Jika Semakbelukar membubarkan diri dan menghancurkan alat-alat musiknya pada 2013, maka saya menjadi anggota Kineruku beberapa tahun sebelumnya. Kini kartu anggotanya telah hilang.
Ihwal
perubahan nama, jika tak silap, dimulai dari hadirnya gerai Gramedia di
Supratman yang diberi nama Rumah Buku. Mereka barangkali hendak caper karena
kawan-kawan tahu sendiri, di Supratman telah lebih dulu hadir Togamas yang
selalu kasih potongan harga. Nah, Rumah Buku-nya Gramedia ini juga memberikan
diskon meski tak sebesar Togamas. Mungkin untuk menghindari kebingungan calon
pengunjung, maka Rumah Buku di Hegarmanah mengalah, mengganti namanya menjadi
Kineruku.
Sekarang
dua toko buku di Supratman itu tak bisa lagi diandalkan. Rumah Buku sudah tidak
ada, gerai itu hanya jadi gerai Gramedia biasa yang tentu saja langka potongan
harga. Sementara Togamas semakin memperkecil diskon. Kini rata-rata potongan
harganya hanya 5 sampai 10 persen.
Oke, lupakan
mereka. Kita kembali ke Hegarmanah.
Dari
bundaran menuju Hegarmanah di sisi Setiabudi, dulu ada angkot berwarna biru
yang semenjana dan jarang berpenumpang. Saya sempat naik sekali dan harus
menunggu lama sebelum meluncur ke atas, ke arah Kineruku. Angkot ini tak
melewati Kineruku, tapi menuju arah berbeda saat melintasi sebuah taman di
seberang kantor Telkom. Nah, di taman inilah saya turun dan melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki.
Pernah
sekali waktu, karena angkot tak jua muncul, saya jalan kaki dari pangkalannya
menuju Kineruku. Lumayan capek karena belum sarapan dan jalan menanjak. Di sisi
taman dekat kantor Telkom, saya berhenti: jajan mie ayam.
Dekat
penjual mie ayam terdapat warung nasi kecil yang sangat sederhana. Tiba-tiba
datang penjual gulali, camilan untuk anak-anak sejenis permen yang biasa
dibentuk menyeruapi ayam. Penjualnya makan di warung nasi, lauknya hanya
sepotong tahu dan kuah sayur. Ketika selesai dia hanya membayar 3.000 rupiah. Hati
saya mencelos.
Apakah
dulu Kineruku menjual makanan? Sampai sekarang saya masih berusaha
mengingat-ngingat. Yang pasti dari dulu di Kineruku tak ada wifi. Para
pengunjung benar-benar hanya membaca buku dan mengerjakan tugas kuliah tanpa
jaringan internet, kecuali memakai kuotanya masing-masing.
Dan
waktu kencang berlalu…
Pandemi
datang gelombang demi gelombang. Kineruku lumpuh. Tutup lebih dari dua tahun, dan
baru buka belakangan setelah yang lain buka terlebih dahulu.
Rabu, 1
Juni 2022, saya kembali ke Hegarmanah 52. Kini jam bukanya lebih pendek:
11.30-17.30, tapi pengunjungnya lebih ramai. Semua kursi terisi. Bahkan seorang
kawan yang datang pukul satu siang harus balik kanan karena tak kebagian tempat
duduk. Luar biasa!
Sayang,
karena kiwari Kineruku menjual sejumlah makanan berat, camilan, dan minuman,
sebagian pengunjung—terutama yang rombongan—menjadikannya hanya sebagai tempat
nongkrong: makan-makan, ngobrol, dan tertawa, sonder membaca! Aduhai, cukup
mengganggu konsentrasi membaca.
Namun
begitulah. Zaman terus berubah. Saya mesti menari bersamanya.
Biar
begitu, biar agak berisik, tapi saya masih akan mengunjungi Kineruku. Melewati
ruas Jalan Hegarmanah yang rindang dan sepi. Menikmati satu dua buku tipis
berisi cerita-cerita. Atau minum kopi di kios di pojok taman yang asri.
Saya
kira, setidaknya sampai hari ini, tak ada ruang publik untuk membaca di Bandung
yang lebih nyaman daripada Kineruku. Di utara Bandung, ruang ini masih menjadi
juara. Dan orang-orang selatan seperti saya masih ikhlas menempuh perjalanan
jauh demi mengunjunginya. [ ]
No comments:
Post a Comment