Oleh: Dadan Sutisna
Kang Ajip akhirnya mengubur "meri" (itik) itu di awal
tahun 2017. Saya ikut berduka, juga merasa berdosa atas hilangnya sesuatu yang
ia pelihara sejak tahun 1995. "Akang geus teu sanggup marabanana,"
ucapnya kala itu.
Selama hampir seperempat abad Kang Ajip "ngukut Tapak Meri" (memelihara jejak itik), yaitu catatan harian yang ia tulis dalam bahasa Sunda. Ini bukan cacatan asal-asalan. Dari judulnya saja bisa membikin kerung. Kang Ajip mengutip istilah "Tapak Meri" tersebut dari juru pantun Atjéng Tamadipura:
Tapak meri dina leuwi
Galeuh kangkung awi bitung
Sanyataning suwung
(Jejak itik di lubuk
Isi kangkung bambu betung
Senyatanya tiada)
Di dalam "Pancakaki", Kang Ajip mengartikannya sebagai sesuai yang kosong, tak berbekas, dari tiada ke tiada. Ungkapan ini terkadang dikaitkan dengan kehidupan manusia Sunda di masa lampau. Para karuhun Sunda nyaris tak meninggalkan jejak sehingga rundayan-nya kesulitan melacak sejarah. Tapi itu hanya masalah tafsir.
Melalui catatan harian "Tapak Meri", Kang Ajip seolah-olah menyodorkan antitésis terhadap ucapan sang juru pantun. Hidup mémang harus punya jejak. Mesti ada titilar yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya, dan Kang Ajip sudah menunjukkannya.
Saya kira, banyak yang telah mendengar kisah "Tapak Meri" ini, tapi mungkin belum ada yang membacanya secara utuh. Beberapa petikannya pernah dimuat di majalah "Manglé". Lalu pada tahun 2018, dua jilid "Tapak Meri" diterbitkan bertepatan dengan 80 tahun Kang Ajip. Satu jilid lagi menyusul pada awal tahun 2020. Ketiga jilid ini dipilih dan disunting oléh Abdullah Mustappa. Namun, itu baru secuil dari perjalanan "sang meri".
Membaca keseluruhan "Tapak Meri" mémang butuh
persiapan ékstra. Ketebalannya bisa bikin terlengar orang yang malas baca. Mari
kita hitung. Kang Ajip mulai menulis (lagi) catatan harian tanggal 28 Juni
1995, dan berakhir tanggal 13 Séptémber 2016. Itu rentang 7.749 hari. Dalam
satu hari, Kang Ajip menulis 4-5 halaman ukuran A4. Jadi, jika dihitung
keseluruhan, bisa melebihi 30.000 halaman.
Tahun 2008 saya pernah meminta Kang Ajip berdiri di antara catatannya itu, lalu memotrétnya. Ketebalan "Tapak Meri" yang sudah dicétak bisa melebihi tinggi tubuhnya sendiri. Tanpa kedisiplinan, mustahil ada orang mampu menulis catatan harian tanpa henti selama dua dasawarsa. Selain yang telah dibukukan, "Tapak Meri" hanya bisa dijumpai di dua tempat, yaitu di KITLV Leiden dan Perpustakaan Jatiniskala.
***
Kang Ajip paham betul bahwa data-data di komputer terkadang
hilang. Bisa terkena virus dan semacamnya. Sejak tahun 2003, Kang Ajip meminta
saya untuk membuatkan cadangan data-data tersebut. Ketika datang ke Bandung,
biasanya Kang Ajip menyerahkan CD (cakram keras) yang berisi data-data terakhir,
termasuk "Tapak Meri".
Sewaktu membacanya di komputer, saya seperti melihat keseharian Kang Ajip pada layar. Gerak-geriknya. Pemikirannya. Sekalipun jenis pekerjaan yang tertera di KTP-nya adalah "pengarang", jangan katakan bahwa sehari-harinya menulis melulu. Ia juga melakukan apa yang biasa kita lakukan. Seperti yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, hal ini agak membingungkan, seakan-akan Kang Ajip dibantu oleh jiwa lain. Ia seolah-olah punya waktu lebih banyak daripada manusia lain. Padahal rumusnya hanya satu: disiplin.
"Tapak meri" sarat dengan data. Kita tahu, hampir tak menemukan anakronisme dalam tulisan-tulisan Kang Ajip. Itu lantaran ia punya semacam kalender hidup. Juga ditunjang oléh daya ingat di atas rata-rata. Ketika orang lain kesulitan menghafal nomor telepon istrinya sendiri, Kang Ajip bisa menyebut ratusan nomor tanpa merenung. Meskipun begitu, ia masih saja membuat catatan. Ini benar-benar menyindir mereka yang suka "limpeuran" tapi kedul menulis.
Isi "Tapak Meri" banyak ragamnya, merangkum keseharian Kang Ajip sejak bangun hingga tidur kembali. Terkadang ada kritik, penafsiran, dan gagasan. Di sana pula Kang Ajip menuliskan isi buku yang ia baca, semacam résénsi atau ulasan. Juga hal-hal lain seperti makanan, jalan pagi, kunjungan ke suatu tempat, serta sesuatu yang ia tengah renungkan. Barangkali kita menyebutnya luar biasa, sementara Kang Ajip masih mengatakan bahwa "loba kajadian jeung pikiran anu kaburu dicatetkeun dina ‘Tapak Meri’ tapi leuwih loba nu henteu kaburu dicatetkeun" (banyak kejadian dan pemikiran yang dicatatkan dalam "Tapak Meri", tapi lebih banyak yang tak sempat dicatatkan).
Sebagaimana tulisan lainnya, "Tapak Meri" pun ditulis dengan gaya lugas. Nyaris tak ada kiasan atau ungkapan filosofis. Begitu adanya, tapi ini penting sebagai data. Saya kira, pemborong yang membuat rumah Kang Ajip di Pabélan sudah lupa berapa harga batu, genting, kunci, dan bahan lainnya. Kang Ajip mencatatnya, bahkan ia sekali-sekali pergi ke toko bangunan. Pada "bab" pembuatan rumah di Pabélan tahun 2003, saya malah memikirkan kegesitan Kang Ajip dalam memilih bahan-bahan bangunan. Berikut saya kutip catatan harian Kang Ajip tanggal 4 Agustus 2003:
Mimitina ka "Gajah Muda", meuli konci dua. Rp. 670.000-eun. Kudu jejeg sapasang, cenah. Jadi konci Chisa nu aya henteu bisa dipaké. Chisa buatan Italia, ari nu dibeuli ti "Gajah Muda" SES buatan Spanyol. Cenah mah saimbang alusna. Cina nu boga "Gajah Muda" téh ngaranna Rudy Hartono. Hayangeun nganjang lamun engké imah kuring geus anggeus. Waktu ngadéngé salakina maca kartu ngaran kuring "Ajip ..." pamajikanana motong, "Pa Ajip Rosidi? Bapak masuk angkatan mana, ya?" Meureun kungsi diajar kasusastran. Ku kuring diwalon, "Angkat besi". Tapi salakina mah bangun henteu wawuheun kana ngaran kuring.
(Mula-mula pergi ka "Gajah Muda", membeli dua kunci. Semuanya Rp. 670.000. Mesti genap sepasang, katanya. Jadi kunci Chisa [yang sudah dibeli sebelumnya] tidak bisa dipakai. Chisa buatan Italia, sedangkan yang dibeli dari "Gajah Muda" SES buatan Spanyol. Katanya supaya seimbang bagusnya. Cina pemilik "Gajah Muda" bernama Rudy Hartono. [Dia] mau berkunjung jika rumahku sudah selesai. Ketika mendengar suaminya membaca kartu namaku "Ajip…" isterinya menukas, "Pa Ajip Rosidi? Bapak masuk angkatan mana, ya?" Mungkin [dia] pernah belajar kesusastraan. Aku menjawab, "Angkat besi". Tapi suaminya seperti tak mengenali namaku).
***
Awal tahun 2017, Kang Ajip memutuskan berhenti memelihara sang
itik. Dengan kata lain, ia tidak lagi menulis catatan harian sebab banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan. "Ongkoh apan Akang téh dibéré pagawéan sakitu
réana ku Dadan," katanya ketika kami berbincang-bincang di Bandung. Saya
pun merasa berdosa pada sang itik.
Pekerjaan itu adalah penyusunan Kamus Utama Bahasa Sunda (KUBS). Meski awalnya disusun oleh sebuah tim, lama-kelamaan kian menyusut. Dan akhirnya nyaris hanya dikerjakan berdua saja, ditambah Kang Rachmat Taufiq Hidayat yang selalu mengingatkan tentang progres. Sebenarnya KUBS sudah selesai, tapi saya masih berhasrat menambahkan ribuan léma baru, dan Kang Ajip setuju. Sebagai pemimpin redaksi, selain memberikan définisi pada belasan ribu léma, Kang Ajip juga membaca dan mengoréksi draft yang tebalnya 7.000 halaman.
Untuk ukuran bahasa daérah, KUBS merupakan satu-satunya kamus berbasis korpus. Kamus ini disusun berdasarkan jutaan korpus yang diambil dari média cetak (buku dan média massa) dalam rentang seabad lebih. Sebab seperti yang tercatat dalam "The Professor and the Madman", tugas pekamus bukan sebagai diktator bahasa yang menyatakan suatu kata salah atau benar. Tugas pekamus adalah mencatat kata-kata yang (pernah) hidup di masyarakat, didukung oléh réferénsi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kendala dalam penyusunan KUBS bukan hanya melimpahnya kosakata bahasa Sunda. Contoh kalimat pun harus diambil dari buku atau media cetak untuk memperlihatkan gambaran bahasa Sunda sepanjang zaman. Dengan tekun Kang Ajip mencocokkan kalimat yang saya kutip dari sumber tulisan. Kang Ajip mengerjakannya secara manual, sementara saya bekerja secara digital. Ini juga jadi kendala. Apalagi, seperti yang ditulisnya dalam pengantar "Tapak Meri", tempat kami bekerja tidak idéal. Kang Ajip tinggal di Pabélan, sementara tim lainnya tinggal di Bandung. Ya, tentang KUBS, mungkin saya harus menuliskannya dalam téma khusus.
Sekarang, "Tapak Meri" benar-benar menjadi jejak. Catatan harian itu, kini sudah menjelma dalam artéfak yang memanjang puluhan ribu halaman. [ ]
1 comment:
sangat bagus cerita nya
Post a Comment