Setelah perang kemerdekaan berakhir, sejumlah laskar dilebur ke dalam tentara Republik. Sebagai anggota laskar Hizbullah, pagi itu Amid, Kiram, dan Jun bergerak menuju Kebumen, bergabung dengan pasukan Hizbullah dari beberapa daerah lain. Kabar beredar, mereka akan diangkut ke Purworejo untuk dilantik sebagai tentara Republik.
Mereka menunggu di tepi rel kereta api. Pukul sembilan pagi sebuah lokomotif beserta rangkaiannya bergerak mendekati Stasiun Kebumen. Pasukan bersiap. Dalam benak mereka, selangkah lagi akan sah sebagai tentara Republik muda usia yang berhak mendapat pangkat dan gaji.
Saat kereta api benar-benar telah begitu dekat,
berondongan peluru merajalela dari dalam gerbong. Amid, Kiram, dan Jun sigap
menjatuhkan diri ke dalam parit. Sebagian laskar Hizbullah berhasil
menyelamatkan diri, tapi tak sedikit yang bertumbangan dihajar timah panas.
Tiga sekawan dan pasukan yang selamat kemudian
melakukan serangan balik. Tembak-menembak bersahutan, sebelum sebuah granat
meluncur deras masuk ke dalam gerbong lewat celah jendela dan menghancurkannya.
Setelah berlangsung selama dua jam, pertempuran berakhir. Para penyerang
tumpas.
Sebagian pasukan Hizbullah yang selamat menuduh
pasukan Republik telah berkhianat. Kereta yang rencananya akan mengangkut
mereka ke Purworejo justru menjadi ular besi pencabut nyawa. Sebagian lagi tak
menganggap tentara Republik sekotor itu, mereka justru menuding orang-orang
komunis sisa-sisa peristiwa Madiun 1948 di balik penyerangan tersebut.
Kekecewaan ini membuat sebagian laskar Hizbullah akhirnya bergabung dengan
DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.
Pertempuran ini terdapat dalam karya sastra
karangan Ahmad Tohari bertajuk Lingkar Tanah Lingkar Air (2015).
Kisah di Kebumen ini hanya salah satu dari beberapa fragmen tentang narasi
permusuhan antara Hizbullah dan golongan komunis setelah pengakuan kedaulatan.
Ahmad Tohari juga menceritakan permusuhan ini
ketika pemberontakan DI/TI—yang pasukan intinya berasal dari Hizbullah—telah
eksis sampai menjelang keruntuhannya lewat operasi Pagar Betis.
Lewat karya fiksi, ia seolah-olah hendak membuat
terang wilayah yang kerap dianggap abu-abu tentang infiltrasi dan penghancuran
nama DI/TII oleh kelompok kiri. Saat aksi-aksi garong, penganiayaan, dan
pembunuhan terhadap rakyat sipil yang dilakukan kelompok bersenjata menghebat,
Ahmad Tohari menyebut kelompok kiri kerap memakai nama DI/TII untuk melakukan
aksinya.
“Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang
Gerakan Siluman (komunis) ibarat tombak bermata dua. Ke arah kami, mereka
membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama kami
untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang dusun,” ujar Amid.
Selain itu ia juga menceritakan milisi yang
dilatih tentara Republik yang mula-mula bernama Pemuda Desa (PD), kemudian
berganti nama menjadi Organisasi Keamanan Desa (OKD), lalu menjadi Organisasi
Pertahanan Rakyat (OPR), yang dikerahkan untuk membantu TNI memburu anggota
DI/TII, juga mayoritas berasal dari kelompok kiri.
Situasi ini—saat kekuatan DI/TII kian
melemah—membuat Amid, Kiram, dan Jun enggan menyerahkan diri kepada TNI karena
mereka yakin sebelum sampai ke pos militer, mereka akan dihabisi para milisi
yang telah disusupi orang-orang komunis.
“Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung,
kita sudah habis di tangan OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak
disusupi orang-orang Gerakan Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita
berniat turun gunung. Bagiku, daripada mati justru karena menyerahkan diri,
lebih baik mati bertempur,” ungkap Kiram yang karakternya paling keras di
antara ketiganya.
Kisah tentang milisi desa yang memburu anggota DI/TII yang
dihuni orang-orang komunis terdapat juga dalam cerpen berbahasa Sunda karya
Ahamd Bakri yang berjudul Dokumén yang dihimpun dalam
kumpulan Dukun Lepus (2002).
Jika Ahmad Tohari yang kelahiran Banyumas dan
kisahnya berlatar di Jawa Tengah, maka Ahmad Bakri kelahiran Ciamis dan latar
ceritanya terjadi di Jawa Barat. Kedua provinsi ini adalah pusat gerakan DI/TII
pimpinan Kartosoewirjo dan Amir Fatah.
Dalam Dokumén dikisahkan,
sekali waktu seluruh warga Kampung Karangsari dikumpulkan oleh OKD—yang ditulis
Ahmad Bakri “rata-rata bareureum (rata-rata merah/komunis)—di balai
desa.
Seluruh warga kampung itu dikumpulkan, selain
karena OKD menemukan sebuah dokumen tertulis yang dicurigai berisi daftar warga
yang memberikan sumbangan untuk DI/TII, juga karena kampung tersebut dianggap
sebagai daerah santri yang banyak bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo.
Dokumén diakhiri dengan pemukulan anggota OKD oleh seorang
perangkat desa yang kesal karena sikapnya jemawa dalam memperlakukan warga
kampung.
Peta Kekuatan Politik
Dalam beberapa penelusuran para penyintas pemberontakan
DI/TII di Kabupaten Bandung, kepada Tirto mereka semua
mengatakan bahwa gerombolan yang sering menyatroni kampung adalah orang-orang
DI/TII, bukan komunis.
Barangkali memang benar orang-orang
Kartosoewirjo yang melakukannya, atau orang-orang komunis yang mengatasnamakan
DI/TII seperti dalam cerita Ahmad Tohari. Namun yang jelas setelah
Kartosoewirjo tertangkap pada 1962 dan aksi gerombolan berangsur berkurang dan
hilang, mereka tak menyimpan ingatan tentang gangguan keamanan yang dilakukan
orang-orang komunis.
Paling banter, seperti dikatakan salah satu
narasumber, menyebutnya dengan kalimat, “Sangat jarang, tidak terlalu
menyeramkan seperti zaman DI/TII.”
Namun, saya percaya para penulis cerita seperti
Ahmad Tohari (kelahiran 1948) dan Ahmad Bakri (kelahiran 1917), tidak menulis
ceritanya dari ruang hampa atau tanpa rujukan. Mereka pasti terlebih dahulu
melakukan riset pustaka atau mungkin menuliskan pengalamannya sendiri saat
masa-masa konflik itu berlangsung.
Jika melihat hasil Pemilu 1955, tahun saat
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berada dalam kekuatan puncaknya, raihan
suara yang merepresentasikan kedua pihak yakni Masyumi dan PKI cukup berimbang
di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Di Jawa Barat, Masyumi meraih 13 kursi dan PKI 5
kursi. Sementara di Jawa Tengah, PKI meraih 15 kursi, dan Masyumi hanya 6
kursi. Jika raihan suara di kedua provinsi itu dijumlahkan, maka Masyumi meraih
19 kursi dan PKI 20 kursi.
Hasil Pemilu 1955 di kedua provinsi itu
setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana dua ideologi tersebut mewarnai
pilihan masyarakat, dan memetakan kekuatan dua kubu dalam konteks pemberontakan
DI/TII.
Konflik Sejak Zaman Revolusi
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejumlah catatan sejarah juga menerakan jejak tentang konflik golongan Islam dan kiri, terutama yang melibatkan Kartosoewirjo dan para kombatan yang kelak menjadi pasukan DI/TII.
Sebuah insiden di sekitar Perjanjian Linggarjadi
dicatat Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: “Angan-angan
yang Gagal” (1995). Menurutnya, pada Maret 1947 saat Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) melakukan sidang untuk membahas Perjanjian Linggarjati
di Malang, Kartosoewijo beserta laskarnya bergerak dari Jawa Barat menuju
Malang. Mereka dengan tegas dan tanpa kompromi menolak perjanjian tersebut.
Langkah ini ia lakukan untuk mencegah laskar
sayap kiri yang setuju terhadap perjanjian itu melakukan teror terhadap para
politikus yang menolak Perjanjian Linggarjati.
“Ketika anggota-anggota Pesindo dalam sidang
KNIP mencoba untuk menakuti wakil-wakil rakyat yang menolak persetujuan
Linggardjati, dan ketika pertentangan tersebut semakin meruncing, Kartosuwirjo
menyuruh menempatkan sebuah senapan mesin di atas sebuah rumah yang terletak di
seberang gedung tempat KNIP bersidang,” tulis Dengel.
Sutomo (Bung Tomo) yang namanya populer dalam
pertempuran Surabaya meminta Kartosoewirjo menahan diri. Namun, Kartosoewirjo
yang kelak menjadi imam NII itu hanya menatapnya tanpa berbicara sepatah kata
pun.
Kartosoewirjo baru melunak setelah Bung Tomo
mengatakan tentang kemungkinan Belanda melakukan serangan terhadap sidang
tersebut.
Dengel menambahkan, dalam dokumentasi yang disusun
Majelis Penerangan Negara Islam, terdapat catatan bahwa perjuangan politik umat
Islam pada 1947 benar-benar ditekan kekuatan militer yang hampir seluruhnya
berada di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan kaum sosialisme.
Pertentangan semakin meruncing ketika Menteri
Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk Inspektorat Perdjuangan sebagai badan
yang mewadahi laskar-laskar perjuangan rakyat.
R. Oni—yang kelak menjadi Ketua Majelis
Pertahanan NII—sebagai ketua laskar Sabilillah daerah Priangan menolak badan
tersebut. Menurutnya, badan itu mempunyai tujuan untuk membuat umat Islam
menjadi sosialis. Dalam dokumen tersebut, imbuh Dengel, tampak pula ketakutan
laskar-laskar Islam terhadap integrasi ke dalam tubuh TNI.
“Menurut tulisan DI itu, sejak Amir Sjarifuddin
menjadi Menteri Pertahanan, semua perwira tentara Republik adalah anggota sayap
kiri, dan dengan demikian, kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima untuk
masuk TNI sangat tipis karena kurangnya pendidikan para laskar tersebut,”
tulisnya.
Laskar-laskar Islam juga khawatirkan TNI hanya
akan mengambil senjatanya, dan kemudian mereka segera dipulangkan ke tempatnya
masing-masing.
Kekhawatiran laskar-laskar Islam terhadap
keberadaan kelompok kiri dalam tubuh TNI secara tersirat juga dicatat Cornelis
van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995).
Menurutnya, meski tidak mungkin merinci semua konflik bersenjata antarlaskar
maupun merinci semua satuan gerilya dalam pusaran tersebut, yang jelas pada
waktu itu banyak satuan gerilya liar terutama yang jumlahnya kecil dan
perlengkapan senjatanya terbatas yang diserap oleh tentara Republik.
Artinya, tidak menutup kemungkinan banyak
satuan-satuan gerilya kelompok kiri yang bergabung dengan TNI dan hal tersebut
yang dihindari oleh laskar Islam seperti Hizabullah dan Sabilillah.
Kemarahan laskar-laskar Islam di Jawa Barat
kepada Amir Sjarifuddin memuncak setelah Perjanjian Renville yang mengharuskan
TNI untuk mengosongkan wilayah Jawa Barat berdasarkan garis van Mook.
Menurut Dengel berdasarkan dokumen Majelis
Penerangan Negara Islam, mereka mengungkapkan kemarahannya dengan kalimat “Amir
Sjarifuddin la’natoellah” karena dianggap telah berkhianat dengan menjual Jawa
Barat kepada Belanda.
Saat Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah,
Kartosoewirjo beserta laskar-laskar Islam terutama Hizbullah dan Sabilillah
justru memilih bertahan di Jawa Barat. Kartosoewijo merasakan simpati yang
besar dari para ulama dan rakyat Priangan terhadap kekuatannya ketika terjadi
pertempuran antara pasukannya melawan Belanda di Gunung Cupu.
Selain meminta perlindungan, para ulama dan
rakyat Priangan pun tahu bahwa dirinya adalah satu-satunya politikus yang tidak
hijrah ke Jawa Tengah dan selalu menolak setiap perundingan yang dilakukan
antara Republik dengan Belanda.
“Banyak pemimpin-pemimpin umat Islam [di
Priangan] kini berbondong-bondong ke tempat-tempat yang dipertahankan
Kartosuwirjo dan TII di lereng Gunung Cupu untuk mencari perlindungan dan
pertolongan, karena mereka bukan saja dikejar oleh tentara Belanda melainkan
juga oleh ‘komunis serta sosialis’,” tulis Dengel.
Catatan Dengel yang menyebutkan "komunis
serta sosialis" yang mengejar para ulama dan rakyat Priangan kembali
menguatkan situasi permusuhan antara kelompok Islam dan kiri.
Terlibat
Aksi-Aksi Penggarongan
Dalam Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari tidak sepenuhnya menolak anggapan bahwa aksi-aksi penggarongan terhadap warga sipil dilakukan pasukan DI/TII. Lewat percakapan tokoh-tokoh yang ia bangun, Ahmad Tohari mengakuinya.
Namun, ia juga tak sepenuhnya menerima dengan menyertakan narasi tentang
kelompok kiri yang ikut melakukan penggarongan dengan mengatasnamakan DI/TII.
Sementara pada catatan sejarah yang ditulis Cornelis van Dijk dalam Darul
Islam Sebuah Pemberontakan (1995), ia juga menulis bahwa memang
aksi-aksi itu tak sepenuhnya dilakukan DI/TII meski tak menyebutnya sebagai
kelakuan kelompok kiri. Van Dijk hanya menyebutnya “gerombolan garong”.
“Sebenarnya, beberapa di antaranya tidak lebih dari gerombolan garong yang
melanjutkan operasinya dalam situasi revolusioner yang baru. Dalam pengertian
kebiasaan Jawa lama adanya kelompok pemuda gelandangan yang bertualang di
daerah pedalaman,” tulisnya.
Catatan lain disampaikan Holk H. Dengel. Kartosoewirjo menyebut permusuhan
pertama antara DI/TII dengan tentara Republik terjadi pada Pertempuran
Antralina di Ciawi, Tasikmalaya pada 25 Januari 1949.
DI/TII yang dengan cepat menghimpun kekuatan di Jawa Barat ketika Divisi
Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, menganggap semua pasukan yang masuk ke Jawa
Barat adalah pasukan liar yang harus taat kepada gerakannya.
“Waktu mereka (ja’ni R.I. dlorurot dan komunis gadungan) itu masuk ke daerah de
facto Madjlis Islam, maka dengan sombong dan tjongkaknja mereka
mengindjak-ngindjak hak dan memperkosa keadilan ‘tuan-rumah’, sehingga
terjadilah insiden pertama dengan menggunakan sendjata, jang terkenal dengan
nama ‘Pertempuran Antralina’ dan terjadi pada tanggal 25.1.1949,” tulis
Kartosoewirjo seperti dikutip Dengel.
Ia secara jelas menulis “komunis gadungan” terlibat dalam pertempuran tersebut.
Artinya bisa jadi kelompok komunis memang banyak berkeliaran di Jawa Barat
ketika pemberontakan DI/TII mulai menguat di Jawa Barat.
Di pengujung 1949 setelah Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan, digelar
Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 20-25 Desember. Pada
kongres tersebut dibahas pula soal gerakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo.
Seorang anggota kongres mengungkapkan, sengketa antara laskar Islam dengan TNI
berakar pada peristiwa perlucutan senjata laskar Jawa Barat di awal perjuangan
kemerdekaan.
“Pada saat itu perasaan umat Islam sangat terluka. Karena itu kerjasama dengan
TNI tidak dapat dipertahankan lagi,” ucapnya.
Selain itu ia juga mengungkapkan bahwa Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang ia
sebut sebagai “kaum merah”, mencoba mematahkan tenaga umat Islam dengan
mempergunakan TNI.
Uraian-uraian dalam sejumlah buku sejarah tentang Pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat, juga lewat beberapa teks sastra tentang gerakan tersebut, tak menutup
kemungkinan bahwa memang kelompok kiri terlibat dalam memperkeruh suasana
keamanan warga sipil.
Situasi ini dengan tepat diungkapkan Suhana—salah seorang penyintas
pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung yang saya wawancarai—dengan kata
"pabaliut” yang berarti kacau balau.
Permusuhan tersebut berlanjut ketika situasi berbalik. Menurut Dengel, para
mantan kombatan DI/TII ikut dilibatkan dalam penumpasan G30S tahun 1965.
"Sebagian besar anggota gerakan DI pada tahun 1963 oleh pemerintah
diberikan amnesti dan setelah terjadi peristiwa G 30 S, banyak dari antara
mereka ditarik sebagai penasihat oleh Kodam Siliwangi pada waktu menumpas
Gerakan 30 September/PKI," tulisnya. (irf)
Ket: Tayang pertama kali di Tirto.id pada 19 Maret 2019
No comments:
Post a Comment