08 November 2017

J.E. Tatengkeng, Pramoedya, dan Sastra Bernapas Kristen


Di mata air, di dasar kolam,
Kucari jawab teka-teki alam.
Di kawan awan kian kemari,
Di situ juga jawabnya kucari.
Di warna bunga yang kembang,
Kubaca jawab, penghilang bimbang.
Kepada gunung penjaga waktu,
Kutanya jawab kebenaran tentu.
Pada bintang lahir semula,
Kutangis jawab teka-teki Allah.
Ke dalam hati, jiwa sendiri,
Kuselam jawab! Tiada tercerai.

Begitu tulis Jan Engelberth Tatengkeng pada 1934 yang terangkum dalam buku kumpulan sajak Rindu Dendam.

Judul buku sajak itu barangkali masih lamat-lamat teringat oleh beberapa generasi, sebagai informasi amat pendek di buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentang karya penyair kelahiran Sangihe, Sulawesi Utara.

Sepanjang hayatnya, memang Rindu Dendam inilah yang lekat dengan J.E. Tatengkeng. Beberapa puisinya yang lain dimuat di majalah Pujangga Baru dan majalah yang lain. Pada 2016, Rindu Dendam masih diterbitkan oleh Pustaka Jaya, sebagai sebuah ikhtiar untuk tidak cepat melupakan penyair yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur pada 1949-1950 ini.

J.E. Tatengkeng dilahirkan di Kolongan, Sangihe, pada 19 Oktober 1907. Sejak kecil, ia dididik secara Kristen. Ayahnya seorang guru Injil yang merangkap sebagai kepala sekolah Zending. Saat berumur delapan tahun, ia bersekolah di Zendingsvolkschool atau sekolah rakyat yang dikelola oleh gereja Kristen. Di sekolah inilah bakatnya sebagai pengarang mulai nampak, khususnya mengarang pantun.

Selepas itu, ia melanjutkan ke HIS (Hollands Inlandsche School) Zending di Manganitu. Bakat mengarangnya terus tumbuh karena di sekolah ini terdapat pelajaran berpidato dan mengarang yang diberikan secara teratur dan baik. 

Pada 1925, seperti ditulis Moeljono dalam buku Drs. J.E. Tatengkeng: Karya dan Pengabdiannya, ia melanjutkan sekolah ke Christelijke Middagkweekschool di Bandung, yaitu sekolah guru (Kweekschool) berdasar agama Kristen. 

Setelah selesai di Bandung, ia melanjutkan lagi Christelijke Hervormde Kweekschool Surakarta. Pada 1932, ia menjadi guru bahasa Melayu di Tahuna. Selain mengajar, kegiatannya yang lain adalah memimpin surat kabar pemuda Kristen, Tuwo Kona, yang berarti tumbuh setinggi-tingginya. Ia juga membantu surat kabar Soeara Oemoem (Surabaya), Soeloeh Kaoem Moeda (Tomohon), dan Pemimpin Zaman (Tomohon). Di tahun yang sama, J.E. Tatengkeng menikah.

Setelah menikah, ia kemudian pindah ke Waingapu, Sumba, bekerja pada Gereformeerde Zending, menjadi kepala sekolah dan guru bahasa Melayu pada Zendingstandaardschool yang terdapat di Payeti, Sumba. Selama bekerja di sini, ia sering berkorespondensi dengan Soetan Takdir Alisjahbana dan mengirimkan karya-karyanya ke majalah Pujangga Baru. Waktu tinggal di sinilah Rindu Dendam, karyanya yang paling populer diterbitkan oleh lembaga penerbitan Kristen bernama Djawi di Surakarta.

Kiprahnya di dunia pendidikan terus berlangsung, bahkan ketika Perang Dunia II meletus dan Jepang datang pada awal 1940an. Sambil ikut di badan perjuangan yang bernama Barisan Nasional Indonesia, ia tetap menjalankan pekerjaannya sebagai pendidik. Ketika pemerintahan Indonesia berbentuk federal, J.E. Tatengkeng menjabat sebagai perdana menteri merangkap menteri pengajaran Negara Indonesia Timur.

Didikan Kristen yang amat lekat pada dirinya sedari kecil sampai akhir hayat (6 Maret 1968 di Rumah Sakit Angkatan Darat Pelamonia, Makassar) membuatnya tak bisa lepas dari napas Kristen. Termasuk dalam sajak-sajaknya. Meski beberapa sajaknya dihiasi pertanyaan dan kegelisahan, pada akhirnya ia pasrah menerima kasih Tuhan. 

Untuk menelisik sajak J.E. Tatengkeng, Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari sempat membandingkannya dengan karya Sanusi Pane, Madah Kelana.

“Sebagai penyair yang seperti Sanusi Pane tak henti-hentinya mencari kedamaian dan ketenangan, Tatengkeng pun mencoba mencari jawaban atas kegelisahan hatinya itu... Dia tak habis-habisnya bertanya... Tapi kalau Sanusi Pane menemukan kedamaian yang dicarinya itu dalam hatinya sendiri seperti dapat kita ikuti dalam Madah Kelana, maka Tatengkeng menemukannya dalam Tuhan,” tulis Ajip.

“Masuklah, ya, Tuhan dalam hatiku!” tulis si penyair dalam "Panggilan Pagi Minggu." 

Sementara itu, dalam puisi "Akhir Kata", ia menulis:

O, Tuhanku
Biarkan aku menjadi embunmu
Memancarkan terangmu
Sampai aku hilang lenyap olehnya...
Soli Deo Gloria!”

Sebagai penyair angkatan Pujangga Baru yang sajak-sajaknya banyak menyuarakan rohani Kristen, J.E. Tatengkeng relatif tidak terlalu terkenal. Meski demikian, wacana kesusastraan Kristen di Indonesia sebenarnya pernah dicoba dibahas oleh Pramoedya Ananta Toer dalam majalah Star Weekly 7 Januari 1956 dengan judul "Kesusastraan Kristen di Indonesia: Mengajak Mempertimbangkan Suatu 'Persoalan yang Tak Pernah Terdengar di Indonesia'—Untuk kawan Tatengkeng."

Pram menyoroti ihwal fungsi sastra Kristen yang menurutnya semestinya bisa melepaskan diri dari hanya “agama ke pokok pembicaraan dan dari pokok pembicaraan ke agama”, melainkan mesti ditulis individu bermoral Kristen untuk tiap orang, bukan sifatnya tulisan antar kita belaka.

“Kegiatan agama seyogyanya bukanlah hanya menarik pengikut dan beribadah dan memuja hal-hal yang dianggap kudus belaka, tetapi ia harus pula dapat menciptakan koral agama agar kegiatan itu tiada menjadi tandus bagi pergaulan bersama,” tambahnya.

Penulis yang kemudian terkenal dengan roman Tetralogi Pulau Buru itu menyebut sastra Kristen di Indonesia sebagai sesuatu yang masih beku, dan baru sampai pada taraf penyebaran pekabaran Injil saja. Cara seperti ini menurutnya benar-benar tidak memikat mereka yang berada di luar agama Kristen.

Pram lalu memberikan contoh kesusastraan Kristen yang hidup, tak beku, yang berhasil menjadi persoalan kita. Ia menyebut The Matter of The Affair karya Graham Greene dan Cry the Beloved Country buah tangan Alan Paton. Menurutnya, dalam karya Alan Paton, kegalauan dan kebangkrutan orang kulit hitam dalam berhadapan dengan ekspansi orang kulit putih, moral Kristen terdengar nyaring. 

“Ia tak membeku dalam melebarkan pekabaran Injil di dalam romannya ini. Ia memberi iklim moral Kristen ini dalam persoalan yang bergalau. Ia juga berkhotbah di dalam romannya ini, tetapi bukanlah berkhotbah antara kita belaka, tetapi kepada bangsa kulit hitam, bangsa kulit putih dan seluruh dunia Kristen, seluruh umat manusia, untuk ikut memikirkan nasib bangsa kulit hitam yang terusir dari negeri tumpah darahnya sendiri,” tulisnya.

Pada 1935, dalam majalah Pujangga Baru edisi No.1 bulan Juli, J.E. Tatengkeng sejatinya pernah menulis esai dengan judul "Penyelidikan dan Pengakuan". Dalam tulisan tersebut, jika mengacu contoh yang disodorkan Pram, ia menyadari tentang pentingnya referensi pengarang asing dalam proses mengembangkan kesusastraan Indonesia.

“Kesusastraan Indonesia akan tumbuh sebaik-baiknya, kalau ia tidak dipagarkan dalam lingkungan tanah kita saja. Seni, kesusastraan kita, harus mendapat ilham dari seluruh alam. Tidak benar yang pengaruh asing itu melemahkan saja. Kita harus berakar sedalam-dalamnya di tanah kita, tetapi juga kita harus mengembangkan cabang-cabang ke kiri, ke kanan dan ke atas supaya kita peroleh udara yang sesehat-sehatnya yang dibawa angin dari segala penjuru alam,” tulisnya.

Namun demikian, tampaknya sampai 1956—ketika Pram menulis tentang kesusastraan Kristen—dalam amatan Pram, tidak ada karya J.E. Tatengkeng dan para pengarang Kristen lainnya yang keluar dari pagar pekabaran Injil semata. 

Maka dari itu, setelah memberikan beberapa contoh karya pengarang asing, Pram kemudian menulis: 

“Akhir-akhirnya agama bukan hanya suatu keimanan dan keibadahan kepada Tuhan belaka, tetapi secara positif juga mengatur pengikutnya dalam perhubungan antara manusia. Bukan hanya karena agama menyuruh, tetapi pertama-tama karena ada kesadaran, ada tanggungjawab terhadap baiknya perhubungan antara manusia.” (tirto.id - irf/msh)

Tayang pertama kali di tirto.id 
tanggal 4 November 2017 

No comments: