“Saya menitipkan catatan-catatan itu kepada
kawan atau saudara. Setelah saya keluar dari penjara, catatan-catatan tersebut
saya himpun kembali,” ucapnya dalam Mochtar Lubis Bicara Lurus:
Menjawab Pertanyaan Wartawan (1995) yang disunting oleh Ramadhan K.H.
Kumpulan catatan harian ini bermula dari
titimangsa 22 Desember 1956, dan berakhir pada 17 Mei 1966 saat tampuk
kekuasaan beralih ke rezim Orde Baru. Sikapnya yang kritis pun
mengakibatkan Indonesia Raya beberapa kali diberedel.
“Pembredelan [Indonesia Raya] karena
keberaniannya membeberkan kasus pelecehan, ketidakadilan, penyalahgunaan
kekuasaan, penindasan di masyarakat, dan lain sebagainya,” tulis Mansyur Sema
dalam Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Perilaku Politik (2008).
Tahun 1968, Orde baru mengizinkan surat kabar
itu terbit kembali. Namun, hal itu tak membuat Lubis kendor dalam mengkritisi
penguasa. Indonesia Raya gencar mengabarkan tentang korupsi di
tubuh Pertamina hingga peristiwa Malari 1974.
Soeharto tak tinggal diam, ia segera
menginstruksikan pemberedelan Indonesia Raya beserta sejumlah
surat kabar lainnya seperti Harian Kami dan Abadi.
Dan Lubis kembali ditahan selama dua setengah bulan.
Penahanan bermula pada 4 Februari 1975, saat ia
baru selesai berolahraga tenis. Ketika tiba di rumah, sejumlah tamu telah hadir
yang ternyata para aparat yang betugas untuk menahannya. Ia ditahan di sebuah
bungalow. Menurutnya, penahanan itu lebih baik daripada zaman Orde Lama.
Selain karena waktunya lebih lama, juga karena pada
era Orde Lama ia ditahan secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya
dan benar-benar disekap dalam terali besi. Orde Lama juga sempat menahannya
dalam penjara yang buruk, yakni di RTM (Rumah Tahanan Militer) Jalan Budi
Utomo, Jakarta. Di situ ia dicampur dengan tahanan kriminal yang diperlakukan
secara buruk.
Setelah Orde Baru membebaskannya, kepada Sinar
Harapan ia menyampaikan bahwa dirinya akan tetap setia pada profesinya
sebagai wartawan.
“Selain itu, saya juga merencanakan menulis beberapa
buku yang kesemuanya menggambarkan Indonesia dalam tiga zaman. Masing-masing
zaman kolonial Belanda, zaman Jepang, dan zaman kemerdekaan,” imbuhnya.
Seperti halnya Catatan Subversif (1980)
yang lahir dari tahanan Orde Lama, Mochtar Lubis pun menuliskan pengalamannya
saat ditahan Orde Baru dalam Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis
dalam Penjara Orde Baru (2008).
“Seorang pembangkang,” tulis David T. Hill
menggambarkan sosok Mochtar Lubis yang bersikap anti-kompromi terhadap dua
rezim dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011).
Polemik “Manusia Indonesia”
Tahun 1977, di Taman Ismail Marzuki, Lubis menyampaikan pidato kebudayaan yang kemudian diterbitkan dengan tajuk Manusia Indonesia. Ia memaparkan enam sifat manusia Indonesia seperti yang distereotipkan banyak orang, yakni munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah watak atau karakter.
Pidato kebudayaan ini memicu polemik dan
gelombang pemberitaan. Tak seperti ceramah-ceramah umum tentang kebudayaan yang
biasanya hanya diberitakan dalam kolom sastra atau budaya di halaman dalam,
pidato kebudayaan Lubis ini justru banyak muncul di halaman utama surat kabar.
“Rangkuman rinci, dan polemik yang mengisi
halaman-halaman bergengsi rubrik ‘feature’ dan ‘surat kepada redaksi’ selama
berminggu-minggu,” tulis David T. Hill.
Tanggapan masyarakat mayoritas memuji
keterusterangannya dan mengakuinya sebagai seorang yang terbiasa menyerang
lembaga-lembaga dan ide-ide mapan. Namun, ada pula yang mengkritiknya dengan
cara meralat asumsi-asumsi yang dipaparkan Mochtar Lubis, salah satunya Margono
Djojohadikusumo.
Margono menilai Mochtar Lubis menggambarkan
feodalisme dengan begitu ekstrem sehingga menjadi karikatur yang menggelikan.
Ia juga menganggap bahwa feodalisme yang diuraikan Mochtar Lubis hanya
feodalisme dari suku Jawa sehingga dapat menimbulkan prasangka bahwa Mochtar
Lubis adalah manusia Indonesia yang anti-Jawa.
“Cara penulisannya menimbulkan efek yang tidak
diharapkan (anti suku Jawa) […] saya sendiri merasa tersinggung, bahkan boleh
dikatakan agak terluka,” tulisnya dalam Kompas edisi 13 Mei
1977.
Salah satu pendapat Mochtar Lubis dalam Manusia
Indonesia yang ia bantah adalah sebagai berikut:
“Saudara-saudara kita dari Jawa tidak
jemu-jemunya memakai ucapan: ‘Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning
bawana (bekerja keras tanpa mencari keuntungan untuk diri sendiri,
manusia memajukan dunia)’. Seolah-olah pandangan hidup tidak terlihat dalam
praktek, dan hanya buah bibir dan tidak ada kenyataannya.”
Margono membantah pendapat itu dengan contoh
sepucuk surat yang ia terima dari cucunya, Prabowo Subianto, yang tengah
bertugas di Timor Timur. Dalam surat tersebut sang cucu menyampaikan bahwa ia
tak bisa merayakan Idul Fitri di tengah keluarga karena sedang di medan
pertempuran, dan ia meminta maaf.
Dalam surat tersebut sang cucu menegaskan bahwa
para prajurit Indonesia berjuang tanpa pamrih, dan yang diingat hanya sumpahnya
sebagai prajurit dan ksatria.
“Apakah ‘tanpa pamrih’ yang ditulis dalam surat
itu hanya buah bibir saja atau hiasan surat dari seorang cucu kepada kakeknya?
Tidak adil kiranya kalau ada orang mengatakan ‘sepi ing pamrih rame ing gawe dan
sebagainya’ hanya pepatah kosong belaka,” tulis Margono.
Hal lain yang mengusik Margono adalah pendapat
Lubis tentang manusia Indonesia, terutama suku Jawa, yang tidak berani berterus
terang. Margono mencuplik satu persitiwa dalam Kongres Kebudayaan tahun 1918 di
kota Solo.
Saat itu, anggapan suka bohong yang melekat pada
orang Jawa sempat juga menjadi pembicaraan. Hal tersebut menimbulkan reaksi,
dan justru disampaikan bukan oleh orang Jawa melainkan oleh orang asing bernama
Pastor van Lidt, seorang ahli bahasa dan filsafat Jawa, yang berkata:
“Orang Barat tidak dapat menyelami tabiat orang
Jawa dalam pergaulan masyarakat. Bagi orang Barat anak-anak sampai dewasa
dididik dan diberi anjuran ‘lieg niet’, artinya ‘jangan berbohong’.
Tetapi anak Jawa sejak kecil diberi doktrin ‘grief niet’, yang artinya
‘jangan menyakiti hati orang’.”
Ungkapan van Lidt tersebut dijadikan argumen
oleh Margono bahwa pendapat orang Jawa tidak suka berterus terang atau suka
berbohong, tidak tepat. Orang Jawa justru mengedepankan sikap tidak menyakiti
orang lain dalam mengungkapkan sesuatu.
Margono memberi contoh, jika ada orang yang bau
badannya tak sedap, maka orang Jawa tak mengungkapkan, “Kamu jangan dekat-dekat
saya, keringatmu bau”, melainkan dengan kata-kata, “Baiklah Saudara minum
kencur atau bedak apu (kapur sirih) untuk menyegarkan badanmu”.
Sebagai seorang ningrat Jawa, Margono juga
mengungkapkan hal-hal lain yang ia rasa tak tepat dalam menggambarkan manusia
Indonesia, khususnya orang Jawa. Di pengujung tanggapannya ia menulis,
“Mudah-mudahan sekadar dapat melunakkan gambaran yang begitu suram yang
dicerminkan Mochtar Lubis.”
Dua pekan kemudian, Kompas memuat
tanggapan Lubis atas tanggapan Margono terhadap Manusia Indonesia.
Ia menyatakan bahwa dirinya merasa rawan atas kesan yang salah yang disampaikan
oleh Margono.
“Pertama sekali kesannya seakan isi ceramah saya
itu anti-Jawa. Dengan tercengang saya baca reaksi beliau yang demikian,”
tulisnya.
Munurutnya, ciri manusia Indonesia kini yang ia
tulis sama sekali jauh dari segala nilai-nilai ksatria aristokrasi Jawa seperti
yang diwakili oleh Margono dan keluarganya. Ia bahkan menilai Margono termasuk
jenis manusia yang sedang dalam proses “kepunahan” dan termasuk “kekecualian
yang jarang dapat ditemukan kini”.
Lubis menambahkan, lukisan suram dalam tulisannya
bukan berarti ia melihat hari depan manusia Indonesia dengan mata yang suram.
Ia bahkan yakin bahwa hal-hal tersebut dapat diperbaiki.
“Dalam menanggapi ceramah saya, saya ingin
mengundang kawan-kawan yang menanggapinya, agar jangan memakai ukuran dirinya
sendiri, tetapi meletakkan persoalannya ke tingkat bangsa dan masyarakat kita,”
imbuhnya.
Tanggapan-tanggapan lain yang bernada kritik
terhadap ceramah tersebut terus bermunculan, salah satunya dari Sarlito Wirawan
Sarwono, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pidato
kebudayaan Lubis tersebut menjadi salah satu ceramah yang banyak
diperbincangkan.
Kasus Hadiah Ramon Magsaysay
Saat Yayasan Magsaysay Filipina memberikan hadiah kepada Pramoedya Ananta Toer pada 1995 untuk bidang jurnalistik, Lubis menolaknya. Ia menilai Pramoedya tidak layak mendapatkannya karena pernah melakukan penindasan terhadap seniman lain pada era Demokrasi Terpimpin.
Lubis yang sempat mendapatkan hadiah yang sama pada 1958 bahkan mengembalikan
hadiahnya itu. Ia menganggap pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya tidak
mencerminkan semangat Ramon Magsaysay, mantan presiden Filipina yang
memperjuangkan cita-cita politik, ekonomi, dan sosial bagi rakyat Filipina,
serta semangat kedemokrasiannya yang teguh.
“Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang
peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman
Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan terhadap sesama seniman
yang tidak sepaham dengan dia,” ungkapnya seperti dikutip Maman S. Mahayana
dalam “Pramoedya Ananta Toer dan Hadiah Magsaysay”.
Pendapat Lubis diamini oleh para penolak lainnya seperti dimuat dalam Panji
Masyarakat No. 836, 21 Agustus 1995, yang menyatakan bahwa Pramoedya
berperan aktif dalam menyingkirkan lawan-lawannya terutama seniman di luar
Lekra.
Mahayana menambahkan, penolakan Mochtar Lubis tersebut berdasar pada
penilaiannya terhadap Pramoedya yang punya bakat anti-kemanusiaan dan
anti-kebebasan kreativitas.
“Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak kretivitas orang lain, yang pernah
dihantam Pramoedya habis-habisan itu seakan-akan dianggap tidak ada. Nah, itu
yang kami perjuangkan dalam aksi protes ini, supaya generasi muda yang akan
datang, mengerti bahwa antara sastrawan dan karya sastranya yang pernah dibuat
di masa lalu itu, tidak bisa dipisah-pisahkan,” imbuhnya.
Menanggapi sejumlah penolakan tersebut, beberapa anak muda seperti Ariel
Haryanto, Tommy F. Awuy, Isti Nugroho dan lain-lain mencoba melawannya. Menurut
mereka, kekhawatiran ideologis yang berlebihan tidak mendewasakan dan
menghambat lahirnya gagasan kritis yang mencerdaskan. Dan polemik terus
bergulir.
2 Juli 2004, tepat hari ini lima belas tahun yang lalu, Mochtar Lubis meninggal
dunia. Ia seperti kata David T. Hill adalah “seorang pembangkang”. Ya,
pembangkang atas segala gagasan yang dinilainya bertentangan dengan
kemanusiaan. (irf)
Tayang pertama kali di Tirto.id pada 2 Juli 2019
No comments:
Post a Comment