Fadly
Badjuri, kakek berusia 108 tahun itu tengah membakar rokok kreteknya yang
pertama. Sementara Abdul Fatah, anaknya yang bungsu sedang sibuk melayani
pembeli. Tak lama kemudian Abdul Fatah masuk ke dalam rumah dan menyuguhkan
minuman mineral dalam gelas, “sama bapak mah
ngobrol aja ya.” Kemudian dia keluar lagi sebab ada yang hendak makan di warung
nasinya.
Dengan alat bantu
dengar yang terpasang, Fadly kemudian bercerita. Komunikasi hampir berjalan
satu arah, sebab alat bantu dengar ternyata tak begitu banyak membantu
pendengaran seseorang yang usianya sudah lebih dari satu abad.
Siapa Fadly
Badjuri?
Jelang
peringatan Konperensi Asia Afrika yang ke-60, nama-nama pelaku dan saksi
sejarah penyelenggaran KAA yang pertamakali di tahun 1955 menuai banyak
sorotan. Salahsatunya adalah Madrawi, nama dan pemilik rumah makan yang pernah
meyuplai makanan untuk para delegasi KAA angkatan mula-mula. Lalu apa hubungannya
dengan Fadly Badjuri?
***
Rabudin,
seorang korban kerja paksa di era kolonial Belanda (rodi) yang berasal dari
Madura melarikan diri ke Bandung. Kakaknya yang bernama Saibari menyuruh dua
orang anaknya, yaitu Madrawi dan Badjuri untuk mencari Rabudin. Sampailah mereka,
dua orang kakak beradik itu di station Cikudapateuh. Tak disangka sebelumnya, di
daerah Cikudapateuh itulah mereka bertemu dengan sang paman yang dicari.
Pasca pertemuan
dan tinggal beberapa saat di Bandung, Madrawi dan adiknya pulang ke Madura
untuk memberitahu ayahnya ihwal keberadaan sang paman. Selain itu, mereka pun
hendak meminta ijin untuk tinggal di Bandung, karena berdasarkan pengamatan dan
pengalaman mereka, Bandung layak untuk ditinggali. Bagi mereka, Bandung adalah
tanah harapan.
Rabudin
waktu itu sudah maju di bidang sosial dan ekonomi, salahsatu “muridnya” yang
bernama Busana berjualan sate di Cikudapateuh. Usahanya kurang maju, sebab
Busana senang bermain judi. Oleh Rabudin, usaha sate Busana kemudian
dipercayakan kepada Madrawi dan Badjuri yang sudah kembali lagi ke Bandung dari
tanah Madura.
Berkat
pergaulan Rabudin yang cukup luas, Wiranatakusumah V yang bergelar Dalem Haji,
“memberikan” sebidang tanah di dekat Masjid Agung Bandung kepada dua bersaudara
itu untuk tempat berjualan sate. “Teu
kudu mayar, sok we pakě,” (tidak usah bayar, pakai saja) kata
Dalem Haji. Namun karena merasa tidak enak, kedua bersaudara itu tetap membayar
sewa tanah via Pos; yang waktu itu menjadi lembaga yang menangani pembayaran
sewa tanah.
Gang menuju rumah Fadly Badjuri |
Penamaan
warung sate dengan nama “Madrawi” adalah sebagai bentuk penghormatan, sebab Madrawi
adalah kakaknya Badjuri, artinya menghormati yang lebih tua. Dalam
perjalanannya, karena waktu itu yang berjualan sate di Bandung masih jarang,
maka hal tersebut menjadi pendorong majunya usaha Madrawi. Selain sate, rumah
makan tersebut menyediakan juga menu lain seperti rawon, soto, dan gulai.
“Baheula mah rumah makan Cina teu
pati payu, da marakě babi. Beda jeung
anyeuna, jelema těh geus bareuki babi,” (Dulu rumah makan Cina tidak begitu
laku, sebab menyediakan menu daging babi. Beda dengan sekarang, orang-orang
sudah menyukainya) kata Fadly. Hal ini beliau utarakan waktu menceritakan tentang
majunya usaha keluarga mereka.
Di luar kesibukannya
berjualan sate dan menu-menu yang lain, di lapangan kehidupan pribadi; Madrawi
sempat menikah sebanyak enam kali, dan salahsatu istrinya adalah orang
Cibeureum-Cimahi. Namun sampai akhir hayatnya Madrawi tidak dikaruniai anak.
Kondisi demikian sempat membuatnya berniat untuk “mengadopsi” Fadly dari
adiknya. Namun permintaan itu ditolak oleh Badjuri, akhirnya Fadly pun menjadi
anak “bersama”.
Berbeda dengan Madrawi, Badjuri mempunyai tiga orang
anak. Fadly adalah anak bungsu Badjuri dari tiga bersaudara. Fadly sendiri kemudian dikaruniai delapan orang anak. Tiga orang anaknya yang pertama sudah meninggal dunia. Dua dari delapan
bersaudara itu adalah Abdul Basit (anak ke empat) dan Abdul Fatah sebagai anak
bungsu, keduanya hingga kini menetap di Bandung.
Abdul Basit
menjadi aparat pemerintah di daerah Dalem Kaum, rumahnya terletak tidak jauh
dari gapura komplek pemakaman para Bupati Bandung. Sedangkan Abdul Fatah
tinggal seaatap dengan ayahnya, dan kini menjalankan usaha berjualan nasi serta
bakso di sebuah gang di bilangan Jl. Simpang-Dewi Sartika.
Di tanah
harapan, selain aktif berniaga, Madrawi pun berkecimpung di bidang sosial
keagamaan. Dia kerap mengadakan pengajian dengan warga NU di sekitar rumahnya. Hingga
kini acara pengajian itu masih berjalan karena dilanjutkan oleh generasi yang
lebih muda dari keluarga besarnya.
Pergaulan
yang luas dan ketekukan dalam berniaga, membuat usaha Madrawi dan keluarganya
mencapai puncak keberhasilan di medio 1950-an, salahsatunya adalah dipercaya
oleh Presiden Soekarno (salah satu pelanggan tetap) untuk menjamu para delegasi
KAA tahun 1955. Namun setelah mencapai “magnus opus” itu, usaha Madrawi
cenderung mengalami kemunduran.
Tahun 1987,
ketika Masjid Agung Bandung diperluas, warung Madrawi menjadi salahsatu yang
tergusur proyek tersebut. Pemerintah sebenarnya menyediakan uang ganti rugi
untuk mereka yang lapaknya tergusur, namun keluarga Madrawi menolaknya. Mereka
tahu bahwa tanah tempat mereka usaha bukanlah hak milik mereka, melainkan milik
Masjid Agung Bandung yang dulu dipinjamkan oleh Dalem Haji.
***
Dalam
usianya yang sudah sangat senja, Fadly Badjuri masih bersemangat menceritakan pengalaman-pengalaman
hidupnya maupun keluarga besarnya. Tanah Harapan yang dulu digagas oleh
orangtuanya, kini salahsatunya adalah sewujud rumah di Jl. Simpang beserta
usaha kecil-kecilan yang dijalankan. Mereka sudah tidak lagi berjualan sate,
namun masih menerima pesanan jika ada yang meminta. Salahsatu kakak perempuan
Abdul Fatah masih mewarisi resep turun-temurun dari kakeknya.
“Kalo mau
tanya-tanya lagi datang aja ke sini ya, da
udah tahu sekarang mah tempatnya.
Atau kalau mau ngobrol ke Abah Basit (Abdul Basit) juga silahkan aja, bilang
aja habis dari Simpang gitu,” tutur Abdul Fatah ketika saya dan dua orang kawan
hendak berpamitan. Sementara Fadly Badjuri tengah menyulut lagi kreteknya,
entah batang yang ke berapa. [ ]
Foto : Arsip Irfan TP
No comments:
Post a Comment