19 April 2015

Enam Alinea untuk Alina *)


Alina sayang, apa kabar? Dari depan Rathkamp, sore ini aku ingin mengirimmu beberapa alinea. Kata, sebagaimana kau tahu, selalu lebih berhasil menarik minatku. Kini, di sini, di tepi Jalan Asia Afrika yang tengah ramai oleh pengendara dan pejalan kaki, aku mencoba merekamnya dalam redup dan remang bahasa; untukmu. Aku sengaja tidak mengerat dan memotong beberapa gambar, untuk apa? Orang-orang sudah terlampau banyak mengantongi rupa; di depan Gedung Merdeka, tepi Jalan Cikapundung Timur, pinggir sungai yang keruh itu, sekitar monumen Dasasila Bandung, di depan kantor Harian Pikiran Rakyat, dan masih banyak lagi. Mereka mencoba mengawetkan semesta dirinya dalam dekapan yang mulia kamera. Tidak Alina, aku tidak mau mengirimmu keriuhan yang banal itu lewat gambar. Aku ingin mendekatimu dengan kata.

Selepas hujan sore ini, mentari masih malu-malu menampakan diri. Sementara orang-orang justru girang memenuhi ruas trotoar dan sebagian bahu jalan. Arus lalu-lintas tersendat, sesekali klakson bersahutan. Hotel Savoy Homann, de Vries, Visser, dan Gedung Merdeka mulai tersaput temaram. Beberapa saat lagi adzab maghrib akan berkumandang dari Masjid Agung. Menjelang sore dijemput malam, keramaian semakin riuh. Tua-muda, laki-laki perempuan, semuanya menyesaki trotoar yang sudah dipercantik.

Lima orang remaja yang lewat di depanku, terdengar berbicara kepada temannya, “kalau bola yang tulisannya ‘Indonesia’ di mana ya?” Dalam peringatan Konperensi Asia Afrika kali ini, memang dibuat ratusan bola-bola batu yang bertuliskan nama-nama negara peserta konperensi. Bola-bola itu berjajar di sepanjang Jl. Asia Afrika, Jl. Cikapundung Timur, dan Jl. Braga. Beberapa belum diukir namanya. Di bawah bola-bola batu itu ada kaitan besi untuk mencegahnya dari pergerakan yang akan membahayakan. Persis di depannya, ada pula lampu kecil yang akan menyinari nama negara di kala gelap malam.

Ah Alina, bangku yang seperti aku duduki ini beberapa telah patah kayunya. Bahannya memang kurang bagus namun juga tidak terlampau rapuh, entah tekanan seperti apa yang membuatnya bisa begitu. Dari persimpangan Jl. Lengkong Besar sampai Gedung Swarha, bangku-bangku taman berjajar memanjakan para pejalan kaki yang hendak beristirahat, dan juga untuk berpoto selfie. Masyarakat gembira. Hampir sekujur de groote postweg yang melintasi kota tua Bandung didandani.

Soekarno dan Mandela yang selalu tersenyum itu, kini berlipat ganda dan bersemayam di ruang-ruang digital pribadi. Ada pula tokoh-tokoh lokal dan internasional yang lain. Mereka berjajar di sepanjang tepi sungai Ci Kapundung. Melekatkan diri pada objek menarik dalam kadar bingkai yang pas, barangkali telah menjadi candu. Di kanal-kanal media sosial kemudian semuanya mengalir, berjejalin dalam ruang virtual yang saling berhubungan.

Alina sayang, hari sudah merayap gelap. Patung kecil kura-kura yang menyangga pot-pot bunga besar yang menghiasi trotoar telah samar dari penglihatan. Udara dingin telah turun dari gunung-gunung, menyusup lewat ventilasi kota, lalu turun ke jalan-jalan. Bendera-bendera negara peserta tertunduk lesu di tiang-tiang sekitar Gedung Merdeka. Sementara cahaya berpendaran dari lampu-lampu taman dan kendaraan. Di sini, di jantung ibu kota Asia Afrika, malam hari dibangun dari macet dan kegembiraan warga. Selamat malam Alina. [ ]          

*) Dengan permintaan maaf kepada Seno Gumira Ajidarma


Foto : 7aftermidnight.wordpress.com

No comments: