Ia sempat menyusun buku Sejarah Sastra Indonesia Modern yang kental dengan jargon "revolusioner".
Sebagaimana kawan-kawannya sesama pengurus Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), Bakri Siregar ditahan tanpa pernah diadili. Ia baru
dibebaskan pada 1977, dan meninggal pada 19 Juni 1994, tepat hari ini 25 tahun
yang lalu.
Sebelum badai politik menggulung PKI, organisasi pendukung, serta para simpatisannya, lelaki kelahiran Langsa, Aceh, pada Desember 1922 itu sempat menulis buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 (1964) yang peredarannya dilarang seiring penahanannya.
Selagi tinggal di Medan, ia pernah menjadi redaktur harian Pendorong dan redaktur majalah Arah. Warsa 1952, ia bergabung dengan Lekra dan setahun kemudian memimpin Lekra cabang Sumatra Utara.
Kiprah Lekra Sumatra Utara di lapangan kebudayaan sempat ia banggakan pada Kongres Nasional Lekra di Solo, Februari 1959. Menurut Koko Hendri Lubis dalam Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (2018), pada kongres tersebut Bakri Siregar menyatakan, “Orang di Sumatra Utara tidak mungkin melakukan kerja budaya [sic] yang berarti, tanpa memperhitungkan faktor Lekra.”
Pernyataannya mendapat tanggapan meski tak ramai, sebab Lekra pada saat itu adalah raksasa di lapangan kebudayaan yang siap menggulung lawan-lawannya. Adalah A.H. Dharsono, esais Medan yang terkenal kritis yang berani mencibirnya.
Koko Hendri Lubis menambahkan, tanggapan A.H. Dharsono dimuat dalam majalah Konfrontasi, No. 30, Mei-Juni 1959 dengan judul “Pidato Bakri Siregar jang Amis di Solo”.
Menurut Lubis, pidato Bakri Siregar tentang peran Lekra di Sumatra Utara memang agak dibesar-besarkan. Namun, kegusaran A.H. Dharsono terhadap pidato Bakri Siregar dengan menyantumkan pelbagai sumbangan organisasi budaya di luar Lekra dianggap tidak proporsional.
“Pengaruh Bakri atas seniman Lekra maupun yang agak ‘kekiri-kirian’ sedemikian besar di Medan,” imbuhnya.
Sebelum badai politik menggulung PKI, organisasi pendukung, serta para simpatisannya, lelaki kelahiran Langsa, Aceh, pada Desember 1922 itu sempat menulis buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 (1964) yang peredarannya dilarang seiring penahanannya.
Selagi tinggal di Medan, ia pernah menjadi redaktur harian Pendorong dan redaktur majalah Arah. Warsa 1952, ia bergabung dengan Lekra dan setahun kemudian memimpin Lekra cabang Sumatra Utara.
Kiprah Lekra Sumatra Utara di lapangan kebudayaan sempat ia banggakan pada Kongres Nasional Lekra di Solo, Februari 1959. Menurut Koko Hendri Lubis dalam Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (2018), pada kongres tersebut Bakri Siregar menyatakan, “Orang di Sumatra Utara tidak mungkin melakukan kerja budaya [sic] yang berarti, tanpa memperhitungkan faktor Lekra.”
Pernyataannya mendapat tanggapan meski tak ramai, sebab Lekra pada saat itu adalah raksasa di lapangan kebudayaan yang siap menggulung lawan-lawannya. Adalah A.H. Dharsono, esais Medan yang terkenal kritis yang berani mencibirnya.
Koko Hendri Lubis menambahkan, tanggapan A.H. Dharsono dimuat dalam majalah Konfrontasi, No. 30, Mei-Juni 1959 dengan judul “Pidato Bakri Siregar jang Amis di Solo”.
Menurut Lubis, pidato Bakri Siregar tentang peran Lekra di Sumatra Utara memang agak dibesar-besarkan. Namun, kegusaran A.H. Dharsono terhadap pidato Bakri Siregar dengan menyantumkan pelbagai sumbangan organisasi budaya di luar Lekra dianggap tidak proporsional.
“Pengaruh Bakri atas seniman Lekra maupun yang agak ‘kekiri-kirian’ sedemikian besar di Medan,” imbuhnya.
Tempat Istimewa bagi Multatuli
Salah satu karya Bakri Siregar adalah Saidjah dan
Adinda (1954), saduran dari Max Havelaar karya Eduard
Douwes Dekker alias Multatuli. Isu kemanusiaan dalam kisah ini menjadi
perhatian Lekra bahkan pimpinan pusat PKI.
D.N. Aidit sebagaimana dituturkan Ibarruri Sudharsono dalam “Terjemahan Kiri” yang dihimpun dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), sempat menguraikan pentingnya penerjemahan karya Multatuli di hadapan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner tanggal 28 Agustus 1964.
Makalah D.N. Aidit yang dimuat di majalah sastra Zaman Baru itu subjudulnya berbunyi “Kapan Ronggowarsito dan Multatuli Diterdjemahkan?”
Menurutnya, dua karya yang tidak ditulis dalam bahasa Indonesia itu berhasil mengungkapkan keadaan masyarakat Indonesia. Dan untuk menegakkan kepribadian nasional di bidang sastra, maka keduanya mesti lekas diterjemahkan dan diterbitkan.
“Multatuli dalam karja-karjanja mengungkapkan tema-tema Indonesia dan ia menulis dengan ketjintaan jang besar kepada Rakjat Indonesia,” ungkap Aidit.
Dalam makalah tersebut, Aidit memuji saduran Bakri Siregar terhadap karya Multatuli yang telah sering dipentaskan. Baginya, jika pementasan Saidjah dan Adinda baik, maka kaum tani yang tengah melakukan pelbagai perlawanan pengusiran dari tanah garapannya, akan melihat dirinya sendiri sedang dipentaskan.
“Sekali pun [karya Bakri Siregar] tipografinya kurang baik, tapi yang jelas penerbitannya telah memenuhi suatu keperluan bagi perjuangan kaum tani di Sumatra Utara ketika itu,” imbuhnya.
Begitu pentingnya sosok Multatuli bagi Lekra, bahkan Pramoedya Ananta Toer seperti ia sampaikan dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006) sempat mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk mendirikan patungnya, tapi ditolak.
Pram berpendapat, dan mungkin juga sependapat dengan Bakri Siregar dan D.N. Aidit, Multatuli adalah sosok yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah.
“Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawanisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah,” tegas Pram.
Tenaga Revolusi dalam Sejarah Sastra Indonesia
Mula sejarah sastra Indonesia modern terus menjadi
perdebatan. Sejumlah penulis, seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan
Zuber Usman telah melakukan beberapa ikhtiar, baik sebagai penelaah maupun
sebagai dokumentator. Anggitan mereka melahirkan kanon sastra beserta
argumentasinya.
Sebagai penulis kiri, Bakri Siregar dalam karyanya Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 (1964), memilih sejumlah tokoh yang menurutnya revolusioner sebagai pemula sastra Indonesia modern.
“Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi repolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo,” tulisnya seperti dikutip esais Bandung Mawardi.
Bakri Siregar juga mengajukan dua nama lain, yakni Semaun dan Rustam Effendi sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern. Benang merah ketiga tokoh ini amat jelas, yakni karya mereka menggambarkan kritik dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Sejumlah karya Mas Marco Kartodikromo seperti Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924) dilarang pemerintah kolonial. Penulisnya keluar masuk penjara, dan ia meninggal di tanah pembuangan Boven Digul.
“Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia, secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal,” tulis Asep Sambodja dalam Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan Pengarang Lekra (2011).
Sementara karya Semaun Hikayat Kadiroen (1924), menurut Bakri Siregar menjadi dasar untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Karya ini disita, dan pasca pemberontrakan PKI 1926 dianggap sebagai bacaan di bawah tanah. Dan Bebasari (1926) karya Rustam Effendi berupa sindiran terhadap penguasa, serta menggambarkan cita-cita kemerdekaan.
Berbeda dengan Zuber Usman yang menyebut
Abdullah bin Abdulkadir Munsji sebagai penutup zaman lama dan pembuka era baru,
Bakri Siregar justru tak menjadikannya sebagai sang pemula dalam sejarah sastra
modern Indonesia.
Asep Sambodja menerangkan, keengganan Bakri Siregar memasukkan Abdullah bin Abdulkadir Munsji karena—setelah membaca memoarnya yang bertajuk Hikayat Abdullah—ia menganggap pengarang itu terlalu memuji dan mengagumi penjajah Inggris.
“Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia,” imbuh Sambodja.
Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015) menjelaskan, sebagian pihak yang menilai Abdullah sebagai tali burut (kaki tangan, konco, begundal) kolonial Inggris, karena tokoh ini dibesarkan dalam situasi yang unik.
“Ia dibesarkan dalam lingkaran tradisi keberaksaraan, sementara masyarakatnya waktu itu masih berada dalam tradisi kelisanan,” ungkapnya.
Sementara menurut Amin Sweeney dalam Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (2005), pengaruh Inggris yang diserap oleh Abdullah bersumber dari teks yang menuntut daya intelektual yang formulanya jelas, bukan dari tradisi kelisanan.
“Abdullah dipaksa meringkuk menghadap buku. Penumpuannya senantiasa pada huruf dalam berbagai bahasa,” tulisnya.
Di luar “pembelaan” para penulis tentang sosok Abdullah bin Abdulkadir Munsji, dalam catatan Asep Sambodja, Bakri Siregar pun sebetulnya mempunyai penilaian positif terhadapnya, yakni dalam batas tertentu Abdullah sanggup mengkritik kaum bangsawan Melayu.
Namun, selain karena anggapan bahwa Abdullah dinilai terlampau memuja Inggris, penyusunan buku sejarah sastra modern Indonesia yang dilakukan oleh Bakri Siregar tentu mempunyai argumentasi politik lain.
Dan yang paling utama, setidaknya dilihat dari sejumlah tanggapan buku tersebut, napas revolusioner yang menjadi tulang rusuk propaganda Lekra dan PKI, menjadi pertimbangan paling penting.
Bakri Siregar, sebagaimana kawan-kawannya di Lekra, menulis pada zaman ketika pilihan ideologi begitu kentara. Pilihan politik diekspresikan dengan amat jelas dalam pelbagai karya.
Dalam gelombang politik seperti itulah ikhtiar penyusunan sejarah sastra Indonesia modern ia lakukan. (irf)
Asep Sambodja menerangkan, keengganan Bakri Siregar memasukkan Abdullah bin Abdulkadir Munsji karena—setelah membaca memoarnya yang bertajuk Hikayat Abdullah—ia menganggap pengarang itu terlalu memuji dan mengagumi penjajah Inggris.
“Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia,” imbuh Sambodja.
Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015) menjelaskan, sebagian pihak yang menilai Abdullah sebagai tali burut (kaki tangan, konco, begundal) kolonial Inggris, karena tokoh ini dibesarkan dalam situasi yang unik.
“Ia dibesarkan dalam lingkaran tradisi keberaksaraan, sementara masyarakatnya waktu itu masih berada dalam tradisi kelisanan,” ungkapnya.
Sementara menurut Amin Sweeney dalam Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (2005), pengaruh Inggris yang diserap oleh Abdullah bersumber dari teks yang menuntut daya intelektual yang formulanya jelas, bukan dari tradisi kelisanan.
“Abdullah dipaksa meringkuk menghadap buku. Penumpuannya senantiasa pada huruf dalam berbagai bahasa,” tulisnya.
Di luar “pembelaan” para penulis tentang sosok Abdullah bin Abdulkadir Munsji, dalam catatan Asep Sambodja, Bakri Siregar pun sebetulnya mempunyai penilaian positif terhadapnya, yakni dalam batas tertentu Abdullah sanggup mengkritik kaum bangsawan Melayu.
Namun, selain karena anggapan bahwa Abdullah dinilai terlampau memuja Inggris, penyusunan buku sejarah sastra modern Indonesia yang dilakukan oleh Bakri Siregar tentu mempunyai argumentasi politik lain.
Dan yang paling utama, setidaknya dilihat dari sejumlah tanggapan buku tersebut, napas revolusioner yang menjadi tulang rusuk propaganda Lekra dan PKI, menjadi pertimbangan paling penting.
Bakri Siregar, sebagaimana kawan-kawannya di Lekra, menulis pada zaman ketika pilihan ideologi begitu kentara. Pilihan politik diekspresikan dengan amat jelas dalam pelbagai karya.
Dalam gelombang politik seperti itulah ikhtiar penyusunan sejarah sastra Indonesia modern ia lakukan. (irf)
Tayang pertama kali di Tirto.id pada 19 Juni 2019
Foto: Wikipedia
No comments:
Post a Comment