12 October 2024

Moby Dick Rasa Kari Ayam

Sekali waktu, Eka Kurniawan diminta seseorang untuk menyebutkan tiga buku sebagai bekal untuk calon penulis. Eka menjawab, jika calon penulis itu adalah dirinya sendiri sekitar 25 tahun yang lalu, maka ia merekomendasikan buku-buku karya Franz Kafka, Toni Morrison, dan satu lagi antara Moby Dick atau Don Quixote.

“Kafka mah sebenarnya [judulnya] apa aja lah, tapi saya pilih The Castle,” kata Eka.

Moby Dick atau Don Quixote, dua judul ini sangat sering saya dengar, tapi belum kesampaian membacanya. Maka dengan bujet terbatas, meluncurlah saya ke loka pasar hijau, memindai, dan menukar sejumlah rupiah dengan dua buku versi ringkas Moby Dick atau Don Quixote. Empat hari berselang, mereka datang.  

“Takdir Moby Dick di negeri ini tampak mirip novel-novel legendaris lain yang lebih sering disebut daripada dibaca,” tulis Cep Subhan KM dalam pengantarnya.

Alasannya, kata dia, mungkin karena novel ini tebal sehingga belum ada terjemahan lengkapnya dalam bahasa Indonesia. Alasan lanjutannya, pikir saya, barangkali ketebalan itu membuat para penerbit gentar, takut biaya produksi tak sebanding dengan penjualan.

Setelah menyelesaikan Moby Dick versi ringkas dalam sekali duduk, saya yakin bahwa novel ini, tentu dalam versi lengkapnya, menyajikan pertualangan yang dahsyat. Semua material, termasuk plot dan penokohan, juga lanskap cerita, amat menjanjikan: pertualangan, dendam, ikan paus, laut, para penombak, darah, badai, dll.

Perhatikan paragraf pembukanya:   

“Panggil aku Ismail. Mengajar adalah profesiku. Tetapi dari waktu ke waktu, aku merasakan hasrat untuk bertualang. Ketika hasrat itu datang, aku akan meninggalkan ruang kelas dan pergi ke laut. Ketika aku merasa terjatuh, lautan terbuka memiliki sesuatu yang dapat mengangkat kembali semangatku.”

Lalu muncul tokoh Queequeg, si penombak bertato, putra seorang kepala suku yang meninggalkan kampung halamannya untuk melihat dunia. Sukunya tinggal di sebuah tanah yang jauh bernama Aotearoa, yang berartinya “awan putih yang panjang”. Ismail menyebut Queequeg sebagai “raksasa berhati lembut.”

Keduanya bertualang dengan menumpang Kapal Pequod, kapal penangkap paus yang dipimpin Kapten Ahab yang salah satu kakinya buntung dimangsa paus putih alias Moby Dick. Dan atas itulah, dendam kesumatnya menyala sepanjang cerita. Benar-benar bahan cerita yang bagus, bukan?

Para awak kapal lain tak kurang menarik. Ada Starbuck, seorang pria yang kehilangan ayah dan saudara lelakinya di laut. Orang kedua bernama Stubb, seseorang yang tidak suka serius. Lalu ada Flask, dia yang hidup untuk membunuh paus.

Lain itu, ada juga para penombak yang keberadaannya amat penting di kapal pemburu paus. Mereka orang-orang berani, sangat kuat, dengan mata yang jernih dan lengan perkasa. Selain Queequeg, penombak lain bernama Tashtego, seorang Indian Amerika. Dia anggota dari suku New England yang terkenal kuat. Seorang lagi bernama Daggoo asal Afrika. Rekan-rekan Daggoo adalah para pejuang pemberani dari sebuah suku di Afrika.

Sementara penombak pilihan Kapten Ahab adalah seorang pria Arab bernama Fedallah. Dialah si penombak yang bernubuat bahwa dirinya akan mati duluan dan menuntun sang kapten ke dunia selanjutnya.

“Adalah seutas tali, yang akan membunuhmu,” kata Fedallah meramal kematian Sang Kapten.

Moby Dick versi lengkap berisi 135 bab plus epilog. Sementara versi pendek hasil meringkas Janet Lorimer ini hanya berisi 10 bab. Saya membayangkan versi pendek ini ibarat kari ayam, atau soto mie, atau rendang, atau ayam bawang, yang semuanya dalam bentuk mie instan. Sedikit terbayang, mencecap secuil, tapi masih jauh dari wujudnya yang hakiki. [irf]

Selayang Dendang

Belakangan, nyaris setiap tahun, tempat kerja menjadi media partner sejumlah acara musik. Dari Synchronize, Prambanan Jazz, hingga Pestapora. Sejumlah tiket jatah media biasanya digunakan anak-anak mulmed dan sosmed.

Redaksi? Biasanya kami sudah terlalu lelah mengurusi naskah yang berjejal di hampir 15 jam yang dicacah dalam sejumlah sif. Meski demikian, ada juga sesekali reporter yang ikut nonton, biasanya anak muda yang energinya masih penuh meski seharian telah dibantai tenggat.

Editor news hampir bisa dipastikan tak pernah ada yang ikut acara musik. Alasannya cuma dua: tak berminat dan tuntutan keluarga.

Bagi saya, konsep festival barangkali juga berpengaruh untuk terus menunda menyamber tiket-tiket itu. Lagi pula, seumur hidup rasanya baru dua kali saya nonton acara musik. Pertama saat /rif konser di Sukabumi tahun 2000 dalam rangka promosi album Nikmati Aja. Kedua, konser album Roekmana’s Repertoire Tigapagi di De Majestic, Braga, Bandung, tahun 2023.

Kala itu, harga tiket /rif hanya Rp 12.000, seharga rokok Lucky Strike tanpa filter yang biasa dibeli seorang kawan di Jalan Ciwangi, Sukabumi. Konser digelar di sebuah gedung kecil di sisi Lapang Merdeka yang ditutup dengan lagu “Loe Toe Ye”.

Rasa-rasanya, Maggy kala itu masih “segar”, belum terlihat renta seperti Andy, dan masih sangat lincah menggebuk drum. Tapi belakangan karena band ini termasuk salah satu “drunken master”, maka lama-lama Maggy pun terlihat ringkih.

Sedangkan Roekmana’s Repertoire Tigapagi dibandrol dengan harga Rp 200.000, termasuk CD album tersebut sebagai tanda masuk. Artinya saya jadi punya dua CD album itu. Secara keseluruhan konser Tigapagi amat memuaskan, hanya sedikti gangguan kecil saat sejumlah penonton lain di sebelah saya ikut bernyanyi. Bagi saya, lagu-lagu Tigapagi bukan jenis yang layak dinyanyikan bareng-bareng, tapi cukup didengarkan, diresapi, dihayati.

Baru-baru ini, setelah 10 tahun lebih sejak album pertama menetas, Tigapagi akhirnya mengeluarkan album kedua bertajuk Rukiah’s Suites. Temanya masih sekitar 1965 dan Siti Rukiah Kertapati adalah sastrawan serta aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sayap PKI. Lagu-lagunya pun sepintas masih sama dengan album pertama, harmoni-harmoni yang “Tigapagi banget”.

Album Rukiah’s Suites hanya dicetak dalam bentuk piringan hitam. Ini dikonfirmasi oleh Tigapagi di akun Instagram-nya. Bagi saya dan mungkin mayoritas pendengar yang bisa saja dicap sebagai “rombongan mendang-mending”, hal ini tentu sangat disayangkan. Harga piringan hitam jelas lebih mahal dari cakram padat. Lagi pula tak semua orang punya turntable. Tigapagi sebaiknya tak beranjak menjadi “band mahal dan eksklusif”.

Namun barangkali dalam dua acara musik itu ada juga yang pernah saya hadiri, tapi kemungkinan lupa. Tak apa. Yang cukup saya sesali adalah tak hadir dalam acara dendang sore Semakbelukar di Kineruku pada 2013 saat mereka akhirnya membubarkan diri yang menghancurkan semua alat musiknya. Lalu hanya menyisakan sang vokalis, David Hersya, yang kini mulai aktif lagi membuat sejumlah syair. [irf]