02 November 2007

Di Depan Gedung Indonesia Menggugat

“Air yang mengalir di sungai akhirnya akan bertemu dengan muara dan selanjutnya bergabung dengan samudera. Setiap muntahan yang keluar harus dibuatkan kanal agar tidak meluap dan membanjiri wilayah lain. Muntahan apa saja. Seperti air, mereka juga harus dialirkan, harus diberi jalan agar bertemu dengan titik yang akan meleburkan muntahan-muntahan itu menjadi terlihat wajar.

Keinginan, hasrat maupun minat yang timbul dalam diri harus dialirkan agar tidak meledak membedaki ketidakwajaran. Seperti perasaan cinta yang selalu melahirkan lagu, puisi, cerita dan film, keinginan untuk menulis pun harus disalurkan. Harus dimuntahan dan dialirkan, karena setiap hasrat yang terpendam akan melahirkan penyakit, walaupun penyakit itu dalam wujud yang paling abstrak sekalipun.

Menulis. Merangkai sukukata menjadi kata. Dan menyambung kata menjadi kalimat adalah sebuah aktivitas yang membebaskan. Rangkaian kalimat itu kemudian berubah menjadi paragraph. Paragraf yang membebaskan. Membebaskan kita dari tumpukan ide dan perasaan yang padat memenuhi otak dan hati. Menulis, seperti hasrat-hasrat yang lain adalah kawah yang bergolak yang harus dialirkan. Dialirkan agar bertemu dengan muara dan menyatu dengan samudera.

Maka ketika aku dihinggapi keinginan menulis sebagai efek dari minat membaca, aku cepat memuntahkan dan mengalirkannya. Seperti kencing ataupun buang hajat yang pada awalnya sangat membebani dan merasa ringan setelah semuanya dibuang, maka menulis pun seperti itu. Lega rasanya ketika melihat kertas penuh diisi tulisan yang pada awalnya sangat membebani. Menulis tak perlu menunggu “panas”. Tak perlu menunggu semangat datang membakar keinginan. Menulislah dalam setiap kesempatan. Bertahan dan bertahanlah. Jangan cepat puas dengan 2 atau 3 paragraf yang dibuat, teruskan saja menulis. Minimal 6 lembar kertas kuarto. Jika menulis diibaratkan menyelam, maka nafas harus panjang dan setelah 6 lembar kertas itu terpenuhi, maka bolehlah mengambil nafas ke permukaan. Kalau tidak begitu kita hanya akan mendapatkan penggalan-penggalan. Awalnya memang berat, tapi selanjutnya justru kita yang akan ketagihan. Kenapa ketagihan?. Karena kita ingin bebas !!. Dan menulis….. sekali lagi adalah sebuah aktivitas pembebasan !!”

Demikian “khotbah” yang disampaikan teman saya siang tadi di kampus. Disela waktu menunggu bus di halte yang penuh dengan coretan vandalisme. Fajar Merah, nama teman saya itu. Orangnya kurus, rambut lurus, kulit sawo busuk, tidak pakai kacamata dan seorang perokok. Ralat : perokok berat. Sehari bisa menghabiskan 2 bungkus rokok. Mirip lokomotif. Maka tak heran gusinya hitam dan giginya berderet rapi kekuning-kuningan. “Khotbah” itu mengalir begitu saja ketika saya bertanya : “kenapa sih kamu suka menulis?”.

Setelah “khotbah”nya itu berhenti, saya bertanya lagi : “apa yang telah kamu tulis?”. Dia tidak menjawab, tapi membuka tas kumuhnya yang berwarna hitam dan mengeluarkan beberapa lembar kertas lusuh berisi tulisan-tulisannya. Tulisan yang sulit aku mengerti. Tapi aku juga enggan menanyakan maksud tulisannya. Tidak penting, begitu pikirku. Lalu aku kembalikan lagi padanya, tapi dia menolak bahkan memberikannya padaku. Dan agar dia tak tersinggung maka aku tidak membuangnya ke tong sampah. Aku masukkan ke dalam tasku. Kemudian bus memisahkan kami. Dia ke utara dan aku ke selatan. Bus kota membawaku pulang ke kost-an sempit ditengah kepadatan penduduk kota yang makin tak ramah.

Jam 9 malam di kost-an sempitku, di bawah cahaya lampu yang kurang terang, aku membaca kembali tulisannya. Diawali menguap 2 kali dan membaca basmalah, aku kemudian mulai membacanya :

“Dari balik jendela yang lembab dan berdebu, aku memandang keluar. Di luar hujan cukup deras. Titik-titik air semakin membesar dan membasahi bumi yang kering dan berdebu. Ranting-ranting kering berjatuhan diterpa angin. Jalanan sepi tak dilewati orang-orang. Orang-orang lebih memilih diam di rumah : nonton tv atau menyalakan api. Wajar saja sebab udara di luar nampaknya semakin dingin dan menggigil.

Aku melihat jam dinding, pukul 4 sore. Ajo, temanku asyik tidur di sofa butut ruang tengah. Rencananya sore itu akau dan Ajo akan pergi ke gedung ”Indonesia Menggugat”. Pameran lukisan tengah digelar di sana, tapi hujan akhirnya menggagalkan rencana kami. Kami bukan pelukis, bukan pula kolektor lukisan. Kami hanya mahasiswa yang suka berjalan. Berjalan?. Ya, kami suka jalan kaki jika pergi jalan-jalan. Bukan hanya jalan-jalan, bahkan ke kampus, ke pasar, ke toko buku dan ke tempat-tempat lainnya pun kami berjalan kaki. Bukan tak punya ongkos untuk membayar kendaraan umum, tidak…..tidak demikian. Kami hanya ingin menikmati perjalanan saja.

Hujan bukannya reda malah makin deras. Kini bahkan disertai guntur yang menggelegar menghadirkan suara alam di kedua telingaku. Langit pun makin gelap. Rencana kami kiamat.

Aku kemudian masuk ke kamar dan menyambar sebuah buku bersampul biru, pengarangnya aku lupa lagi. Yang jelas buku itu adalah sebuah cerita fiktif yang cukup menarik. Menarik menurutku. Menurut suasana hatiku. Sementara jam terus saja berdetak seirama dengan denyut jantungku. Ajo belum bangun, dia masih terlelap dibuai mimpinya. Di halaman tengah buku itu aku menemukan kalimat ini :“Kita bukanlah manusia. Kita hanya binatang yang mencari nilai-nilai kemanusiaan.” Aku berhenti sejenak menimbang-nimbang kalimat itu, lalu meneruskan aktivitas membacaku.

Di dinding kamar aku melihat cecak dan kecoa. Aku tersenyum. Kalau aku binatang berarti aku sama seperti mereka?. Ah, ada-ada saja penulis ini, pikirku.

Menjelang maghrib hujan mulai reda. Lalu setelah adzan, hujan benar-benar reda. Aku teringat kembali niatku untuk mengunjungi ”Indonesia Menggugat”. Kulihat Ajo tak ada di sofa butut, mungkin dia pergi mengambil air. Selang 5 menit dia muncul di kamarku membawa muka lusuhnya dan berkata : “Ayo ke Indonesia Menggugat !”. Aku tak menjawab, hanya melihat jam dinding saja, lalu dia berkata lagi : “pamerannya sampai jam 9 malam !”.

Setelah sholat, kami akhirnya berangkat. Melawan dinginnya malam yang baru saja menjemput senja. Jalanan masih basah. Genangan air memenuhi lobang-lobang jalan yang menganga. Ditemani sebungkus rokok murah kami menembus dinginnya malam yang mulai merayap.

Jalanan mulai ramai lagi. Kendaraan umum dan pribadi berlomba memenuhi jalan yang basah. Lampu-lampu pertokoan mulai menghiasi kota. Asap rokok bertalu-talu menghajar gigiku dan gigi Ajo. Nikmat sekali rasanya asap racun itu. Di sebuah pertigaan aku melihat seekor kucing. Aku tersenyum lagi. Aku teringat diriku yang disamakan dengan binatang.

Perjalanan cukup panjang. Cukup memanjakan kaki kami yang masih kuat. Sekuat tanah dan batu yang kami injak. Perjalanan itu menghabiskan 1 jam. Pukul 19.30 kami sampai di Indonesia Menggugat. Halamannya gelap. Cukup angker. Kami lalu masuk dan ternyata pameran telah selesai. Selama 2 menit aku mencerca Ajo. Mencerca informasinya yang salah. Dia hanya diam. Mirip prasasti yang berdiri di depan gedung itu.

Untuk menghilangkan kekesalan aku kembali merokok. Ajo juga merokok, mencoba berdamai dengan penyesalannya. Sambil duduk dan mengisap rokok, pandangan lurus ke depan. Ke jalan yang cukup padat dilalui kendaraan. Malam semakin gelap memeluk bumi. Pohon besar di depan Indonesia Menggugat terlihat kokoh dengan akarnya yang menonjol keluar.

Setelah rokok habis, kami memutuskan pergi meninggalkan gedung itu. Di pintu gerbang keluar kami membeli rokok 2 batang sebab persediaan telah habis. Di trotoar jalan, masih di depan gedung itu kami duduk lagi dan tentunya sambil mengisap rokok. Dari arah selatan seorang bapak tua tampak berjalan mendekati kami. “Pasti mau pinjam korek api”, begitu pikirku. Ternyata aku salah, dia malah menanyakan apotek yang harga obatnya murah. Lalu aku sebutkan sebuah nama, ternyata bapak itu telah mencobanya : harganya mahal, tak dapat ia jangkau. Sementara katanya anaknya di rumah kesakitan menahan derita. Lalu aku tanyakan berapa kurangnya uang itu, lalu dia menjawab : “15 ribu rupiah”.

Di kantong celana belakangku aku menyimpan 20 ribu. Tapi itu buat ke warnet. Buat chatting dengan “teman lamaku”. Sementara Ajo tak punya uang untuk membantunya. Bapak tua itu semakin kebingungan. Semakin khawatir dengan anaknya. Lalu dia pergi mencari apotek yang murah. Kami memandangnya yang berjalan semakin menjauh. Ada sebuah perasaan yang mirip penyesalan di hatiku. Lalu aku bertanya-tanya : “kenapa aku tak memberikannya?”, “kenapa aku tak membantu bapak tua itu?”. Aku lama tertegun sebelum akhirnya Ajo mengajakku pulang, masih dengan berjalan kaki. Selama perjalanan pulang itu aku masih tetap merasa menyesal.

Di ujung jalan dekat Balai Kota, aku melihat seekor anjing. Aku teringat kalimat di novel yang sore tadi aku baca. Kali ini aku tidak tersenyum.”

Entah tulisannya yang jelek atau memang aku yang bodoh, yang jelas setelah membaca tulisan Fajar Merah itu aku tetap tak mengerti apa maksudnya?. Aku lalu tertidur. Besoknya aku sangat kaget, karena jalanan dipenuhi manusia-manusia berkepala binatang !! [Published]

No comments: