“Saya pengelamun yang parah,” ujar Hamsad Rangkuti.
Pengarang kelahiran Titikuning, Sumatera Utara,
7 Mei 1943 itu kerap membiarkan pikirannya pergi ke mana ia suka. Dalam
pengantar di salah satu buku kumpulan cerpennya, ia mengatakan cerpen-cerpennya
seringkali hanya dipicu oleh hal-hal kecil seperti mendengarkan perkataan
seseorang atau sekilas melihat sesuatu, lalu ia kembangkan dengan daya
imajinasinya.
Cerpen pertamanya yang berjudul Sebuah
Nyanyian di Rambung Tua (1959) ia tulis ketika menyendiri di hutan
rambung dekat kampungnya. Saat itu ia menyaksikan seorang buruh penyadap getah
yang bekerja dari satu pohon ke pohon yang lain.
“Pada detik itulah terbayang olehnya latar
keluarga di buruh berikut hidup yang mereka lalui. Tragedi dan peliknya hidup
orang miskin itulah yang kemudian menjiwai karya-karya Hamsad, yang pada sisi
lain menunjukkan keberpihakannya atas nasib orang-orang kecil,” tulis Ni Made
Purnamasari dalam sebuah tulisan yang ia sampaikan pada diskusi di Biennale
Sastra Salihara 2017.
Dalam sebuah resensi buku karya Hamsad Rangkuti
yang berjudul Bibir dalam Pispot (2003), Yanusa Nugroho
menulis dalam Tempo bahwa karya pengarang ini nikmat dibaca
karena diangkat dari persoalan keseharian dan konon diilhami dari berita-berita
di koran.
“Sebagaimana ciri khas cerpen sastra, selalu
saja kisah yang disajikan Hamsad membuka horizon baru. Ada tema tentang
kerinduan, keteduhan, kepolosan, kejujuran, dan berbagai percikan nafsu
manusiawi yang tak bisa disingkirkan begitu saja. Cerpen Hamsad adalah sebuah
cermin besar yang menangkap nadi kehidupan manusia yang bernama Indonesia,”
tulisnya.
Dalam kondisi lain, melamun atau berpikir ketika
menciptakan sebuah karya sempat membuatnya celaka. Kepada Harian Pos
Kota ia sempat berkisah tentang kepalanya yang melepuh karena
tersiram air panas. Malam hari saat ia pulang, istrinya memanaskan air untuk ia
mandi. Karena pikirannya tidak fokus, air panas itu lupa ia campur dengan air
dingin.
“Saat itu abang lagi mikirin bagian akhir dari
cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember
dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala. Bayangkan rasanya!” katanya.
Pada Minggu, 26 Agustus 2018, Hamsad Rangkuti
meninggal dunia setelah bertahun-tahun berjuang melawan berbagai penyakit yang
menyerang dirinya. Pada laman Facebook-nya, Martin Aleida, salah
seorang kawan Hamsad menulis:
“Kuantar kau dengan Al-Fatihah yang kau sebut
sebagai ayat pamungkas untuk memulai cerita yang bohong tapi enak dan
menggetarkan. Doa dan airmataku untuk perpisahan yang tak bisa dilerai ini.
Banyaklah berkelakar di sana karena dia membahagiakan,” tulisnya.
Apa yang dimaksud oleh Martin Aleida dengan
“cerita yang bohong tapi enak dan menggetarkan”?
Masih dalam artikel yang sama, Ni Made
Purnamasari menyebutkan bahwa kerja kepengarangan agaknya menggelisahkan batin
Hamsad Rangkuti. Ia mencontohkan kondisi itu dengan sebuah cuplikan dari
cerpen Antena yang Hamsad tulis pada tahun 2000.
“Orang itu mengaku seorang pengarang yang selama
hidupnya telah menciptakan kebohongan-kebohongan. Imajinasi adalah kebohongan
untuk diri sendiri, katanya mengucapkan makna yang tak kumengerti. Begitu
imajinasi dituturkan ataupun didengar atau dibaca orang lain, kita telah
menciptakan kebohongan-kebohongan kepada orang lain,” tulisnya.
Lebih lanjut Hamsad menulis cerita pendek, novel,
puisi, dan karangan fiksi lainnya adalah kebohongan yang nikmat yang dengan
cerdik berlindung di balik kata imajinasi. Kebohongan itu dengan jelas
ditujukan kepada dirinya karena pada kalimat berikutnya ia menulis:
“Padahal sesungguhnya tidak ada Sukri membawa
pisau belati. Tidak ada wanita muda yang menanggalkan satu per satu pakaiannya
dan berkata, ‘maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?’
Bohong semua itu,” tambahnya.
Sukri Membawa Pisau Belati dan Maukah
Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? adalah
sejumlah cerpen yang ditulisnya. Di titik ini, pernyataan Martin Aleida di
laman media sosialnya kiranya bisa kita takar bahwa ia tengah melepas seorang
kawannya yang pandai "berbohong" lewat cerita-cerita yang memikat dan
menggetarkan.
Meski cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti bergaya
realis, tapi menurut Ni Made Purnamasari, pengarang ini tetap meyakini bahwa
hasil sastrawi adalah buah murni imajinasi yang membedakannya dengan karya
jurnalisme dan potret deskripsi permukaan lainnya.
“Pandangan ini sempat disikapi kritis oleh
Taufik Ismail, bahwa salah satu tugas mengarang ialah justru meluruskan
kebohongan-kebohongan, entah dengan laku maupun karyanya,” tulisnya.
Berbeda dengan pandangan Taufik Ismail, Hamsad
Rangkuti malah mempertanyakan ulang realita. Kenyataan dalam pandangan si
pengelamun akut itu menurut Ni Made Purnamasari, barangkali tidak selalu berupa
sesuatu yang kita temukan dan saksikan, lebih jauh kenyataan dapat disilangkan,
dipadu-baurkan, atau bahkan ditiadakan dengan bentuk realitas baru yang dia
bayangkan.
“Dia menggoda kita agar jadi penonton yang
terpesona oleh peristiwa yang direkanya,” kata Sapardi Djoko Damono.
Bangkit
dan Tumbang di Rumah
"Kemiskinan adalah bencana. Ia bukan sekadar persoalan memenuhi kebutuhan pangan, tetapi meniadakan harapan dan cita-cita manusia. Maka, amarah dan dendam kerap muncul ketika orang berjalan terbongkok-bongkok dan ringsek memikul beban kemiskinan," tulis Maruli Tobing membuka artikelnya yang bertajuk “Hamsad, dari Lorong Pasar di Kisaran” (Kompas, Minggu, 21 Oktober 2007).
Dalam artikel tersebut Hamsad Rangkuti
dikisahkan putus sekolah pada kelas I SMA di Tangjungbalai karena ketiadaan
biaya. Ia akhirnya terpaksa menemani ayahnya yang bekerja sebagai penjaga malam
dan pemikul air di Kisaran. Sementara ibunya berjualan buah-buahan pada malam
hari.
Maruli Tobing menjelaskan bahwa ketika Hamsad
Rangkuti lahir di zaman yang memang tengah bergolak karena perang kemerdekaan,
tapi hal itu bukan faktor utama. Menurutnya, terkait atau tidak dengan perang,
keluarga Hamsad rangkuti adalah rakyat kecil dalam arti sesungguhnya.
“[Mereka] tidak mempunyai rumah tempat berteduh,
kecuali menumpang di rumah saudara secara berpindah-pindah,” tulisnya.
Kondisi “rumah” seperti ini kemudian secara
tidak langsung mendorong Hamsad Rangkuti untuk memutuskan merantau ke Jakarta.
Ia hendak bangkit dari keadaan yang rudin di “rumah”-nya. Perkenalannya dengan
Jakarta mula-mula dialaminya saat ia bekerja sebagai pegawai negeri di
Inspektorat Kehakiman Kodam II/Bukit Barisan dan dilibatkan dalam Kongres
Karyawan Pengarang Indonesia pada 1964.
Saat pindah ke Jakarta, ia mula-mula ditampung oleh
Zulharman, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dipekerjakan di
Persatuan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Namun, karena di rumah Zulharman
ia merasa tidak mengerjakan apa-apa, akhirnya Hamsad pindah ke Balai Budaya dan
tiap malam tidur di atas ubin dengan hanya beralaskan selembar koran.
Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh
pelukis Nashar yang bertahun-tahun tinggal di Balai Budaya.
“Pada waktu itu kreatif kepengarangannya mulai
menyimpang. Di Balai Budaya ia merasa menjadi manusia liar bagaikan kuda lepas.
Teman-temannya mengajak Hamsad mengenal kehidupan di gubuk-gubuk kere di
sepanjang Kali Malang dan menyusuri rel di gubuk-gubuk pelacuran Planet Senen,”
tulis Pamusuk Eneste dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya
Mengarang II (1984).
Warsa 1969 ia bergabung dengan majalah
sastra Horison. Awalnya ia bekerja sebagai pencatat naskah, lalu
menjadi korektor, dan mulai 1986 ia menjadi Pemimpin Redaksi dan baru 16 tahun
kemudian posisinya digantikan orang lain.
“Tidak terbayangkan dahulu bahwa saya akan diterima bekerja di majalah
sastra Horison,” ujarnya seperti dikutip Maruli Tobing.
Keputusannya untuk pindah ke Jakarta, meski pada mulanya morat-marit, tapi
perlahan membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Ia beberapa kali mendapat
penghargaan sastra atas karya-karyanya, salah satunya memenangkan Khatulistiwa
Literary Award untuk kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot. Ia juga
sempat melakukan perjalanan ke Inggris selama satu bulan yang disponsori oleh
British Council dan mendapatkan uang sebanyak Rp70 juta.
Kehidupan Hamsad Rangkuti mulai berderak-derak saat Pemerintah Kota Depok
membangun tempat pembuangan sampah sementara di dekat rumahnya pada 2009.
Gunungan sampah tersebut menyebabkan rumah tempatnya memanen imajinasi menjadi
kacau. Di rumahnya ia tumbang.
“Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi terasa
hangat. Sampah yang menumpuk, belatung, kecoa, tikus, dan bau busuk
menerbangkan bau hingga ke rumahnya. Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan
keluarga tersebut dijangkiti penyakit,” tulis Liputan 6.
Hamsad Rangkuti pun kemudian terserang penyakit dan kondisinya dari tahun ke
tahun semakin parah. Sementara biaya pengobatan kian mencekik. Di beberapa
laman media sosial, kondisi kesehatan dan ekonomi Hamsad kerap dikabarkan oleh
kawan-kawannya; mereka berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu biaya
pengobatan sastrawan tersebut.
Setelah bertahun-tahun berjuang, ajal akhirnya tak dapat ditangguhkan lagi.
Hari ini Minggu, 26 Agustus 2018, tepat satu tahun silam, Hamsad Rangkuti pergi
untuk selama-lamanya.
Dalam cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku
dengan Bibirmu?, ia menulis adegan tentang seorang perempuan yang
hendak melompat ke laut dan berkata:
"Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut.
Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka
dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan
melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku
tanpa bekas sedikitpun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke
laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami”. (irf)
Ket: Tayang pertama kali di Tirto.id pada 26 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment