“Rima ini kurancang
untuk menentang mitos
hegemoni rezim dewa
logos.”
Di ruang depan rumah
kontrakan saya, televisi masih menyalak untuk mengabarkan warta-warta buruk
yang membosankan. Masyarakat di suatu kecamatan di daerah Jakarta Barat sedang
cemas karena terancam digusur akibat putusan hukum mengatakan bahwa sertifikat
tanah mereka tidak absah. Rakyat di Sidoarjo sudah setahun dilahap lumpur
akibat pekerjaan buruk korporat yang hanya mencari untung tanpa mau memikirkan
akibatnya pada lingkungan. Dan “kocokan arisan” jabatan menteri di kabinet baru
saja menemukan pemenang-pemenang baru serta menyingkirkan para pecundang. Saya tak
menonton kabar-kabar via televisi malam ini. Selain karena saya sibuk mengetik
naskah ini, juga karena saya tak sedikit pun merasa perlu menyaksikan
peristiwa-peristiwa yang hanya akan membuat saya semakin merasa nelangsa hidup
di negeri yang orang-orangnya doyan korupsi. Saya sempat menguping warta olahraga,
tapi saya kembali tak peduli karena yang saya dengar justru soal kekalahan tim
nasional sepak bola Indonesia. Mungkin mereka hanya akan menang jika bertanding
melawan kesebelasan hansip tukang intip janda kembang, itu juga kalau para
pengurus organisasinya bisa membedakan mana tukang intip dan mana Manchester
United.
Saya memang tak pernah
berpikir tentang negara. Saya lahir di sebuah negara yang bahkan
aturan-aturannya tidak pernah saya ikuti pembuatannya. Negara raib ketika
tagihan listrik rumah saya tiba-tiba naik luar biasa padahal saya jarang
menyalakan lampu-lampu dan memusuhi televisi. Saya tak bertemu dengan negara
ketika, seperti yang sering dikatakan oleh para penerbit buku, harga kertas
naik tajam, tata niaga perbukuan berantakan, dan biaya kirim barang via kantor
pos ternyata sangatlah mahal. Tapi negara ujug-ujug muncul saat saya harus
bikin KTP, bayar pajak, atau balapan dengan konvoi patroli polisi. Ternyata saya,
juga Anda tentunya, selalu diintai oleh negara.
Negara ini, setahu saya,
bukan keturuan bangsa Arya yang dalam runut silsilah versi Hitler adalah kaum
terbaik sejagat raya. Masyarakat di Indonesia lebih mengenal nasi basi daripada
Nazi fasis. Galibnya, di negeri ini tak mungkin ada orang berlagak mirip
Goebbels yang membakar buku-buku di zaman logo swastika mengalahkan singa Britania.
Tapi saya wajib untuk bertanya kenapa sebuah acara diskusi di toko buku saja
sampai harus didemonstrasi oleh kelompok yang merasa paling tahu sejarah
bangsa? Buat apa si Pam diciduk aparat hanya karena ikut diskusi soal gerakan
kiri internasional? Kenapa seorang pemuda yang menulis novel sampai harus
dianggap kafir oleh orang-orang yang seagama dengannya? Saya pikir cukuplah
lagu-lagu pop patriotic-romantik yang bicara soal “zamrud Khatulistiwa nan elok
dan sejahtera”. Biarkan aparat desa saja yang bilang soal “jalan kelurahan
segera diaspal” padahal cuma akan ditempeli pasir dan koral. Saya tak merasa
perlu ikut-ikutan hipokrit. Entah kalau Anda.
Negara ini kocak, para
pemimpinnya sibuk bermimpi, masyarakatnya pura-pura baik, dan semuanya
menjemukan. Lantas saya berusaha mencari jalan via hiburan di TV yang katanya
bisa melupakan kebosanan kita hidup di Indonesia. Saya tonton Extravaganza dan saya mual: ada yang
mencontek acting Jim Carey, ada yang tampak sangat senang menjadi artis, ada
yang merampok gaya lelucon Srimulat, sisanya adalah barisan pelawak gagap. Saya
pindah saluran, menonton talk show
yang kabarnya sangatlah lucu. Ternyata garing. Pun ketika bolak-balik saya
diajak kembali ke laptop.
Lalu malam ini saya menyelesaikan
tahap akhir penulisan. Awalnya buku ini diniatkan untuk tidak seserius seperti
bayangan banyak kawan. Saya menggarapnya hanya karena senang pada apa yang saya
anggap punya nilai hiburan. Menulis, buat saya, juga relaksasi. Termasuk untuk
lepas dari hal-hal yang saya tulis dalam empat paragraf di atas.
Tapi buku ini juga lahir
dari provokasi. Saya adalah korban provokasi beberapa penerbit buku. Bukan kebetulan
pula jika mereka adalah kawan-kawan saya sehingga dengan santainya menyuruh saya
menulis soal sejarah dan perkembangan penerbitan di Jogja. Isinya diharapkan
menjadi semacam gambaran tentang dinamika para penerbit Jogja yang keberadaan
dan perbincangannya sudah muncul sejak awal kelahiran mereka. Percakapan dan
diskusi-diskusi soal mereka sebelumnya memang banyak muncul dalam berita-berita
di media massa, obrolan-obrolan sambil lalu, juga diskusi di berbagai milis
perbukuan. Namun sampai kini belum ada buku utuh yang mengungkap ihwal mereka. Kawan-kawan
saya yang energi kreatifnya berbanding lurus dengan libido terhadap bini-bini
mereka itu merasa semua hal tersebut lebih baik dicatatkan dalam bentuk
penulisan buku. Sejak awal saya sadar bahwa kesediaan saya menulis tentang penerbit
Jogja berbanding lurus dengan kemungkinan sulitnya saya memposisikan “diri-sebagai-penulis”
dan “diri-sebagai-subyek tulisan”. Semoga ketika akhirnya penulisan ini
terselesaikan maka belitan tersebut bisa dilepaskan dan posisi saya cukup
tampak jaraknya.
Semula agitasi mereka
tidak lantas mendorong saya untuk segera menulis. Saya justru mengingat kembali
apa yang saya dan kawan-kawan dekat dulu memulainya. Termasuk fase ketika
sebuah obrolan ringan yang dilakukan di pinggir Selokan Mataram akhirnya
meletupkan gagasan sok keren dalam ungkapan: “Bagaimana kalau kita mendirikan
penerbitan?” Secara pribadi, saya selama tujuh tahun menggeluti pekerjaan buku
namun tak pernah berpikir untuk mencatatkan pengalaman itu dalam semacam
reportase, retrospeksi, kritik-diri, apologi pseudo-ilmiah, ataupun bela diri
dan silat lidah. Saya merasa bekerja di dunia buku tidaklah berbeda dengan
orang-orang yang berjibaku mencari nafkah dan kepuasan diri di bidang yang
lain. Sudah lama saya menganggap bahwa tidak ada yang perlu ditulis-ulang atau
dibicarakan tentang kerja penerbitan di Jogja. Kisah-kisah buruknya tercatat
dalam memori media, para penulis yang kecewa, penerjemah yang dibayar tidak
lumrah, petinggi wacana yang merasa dilangkahi, kaum akademisi yang ilmunya
dicuri, juga orang-orang yang mencintai buku tapi menyayangkan kesompralan cara
bekerja para penerbit Jogja. Semua itu sudah terekam sebagai kotoran kalkun
bertumpuk duri, banyak orang yang sudah mencium baunya, lewat gosip maupun
berita, dari kabar burung ataupun laporan cuaca, yang entah pada siapa harus
dirunut kebenarannya.
Tak ada maksud saya untuk
meluruskan apa yang mucul dalam warta di luar sama. Seperti ingatan saya pada
seruputan kopi Mas Arif di rumah Pak Ong sambil menjentik abu sigaret dan
berkata: “Ini bukan soal benar dan salah lho, Bung!” Saya menolak caranya
mengadopsi gaya sapaan “Bung” ala Tan Malaka rembugan revolusi dengan
Djamaludin Tamin, tapi saya bersepakat dengan Mas Arif soal tujuh kata di depan
Bung. Pak Ong terkekeh sambil meneruskan kenangan romantiknya pada era pra-JUC. Saya menyabot rokok si pimpinan
toko buku dan berpikir: apa yang mesti diluruskan ketika sejatinya kita hidp di
kawasan negeri berpagar kapas yang patok-patoknya kebanyakan bengkok,
melengkung, patah, dan rubuh. Masih pentingkah seseorang memberitahu yang “katanya
benar” di tengah masyarakat yang menyaksikan “katanya salah” nyaris dalam
setiap dengus napas berat dan lenguh mulut berbusa peluh? Jari telunjuk itu
hanya empat senti dari jempol, dan kita lebih sering memanjakan telunjuk untuk
mendakwa daripada mengizinkan ibu jari mengacung tanda apresiasi.
Saya sendiri merasa tidak
perlu menambahi daftar teriak para pemberontak, rockstar yang lelah dengan lirik agitatif, seniman kritis yang
berkarya secara estetik-argumentatif, juga berkisah soal penerbitan dengan gaya
lelakon epos Perang Peloponesos dalam gambaran Thucydides. Cukup Kiansantang
yang merasa diri jagoan kanuragan namun berkeringat sebanyak air di kolah
mushola hanya untuk mencabut tongkat yang ditancapkan Syekh Ali di Mekkah. Hidup
tak selalu harus dianggap sama definitifnya dengan bualan para aktivis bisnis
multi-level. Jagat penerbitan di Jogja adalah ruang yang tak harus sama gelapnya
dengan kamar cuci-cetak tukang foto keliling, atau sama remangnya dengan
warung-warung nafsu di jalan raya sepanjang Indramayu. Mencoba menerangkan yang
gelap atau menggelapkan yang terang adalah pekerjaan yang sama mudharatnya
dengan guru SD yang menyuruh anak didiknya menghitung jumlah bintang di langit
milik Tuhan. Kalau netra hanya sampai di horison, kita tak perlu pura-pura tahu
letak ruang ganti tujuh bidadari yang berniat mandi di kali. Dan saya merindukan
Bojing yang khatam bicara perihal “proposisi” dan “proporsi” dalam cara ungkap
yang melebihi Gorrys Keraf menulis buku Komposisi.
Saya tak tertarik pada
lampu pijar bikinan Thomas Alfa Edison yang sekarang faedahnya dirasakan umat
sejagat, tapi saya lebih memilih untuk membaca kisah Benjamin Franklin yang
hampir mati tersengat petir. Saya tidak menganggap piramida besar di Mesir
sebagai karya agung peradaban pra-modern. Segitiga gunung gadungan itu adalah
cemooh kaum budak yang ikhlas mengangkat batu-batu seukuran banteng karena
mereka senang disuruh membangun kuburan Ramses sang proto-diktator. Saya tidak gumun dengan selebrasi kaum urban hari
ini yang melahap buku layaknya gulali impor bernama Wrigley’s. Tapi saya selalu
membungkuk seperti samurai ketika saya melihat ibu-ibu di lingkungan kantor
penerbitan kawan saya sibuk mengangkat, melipat, dan menyusun kertas hasil
cetakan sambil bercanda tentang harga beras yang katanya naik lebih gesit
dibanding ongkos pasang togel langganan suami mereka. Kerja buku, setidaknya
menurut saya, adalah kolektif bebas-kelas, komune non-dominasi, persekutuan
diam-diam, dan ibadah kaum tabah. Demokrasi sudah lama diteorikan, kita tinggal
mencari tahu rumusannya dalam diktat-diktat sekolahan atau sajak-sajak Wiji
Thukul. Tapi kita bisa langsung merasakan nuansanya jika mau menyaksikan alur
kerja buku, bukan dalam konteks produk melainkan pada etos pekerjaan. Mulai sekarang
kita sepertinya tidak wajib untuk takjub ketika barang segi empat berbahan
kertas atau biasa kita sebut buku itu bisa juga mampir ke tangan lentik Bunga
Citra Lestari.
Saya sebenarnya sering
malas berbincang dan menulis perihal jagat pustaka yang sering saya kira sangat
tinggi dan luar biasa seram. Apalagi saya masih sangat menikmati dunia dalam madat
keentengan yang terasa kontras dengan keseriusan lingkungan perbukuan. Wajar kiranya
jika saya lebih suka masuk venue macam-macam
gig, menyimak album terbaru Children
of Bodom, atau silaturahmi ke rumah Pak Dukuh sebagai kedok bagi saya yang tak
pernah ikut ronda. Ketika akhirnya saya memulis naskah buku ini, maka alasan
saya (kalau memang setiap aktivitas harus punya alasan) adalah ketertarikan
personal pada etos kerja para pekerja buku yang setia pada pilihannya. Bukan apa-apa,
di luar sana para pemuda hedon lebih banyak dikusi soal Jack Daniels daripada
Jacques Derrida. Leher saya pasti menengok ke samping jika di sebelah saya
sekumpulan orang sedang bercakap tentang cara menyetrika baju paling mutakhir:
lipat di bawah bantal, lalu tiduri sambil bermimpi menjadi model majalah Maxim. Saya menyukai yang sepele tapi
gede.
Niat saya semakin kuat
karena saya tahu bahwa sebagian besar dari para penerbit itu adalah kalangan
muda dengan semangat ala Vasco da Gama yang terus saja mengangkat sauh dan
mengarungi semua lautan di dunia. Saya selalu berminat pada orang-orang yang vitalitasnya
melebihi takaran obat kuat. Saya juga tahu bahwa basis kemanusiaan mereka tak
akan membuat mereka selalu sama hebatnya dengan ekspedisi barbarian bangsa
Viking menuju Anglo. Saya sadar bahwa menulis tentang penerbitan Jogja tidak
akan menghasilkan bacaan seperti tambo Perang Kartago yang khas para hero di
zaman kuno. Kerja buku di Jogja juga ternyata bisa selugu Sayuti, sebingung
Paman Kikuk, sedangkal kolom di koran kuning, sekritis Bart Simpson, seberani
lirik lagu Teknoshit, serugi PT KAI, seuntung bisnis duren Haji Sanusi, selucu
cara jalan Mbok Tenong dari Pasar Kranggan, sepintar Eka Anash meniru dandanan
The Strokes, dan sesabar padi yang diperkosa belalang tiap hari. para penerbit
Jogja membangun identitas sebanyak jumlah kata dalam kamus Echols-Shadily.
Tidak seperti para
penerbit buku itu, saya enggan membicarakan perubahan-perubahan dalam peradaban
dunia karena saya justru konsisten menikmati isinya. Bahkan saya tidak setiap
saat memeluk buku seperti yang dilakukan kawan-kawan saya yang pintar itu. Saya
lebih suka membaca majalah Metal Hammer
daripada jurnal politik. Saya lebih memilih untuk meyakini Lennonisme daripada
Leninisme. Saya juga malas berbincang tentang Syekh Siti Jenar yang namanya
rajin sekali muncul dalam diskusi-diskudi di kalangan penerbitan. Tapi saya lantas
mahfum karena dengan segala keterbatasannya para penerbit Jogja sebenarnya
telah mengambil-alih beberapa peran negara dalam “memberi makan” warga negara melalui
bacaan. Saya juga lalu memaklumi kalau mereka amat sibuk memikirkan dunia
penerbitan. Setidaknya begitulah yang saya lihat karena saya pun menjadi bagian
dari para pekerja buku di Jogja. Sayangnya, mereka punya banyak problem serius
yang bisa menghambat kerja-kerja apik penerbitan.
Lalu, apa yang tidak
menarik dari sebuah kota yang menyimpan banyak kisah tentang penerbitan buku? Kisah
tentang lahirnya sekian banyak penerbit yang tidak terjadi di kota-kota lain. Fakta
tentang keberanian mereka mencetak buku-buku yang susah dijual. Bukti kemunculan
orang-orang yang menjadi representasi gerakan estetika sampul buku. Kisah sukses
buku-buku Kahlil Gibran pasca-Pustaka Jaya. Heboh nasional akibat efek
penerbitan Jakarta Undercover. Cerita
unik tentang sebuah penerbit yang dipantau hampir sebulan oleh orang-orang dari
partai politik tertentu karena dianggap menerbitkan buku dengan sampul yang
membunuh karakter tokoh besar panutan mereka. Kota yang memunculkan sederet penulis
muda berdaya ledak tinggi. Fenomena Yusuf Agency yang bikin miris para penerbit
dan toko buku. Juga cerita-cerita muram perihal “perang” antara penerbit versus
distributor, konflik penerbit versus penulis, intrik antar-penerbit, dan
sebagainya.
Di dunia kecil bernama
Jogja, penerbitan menjadi medan koalisi dan konfrontasi, kesenangan dan
pertengkaran, serta banyaknya silang jalan yang memaksa niat apik harus
berpamitan pada deretan angka di kalkulator kusam yang menyeringai sambil
berkata: “Masih mau jadi pendekar atau ikut saya di jalur financial?” Hingga
hari ini saya masih terus bertanya: untuk apa kita membela sesuatu yang sering
kali membuat kita senang dan kecewa, sebanyak peristiwa yang membuat kita tetap
melakoninya? Saya, mungkin juga beberapa kawan yang hidup dari dan menghidupi
penerbitan, sepertinya punya semacam “keimanan” yang berbeda dari orang kebanyakan.
Suatu kepercayaan pada pilihan untuk mengerjakan tugas rumit di jagat buku yang
tentu saja menarik tapi tidak menjadi pilihan semua orang. Dari zaman sampul
buku mirip gombal rombeng hingga era Rieke Dyah Pitaloka kegirangan di Matabaca bahwa “Dunia Penerbitan Itu,
Menggiurkan!” Buku adalah pijakan yang bertumpu pada “pilihan” dan bukan “kewajiban”.
Dan bagi para penerbit Jogja, eksistensi tidak butuh sejumlah pasukan.
Memori saya ikut
terloncat di depan segelas teh hangat dan batangan rokok yang menemani saya di
depan komputer ketika mengetik pengantar ini. Serpihan ingatan berkelojotan di
muka saya. Tentang sepuluh tahun kreativitas kawan-kawan saya yang tak bosan
mendiami kamar belakang sebuah rumah bernama Indonesia, tanpa tahu kapan mereka
bisa duduk di ruang depan sambil menikmati makan malam dengan menu berbahan organik
bebas wereng coklat yang diambil dari lumbung padi milik sendiri. Saya selalu
ingat pada Brent yang menghisap sisha
di Jalan Solo sambil berkata: “That’s
irony, fella! But you’ve to do your choosen job. There’s no enemy, just irony.”
Tiba giliran Sudjud menghisap, lalu berkisah tentang subkultur pasca-Hebdige
dan serangan gadget. Widi minum dan menimpali, “Opo sih bedane royalti buku karo kaset, Dhe? Kok royalti album bandku
gak jelas yo!” Saya harap para penerbit buku tetap bekerja, pun ketika tak
semua orang memahaminya dan negara masih tak mengindahkannya.
Di titik ketika saya
memutuskan untuk meneruskan penulisan buku ini, saya merasa ada banyak hal yang
bisa dicatatkan tentang mereka. Penulisan buku ini sudah digagas sejak 2005
ketika beberapa penerbit merasa perlu untuk mengevaluasi dan melihat-kedalam
segi-segi penerbitan yang mereka kelola. Namun seperti penyakit saya yang
lainnya, saya selalu tidak bisa fokus untuk menggarapnya. Waktu itu saya pikir
banyak hal lain yang harus dilakukan daripada menulis kisah tentang orang-orang
yang setiap hari mengurusi buku di negeri yang warganya lebih betah nonton
sinetron dan enggan untuk menemukan pengetahuan. Seberapa menarik sebuah buku
yang isinya ihwal buku bagi masyarakat yang tak dekat dengan buku? Buat apa
orang-orang mengetahui perkembangan pabrik-pabrik buku di Jogja sementara perut
setiap orang di negeri ini belum terisi karena jatah makan mereka dikorupsi?
Saya akhirnya terlecut
untuk merampungkan naskah buku ini, tentunya untuk kepentingan pribadi saya juga.
Saya kembali membongkar dokumentasi kliping koran dan majalah yang pernah
dikumpulkan, melakukan wawancara dengan para pekerja buku, juga mengutak-atik file
naskah awal buku ini yang lama teronggok di komputer. Lalu saya mendatangi
orang-orang yang memprovokasi itu, meminta nasihatnya yang kuno dan sangat
membosankan, serta merayu mereka untuk membantu proof-reading. Saya menderetkan kembali nama orang-orang yang harus
menjadi narasumber penulisan. Beberapa di antaranya cukup membuat saya malas
mewawancarainya, bukan karena tak punya waktu melainkan karena dari awal saya
tahu cara pandang dan pola pikirnya berbeda dengan saya. Tapi harus
memakluminya, toh saya juga bagian dari mereka walau saya letih dengan basa-basi
dalam segala bentuk penulisan buku yang harus sering berkompromi dengan
pihak-pihak yang ada di dalamnya. Termasuk dalam fase ini adalah intensitas
saya berkumpul dengan kawan-kawan dalam lokus “Toga mas School” (in humorous personal relation means, not a
kind of publishers serious cluster in town!)
Saya lumayan kesulitan
untuk menulis buku ini karena banyak seklai hal yang muncul dan penting untuk
disebutkan dari keberadaan mereka. Apalagi dalam beberapa hal perlu memasukkan
perkembangan terbaru yang terjadi di Jogja. Tentu saja karena kebaruan
aspek-aspek perbukuan serta penerbitan secara umum maupun khusus. Itulah kenapa
saya berusaha memadatkannya dengan melihat aspek-aspek yang menonjol dalam
dinamika penerbit Jogja, sejak awal kemunculan mereka di era 1990-an,
pasca-Soeharto, hingga perkembangan mutakhir mereka tahun 2007. Saya tidak
cukup punya daya untuk menuliskannya selengkap sebuah kronik sejarah atau
kaleidoskop bahkan eksiklopedia nan komprehensif. Buku ini mungkin bukan proyek
dokumentasi yang mumpuni melainkan lebih tampak sebgai semacam catatn untuk
kepentingan refleksi dan progresi kolektif penerbit buku di Jogja. Tentu saja
publik umum bisa ikut menikmatinya sebagai pengetahuan tentang kisah sebuah kawsan
perbukuan yang menjadi bagian dariindustri penerbitan di negeri ini.
Nyaris setiap hari saya
masih bertemu dengan mereka: para penerbit buku di Jogja yang selalu sibuk
dengan ide penerbitan di otaknya, sebanyak jumlah angka dan hitungan uang yang
berputar di pikiran mereka. Saya menyaksikan kawan-kawan dengan semangat dan
kerja yang luar biasa. Buku-buku baru menggelontor dari kamar-kamar produksi serupa
botol-botol C4 yang diimpor untuk adonan bom. Para pemasar bersaing dengan
becak-becak es krim Wall’s yang berkeliaran di setiap sudut kota. Para penggagas
tema terbitan adalah Dr Faust yang sibuk mengaduk pengetahuan. Sementara penata
acara-acara pameran buku bekerja selincah para mekanik Williams Renault. Dunia buku
sepertinya tak pernah menemukan ujung di Jogja. Bahkan mungkin kota ini bisa
mati jika urat penerbitan tidak lagi berdenyut. Saya menyaksikannya dan
mengagumi mereka sepenuh rasa hormat saya. Kalaupun kelak saya akan menulis
lagi, saya enggan menulis obituari.
Dengan segala
keterbatasannya semoga buku ini bisa bermanfaat untuk siap pun yang merasa
perlu tahu tentang jagat buku dan penerbitan di Jogja. Khususnya tentang para
penerbit Jogja generasi 1990-an dan pasca-Soeharto. Saya menuliskannya, silakan
Anda semua membacanya tanpa pernah merasa diajari oleh saya.
Jogja, Mei 2007
Pengantar Adhe Maruf untuk buku karyanya yang berjudul Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)
Pengantar Adhe Maruf untuk buku karyanya yang berjudul Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007)
No comments:
Post a Comment