Bahasa daerah semakin dianggap kalah bergengsi dibanding bahasa Indonesia. Ironi tersendiri di tengah kampanye gencar bahasa nasional.
Setiap lebaran tiba, rumah saya yang terletak di salah
satu kecamatan di ujung selatan Jawa Barat selalu dipenuhi para kemenakan.
Sebagian telah duduk di sekolah menengah pertama, sebagian lagi masih di
sekolah dasar. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik dengan orang
tua maupun dengan sesama saudara sepupu.
Orang tua mereka hampir seratus persen penutur bahasa Sunda. Namun tak seorang pun dari para kemenakan itu yang fasih berbahasa Sunda. Sebagai paman, mereka memanggil saya “om”, alih-alih “mang”.
Bagaimana dengan para tetangga? Setali tiga uang.
Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota.
Di rumah, bahasa yang orang tua kami gunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sunda. Ada proses pewarisan bahasa daerah, bahasa ibu, atau bahasa sékésélér, yang kiwari mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka.
Kondisi serupa terjadi juga di Kabupaten Flores Timur. Beberapa kawan yang berasal dari Larantuka dan Solor menceritakan tentang proses komunikasi dengan anak-anak mereka yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, alih-alih menggunakan bahasa Lamaholot.
Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut bahasa daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot.
Jika membaca catatan Ajip Rosidi, orang yang telaten dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Sunda, dalam Kudu Dimimitian di Imah (2014), rupanya fenomena ini bukan hal baru.
Sekali waktu ia memenuhi undangan acara syukuran kawannya di Jakarta yang ia sebut “Ki Silah”, yang ia kenal sejak 1956 saat diadakan Kongres Pemuda Sunda. Adik kawannya itu bertahun-tahun menulis situasi politik dan sosial di majalah Manglé yang berbahasa Sunda. Sebagaimana pengakuan kawannya, kakak-beradik itu dibesarkan di lingkungan Paguyuban Pasundan.
Namun Ajip merasa heran saat acara syukuran itu memutar video yang berisi riwayat hidup singkat “Ki Silah” yang dibuat oleh anak kawannya tersebut. Dalam video muncul nama Ramadhan K.H. Sastrawan asal Cianjur itu tidak ditulis “Ramadhan Karta Hadimadja”, melainkan “Kiai Haji Ramadhan”.
Kemudian saat anak pertama kawannya itu berpidato menghaturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga kedua adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris.
Di titik itu Ajip bertanya-tanya. Kenapa kawannya yang lahir dan hidup dalam lingkungan pergerakan Sunda, juga pernah ditahan selama hampir empat tahun gara-gara terlibat dalam gerakan kesundaan yang berseberangan dengan pemerintah, tidak menanamkan kesundaan, terutama dalam bahasa, kepada anak-anaknya.
Sebagian kawannya yang lain mengatakan kepadanya bahwa hal itu terjadi karena mereka lama hidup di luar negeri saat “Ki Silah” menjadi diplomat. Namun alasan itu buru-buru Ajip bantah, sebab kawannya yang lain yang juga lama bertugas sebagai diplomat, malah anak-anaknya lahir di Perancis, semuanya mampu berbahasa Sunda.
Orang tua mereka hampir seratus persen penutur bahasa Sunda. Namun tak seorang pun dari para kemenakan itu yang fasih berbahasa Sunda. Sebagai paman, mereka memanggil saya “om”, alih-alih “mang”.
Bagaimana dengan para tetangga? Setali tiga uang.
Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota.
Di rumah, bahasa yang orang tua kami gunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sunda. Ada proses pewarisan bahasa daerah, bahasa ibu, atau bahasa sékésélér, yang kiwari mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka.
Kondisi serupa terjadi juga di Kabupaten Flores Timur. Beberapa kawan yang berasal dari Larantuka dan Solor menceritakan tentang proses komunikasi dengan anak-anak mereka yang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, alih-alih menggunakan bahasa Lamaholot.
Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut bahasa daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot.
Jika membaca catatan Ajip Rosidi, orang yang telaten dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Sunda, dalam Kudu Dimimitian di Imah (2014), rupanya fenomena ini bukan hal baru.
Sekali waktu ia memenuhi undangan acara syukuran kawannya di Jakarta yang ia sebut “Ki Silah”, yang ia kenal sejak 1956 saat diadakan Kongres Pemuda Sunda. Adik kawannya itu bertahun-tahun menulis situasi politik dan sosial di majalah Manglé yang berbahasa Sunda. Sebagaimana pengakuan kawannya, kakak-beradik itu dibesarkan di lingkungan Paguyuban Pasundan.
Namun Ajip merasa heran saat acara syukuran itu memutar video yang berisi riwayat hidup singkat “Ki Silah” yang dibuat oleh anak kawannya tersebut. Dalam video muncul nama Ramadhan K.H. Sastrawan asal Cianjur itu tidak ditulis “Ramadhan Karta Hadimadja”, melainkan “Kiai Haji Ramadhan”.
Kemudian saat anak pertama kawannya itu berpidato menghaturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga kedua adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris.
Di titik itu Ajip bertanya-tanya. Kenapa kawannya yang lahir dan hidup dalam lingkungan pergerakan Sunda, juga pernah ditahan selama hampir empat tahun gara-gara terlibat dalam gerakan kesundaan yang berseberangan dengan pemerintah, tidak menanamkan kesundaan, terutama dalam bahasa, kepada anak-anaknya.
Sebagian kawannya yang lain mengatakan kepadanya bahwa hal itu terjadi karena mereka lama hidup di luar negeri saat “Ki Silah” menjadi diplomat. Namun alasan itu buru-buru Ajip bantah, sebab kawannya yang lain yang juga lama bertugas sebagai diplomat, malah anak-anaknya lahir di Perancis, semuanya mampu berbahasa Sunda.
Ketakutan dan Tidak Mangkus
“Apakah Ki Silah menjadi jera menggeluti kesundaan setelah
dipenjara selama hampir empat tahun? Kemudian menyingkirkan segala rupa yang
berbau Sunda?” tanya Ajip.
Pertanyaan itu bisa jadi jawabannya “ya”, sebagai cara bertahan hidup “Ki Silah” atas masa lalunya yang berseberangan dengan pemerintah, yang kemudian ia bisa berkiprah di Kementerian Luar Negeri. Dalam konteks yang agak berbeda, orang-orang Minangkabau merevolusi tipe nama mereka setelah kegagalan PRRI. Namun intinya sama: ada kompromi yang mengorbankan akar tradisi.
Kita tahu, alasan ketakutan seperti contoh di atas tak
dapat dilekatkan ke dalam konteks kiwari dalam penolakan menggunakan bahasa
daerah. Perkara lain yang paling memungkinkan dijadikan alasan oleh para orang
tua adalah soal keefektifan.
Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan—khususnya dalam kasus bahasa Sunda—meski para orang tua mereka penutur bahasa Sunda, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Indonesia.
“Tidak mangkus,” ujar seorang kawan asal Bandung, beristri orang Bandung, dan tinggal di Jakarta, soal tak digunakannya bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan anaknya.
Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sunda, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.
Lagi pula, jika mengacu pada hasil penelitian Jérôme Samuel dalam Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan (2008), bahasa daerah memang kalah bersaing dengan bahasa Indonesia. Fungsinya juga semakin terbatas, terutama dalam tulisan.
Pada masa kolonial bahasa daerah hadir dalam pelbagai bidang seperti kesusastraan daerah, terjemahan kesusastraan dari bahasa Melayu dan bahasa Barat, pengajaran (ilmu hitung, sejarah, ilmu bumi, ilmu pendidikan), ilmiah populer (kesehatan), atau teknik (listrik, mekanik).
Namun sejak 1945 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan.
Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia.
“Akan tetapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda […] Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah tepian ataupun yang lebih dekat pusat,” tulis Samuel.
Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan sékésélér atau leluhur.
Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga diplomat asal Sunda yang bertugas di Perancis dan tetap menggunakan bahasa Sunda di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut.
“Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, bahwa sebetulnya bahasa utama mereka adalah bahasa Perancis (sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Paris), tapi karena [orang tua dan saudara-saudaranya] di rumah menggunakan bahasa Sunda, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh Ajip.
Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan—khususnya dalam kasus bahasa Sunda—meski para orang tua mereka penutur bahasa Sunda, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Indonesia.
“Tidak mangkus,” ujar seorang kawan asal Bandung, beristri orang Bandung, dan tinggal di Jakarta, soal tak digunakannya bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan anaknya.
Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sunda, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.
Lagi pula, jika mengacu pada hasil penelitian Jérôme Samuel dalam Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan (2008), bahasa daerah memang kalah bersaing dengan bahasa Indonesia. Fungsinya juga semakin terbatas, terutama dalam tulisan.
Pada masa kolonial bahasa daerah hadir dalam pelbagai bidang seperti kesusastraan daerah, terjemahan kesusastraan dari bahasa Melayu dan bahasa Barat, pengajaran (ilmu hitung, sejarah, ilmu bumi, ilmu pendidikan), ilmiah populer (kesehatan), atau teknik (listrik, mekanik).
Namun sejak 1945 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan.
Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia.
“Akan tetapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda […] Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah tepian ataupun yang lebih dekat pusat,” tulis Samuel.
Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan sékésélér atau leluhur.
Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga diplomat asal Sunda yang bertugas di Perancis dan tetap menggunakan bahasa Sunda di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut.
“Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, bahwa sebetulnya bahasa utama mereka adalah bahasa Perancis (sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Paris), tapi karena [orang tua dan saudara-saudaranya] di rumah menggunakan bahasa Sunda, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh Ajip.
Gengsi dan Kekenesan
Dalam masyarakat dwibahasa, fungsi
bahasa galibnya memang berbeda-beda. Dan seperti dituturkan sebelumnya, di
Indonesia bahasa daerah memiliki fungsi yang lebih rendah daripada bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional. Hal ini kemudian melahirkan prestise berbahasa yang
berbeda-beda.
“Lazimnya, orang merasa berprestise tinggi jika dia dapat berbahasa Inggris dengan baik, yakni bahasa yang memiliki fakta keinternasionalan. Sebaliknya, orang merasa berprestise rendah jika hanya dapat berbahasa daerah,” tulis R. Kunjana Rahardi dalam Dimensi-dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini (2006).
Ia menambahkan, kenyataan berbahasa seperti itu bukan hanya di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara Eropa terhadap bahasa patois atau variasi lokal suatu bahasa yang bersifat nonstandar. Menurutnya, bahasa ini tidak terpelihara, tidak terkultivasi, dan tidak dikembangkan secara baik, serta hanya dipakai masyarakat kelompok bawah.
“Bahkan, secara ironis, mereka menyebut sebagai bahasanya orang-orang dari dunia keempat,” imbuhnya.
Penjelasannya tentang tingkatan gengsi bahasa, jika ditarik ke dalam kondisi penggunaan bahasa daerah hari ini di Indonesia, bisa jadi menjadi salah satu alasan para orang tua dalam menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, alih-alih menggunakan bahasa daerah.
Jika tak sepenuhnya, leksikon-leksikon tertentu dalam bahasa yang lebih bergengsi mereka pungut dan dicampuradukkan dengan bahasa yang mereka pakai sehari-hari.
Rahardi menyebut laku ini sebagai “menyombongkan diri”. Sementara Alif Danya Munsyi dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) menyebutnya sebagai “kekenesan berbahasa”.
Sekali waktu di bulan Oktober 2003, sebelum meninggalkan sebuah hotel di Yogyakarta, Danya Munsyi diminta untuk menuliskan kesan-kesan terhadap hotel tersebut. Saat hendak menulis, ia melihat tulisan Syamsul Maarif (saat itu menteri) yang sehari sebelumnya menginap di hotel yang sama.
“Like other guests, I feel good stay in Santika. Manajement tahu bagaimana memperlakukan tamu secara profesional,” tulis Maarif yang dipanggil “encik” oleh Danya Munsyi.
Demi melihat tulisan itu, ia kemudian mengeluarkan unek-uneknya tentang penyakit “nginggris” yang merasuki orang Indonesia, khususnya kalangan terpelajar, yang menurutnya semestinya lebih mengerti konteks sejarah yang mengiringi lahir dan tumbuhnya bahasa Indonesia.
“Bahasa Indonesia menjadi tidak karuan karena pemakainya, terutama kalangan terpelajar, dalam bercakap maupun menulis, tampak seperti kesurupan, jor-joran, menghias bahasa Indonesia dengan kata-kata, istilah-istilah, bahkan kalimat-kalimat tertentu bahasa Inggris. Tidak jelas apa maunya, apakah supaya kelihatan pintar, kelihatan cendekia, ataukah sekadar menunjukkan bakat genit dan kebolehan bersolek?” tegasnya.
Kekenesan ini, yakni mencampuradukkan dua bahasa yang memiliki gengsi berbeda, bisa juga terjadi dalam percampuran antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.
Dari sisi sosiolinguistik dan sosiokultural, menurut Kunjana Rahardi, kenyataan sintesis kebahasaan tersebut seolah-olah tidak tersanggahkan. Namun dalam kerangka pembinaan dan pembakuan bahasa, kenyataan kebahasaan ini merupakan spesimen pelanggaran yang perlu diperbaiki.
Dalam semangat pemeliharaan dan pemajuan bahasa daerah, pelbagai kenyataan ini tentu mustahak menjadi catatan yang mesti diperhatikan. Memang bukan hal mudah untuk memperbaikinya, namun setiap orang yang masih peduli setidaknya bisa mempertimbangkan usul Ajip Rosidi: bahasa daerah bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya. (irf)
Tayang pertama kali di Tirto.id pada 18 Juli 2019
Foto: radarpena.id
1 comment:
Bahas juga dong fenomena buzzer dari pihak pemerintah, yang membuat sesuatu yang benar-benar salah diperbuat pemerintah, menjadi bias oleh kehadiran mereka.
Post a Comment