Tiga minggu setelah ulang tahunnya yang pertama, tirto.id tutup. Seminggu sebelum tutup,
tim riset yang kerap memburu data sampai ke liang semut menemukan satu fakta
tak terbantahkan, bahwa kiamat qubro, kiamat yang akan mengakhiri semua
kehidupan di dunia, akan datang empat minggu setelah tirto.id ulang tahun.
Di pekan terakhir sebelum tim redaksi dibubarkan, tak ada
satu pun berita yang dinaikkan. Ruang indept
dan mild report hanya dipenuhi puisi
dan beberapa penggal cerita detektif yang terburu-buru. Penulis musik, penulis
humor pesantren, dan penulis sejarah paling produktif se-Kemang Timur, semuanya
hanya termangu.
Pekerjaan apa yang paling tepat dilakukan ketika semua orang
tahu kiamat akan datang dua minggu lagi? Memutar musik punk barangkali sebuah
pilihan yang tidak terlalu buruk.
“Apa artinya meneruskan masa kini bila seseorang telah melihat
masa depan?” Ujar Alan Lightman.
Waktu adalah uang, kata sebagian. Ia ibarat pedang, tak jeri
menebas batang lehermu, kata sebagian lagi. Ia seolah dimensi tak terbantahkan
tentang kengerian. Namun di Berne, Swiss, dalam mimpi seorang kerani muda,
waktu tak sesederhana itu. Warsa 1905, Albert Einstein bermimpi tentang
berbagai hakikat waktu yang menakjubkan.
Tigapuluh dongeng tentang waktu membuat hidup tak terlalu
menyedihkan. Kerangkeng waktu yang kaku tidak berlaku di sini. Ada berbagai
kemungkinan yang indah sekaligus ganjil, kepiluan hanya bersemayam dalam
jambangan.
“Andaikan waktu adalah soal kualitas dan bukan kuantitas,
seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan menyisiri
garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tak bisa diukur,” tulis Einstein dalam
satu mimpinya.
Hari-hari yang bergegas, pekerjaan yang datang silih
berganti, kerap membuat waktu kehilangan keindahan. Kalaupun ada dan masih
tersisa, hanya sekerat senja yang digilai beramai-ramai. Jingga di ufuk barat, menjadi
kiblat dan muara refleksi. Di kanal-kanal digital, orang-orang menerangkan diri
dengan kata-kata “penikmat senja”, “pemburu senja”, “pencinta kopi dan senja”,
dan kalimat serupa lainnya.
Jika waktu adalah soal kualitas, senja tak akan sepopuler
sekarang, karena keindahan hadir pula di jendela bus kota yang buram, uap air hujan melukis kaca yang berdebu. Di
halte-halte tempat menunggu, derap sepatu dan aroma parfum yang melumuri baju,
adalah keindahan yang lain.
Sekali waktu di bulan Juli 2016 yang basah, saya pergi ke
Subang mengendarai sepeda motor. Perjalanan melewati hutan dan jalan makadam
yang diselimuti lumpur. Di kiri jalan, bekas longsor menganga. Pohon-pohon
tumbang bergeletakan di tubir bukit. Ketika hujan mulai turun, saya disergap
kengerian. Ancaman longsor menghantui. Saya pontang-ponting berusaha secepatnya
menyelesaikan jalan itu. Namun medan yang berat malah membuat saya terjatuh dua
kali.
Di satu titik, hanya berjarak 10 meter dari saya, sebuah
pohon tiba-tiba tumbang dan menghalangi jalan. Setelah berhasil disingkirkan
dan bisa kembali melanjutkan perjalanan—masih dalam kepungan hujan, saya
teringat sebuah adegan di film The
Curious Case of Benjamin Button arahan sutradara David Fincher.
Ada sebuah adegan tentang takdir waktu. Perbedaan dua menit
menjadi begitu penting bagi orang yang tertabrak mobil. Ketika seseorang
tertimpa musibah, hal itu belum tentu terjadi jika ia mempercepat atau
memperlambat dua menit langkahnya. Peristiwa begitu presisi dalam satuan waktu.
Ia punya takdirnya masing-masing. Dalam kasus saya, dua kali terjatuh adalah
gerak memperlambat langkah, dan akhirnya terhindar dari pohon yang tumbang
tadi. Saya bergidik membayangkan jika seandainya tak terjatuh dua kali.
Barangkali apa yang saya alami adalah apa yang dimaksud oleh
Einstenin berikut, “Di dunia ini, waktu seperti aliran air, kadang terbelokkan
oleh secuil puing, oleh tiupan angin sepoi-sepoi.”
Dunia seringkali dipenuhi iri dengki. Atau tentang cita-cita
yang kemaruk. Seseorang ingin menjadi orang lain, atau ingin hadir di banyak
tempat dalam waktu yang bersamaan. Pilihan bagi yang tak mengerti waktu, kerap
melahirkan kebingungan. Jika memilih A, maka B tak diambil. Kalau memilih B,
maka A tak didapat. Begitu seterusnya. Bolak-balik menyuburkan rasa bimbang.
Untuk perkara yang sederhana sekaligus rumit ini, Einstein jauh-jauh
hari telah menyampaikan solusi bijak bestari bagi siapa saja yang tak becus
memilih. Dalam mimpinya yang lain ia menulis:
“Ketika dua waktu bertemu, yang terjadi adalah keputusasaan.
Ketika dua waktu menuju arah yang berbeda, hasilnya adalah kebahagiaan. Karena
itulah, secara menakjubkan, seorang pengacara, perawat, tukang roti dapat
menghendaki satu dunia, tidak keduanya. Tiap waktu adalah benar, tetapi
kebenaran itu tidak selalu sama.”
Dunia diisi oleh orang-orang beringatan pendek. Sekarang
ingat, besok lusa lupa. Dulu bertengkar ihwal lambang negara, sekarang bersiap
perang, barangkali besok sudah tenang lagi. Dan siklus itu akan berulang. Terpujilah
para arsiparis yang sepanjang hayatnya dipenuhi gairah menyimpan peristiwa,
merawat, dan menjadikannya sadar jaga bahwa waktu terus berulang.
“Janganlah sekali-kali melupakan sejarah,” kutip banyak orang
di media sosial. Itu betul belaka, dan diaminkan Einstein dalam mimpinya, “Andaikan
waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikianlah,
dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya.”
Dongeng tentang waktu boleh banyak, tapi hari ini waktu
berderap dengan wajah yang relatif kita kenali, atau mungkin sebaliknya,
waktulah yang mengenali kita.
Pagi-pagi terbangun oleh alarm entah di mana. Mandi, sarapan,
dan berangkat kerja. Sebelum kerja menikmati dulu gosip-gosip manis, menyeduh
kopi, lalu menceburkan diri ke dalam pekerjaan yang membosankan namun terus
digeluti karena kebutuhan.
Di tempat lain, setiap profesi bergerak dengan irama yang
sama. Jadwal yang itu-itu saja. Waktu bergerak linear, mengalir menuju titik
akhir yang selalu dikhawatirkan. Einstein menyebutnya sebagai kemutlakan.
“Waktu melaju dengan keteraturan yang sangat rancak, dengan
kecepatan yang sangat tepat, pada setiap sudut ruang. Waktu adalah penguasa
tanpa batas. Waktu adalah kemutlakan.”
Barangkali dari situlah semua kepiluan bermula. Manusiatak
punya daya untuk menolak. Tunduk dan patuh kepada waktu bukanlah sebuah sikap
setia, tapi memang tak ada pilihan lain, selain ikut mengalir bersama arusnya.
Untuk mengobati kesedihan, orang-orang menjerat peristiwa
dengan kamera, tulisan, dan media pengawet kenangan lainnya. Tapi waktu bukan
jenis penyakit yang bisa disembuhkan, ia terus menggerogoti manusia. Tak ada
yang imun dari tebasannya. Dan begitulah kehidupan.
“Hidup adalah jambangan kesedihan, tapi adalah lebih
terhormat untuk menjalaninya. Tanpa waktu tak akan ada kehidupan,” ujar
Einstein. Dan itu bukan dongeng, tapi kenyataan.
Alan Paige Lightman lahir Memphis, Tennese, pada 28 November
1948. Ia adalah seorang fisikawan dan penulis. Karya ilmiahnya memberikan
kontribusi mendasar pada astrofisika lubang hitam dan perilaku materi dan
radiasi di bawah kondisi suhu dan kerapatan yang ekstrim. Ia mengajar di
Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology.
Einstein’s Dreams adalah karyanya yang amat populer. Puluhan
kali diadaptasi ke dalam bentuk teater, dan menjadi salah satu buku umum paling
banyak digunakan di kampus-kampus.
Lewat Einsteins, ia menghamparkan puluhan perspektif tentang
waktu. Manusia ringkih menghadapi waktu, dan ia menghiburnya dengan dongeng.
Muaranya bukan sekadar hiburan, melainkan kontemplasi yang membuahkan
kesadaran, bahwa waktu adalah hakikat, mutlak, dan milik Yang Maha Mutlak.
“Orang-orang yang religius memandang waktu sebagai bukti
adanya Tuhan. Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya Sang Pencipta. Tak
ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan. Semua yang mutlak adalah
bagian dari Yang Maha Mutlak. Di mana ada kemutlakan, di situlah waktu berada. Karena
itulah, para filsuf menempatkan waktu sebagai pusat keyakinan mereka. Waktu
adalah pedoman untuk menilai semua tindakan. Waktu adalah kejernihan untuk
melihat salah atau benar,” tulisnya.
Dan dalam satu fragmen dongengnya ia menulis dengan rendah
hati, “Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan.” [irf]
No comments:
Post a Comment