Sejak muda Ajip Rosidi terbiasa hidup ditumpangi banyak orang. Kesungguhannya dalam berkarya sukar ditiru.
Dua bulan setelah Mingguan Sunda terbit,
tepatnya pada April 1965, Ajip Rosidi dan keluarga pindah dari Jatiwangi ke
Bandung. Bersama Ramadhan K.H., Ajip menjadi direktur media tersebut.
Ia sebetulnya telah mengontrak rumah di Gang
Natawijaya, tempatnya menginap dan bertemu kawan-kawannya bila sedang di
Bandung. Namun rumah itu telah diisi Ahmad Hidayat Sutisna, pegawai YKI
(Yayasan Kebudayaan Indonesia), beserta anak-anaknya yang masih kecil, adiknya,
juga kemenakannya. Bendaharawan YKI itu baru ditinggal wafat istrinya sehingga
mesti meninggalkan rumah mertuanya.
“Tentu aku tak mungkin mengeluarkan mereka dari
sana (rumah yang Ajip sewa) hanya karena keluargaku sendiri akan datang,” tulis
Ajip dalam autobiografi Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008).
Ajip akhirnya menyewa rumah lain yang letaknya
tak jauh dari Gang Natawijaya, yaitu di Gang Asmi. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, di rumah ini juga ia banyak menampung orang, bahkan terlalu banyak.
Saat pindah ke Bandung, Fatimah yang biasa dipanggil Empat, istrinya, tengah
mengandung anak keenam. Selain mereka bertujuh, di rumahnya ada lagi sepuluh
orang yang tinggal dengan pelbagai keperluan.
Di antaranya adalah adik Ajip lain ibu, adik
sepupunya yang dititipkan untuk disekolahkan, dua orang pemuda asal Cirebon
yang hendak mempelajari teater, pegawai Mingguan Sunda dengan
adiknya, dan anak tetangganya di Jatiwangi karena melanjutkan sekolah di
Bandung. Total yang tinggal di rumah itu tujuh belas orang.
Jika bulan puasa tiba dan kawan-kawan Ajip yang
bertamu keasyikan ngobrol hingga datang waktu magrib, maka yang berbuka puasa
di rumah itu bisa lebih dari dua puluh orang. Mereka berkumpul menikmati
hidangan di ruang tengah setelah semua kursi dan meja disingkirkan.
“Sekarang aku sendiri tidak dapat membayangkan
bagaimana atau di mana mereka tidur dalam rumah yang sebenarnya tidak besar
itu,” tulis Ajip.
Sejak merantau ke Jakarta pada awal 1950-an,
Ajip tak pernah tinggal sendirian. Saat melanjutkan sekolah di SMP VIII di
Pegangsaan Barat, ia mula-mula tinggal dengan keluarga pamannya di sebuah gang
becek di bilangan Senen. Setelah itu pindah ke sebuah ruangan di sekolahnya
yang ia sebut bekas kandang sepeda. Di sana ia tinggal bersama kawannya orang
Minang yang rumahnya di Manggarai.
Ajip bisa tinggal di kandang sepeda karena dia
mengurus majalah sekolah yang bernama Suluh Peladjar. Maka ketika
ia telah lulus dari SMP, terpaksa majalah itu tak bisa ia pegang lagi dan Ajip
pun mesti keluar dari kandang sepeda. Setelah ia keluar, Suluh
Peladjar hanya berjalan satu sampai dua nomor dan tak berlanjut.
Ajip kemudian pindah lagi ke rumah saudaranya di
daerah Rasamulya, bilangan Senen. Berbeda dengan rumah-rumah lain yang
beratapkan rumbia, rumah yang ia tinggali atapnya genting dan lantainya tegel
meski dindingnya masih bilik bambu.
Di rumah ini, Ajip mulai sering dikunjungi
kawan-kawannya. Trisnoyuwono, penulis novel Pagar Kawat Berduri (1961),
kerap berkunjung dan menginap, bahkan kadang-kadang dengan pacarnya yang masih
sekolah di SGA Bandung. D.S. Moeljanto ketika akan bekerja di majalah Kisah juga
menginap di rumah yang Ajip tinggali. Ada pula Esce, pengarang cerita pendek
yang karyanya selalu ditolak H.B. Jassin, lagi-lagi menginap di rumah ini
karena tidak punya uang dan tengah menunggu kiriman dari saudaranya. Kiriman
uang itu baru datang beberapa minggu kemudian.
“Pendeknya, kawan-kawan sering datang bertamu,
bahkan yang dari luar kota sampai menginap berhari-hari, malah
berminggu-minggu,” tulis Ajip.
Setelah menikah, Ajip dan Empat tinggal di daerah Kramatpulo. Ayatrohaedi, adiknya seayah dan seibu; Karsita, saudara jauh dari pihak ayahnya; juga Nashar—pelukis kere yang oleh Sudjojono disebut tak punya bakat melukis—tinggal bersama mereka. Saat Ajip memutuskan untuk pulang ke Jatiwangi, Majalengka karena Jakarta dirasa terlalu pengap untuk pengarang seperti dirinya, rumah kontrakan di Kramatpulo tetap disewa untuk tempat tinggal Ayatrohaedi yang masih sekolah di SMA Muhammadiyah, Karsita, dan Nashar yang ingin terus ikut tinggal di sana.
Nyatanya Ajip hanya bertahan lima bulan di Jatiwangi.
Alasannya karena di kampung kehidupan rohaninya jenuh, tak bisa bertemu
kawan-kawan untuk bertukar pikiran. Kondisi ini ia ceritakan dalam pengantar
buku karyanya sendiri, Cari Muatan: Empat Kumpulan Sajak (1975).
Ia pun kembali ke Kramatpulo, ke rumah yang masih ia sewa dan
ditempati adiknya. Kali ini penghuni rumah itu kian bertambah. Selain
Ayatrohaedi, Karsita, dan Nashar, juga ditambah kehadiran anak pertamanya.
Persahabatannya dengan Nashar beberapa kali diceritakan Ajip
dalam surat-surat yang ia tulis saat tinggal di Jepang. Di buku Yang Datang Telanjang:
Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (2008), dalam kondisi teringat mati karena kerap
mengimpikan kawan-kawannya yang telah meninggal dunia, ia meminta Nashar untuk
saling mengikhlaskan dengan dirinya.
Dalam suratnya bertitimangsa 15 Januari 1992, Ajip mengatakan
bahwa selama mereka bersahabat, baik ia maupun Nashar tak pernah
menghitung-hitung soal uangnya yang dipakai Nashar atau lukisan Nashar yang
dibawa Ajip. Menurutnya, Nashar setuju dengan ajakannya untuk saling
mengikhlaskan.
Sementara di buku Surat-surat ti Jepang 1 (2018), di bagian yang bertitimangsa 7 Juli 1980 yang
ditujukan kepada Sadeli Winantadireja (biasa dipanggil Entik), dalam suasana
sakit hati karena permasalahan di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) menyeret namanya
sebagai pesakitan, Ajip menjelaskan bahwa dirinya yakin rezeki telah ada yang
mengatur. Dan sebagai contoh bagaimana ia menjalankan keyakinannya itu dengan menceritakan
kebiasaannya yang kerap menampung kawan-kawan yang membutuhkan tempat tinggal:
“Kebiasaanku berbagi hidup dengan yang lain, terutama sesama
seniman, seperti telah menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan dari zaman
aku baru menikah. Barangkali kamu juga ingat waktu aku tinggal di Sumedang dan
di Kramat Pulo, kan banyak orang seperti Nashar yang tinggal bersamaku. Aku tak
pernah perhitungan kepada mereka.”
Keterbukaan Ajip menolong kawan-kawannya bahkan sekali waktu
mendorong Pramoedya Ananta Toer—pengarang yang Ajip sebut sangat
individualistis dan egosentris—datang juga ke rumahnya hendak meminta makan
saat ia dililit kemiskinan.
Hidup Tanpa Ijazah
Pada September 1954 Ajip ikut menjaga salah satu stan dalam Pameran Buku Nasional yang diadakan toko buku dan penerbit Gunung Agung milik Tjio Wie Tay alias Masagung. Sukarno, Hatta, dan Yamin yang waktu itu menjabat menteri hadir dalam acara tersebut. Saat mengunjungi stan buku kesusastraan yang dijaga Ajip, Sukarno dan Hatta hanya berbasa-basi. Sementara Yamin menawarinya untuk hadir dalam Kongres Kebudayaan di Solo.
Ajip, yang saat itu baru berusia 16 tahun, banyak bercakap
dengan Armijn Pane dan J.E. Tatengkeng yang usia keduanya hampir setengah abad.
Tatengkeng malah mengajaknya ikut ke Makassar untuk disekolahkan. Pada
kesempatan itu pula Ajip yang masih bercelana pendek mendebat makalah Ki Hajar
Dewantara yang mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak
kebudayaan daerah.
“Tak ingat lagi apa yang aku katakan pada waktu itu, tetapi
pada pokoknya aku menyatakan tidak sependapat dengan Ki Hadjar,” tulisnya dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang
Terekam dalam Kenangan (2008). Dan tiga tahun kemudian Ajip menerima Hadiah
Sastra Nasional.
Dua hal itu menerakan jejak tentang pilihan hidup Ajip. Ia
sepenuhnya ingin terjun ke dunia seni, apalagi saat ia akhirnya memutuskan
untuk tidak mengikuti ujian akhir SMA dan hidup tanpa ijazah. Setelah itu, Ajip
menulis ribuan karya yang terbuhul dalam ratusan buku dan hampir tak berhenti
menulis sampai akhir hayatnya.
Saya tak mengenal Ajip secara personal, bahkan melihatnya
secara langsung baru sekali, itu pun dari kejauhan, saat ia menghadiri
peresmian Perpustaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Kec. Batununggal, Kota
Bandung. Namun saya membaca beberapa bukunya. Tulisan-tulisannya menguarkan
kesan bahwa ia seorang yang daria, sungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu.
Kumpulan tulisan obituari karyanya yang dibukukan dengan
judul Mengenang Hidup Orang Lain (2010) begitu dingin. Tak ada bunga-bunga kenangan yang
hendak ia taburkan sebagai kesedihan. Sekali waktu, Ajip bahkan menulis
obituari A.S. Dharta, mantan sekjen Lekra, secara sinis, yang kemudian menuai
“serangan” dari mantan wartawan Harian Rakjat, Martin Aleida.
Selera humornya hanya muncul sangat sedikit dalam beberapa surat
yang ia tulis dari Jepang, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Ya, sangat
sedikit, selebihnya seperti biasa ia begitu daria membicarakan banyak hal yang
terkait dengan kebudayaan.
Dalam suratnya, Ajip juga kerap meminta kepada kawan-kawannya untuk dikirimi
koran nasional, majalah berbahasa Sunda, naskah buku untuk ia edit, melaporkan
perkembangan penyuntingan buku, mendorong kawannya untuk menulis biografi tokoh
nasional, mengusulkan untuk mengadakan sayembara cerpen Sunda secara rutin, dan
sebagainya.
Keseriusan Ajip terlihat juga pada beberapa pengantar buku. Ia enggan sekadar
menerakan puja-puji kepada penulis dan isi buku. Dalam novel Rasiah nu
Goreng Patut—pertama kali diterbitkan pada 1928—misalnya, Ajip panjang lebar
mengupas kisah karangan Soekria/Joehana itu. Untuk buku yang tebalnya hanya 67
halaman, ia menulis pengantar sebanyak 9 halaman. Contoh lain dalam buku Awéwé
Dulang Tinandé (2011) karangan Wiranta alias Tjaraka, Ajip lagi-lagi
menggeledah kumpulan cerpen itu secara saksama.
Hari-harinya dipenuhi banyak pekerjaan yang ia lakoni secara disiplin dan
seperti tak habis-habis. Karya-karyanya yang bejibun lahir dari keseriusan,
seperti juga kawan-kawannya yang banyak datang dari pergaulannya yang luas dan
luwes. Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang
1980-2002 (2008) setebal 801 halaman, sementara Surat-surat ti
Jepang 1 Jilid 1-6 setebal 979 halaman. Dari dua buku kumpulan surat
itu, ditambah dengan autobiografinya Hidup Tanpa Ijazah (2008),
kita bisa melihat siapa saja kawannya dan apa yang biasa ia bicarakan.
Pekan lalu, saat saya bersepeda mencari rumah kontrakan ke daerah sekitar
Alun-Alun Bandung, saya melintas lagi Gang Asmi. Seperti yang sudah-sudah,
setiap kali menyambangi gang itu, ingatan saya selalu tertuju pada kisah Ajip
dan rumahnya yang dipenuhi manusia. (irf)
Ket: Terbit pertama kali di Tirto.id pada 2 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment