Judul buku: Chairil Anwar
Penulis: Hasan Aspahani
Tahun terbit: 2017 (cetakan kedua)
Penerbit: Gagas Media
Chairil Anwar begitu populer di kalangan peminat sastra
Indonesia. Bahkan awam pun setidaknya pernah mendengar namanya saat masih
belajar di bangku sekolah dasar. Puisi “Aku” dan “Krawang-Bekasi” nyaris selalu
menghiasai buku ajar anak-anak sekolah.
Kiwari, saat puisi hadir dalam pelbagai medium populer
seperti film dan musik, Chairil Anwar ikut “terseret” ke permukaan. Seolah-olah
ia bangkit dari TPU Karet Bivak dan nongkrong bersama sobat ambyar.
Jejak “kebangkitan” puisi bisa kita telusuri misalnya dari
kemunculan film Ada Apa dengan Cinta
(2002) yang hampir di sekujur kisahnya dibaluri oleh puisi-puisi Rangga. Tiga
tahun kemudian, film Gie (2005)
kembali menghadirkan potongan-potongan puisi yang sampai sekarang barangkali
masih banyak yang mengingatnya.
Mundur beberapa tahun, tepatnya pada 1989, Reda Gaudiamo dan
Ari Malibu merilis album Hujan Bulan Juni
yang merupakan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Sampai kiwari, bahkan
saat Ari Malibu telah wafat pada 14 Juni 2018, dan Sapardi mulai doyan tik-tok,
lagu-lagu tersebut masih dan bahkan semakin banyak menghiasi kanal Youtube
dalam pelbagai cover.
Bagaimana dengan puisi Chairil Anwar? Saya kira
musikalisasinya tak ada yang populer. Bahkan hemat saya, Banda Neira pun gagal
saat membawakan “Derai-derai Cemara”. Begitu pula puisi “Senja di Pelabuhan
Kecil”, “Sia-sia”, dan “Aku” yang dibawakan oleh entah, saya kira—dalam medium
musik itu—tak seliris musikalisasi puisi Sapardi.
Meski demikian, sekali lagi, siapa yang tak pernah mendengar
nama Chairil Anwar yang tercecer dalam sobekan-sobekan buku, mural di
perkampungan kota, kaos mahasiswa, dan lain-lain.
Buku yang ditulis oleh Hasan Aspahani ini mencoba menghadirkan
Chairil Anwar dengan “penuh seluruh”. Informasi tentang dirinya tak sekadar
tulisan alakadarnya gaya buku pelajaran, atau esai tanggung Sapardi dalam
epilog di buku Aku Ini Binatang Jalang.
“Buku paling lengkap dan paling indah tentang kisah hidup
Chairil Anwar yang pernah ditulis,” ungkap M. Aan Mansyur dalam sampul depan
buku ini.
Saya kira Aan tak berlebihan. Hasan Aspahani yang seorang
penyair menuliskannya lewat sudut pandang penyair. Ia mengupas riwayat Chairil
lewat potongan-potongan puisi yang berkorelasi dengan kehidupan si Binatang
Jalang.
27 bab ditambah prolog dan epilog ditulis secara kronologis
dan menghadirkan konteks dituliskannya puisi-puisi Chairil. Sebagai contoh
adalah puisi “Tuti Artic” yang kerap dikutip di pelbagai kanal media sosial: “Aku juga seperti kau/semua lekas
berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi…/hati terlantar/Cinta adalah bahaya/yang
lekas jadi pudar.”
Menurut Asrul Sani yang dikutip Hasan Aspahani dari majalah Horison, Chairil memang kerap pergi ke
pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para
pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul, salah satunya Toko Artic yang menjual
es krim di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Contoh lain adalah tentang Mirat, kekasihnya, yang terdapat
dalam puisi “Sajak Putih”, “Dengan Mirat” dan “Mirat Muda, Chairil Muda”. Alkisah,
Sumirat atau Mirat vakansi bersama keluarganya ke pantai Cilincing, Jakarta
Utara. Di sana, ia melihat pemuda yang tengah bersandar di sebatang pohon dan
membaca buku tebal, itulah Chairil.
Singkat cerita, Mirat dan Chairil berpacaran. Namun, karena
Chairil pengangguran, maka keluarga Mirat memulangkan gadis itu ke rumah orang
tuanya di Jawa Tengah. Dasar Chairil, ia nekad menyusulnya dan berhari-hari tinggal
di rumah orang tua Mirat. Ketika hubungan mereka semakin berat karena pelbagai
rintangan, Chairil menulis “Dengan Mirat”. Rupanya bagi Chairil, Mirat
terlampau istimewa. Maka meski Chairil telah menikah dengan Hapsah Wiriaredja
pada September 1946, ia masih sempat mengenang Mirat:
“Ketawa/diadukannya
giginya pada mulut Chairil/dan bertanya/Adakah, adakah kau selalu mesra/dan aku
bagimu indah?”
Buku setebal 297 halaman ini juga tentu saja mengisahkan
hubungan Chairil dengan kedua orang tuanya, terutama ibu. Pun terdapat kisah
saat ia bersama Sutan Sjahrir di masa Revolusi, pergaulannya dengan para
sastrawan, dan pernikahannya yang berantakan namun ia berniat untuk
memperbaikinya.
Menurut Damhuri Muhammad, editor buku ini, menjelang
kematiannya, Chairil bersemangat untuk mengumpulkan dan menerbitkan
sajak-sajaknya. Ia berniat menikahi Hapsah kembali dan membesarkan anaknya. Konon,
ia rindu ketan srikaya buatan Hapsan. Dan ada sebaris puisi untuk Hapsah yang
tak pernah dipublikasikan di mana pun. Chairil menulisnya memakai pensil.
Judulnya “Buat H”:
“Aku berada kembali di
kamar/bersama buku/seperti sebelum bersamamu dulu.”
Sayang, keinginannya untuk membangun kembali rumah tangganya
tak kesampaian. Chairil muntah darah tak sudah-sudah. Ia keburu meninggal
setelah penyakit parah menyerangnya.
***
Oh ya, naskah biografi yang ditulis Hasan Asphani ini
dikembangkan oleh Gina S. Noer dan Amelya Oktavia di bawah bendera PlotPoint
Kreatif, sehingga terkesan filmis.
Konon, PlotPoint Kreatif lahir dari kegelisahan para pendirinya
pada dunia konten di Indonesia, yang menurut mereka banyak cerita yang masih
bisa terus dikembangkan. Mula-mula, pada 2010, mereka mengadakan pelatihan
penulisan skenario. Lalu berkembang menjadi workshop penulisan kreatif pada
medium lain. Kemudian pada 2013 menjadi penerbit buku. Dan sekarang menjadi
pengembang naskah untuk buku. (irf)
No comments:
Post a Comment