12 November 2017

Melayu dalam Warisan Raja Ali Haji


“Apa memang karena kuping Melayu/ suka yang sendu-sendu/ lagu cinta melulu/ Kita memang benar-benar Melayu/ suka mendayu-dayu...”

Lirik lagu tersebut, yang didendangkan kelompok musik tempatan Jakarta, mungkin menggambarkan Melayu bagi generasi belakangan adalah kebudayaan yang terpencil di sempadan zaman. Ia kerap dipersepsikan sebagai irama semenanjung belaka. Jelas keliru dan menyesatkan.

Pada Oktober yang didapuk sebagai bulan sumpah bahasa dan sumpah yang lainnya, tak silap kiranya apabila menengok lagi kisah Raja Ali Haji—seorang tokoh bahasa Melayu dari pulau Penyengat di kepulauan Riau, sebagai pengingat bahwa bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan yang sudah berabad-abad hadir di Nusantara, adalah tulang punggung bahasa Indonesia.

“Sastra melayu pada masa silam dihasilkan dan digunakan (dibaca, dibacakan dan terutama didengarkan) di seluruh Kepulauan Nusantara. Tempat-tempat hidupnya sastra itu yang disebut-sebut dalam buku ini meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, malah juga Bali. Teks-teks yang dibahas berlalu-lalang dari Aceh ke Maluku. Sastra Melayu selama kurun waktu antara abad ke-14 sampai ke-19, mempersatukan berbagai suku Indonesia, yang waktu itu terpecah-pecah atas berbagai negeri dan kerajaan, sekalipun negeri dan kerajaan itu kadang berperang satu sama lain,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir, dan Kawan-kawan: Limabelas Karangan tentang Sastra Indonesia Lama.

Awal abad ke-19, tepatnya tahun 1809, Raja Ali Haji lahir di pulau Penyengat dari perkawinan antara putri Selangor bernama Hamidah dan Raja Ahmad anak Raja Haji (yang gugur dalam peperangan melawan Belanda tahun 1784). Seperti dijelaskan di buku Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall yang disusun oleh Jan van der Putten & Al Azhar, tahun lahir ini diperoleh dari salah satu karyanya, Tuhfat al-Nafis yang salah satu bagiannya menjelaskan bahwa Raja Ali menunaikan ibadah haji saat berusia 19 tahun pada 1828. Sepulang dari tanah suci inilah kemudian nama Haji dilekatkan di belakang namanya menjadi Raja Ali Haji.

Karya pertama Raja Ali Haji di bidang linguistik yaitu Bustan al-Katibin lis-Subyan al-Muta’allimin atau lebih dikenal dengan Bustanul Katibin saja. Kitab kompilasi juru tulis bagi kanak-kanak ini secara umum mendeskripsikan tata cara penulisan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Arab-Melayu. Hasan Junus dalam Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX menerangkan bahwa buku ini pertama kali dicetak pada tahun 1875 dengan teknik litografi (percetakan batu) dan dicetak ulang di Singapura. Bustanul Katibin pernah dialihbahasakan ke dalam bahasa Belanda oleh Ph. S. van Ronkel dan dimuat dalam sebuah jurnal Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap XLIV/1909.

10 pasal utama dalam buku ini dimulai dengan mukadimah atau pendahuluan yang menjelaskan tentang kaitan antar bahasa dengan adat, adab, dan budi pekerti. Untuk memahami buku ini, Raja Ali Haji mensyaratkan kepada pembacanya lima perkara, yaitu al-himmah (kesungguhan), al-mudarasah(analisa), al-muhafazah (penghafalan), al-mudzakarah (kajian lebih lanjut), dan al-muthala’ah (kajian lebih mendalam). Lima syarat ini kiranya menunjukkan semangat keilmuan dan kerendahhatian Raja Ali Haji terhadap karya yang dibuatnya.

Buku selanjutnya yang ditulis oleh Raja Ali Haji di bidang linguistik yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa yang merupakan kamus bahasa Melayu, yang mula-mula terbit pada tahun 1929 di Singapura. Dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Hasan Junus menjelaskan bahwa penulisan kamus ini memakai teknik persajakan (menjelaskan arti sebuah lema, dengan cara mengambil sebuah bait syair atau pantun yang mengandung lema yang dimaksud kemudian dijelaskan, sehingga penjelasan sesuai dengan konteks kalimat bait itu) dan teknik kaufah, yakni melihat entri kamus dari persamaan suku kata pertama dan terakhir. 

Sebagai contoh penulisan lema dan artinya—seperti dikutip laman rajaalihaji.com, Hasan Junus mengambil kata “Arung/Harung” yang mempunyai dua makna. Pertama, arung: berjalan di dalam air, dalamnya sekurang-kurangnya lepas bukulali/matakaki. Dan kedua, makna harung itu datang kepada pinggang orang yang ramping cantik seperti kata syair Melayu disindirkan kepada perempuan yang cantik dengan katanya:

“dadanya bidang pinggangnya harung – menentang wajahnya berahi terkurung
tunduk menyeling pandangan serong – manisnya seperti sakar sekarung”

Sementara dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sebagai perbandingan gaya penulisan kamus, kata “Arung” bermakna sebagai berikut: 

arung, mengarung: berjalan menyeberang (sungai, hutan, dsb)
mengarungi: berjalan menyeberangi
arung-arungan: bagian sungai yang dangkal tempat orang menyeberang.

Selain kedua karya di atas, Raja Ali Haji juga menulis Tuhfat al-Nafis, Gurindam 12, dan beberapa syair, di antaranya Syair Sinar Gemala Mestika Alam dan Syair Nasehat Kepada Anak.

Gurindam 12 yang merupakan karyanya yang paling populer ditulis Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau, pada 1847 dalam usia 38 tahun. Karya ini terdiri dari 12 pasal dan dikategorikan sebagai Syair al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk hidup yang diridai Allah.     

Secara penulisan, seperti dijelaskan dalam pengantar buku Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama tahun 2012, “Gurindam biasanya terdiri dari sebuah kalimat majemuk yang dibagi menjadi dua baris bersajak. Tiap-tiap baris itu merupakan sebuah kalimat dan hubungan antara kalimat biasanya merupakan hubungan anak kalimat dan induk kalimat. Jumlah suku tiap-tiap baris tidak ditentukan, demikian pula iramanya tidak tetap.”

Sementara Raja Ali Haji menerangkan gurindam sebagai “perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya.”

“Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.”(pasal kelima Gurindam 12)

Penulis Melayu Pasca Tradisi Tanpa Kolofon

Sebelum abad ke sembilanbelas, tradisi tulis Melayu di Riau menafikan para penulis naskah. Beberapa naskah yang berhasil diselamatkan biasanya diistilahkan sebagai “tradisi istana Melayu”. Para penulis hanya bekerja tanpa diketahui identitasnya. Setiap naskah, baik syair, prosa, hikayat, dan puisi dibuat tanpa kolofon. Semua karya tulis dianggap sebagai milik tradisi bukan milik individu. 

Dengan demikian, pencapaian individual seorang penulis tidaklah ikut berperan di dalamnya. Sastra atau tulisan mendasari dan mengajukan kepentingan umum keluarga diraja. Karena itulah tidak ada alasan bagi seorang penulis atau penyalin memperkenalkan diri mereka, termasuk menandai karya itu dengan namanya.

“Dalam tradisi ini karya-karya asli dibuat dan naskah-naskah yang semula ada disalin oleh orang-orang yang dipekerjakan raja dan atau oleh kerabat diraja itu sendiri. Para penulis tidak hanya menghasilkan hikayat dan syair, jenis prosa dan puisi Melayu paling lazim yang menghidangkan berbagai topik sebagai hiburan dan sarana pembelajaran bagi masyarakat. Mereka juga mengurus pembukuan istana dan menulis surat-surat resmi serta maklumat untuk rakyat. Di samping itu, mereka juga menyusun dan menyalin teks-teks agama (dikenal sebagai ‘kitab’) dan kronik-kronik penting tentang keluarga diraja untuk merekam dan mengabsahkan perkembangan dan sejarah kerajaan.” (Dalam Berkekalan Persahabatan, hal. 11)

Memasuki abad ke sembilanbelas, salah satunya berkat dorongan makin tumbuhnya perhatian Belanda terhadap alam Melayu, tradisi ini perlahan mengalami perubahan. Istana tidak lagi memonopoli naskah dan tradisi tulis, namun mulai direcoki pihak kolonial. Orang-orang Eropa, khususnya Belanda, dengan alasan filologis menganggap penting identitas penulis setiap naskah. Mereka berkepentingan untuk mengetahui beberapa hal, seperti bilamana, di mana, dan oleh siapa suatu naskah ditulis atau disalin.

Dalam buku surat-menyurat antara Raja Ali Haji dengan Hermann Von de Wall, hal ini dilakukan karena pejabat pemerintah Belanda di Batavia dan di Den Haag menganggap bahwa pengetahuan yang memadai di bidang bahasa dan tradisi tempatan sangatlah mendesak, pasca mereka berhasil merebut kembali kendali kekuasaan di Nusantara dari Inggris di awal abad ke sembilanbelas.

Di periode perubahan tradisi tulis Melayu inilah Raja Ali Haji lahir dan menulis, hingga karya-karyanya sampai kepada generasi sekarang dengan identitas beliau, tunak diperbanyak dan dipelajari sebagai warisan literasi Melayu yang mustahak dijaga dan dilestarikan.

Persahabatan dengan Hermann Von de Wall

Dari 1857 sampai akhir 1872, Raja Ali Haji melakukan korespondensi dengan Hermann Von de Wall—seorang sarjana kelahiran Jerman, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang bertugas menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda. Surat-menyurat yang dilakukan selama limabelas tahun ini memberi gambaran keseharian seorang penulis Melayu masyhur dengan hubungannya dengan para pegawai kolonial Belanda. Hal ini barangkali bisa menepis anggapan tradisional masyarakat tentang Raja Ali Haji yang dianggap membenci Belanda.

Sebagai salah satu proyek pemerintah, penyusunan kamus Melayu-Belanda tentu ditopang oleh pendanaan yang cukup. Hal ini karena pada pengerjaannya melibatkan beberapa juru tulis. Terlebih Raja Ali Haji sebagai seorang ahli dan informan dalam penyusunan kamus tersebut, juga mendapat tunjangan.

Meski demikian, pada awalnya hubungan antara keduanya belum didasarkan pada landasan formal, artinya imbalan yang diterima oleh Raja Ali Haji belum berupa uang tunai, melainkan berbentuk hadiah-hadiah yang sifatnya barang seperti sepucuk senapan, buku-buku yang dipesan, dan penjilidan buku dengan kulit yang bagus.

Surat-menyurat yang berlangsung belasan tahun ini kemudian mengikat keduanya dalam persahabatan yang karib. Dalam beberapa suratnya Raja Ali Haji menyampaikan bahwa ia menganggap sarjana Eropa tersebut sebagai seorang saudara yang dapat menyimpan rahasia kehidupan pribadinya.

“Inilah sebenar-benarnya khabar kita. Itupun daripada sangat ikhlasnya serta putih hati kita kepada paduka sahabat kita maka kita terangkan hal kita ini, karena pada perasaan kita yang sahabat kita itu saudaralah kepada kita. Pasti sahabat kita tutup juga mana-mana yang jadi kemaluan atas kita adanya,” tulis Raja Ali Haji. (Surat 22 April 1862, baris 44-49)

Komunikasi dan persahabatan Raja Ali Haji dengan pegawai kolonial dalam upaya menyusun kamus Melayu-Belanda, apalagi kemudian ia dibayar secara profesional, barangkali mengundang antipati dari sebagian masyarakat yang menganggap sikap tersebut sebagai laku kompromi dengan kaum kolonial. Namun, tentu ia juga mempunyai pertimbangan kontekstual di zamannya.     

Di Gurindam 12 pasal ketujuh beliau menulis, “Apabila kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat”. Barangkali sikap ini adalah salah satu siasat tersebut. (tirto.id - irf/zen)

Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 6 November 2017

No comments: