Memang dulu di kampung juga orang-orang memperlakukan istimewa ari-ari ini. Setelah dikubur, biasanya dikasih penerangan berupa lampu. Konon agar saudara si bayi itu tetap merasa hangat seperti saat berada di dalam rahim.
Dari teks keagamaan, saya mendapati keterangan bahwa memperlakukan ari-ari sama saja seperti kita memperlakukan potongan rambut dan kuku, yakni dengan hanya menguburnya.
Setelah dicuci untuk menghilangkan darah yang masih tersisa, gumpalan daging sebesar dua kepal tangan manusia dewasa itu saya masukan ke dalam kendi, lalu dibawa pulang menggunakan kantong plastik.
Di rumah, sambil merenung-renung mempertanyakan kenapa orang-orang dulu banyak yang membubuhi bumbu dapur pada ari-ari, akhirnya terbukalah ilham: kiranya alasannya sederhana, yakni agar tidak cepat berbau busuk.
Maka saya beranjak menuju kulkas, mengambil lemon, dan membelahnya. Ari-ari itu, selain dibubuhi garam, juga saya kucuri air lemon, lalu diaduk. Setelah itu dimasukkan kembali ke dalam kendi.
Jejentik jam terus berdetak. Saya segara menggali tanah dengan alat seadanya. Cangkul tak punya, linggis tak ada, golok pun tiada. Saya menggali menggunakan sendok semen yang sudah tidak ada gagangnya. Dapat dibayangkan betapa repotnya. Apalagi tanah yang saya gali ternyata dipenuhi bebatuan sehingga penggalian harus dibantu menggunakan obeng.
Setelah salah satu obeng saya rontok, akhirnya mencoba menghubungi seorang kawan yang tinggal di Simpang Dago. Berkali-kali ditelpon, berkali-kali juga tidak diangkat. Barangkali dia sedang di jalan.
Hari kian petang, saya mencoba mencari toko alat-alat pertanian terdekat via Google. Yang terdekat rupanya di daerah Ranca Oray, sekitar 9,6 kilometer, ah terlalu jauh. Saya kemudian teringat seorang kawan yang tinggal di daerah Parung Halang, Andir.
"Anyeuna pisan?"
"Enya," jawab saya singkat.
Sepuluh menit kemudian dia datang membawa cangkul dan golok yang sangat tajam. Karena tanahnya berbatu, cangkul dia pun akhirnya rontok. Sementara goloknya tak saya gunakan karena sayang terlalu bagus.
Setengah frustasi, kami akhirnya rehat. Dia menyulut api dan merokok, masih setia dengan Dji Sam Soe. Sementara saya sudah dua tahun berhenti. Kami ngobrol sampai tak terasa azan Magrib telah berkumandang.
"Geus weh dikuburkeun di deukeut imah urang."
"Moal nanaon?"
"Moal, da nu penting mah dikuburkeun meh teu bau. Komo batur mah sok aya nu dipiceun ka Citarum. Tapi ari kitu-kitu teuing mah ulah, asa teu boga adab pisan," imbuhnya.
Dia pun akhirnya pamit, membawa kembali cangkul, golok, dan kembaran si bayi.
Kira-kira pukul 19.30, dia mengirim foto ari-ari yang tengah ditanam di bawah rumpun bambu. Ya, rumah dia memang berdekatan dengan beberapa rumpun bambu dan permakaman yang tanahnya merah serta gembur.
Kelak, jika anak saya menanyakan di mana ari-arinya ditanam, saya dapat menceritakannya dengan mudah. [ ]
No comments:
Post a Comment