03 November 2007

Jalan Jurig Jarian

“Buat apa susah-susah bikin skripsi sendiri
Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah
Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli tenang sajalah.....”

”Traaakh...”, tombol play itu berdiri. Menghentikan musisi kritikus yang tengah bernyanyi, atau tengah sakit gigi.

”Ngapain lu matiin?!”, Joko tidak terima.

”Lu gak tersinggung sama lirik itu?!”.

”Tersinggung?!, sejak kapan lu jadi sensitif?!”

”Sejak gua kuliah!”

”Ah, basi lu!!”, Joko memijit kembali tombol play. Mempersilakan musisi kritikus meneruskan teriakan sakit giginya.

”Eh, lu denger gak sih liriknya?!”

”Iya gua denger, terus kenapa?!”, Joko mulai bereaksi. Reaksi seperti siap untuk konfrontasi.

”Lu merasa dihina gak sih?!”

”Maksud lu?!”, Joko menurunkan tensinya.

”Gua tahu, lu gak bakalan kayak orang di lirik itu, tapi masa kaum kita disudutkan lu masih terima sih?!”

Joko tak menjawab, dia malah melihat jam tangannya. Sebuah bahasa tubuh yang tak dimengerti lawan bicaranya.

”Lu masuk jam tujuh kan?, udah lewat lima belas menit tuh, ntar lu telat lagi!”, akhirnya bahasa tubuh itu berujung pada pengusiran lawan bicaranya.

Di ujung kamar, lawan bicaranya itu masih sempat berkomentar, ”lu gak peka Jok!!”

”Lu plagiator ya?!”, setengah berteriak Joko memuntahkan kalimat yang terasa pedas di kuping lawan bicaranya, padahal lawan bicaranya itu telah empat langkah meninggalkan kamar Joko.

Tombol play tidak ada lagi yang mengganggu. Musisi kritikus merdeka. Sakit giginya memasuki stadium II.

Lalu Joko bergegas mandi. Parade kotoran yang bersemayam di badan kurusnya dia sweeping dan buang. Lalu busa sabun menjadi tidak putih. Krem. Berlomba menuju lubang pembuangan.

Dan kini tersisalah tubuh kurus di depan cermin. Sambil bersiul, dia menyisir rambutnya. Merapikan setiap centi penampilannya. Hari ini Joko bimbingan skripsi.

***

Pagi itu seperti biasa, Jaja membereskan dagangannya. Di jalan Jurig Jarian dia berdagang. Tumpukan buku dan karya ilmiah minta dirapikan, karena sebentar lagi para pembeli akan datang. Berduyun-duyung, tawar-menawar, transaksi, memberinya rezeki dan memudahkan para pembelinya.

Berangkat dari desa kecil dan hanya menamatkan S dua kali, Jaja merasa pekerjaannya sekarang telah lebih dari cukup untuk menjadi kompensasi dari perjuangannya.

”Mau kerja apa lagi, orang saya cuma lulusan SD sama SMP aja kok!”, begitu jawabnya ketika tetangganya sedikit mengkritik mata pencahariannya itu.

”Yang penting halal, iya toh?!”, Jaja melanjutkan argumentasinya.

”Iya, tapi pekerjaanmu itu melanggar kode etik pendidikan!”

”Alaaah..., mau kode etik pendidikan kek, mau politik kek, saya mah gak ngerti, yang penting mah dapur mesti terus ngebul, biar anak istri saya bisa terus hidup. Lagian yang yang melanggar kode etik kan mereka, bukan saya?!”, Jaja mengeluarkan kata-kata proletar, seperti seorang sosialis yang tengah orasi dengan menjinjing perut korong rakyat atau menuntun seorang anak busung lapar.

”Ya, terserah kamulah!”, tetangganya pergi. Seperti orang kalah perang. Kalah oleh tentara jajahannya. TKO!!.

Dan hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Jaja kedatangan anak-anak itu. Anak-anak yang sering mengingatkannya pada cita-cita lama yang telah ditimbunnya. Anak-anak yang menyambung hidup keluarganya. Anak-anak yang sering Jaja lihat di jalanan. Meneriakkan aspirasi, membakar kulitnya di bawah terik mentari, memperjuangkan idealisme. Bersama....mereka mengusung daya kritis, intelektual, cita-cita dan harapan. Barikade tentara dan polisi hanyalah hambatan kecil bagi gelombang besar mereka.

Mereka...bergulung, bergemuruh, merontokkan dinding-dinding kekuasaan. Dan mari sekarang kita hiperbola lagi keadaan yang telah hiperbnola itu. Bahkan tembok raksasa Cina pun bisa diruntuhkan sepertinya.

Di tengah kondisi yang bergemuruh itu, Jaja tampil sebagai sang penakluk. Gelombang besar itu tunduk di kiosnya. Segala idealisme diistirahatkan di sana. Titik masa depan telah menggoda gelombang besar itu untuk menggadaikan nama besarnya. Aristokrat mungkin ada, tapi hanya menghiasi dinding luar saja.

”Jurusan apa mas?”, Jaja mencoba mencari tahu identitas si pembeli untuk memudahkan pencariannya,

”Sastra Iblis”

”Ini Mas, ada yang terbaru tahun 2004”

Si pembeli membolak-balik barang itu. Membaca judulnya berulang-ulang.

”Yang lain deh, judulnya gak enak”

Jaja pergi lagi kederetan Sastra Iblis, lalu mengambil tiga buah.

”Yang ini berapa duit?”

”Biasa, enem lima”, Jaja menekankan harga familiar.

”Gak bisa kurang bang?, kata anak-anak biasanya gocap”

”Paling kurang goceng”

”Gocap aja deh, ya?!”

”Lima..lima deh!”, Jaja menawarkan harga tengah.

”Gocap!”

”Udah habis segitu”

Si pembeli kembali membolak-balik barang. Membaca selintas karya ilmiah Sastra Iblis itu. Lalu merogoh kantong dan menghentikan tawar-menawar. Kemudian pergi ke rental komputer, membayar masa depannya. Tanpa bekerja sedikit pun. Kalau pun kerja, paling hanya tawar-menawar harga, tenaganya habis buat demonstrasi.

”Mas, tahun sama judulnya sesuaikan aja, ya!”, instruksi pertama untuk kuli ketik

”Isinya plek sama?”, kuli ketik bertanya.

”Ya..., modif sedikit aja!”, instruksi kedua datang.

”Oke”, kuli ketik faham.

”Ntar sisanya pas gua ambil, ya!”

”Oke”, kuli ketik faham lagi.

Beberapa lembar uang pecahan 10.000 rupiah pindah ke tangan si kuli ketik.

Si pembeli jasa pergi ke kost-an, meninggalkan ketikan masa depannya. Apa pun bisa dibeli. Sistem pasar telah merekontruksi peta pemikirannya. ”Anda butuh uang, saya butuh barang”. Bukankah itu hukum ekonomi yang paling klasik?. Kenapa harus dipermasalahkan?. Bukankah bayangan masa depan sama dengan tiket masuk PTN?. Bisa dibeli. Bisa pakai joki. Apa bedanya beli skripsi, tesis dan disertasi dengan beli terasi?. Tinggal menjentikkan jari, semua bisa diatasi.

Calon pembeli kedua datang. Memilih-milih buku tua. Diambil satu, dibuka lalu disimpan lagi. Ambil satu lagi, dibuka lagi dan disimpan lagi. Pada buku ke-empat, calon pembeli tampak melayangkan pandangan ke seluruh pojok kios. Seperti ada yang dicari.

Jaja menangkap keinginan calon pembeli. Sigap dia ke rak tesis dan mengambilnya tiga buah.

”Nyari ini, mas?”, Jaja mencoba menghentikan pandangan selidik calon pembelinya.

Tesis pertama dilihat sebentar, lalu disimpan. Tesis kedua nasibnya tak jauh beda dengan yang pertama. Yang ketiga lebih sial. Tak disentuh, hanya dilirik saja.

”Ada judul yang lain, bang?”

”Saudara ngambil jurusan apa?”

”Teknik Menangkap Tuyul”

”Sebentar...”

Jaja menuju rak dan mengambil koleksi tesis jurusan Teknik Menangkap Tuyul.

”Ini mas...bagus kayaknya?”

”Wah...buleh juga nih, berapa duit?”

”Cepe”

Si pembeli mengeluarkan dompet dan mengambil uang pecahan 100.000 rupiah satu lembar. Di dompetnya terlihat malu-malu sebuah kartu tanda mahasiswa. Dan di KTM itu fotonya tersenyum cerah. Penuh harapan. Dan dia tidak menutupi mukanya.

”Makasih bang!”

”Yoo...sama-sama!”, Jaja mengibas-ngibaskan uang 100.000 itu. Matahari belum terlalu tinggi. Dia telah mengantongi 155.000 rupiah.

***

Perburuan Pertama :

Telah hampir dua jam Joko duduk di situ. Di ruang tunggu Pembantu Rektor Bidang Pemberdayaan Mahasiswa Ripuh. Purek yang sekaligus dosen pembimbingnya itu sibuk rapat meskipun saat yang dijanjikan telah dua jam berlalu. Waktu yang kelam perlahan seperti membunuhnya. Tik-tak-tik-tak, suara jarum jam menjadi mengerikan. Dan sesekali ucapan : ”sebentar ya de, bapaknya masih rapat”. Mau rokok susah. Masa di ruang Pembantu Rektor merokok?. Apa gak kurang sopan?. Ah...#@$%^&*, Joko mengutuki feodalisme di kampusnya.

Menunggu telah memasuki jam ketiga. Hari itu bimbingan gagal. Dosennya yang Purek itu langsung pulang. Lelah, dibantai rapat panjang.

Perburuan kedua sekaligus terakhir :

”Oke Jok, saya tunggu pukul tiga sore di ruanagan saya!”

”Makasih Pak”

”Ya, sama-sama”

Klik, telpon ditutup. Pak pembimbing melihat jadwal kuliah. Kurikulum Doktor menghilangkan selera makannya. Lama dia duduk termenung sebelum akhirnya bergegas menyambar kunci mobil dan melaju meninggalkan kampus. Rapat dengan pembantu rektor se-kota Siluman Raya telah menunggunya.

Sementara Joko lega, jadwal bimbingan sepertinya tak terganggu lagi.

Bertemu dengan dosen pembimbing seperti menangkap asap. Nyata terlihat, tapi susah ditangkap. Mendingan seperti kentut, walaupun tak terlihat, tapi nyata, dapat dirasakan kehadirannya.

Dan sore itu Joko berharap bertemu kentut, bukannya melihat asap. Tapi sial, harapan tinggal harapan. Jangankan bertemu kentut, melihat asap saja tidak. Sampai jam setengah enam sore asap belum pulang ke kampus. Masih terlibat rapat alot dengan komunitas Purek se-kota Siluman Raya.

***

Sebelas hari setelah gagal menangkap asap, Joko tak pernah lagi menghubunginya. Dia terus saja mengerjakan skripsinya tanpa pembimbing. Mengejar deadline yang tinggal dua minggu lagi. Asap pun sama, tak pernah menghubungi Joko, dia sibuk dengan aktivitasnya, sehingga jangankan menjadi kentut, mempertahankan diri sebagai asap pun kini sulit dicapai, karena dirinya telah berubah menjadi uap. Tak terlihat. Tak terasa. Tapi masih punya nama.

Monitor 14 inci itu terus dipelototi. Huruf-huruf terus memenuhi layar Ms. Word. Tombol delete tak henti-hentinya ditekan, membersihkan tulisan yang salah ketik. Sebuah aktifitas koreksi di dunia pengetikan. Begitu mudah dilakukan. Begitu mudah dibersihkan. Sebuah kesederhanaan proses. Kesederhanaan yang menjadi kompleks di kota Siluman Raya.

Kini Joko memasuki bab IV. Bab hasil dan pembahasan. Di halaman ke-78 dia berhenti. Dia terbentur kebuntuan berfikir. Segala ide dan imajinasi hilang diculik posisi kuldesak otak. Uji kesesuaian antara teori dan hasil penelitian mendorongnya pada kedangkalan berfikir. Dia butuh referensi. Butuh narasumber sekaligus sparing pathner. Saat seperti itulah asap kembali melayang-layang dalam kapasitas memorinya. Asap menjadi sangat dirindukan. Dia dibutuhkan untuk melanjutkan pengetikan agar jangan terhenti di halaman 78.

Joko kemudian membuka Philip Kotler. Mencari penunjuk jalan untuk menambah halaman. Tapi Kotler seperti tengah kering. Tak bisa menjadi mata air inspirasi bagi mahasiswa Pemasaran Dedemit seperti Joko. Kotler pun dipecat lalu Joko memanggil Loudon dan Bitta. Mensiagakan panca inderanya untuk menangkap percikan ide dari buku itu. Tapi sampai siaga 1, Loudon dan Bitta masih sunyi. Jangankan percikan, sumber perciknya pun tidak ada. Loudon dan Bitta bernasib sama. Dipecat dan dilempar mengikuti pendahulunya.

Kini Joko benar-benar rindu asap. Padahal itu salah, karena asap telah berubah menjadi uap.

Tik-tak-tik-tak, jarum jam tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Winamp terus bersuara, menggantikan tombol play dalam tape recorder. Dan kini memasuki ”Hening Malam”nya band asal Parij Van Java.

”Loh, tumben lu. Udah sadar ya?!”

Joko, si pencari inspirasi terus berfikir.

”Nah gini dong, jangan si musisi kritikus terus!”

Joko tak bergeming.

”....Diiringi deras hujan, kau menjelma dalam angan, biar indah itu semu setidaknya ku bahagia...aku akan tetap menunggu....” , lawan bicara Joko mulai mengisi suara latar pencarian ide.

Tombol keyboard mulai dipijit lagi. Sepercik ide menghampiri Joko.

Lawan bicaranya pergi. Lima menit kemudian dia kembali lagi membawa skripsinya. Memperhatikan Joko yang tengah menyelesaikan skripsi, dia semakin demonstratif. Membuka-buka dan membaca skripsinya.

”Hari gini masih bikin skripsi?!”

Layar Ms. Word memasuki halaman 83, Joko tengah kebanjiran ide.

“Makanya Jok, kalo lu pusing…., ngomong sama gua. Gua bisa bantu lu kok!!”

Kini bukan lagi banjir, tapi tsunami ide Joko meluap. Lelehan ide mengalir di kanal-kanal otaknya.

Sadar yang diajak bicara tidak komunikatif, lawan bicara Joko akhirnya pergi. Dengan ciri khas, sebuah kalimat sempat dia lontarkan di ujung kamar, ”kalo lu buntu, penjual skripsi banyak tuh di jalan Jurig Jarian!!”

Seketika tsunami ide berhenti. Informasi penjual skripsi menghentikan kerja mekanis otaknya. Apalagi jalan Jurig Jarian. Bukankah itu tak jauh dari kampusnya?. Joko berusaha menggerakkan lagi gelombang idenya, namun badai tsunami telah berhenti. Kini kebuntuan kembali menghampirinya.

Layar Ms. Word masih meminta isi. Dia seakan menodong Joko. Dan sebelum layar itu melumatkan fikirannya, Joko mengambil keputusan. Bukankah orang yang bisa mengambil keputusan, bisa memegang kendali nasib?.

Ms. Word ditutup. Winamp dimatikan. Komputer di shut-down. Stabilizer dialihkan ke posisi off. Dia bergegas pergi meninggalkan pesta pemikirannya. Jalan Jurig Jarian tengah menanti.

***

Sebagai salah satu pemain di pasar oligopoli, Jaja lumayan beruntung. Dia menjadi market leader di tengah ketatnya persaingan dengan produk seragam. Mahasiswa, para calon sarjana, calon master bahkan calon doktor tahu kiosnya. Konsumen yang puas dengan barang dagangannya beramai-ramai melakukan testimonial tentang Jaja. Dan terutama tentang barang dagangannya. Maka di tengah keseragaman produk, Jaja berhasil melakukan diferensiasi dengan service di atas rata-rata. Market share buku-buku dan karya ilmiah dia kuasai. Tanpa promosi Above The Line, setiap hari kiosnya tak pernah sepi. Seperti hari ini, seorang bapak setengah baya tengah meneliti barang dagangannya.

”Nyari buku apa pak?”, seperti biasa Jaja membuka pembicaraan, menuju transaksi dengan calon pembeli.

Sang Raja tak bergeming. Tetap saja meneliti barang dagangan. Dia melihat-lihat tumpukan buku ”Pemasaran Siluman Anjing”. Sang Raja?. Ya!!. Bukankah konsumen adalah raja. Bukankah sebaiknya seorang pedagang tak pernah membuka tokonya sampai dia bisa tersenyum. Senyum untuk konsumen. Senyum untuk Sang Raja.

”Hermawan terbaru pak, atau Kasali?”, Jaja kembali memijit tombol on pembicaraan.

Dua nama itu tak menerbitkan selera Sang Raja. Dia masih puasa ngomong. Tombol on salah pijit. Jaja malah menyentuh off.

Jaja gagal. Sebelum transaksi dia diskualifikasi. Lalu jeda sunyi yang panjang menghampiri. Jaja diam membisu. Sang Raja masih puasa ngomong. Lima belas menit kemudian jeda sunyi berakhir.

”Bang, ada disertasi ?”, kini Sang Raja yang memijit tombol on.

”Oh...banyak...banyak, pak!”, jawab Jaja. Dia tak lagi memijit tombol off.

“Bapak mengambil studi apa?”

“Pemasaran Siluman Anjing”

“Oh…ada…ada”

“Yang terbaru, bang!”, Sang Raja benar-benar telah buka puasa.

”Oke...!”

Kini keduanya terlibat aktifitas pembicaraan yang hangat. Jeda sunyi tak menghampirinya lagi. Jaja dan Sang Raja saling lempar kata-kata. Sebuah atraksi ”one-two” yang mengesankan. Dialog ping-pong itu baru terhenti pada titik transaksi. Deal pada harga 140.000 rupiah.

***

BBM naik lagi. Minyak tanah, solar, premium dan premix melambung tinggi. Maka demonstrasi pun bergelombang. Dan kalau mahsiswa langganan Jaja datang ke gedung Istana Negara, maka sopir angkot menempuh jalur klasik. Mogok narik

Trayek yang melewati jalan Jurig Jarian ikut partisipasi. Maka dari kampus, Joko terpaksa jalan kaki. Membantai kaki varisesnya di bawah terik matahari. Ubun-ubun dibiarkan telanjang. Kenaikan BBM melatihnya menikmati kehidupan.

Di kilometer kedua dari kampus, pada belokan ke kiri, sebuah mobil menepi, mendekati Joko. Lalu sebuah kepala terlihat di balik jendela dan memintanya mengakhiri pesta hujan sinar matahari. Joko tak menyangka, sosok yang pernah dirindukannya ketika kebuntuan menyerang pada halaman 78, tiba-tiba muncul di hadapannya. Sesaat dia mematung. Menstabilkan kerusuhan otak dan perasaannya.

”Ayo naik, kenapa kamu berdiri terus?!”, ajakan itu bertepatan dengan meredanya kerusuhan yang munculnya tiba-tiba.

”Kamu mau kemana?”

”jalan Jurig Jarian, pak!”

Yang dipanggil ’pak’ diam. Mulutnya tiba-tiba terkunci. Ada perasaan yang mirip seperti penyesalan. Lalu bertalu-talulah pertanyaan-pertanyaan itu : kenapa dia terlalu sibuk dengan rapatnya?. Kenapa para purek itu terlalu menariknya?. Kini dia merasa dihadapkan pada adegan kritis, adegannya para antagonis : Mahasiswa bimbingannya terjerumus ke jalan Jurig Jarian, sebuah pasar legal yang di blacklist dunia pendididkan kota Siluman Raya. Yang dipanggil ’pak’ menarik nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan.

”Kamu sering ke jalan Jurig Jarian?”

”Baru kali ini, pak”

Inputan ’baru kali ini’, sedikit menghadirkan tokoh protagonis di benaknya.

Di belokan pertama jalan Jurig Jarian, Joko pamit. Berterimakasih dan meninggalkan yang tadi dia panggil ’pak’. Mobil itu lalu melaju kembali. Dan di belokan ketiga masih di jalan Jurig Jarian, mobil itu kembali memasukkan seorang free raider. Bapak setengah baya masuk. Di tangannya tampak sebuah disertasi.

Yang tadi dipanggil ’pak’ melirik judul dan studinya. ”Pemasaran Siluman Anjing”, nama itu kembali menghilangkan tokoh protagonis dari benaknya. Dua orang setengah baya itu lalu membisu. Masing-masing asyik dengan dunianya. Dunia itu tak bisa dilebur, sebab sebuah big bang akan hadir di sela pertemuannya.

Di kejauhan, Joko memandangi mobil tumpangannya itu. Dia heran, kenapa asap dan temannya bisa akur?. Tapi itu hanya selintas. Lalu dia tersedot daya magnet jalan Jurig Jarian. Kutub selatan jalan Jurig Jarian menarik kutub utara dirinya. Lalu dia pun babak belur dalam transaksi penjiplakan.

Joko tak tahu apa yang terjadi di dalam mobil tumpangannya tadi. Bisu antar orang setengah baya itu semu. Kesunyian yang menyengat. Hawa panas tertahan, sebelum akhirnya meledak.

Di kantong belakang jok depan, pemilik ”Pemasaran Siluman Anjing” menemukan sebuah tesis, sepertinya dari jalan Jurig Jarian.

Asap merah padam. Sepupunya sedang menempuh pasca sarjana di ”Teknik Menangkap Tuyul”.

Sementara tanpa mereka sadari, lagu yang diputar di radio mobil itu sayup-sayup menyanyikan lagu si musisi kritikus :

”Saat wisuda datang dia tersenyum tenang
Tak nampak dosa di pundaknya
Sarjana begini banyaklah di negeri ini
Tiada bedanya dengan roti...”.[]

No comments: