sekali waktu ketika ia tengah bekerja, datanglah Rusli dan
Kartini yang hendak mengurus pemasangan air ke kantornya. Rupanya Hasan dan
Rusli adalah kawan karib ketika kecil, saat mereka sekolah di HIS Tasikmalaya.
Pertemuan Hasan dengan Rusli dan Kartini menjadi awal tragedi.
Dalam perjalanan pergaulannya, pemuda puritan itu mengalami gegar pemikiran. Ia
yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya dengan cara dogmatis, sedikit demi
sedikit mulai goyah. Sikap dan pemikiran Rusli, Kartini, beserta kawan-kawannya
tentang Tuhan dan zat non materi lainnya, membuat Hasan meraba pedalaman
hatinya.
“Kita harus pandai meneropong soal-soal hidup itu dengan akal
dan pikiran yang bebas lepas. Pikiran dan penglihatan kita tidak boleh dikaburkan
oleh fanatisme atau dogma,” ujar Rusli.
“Tuhan itu tidak ada. Yang ada ialah teknik. Dan itulah Tuhan
kita! Sebab tekniklah yang memberi kesempatan hidup kita. Tuhan hanya alat bagi
orang-orang yang percaya kepadanya. Alat yang katanya memberi keselamatan dan
kesempurnaan kepada hidup manusia. Begitu pula teknik bagi kami. Alat yang
memberi kesempurnaan bagi hidup manusia. Dus apa bedanya? Tak ada toh selain
yang satu lebih nyata, lebih konkret daripada yang lain,” ujar Bung Parta (kawan
Rusli) dalam sebuah pertemuan di rumah Rusli.
Mulanya Hasan mencoba bertahan dengan apa yang selama ini ia
yakini, namun karena pergaulannya cukup intens, maka benteng keimanannya
akhirnya jebol. Pada satu kesempatan ketika ia pulang kampung ke Garut, Hasan
berdebat dan bertengkar hebat dengan ayahnya terkait agama dan keyakinan. Mereka
akhirnya berpisah jalan.
Di akhir kisah, Hasan bangkrut! Hubungan dengan ayahnya tak
kunjung membaik sampai ajal menjemput. Kartini, yang telah menjadi istrinya,
memilih bercerai akibat badai pertengkaran yang kian menghebat. Hasan sendiri
menjadi amat ringkih, TBC merajalela memangsa paru-parunya.
Tema dalam novel ini tentu sangat sensitif, apalagi kiwari
hampir segala isu sosial kerap dilekat-lekatkan dengan agama. Masyarakat yang
terbelah pasca pemilihan presiden 2014 terus-menerus berkubu, saling serang di
media sosial, dan palagan kerap mengintai di setiap Pemilihan Kepala Daerah.
Menanggapi hal ini, Rulfhi Alimudin Pratama, Koordinator
Komunitas Aleut menjelaskan, bahwa apa yang dikerjakannya bersama kolega adalah
dalam rangka memperkaya perspektif sejarah Kota Bandung. Ia juga mengatakan
bahwa sudut pandang Komunitas Aleut bukan hendak menyebarkan atheisme,
melainkan memotret dan mengangkat satu peristiwa dalam lintasan zaman, tentang
Kota Bandung yang menjadi tempat bauran pemikiran berbagai kalangan.
“Selain ingin mengenalkan ulang karya sastra klasik, diangkatnya
buku ini dalam kegiatan Komunitas Aleut adalah agar masyarakat tidak terpaku
hanya kepada buku-buku sejarah, karena ternyata dalam karya sastra pun Kota
Bandung kerap hadir sebagai latar kisah,” ujarnya menambahkan.
Novel Atheis pernah
diangkat ke layar lebar oleh sutradara Sjumandjaja pada tahun 1974, dan dibintangi
oleh Deddy Sutomo, Christine Hakim, Emmy Salim, Farouk Afero, maruli Sitompul,
dan pemeran lainnya. Rencananya film ini akan diputar juga oleh Komunitas Aleut
pada hari Selasa (1/8/2017), namun ternyata rencana tersebut gagal karena
kualitas film tersebut, yang hanya tersedia di youtube, secara gambar dan suara
sangat jelek.
Sebagai gantinya, menurut penuturan Ariyono Wahyu Widjajadi,
koordinator Bioskop Preanger (divisi film Komunitas Aleut), film Atheis diganti oleh film Offside.
“Ya, karena gambar dan suaranya jelek, akhirnya kami ganti
dengan (film) Offside, melanjutkan
tema sepak bola seperti minggu-minggu sebelumnya,” ujarnya dengan wajah terlihat
murung. Barangkali seperti itulah wajah Hasan ketika ia pulang ke Bandung pasca
pertengkaran penghabisan dengan ayahnya. (preanger.id - irf)
No comments:
Post a Comment