Setiap
tahun saya mudik ke Jampangkulon. Kalau kawan begitu asing
dengan nama tempat itu, baiklah saya terangkan sedikit. Kota kelahiran ini
adalah sebuah kota kecamatan yang bisa ditempuh dari Kota Sukabumi dengan durasi
kira-kira tiga jam perjalanan mobil. Kalau memakai sepeda motor dan
mengendarainya terburu-buru seperti orang hendak buang hajat, kawan bisa
memangkas waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat.
Meski suasananya perdesaan, namun Jampangkulon tak terlalu elok
seperti gambaran desa yang kerap ditayangkan di FTV. Tak ada sungai besar
dengan air jernih dan batu-batu besar yang menghiasi. Jika Jaka Tarub tersesat
di kampung saya, dan ia iseng hendak mencuri selendang gadis desa yang tengah
mandi di sungai, niscaya dia tak akan menemukannya. Air yang menghidupi sawah
hanya mengandalkan tadah hujan, tak ada sistem irigasi yang bisa diandalkan.
Sampai tahun 2013, dari Jakarta saya
selalu memakai jalur Bogor, Ciawi, Cigombong, Cicurug, Parungkuda, Cibadak, Ciaat,
dan Sukabumi saat hendak pulang kampung. Nama-nama itu adalah neraka kemacetan.
Pasar tumpah benar-benar tumpah di badan jalan yang volume kendaraannya
tinggi.
Dari Terminal Lembursitu di Kota
Sukabumi, kendaraan umum yang tersedia hanya mini bus dan elf. Saya biasanya
memilih elf, karena sedikit lebih bisa diandalkan. Jalanan sepanjang hampir 100
km berkelok-kelok dan penuh lubang, yang tak biasa pasti akan memerlukan
kantong kresek untuk membuang isi perut.
Bagi saya, mudik adalah soal emosi
yang dari tahun ke tahun kian pudar seiring berjalannya waktu. Dulu sewaktu SMA
dan kuliah, mudik adalah jadwal bertemu lagi dengan kawan-kawan sepermainan. Memasuki
usia kerja, kawan-kawan mulai sibuk dengan kehidupannya masing-masing, dan
mudik seperti menjerumuskan diri pada jurang kesepian.
Bagaimana dengan seremonial hari raya?
Biasa saja. Takbiran, ngadulag
(memukul bedug bertalu-talu dengan irama tertentu), dan perang petasan tak lagi
berkesan bagi sebagian orang dewasa. Esoknya, saat satu persatu mengunjungi
rumah tetangga untuk bersalaman, saya seolah menyaksikan pergiliran generasi:
si anu telah wafat, si anu sudah tiada, bocah ini telah menikah, bocah itu
sudah punya anak.
Keriuhan lebaran hanya bertahan sampai
azan Zuhur. Bakda Lohor, orang-orang kembali ke rumahnya masing-masing, menanggalkan
baju baru, tidur, dan agak canggung sebab azan Magrib di permulaan Syawal bukan
pertanda kegembiraan berbuka puasa.
Jika para tetangga berziarah pada pagi
hari selepas salat Idulfitri atau bakda Asar pada hari lebaran, maka saya
biasanya keesokan harinya ketika pekuburan sudah tidak terlalu ramai. Dari
tahun ke tahun makam yang harus diziarahi semakin banyak. Mula-mula hanya
kakek, nenek, dan beberapa bibi. Kemudian bertambah paman. Lalu ibu, terus
bapak. Dan nanti pada akhirnya saya sendiri akan menyusul.
***
Mulai tahun 2014, ketika saya kembali
ke Bandung, rute mudik pun tentu berubah. Kali ini, setiap tahun, lewat jalur
Cimahi, Padalarang, Raja Mandala, Cianjur, dan Sukabumi. Dan mulai tahun itu
juga sudah tak menggunakan angkutan umum, melainkan memakai Honda Beat.
Sejak 2015, keberadaan saya di kampung
saat mudik semakin singkat. Paling lama H+2 sudah kembali ke Bandung. Kalau
kedua orang tua masih ada, mungkin mereka akan kecewa.
Kenapa buru-buru kembali ke Bandung?
Saya bersama beberapa kawan di Komunitas Aleut selalu momotoran ke Jawa. Saya
tak perlu disuguhi peta Pulau Jawa yang sudah diedit dengan memisahkan Jawa
Barat dari Pulau Jawa. Tidak perlu. Sebab Jawa memiliki ragam makna, atau
setidaknya dua: pulau dan etnik. “Momotoran ke Jawa” bisa diartikan “bepergian
ke tempat-tempat yang mayoritas dihuni oleh etnik Jawa.”
Tahun 2015 hanya sampai Tegal. Setahun
berikutnya sampai Cilacap. 2017 entah kenapa tidak ada perjalanan. Lalu 2018
sampai Bantul. Dan 2019 menembus Pacitan. Covid-19 membuat 2020 hampir semuanya
berantakan.
Perjalanan menempuh ratusan bahkan
ribuan kilometer itu selalu membuat hati saya rawan. Menyaksikan bagaimana
orang-orang kembali ke kampung halamannya setelah ratusan hari bertarung di
kota-kota besar. Bahkan kerap saya menemukan bahwa para pemudik itu tidak
semuanya merantau ke kota-kota besar. Tempat yang menjadi perantauan mereka adakalanya
sama atau lebih kecil dibanding kampung halaman mereka.
Apakah motif ekonomi mampu menjelaskan
semua perjalanan mertua saya yang merantau dari Wonogiri di ujung Jawa Tengah ke
Rantauprapat—kota kecil di Sumatra Utara? Ia berpayah-payah menempuh perjalanan
berhari-hari menggunakan bus hanya untuk menjadi pedagang keliling di tempat
yang sangat jauh dari puaknya.
Atau sekali waktu saat beristirahat di sebuah warung kopi di
Parakan, saya mendapati satu keluarga
yang mudik dari Pekalongan menuju kampung halaman mereka di Temanggung. Apakah
kedua kota itu memancarkan kontras? Saya kira tidak. Hemat saya, di tengah PR
besar soal ketimpangan pembangunan yang menjadi biang kerok urbanisasi, dalam
laku merantau dan mudik terdapat beberapa kisah yang melampaui narasi besar
itu.
***
Setelah melewati tahun-tahun kehilangan: kawan sepermainan,
orang tua, dan emosi terhadap kampung halaman yang kian pudar, bagi saya mudik
tak lagi soal nostalgia, tapi bergeser menjadi tentang mengunjungi
tempat-tempat baru. Namun itu tidak pernah final, sebab kenangan terhadap
tempat lahir juga sesekali masih muncul. Sebuah tarik-menarik yang terus
berlangsung. Salah satu hal yang tak kunjung selesai.
Kondisi ini dengan amat presisi pernah diungkapkan Che Guevara dalam film The Motorcycle Diaries: “Ibu tercinta, ada yang hilang saat kita melintasi batas. Setiap peristiwa seperti terbagi jadi dua kisah melankolis. Untuk sesuatu yang tertinggal dan di sisi lain untuk antusiasme karena memasuki daerah baru.” [irf]
No comments:
Post a Comment