Kirana, mantan selingkuhan Jaka—jurnalis di desk kriminal—tewas dalam kecelakaan tunggal. Rem mobilnya blong dan meluncur ke jurang. Ayah Kirana, Adiguna, anemer paling kaya se-Bandung. Dia amat terpukul atas kepergian anaknya yang mengenaskan. Namun, dia juga tak bersedia diwawancarai oleh awak media.
Selain karena pernah saling jatuh
hati dan tugas dari kantor, Jaka juga merasa janggal dengan kematian mantan kekasihnya
itu. Ketika dia datang ke rumah Adiguna dan ditolak secara halus oleh tuan
rumah, Jaka mencium gelagat yang mencurigakan.
Bison alias Alam, kakak Kirana, disebutkan
oleh ayahnya setengah gila. Ibunya, istri Adiguna, konon kerap mengamuk.
Sementara para pembantu mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu.
“Temui Nyi Karsih di Desa Batununggal,”
ujar Bison pendek ketika Jaka hendak pamit.
Karsih rupanya mantan pembantu
Adiguna yang tengah hamil karena disetubuhi majikannya. Sementara Karsa,
kakaknya, mantan salah satu sopir Adiguna. Ya, kakak-beradik itu bekerja di
rumah yang sama sebelum Kirana tewas.
Sebelum menemui Karsih, Jaka terlebih
dulu menemui Duri, atau Kirana biasa memanggilnya Bi Duri. Wanita setengah baya
yang masih menarik serta tinggal di rumah yang bagus. Dulu, saat Kirana dan
Jaka masih dekat, mereka kerap berkunjung ke rumah itu.
Jaka mencoba mengorek keterangan dari
Duri, namun wanita itu telah diperintahkan oleh Adiguna untuk tutup mulut
kepada jurnalis. Meski mulanya susah, tetapi akhirnya Jaka berhasil membuat
Duri percaya bahwa segala keterangannya tidak akan diwartakan.
Wawancara itu dibumbui dengan hasrat
terpendam Jaka terhadap Duri yang rupanya merangsang berahinya.
“Dia (Bi Duri) menghirup dulu kopinya,
seperti amat nikmat. Hati tak menentu, degdegan oleh dua tiga hal, degdegan
oleh tali kutang [Bi Duri] dan cerita yang belum diungkapkan. Bibir manis [Bi Duri]
terbasahi air kopi, menjadikannya terlihat semakin manis,” ungkap Jaka dalam
senandika.
Setelah menemui Duri, Jaka minta
bantuan kepada Suminar, rekan kerjanya. Mereka kemudian menemui Karsih dan
Karsa. Teka-teki kematian Kirana pun mulai terbuka. Selubung misteri kian jelas
saat mereka menemui Garnida—pacar Kirana yang pernah kuliah bareng di
Australia. Garnida sakit. Kematian Kirana amat memukulnya. Pacarnya itu mati
dalam keadaan mengandung anaknya.
Kemudian semuanya terbongkar setelah
mobil yang dibawa Kirana saat jatuh ke jurang diperiksa ke bengkel.
Aam Amilia, penulis kisah ini,
berhasil menggiring pembaca hingga ke pengujung cerita. Sayang, ketika otak
pembunuhan Kirana terbongkar, motif pelaku terbilang klise. Tapi bagaimana pun,
dalam khazanah sastra Sunda, kisah seperti Imah
Agréng (Rumah Mewah)—cetakan pertama April 2021—terbilang masih langka.
Bagi saya, kisah ini cukup mengejutkan.
Di sisi lain, jika ditilik latar
belakang penulis yang merupakan tokoh jurnalistik, cerita seperti ini memang
sangat memungkinkan lahir dari rahim sastra Sunda. Bagi pembaca muda yang
terbiasa dengan dunia digital, teks ini akan sedikit berjarak karena Aam Amilia
terbilang generasi lampau (kelahiran 1946).
Media yang tampil dalam cerita adalah
media cetak, dan penulis masih setia memakai kata “wartawan” dan “wartawati”
alih-alih “jurnalis”. Di luar itu, penulis berhasil mengemukakan kondisi
kompetitif di antara media dalam “memegang” isu.
“Bagus, sampai sekarang belum ada wartawan
dari koran lain yang mengetahui [kasus ini]. Soalnya, aku tidak buru-buru
melapor ke polisi. Jika sudah ada di tangan polisi, biasanya sulit menutupinya
dari pendengaran wartawan lain,” ujar Jaka kepada dirinya sendiri.
Penulis juga berhasil menggambarkan
suasana newsroom desk kriminal yang
amat dinamis. Keseharian mereka sekilas seperti adegan dalam film-film
detektif. Cara menutup cerita pun cukup menarik: menjelentrehkan bahwa
kerja-kerja jurnalis adalah sambungan sejumlah halte, dari napas panjang satu
ke napas panjang berikutnya.
Lebih dari itu, ungkap Aam Amilia
melalui Jaka, kerja sebagai jurnalis akan terasa sangat nikmat ketika tulisan
berdampak positif bagi masyarakat.
No comments:
Post a Comment