21 May 2020

Mudik dan Hal-hal yang Tak Selesai


Setiap tahun saya mudik ke Jampangkulon. Kalau kawan begitu asing dengan nama tempat itu, baiklah saya terangkan sedikit. Kota kelahiran ini adalah sebuah kota kecamatan yang bisa ditempuh dari Kota Sukabumi dengan durasi kira-kira tiga jam perjalanan mobil. Kalau memakai sepeda motor dan mengendarainya terburu-buru seperti orang hendak buang hajat, kawan bisa memangkas waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat.

Meski suasananya perdesaan, namun Jampangkulon tak terlalu elok seperti gambaran desa yang kerap ditayangkan di FTV. Tak ada sungai besar dengan air jernih dan batu-batu besar yang menghiasi. Jika Jaka Tarub tersesat di kampung saya, dan ia iseng hendak mencuri selendang gadis desa yang tengah mandi di sungai, niscaya dia tak akan menemukannya. Air yang menghidupi sawah hanya mengandalkan tadah hujan, tak ada sistem irigasi yang bisa diandalkan.

Sampai tahun 2013, dari Jakarta saya selalu memakai jalur Bogor, Ciawi, Cigombong, Cicurug, Parungkuda, Cibadak, Ciaat, dan Sukabumi saat hendak pulang kampung. Nama-nama itu adalah neraka kemacetan. Pasar tumpah benar-benar tumpah di badan jalan yang volume kendaraannya tinggi. 

Dari Terminal Lembursitu di Kota Sukabumi, kendaraan umum yang tersedia hanya mini bus dan elf. Saya biasanya memilih elf, karena sedikit lebih bisa diandalkan. Jalanan sepanjang hampir 100 km berkelok-kelok dan penuh lubang, yang tak biasa pasti akan memerlukan kantong kresek untuk membuang isi perut.

Bagi saya, mudik adalah soal emosi yang dari tahun ke tahun kian pudar seiring berjalannya waktu. Dulu sewaktu SMA dan kuliah, mudik adalah jadwal bertemu lagi dengan kawan-kawan sepermainan. Memasuki usia kerja, kawan-kawan mulai sibuk dengan kehidupannya masing-masing, dan mudik seperti menjerumuskan diri pada jurang kesepian.

Bagaimana dengan seremonial hari raya? Biasa saja. Takbiran, ngadulag (memukul bedug bertalu-talu dengan irama tertentu), dan perang petasan tak lagi berkesan bagi sebagian orang dewasa. Esoknya, saat satu persatu mengunjungi rumah tetangga untuk bersalaman, saya seolah menyaksikan pergiliran generasi: si anu telah wafat, si anu sudah tiada, bocah ini telah menikah, bocah itu sudah punya anak.

Keriuhan lebaran hanya bertahan sampai azan Zuhur. Bakda Lohor, orang-orang kembali ke rumahnya masing-masing, menanggalkan baju baru, tidur, dan agak canggung sebab azan Magrib di permulaan Syawal bukan pertanda kegembiraan berbuka puasa.

Jika para tetangga berziarah pada pagi hari selepas salat Idulfitri atau bakda Asar pada hari lebaran, maka saya biasanya keesokan harinya ketika pekuburan sudah tidak terlalu ramai. Dari tahun ke tahun makam yang harus diziarahi semakin banyak. Mula-mula hanya kakek, nenek, dan beberapa bibi. Kemudian bertambah paman. Lalu ibu, terus bapak. Dan nanti pada akhirnya saya sendiri akan menyusul.

***

Mulai tahun 2014, ketika saya kembali ke Bandung, rute mudik pun tentu berubah. Kali ini, setiap tahun, lewat jalur Cimahi, Padalarang, Raja Mandala, Cianjur, dan Sukabumi. Dan mulai tahun itu juga sudah tak menggunakan angkutan umum, melainkan memakai Honda Beat.

Sejak 2015, keberadaan saya di kampung saat mudik semakin singkat. Paling lama H+2 sudah kembali ke Bandung. Kalau kedua orang tua masih ada, mungkin mereka akan kecewa.

Kenapa buru-buru kembali ke Bandung? Saya bersama beberapa kawan di Komunitas Aleut selalu momotoran ke Jawa. Saya tak perlu disuguhi peta Pulau Jawa yang sudah diedit dengan memisahkan Jawa Barat dari Pulau Jawa. Tidak perlu. Sebab Jawa memiliki ragam makna, atau setidaknya dua: pulau dan etnik. “Momotoran ke Jawa” bisa diartikan “bepergian ke tempat-tempat yang mayoritas dihuni oleh etnik Jawa.”

Tahun 2015 hanya sampai Tegal. Setahun berikutnya sampai Cilacap. 2017 entah kenapa tidak ada perjalanan. Lalu 2018 sampai Bantul. Dan 2019 menembus Pacitan. Covid-19 membuat 2020 hampir semuanya berantakan.

Perjalanan menempuh ratusan bahkan ribuan kilometer itu selalu membuat hati saya rawan. Menyaksikan bagaimana orang-orang kembali ke kampung halamannya setelah ratusan hari bertarung di kota-kota besar. Bahkan kerap saya menemukan bahwa para pemudik itu tidak semuanya merantau ke kota-kota besar. Tempat yang menjadi perantauan mereka adakalanya sama atau lebih kecil dibanding kampung halaman mereka.

Apakah motif ekonomi mampu menjelaskan semua perjalanan mertua saya yang merantau dari Wonogiri di ujung Jawa Tengah ke Rantauprapat—kota kecil di Sumatra Utara? Ia berpayah-payah menempuh perjalanan berhari-hari menggunakan bus hanya untuk menjadi pedagang keliling di tempat yang sangat jauh dari puaknya.    

Atau sekali waktu saat beristirahat di sebuah warung kopi di Parakan,  saya mendapati satu keluarga yang mudik dari Pekalongan menuju kampung halaman mereka di Temanggung. Apakah kedua kota itu memancarkan kontras? Saya kira tidak. Hemat saya, di tengah PR besar soal ketimpangan pembangunan yang menjadi biang kerok urbanisasi, dalam laku merantau dan mudik terdapat beberapa kisah yang melampaui narasi besar itu.

***

Setelah melewati tahun-tahun kehilangan: kawan sepermainan, orang tua, dan emosi terhadap kampung halaman yang kian pudar, bagi saya mudik tak lagi soal nostalgia, tapi bergeser menjadi tentang mengunjungi tempat-tempat baru. Namun itu tidak pernah final, sebab kenangan terhadap tempat lahir juga sesekali masih muncul. Sebuah tarik-menarik yang terus berlangsung. Salah satu hal yang tak kunjung selesai.

Kondisi ini dengan amat presisi pernah diungkapkan Che Guevara dalam film The Motorcycle Diaries: “Ibu tercinta, ada yang hilang saat kita melintasi batas. Setiap peristiwa seperti terbagi jadi dua kisah melankolis. Untuk sesuatu yang tertinggal dan di sisi lain untuk antusiasme karena memasuki daerah baru.” [irf]

No comments: