28 May 2021

Ketika Jurnalis Membongkar Kasus Pembunuhan Berencana

Kirana, mantan selingkuhan Jaka—jurnalis di desk kriminal—tewas dalam kecelakaan tunggal. Rem mobilnya blong dan meluncur ke jurang. Ayah Kirana, Adiguna, anemer paling kaya se-Bandung. Dia amat terpukul atas kepergian anaknya yang mengenaskan. Namun, dia juga tak bersedia diwawancarai oleh awak media.

Selain karena pernah saling jatuh hati dan tugas dari kantor, Jaka juga merasa janggal dengan kematian mantan kekasihnya itu. Ketika dia datang ke rumah Adiguna dan ditolak secara halus oleh tuan rumah, Jaka mencium gelagat yang mencurigakan.

Bison alias Alam, kakak Kirana, disebutkan oleh ayahnya setengah gila. Ibunya, istri Adiguna, konon kerap mengamuk. Sementara para pembantu mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu.   

“Temui Nyi Karsih di Desa Batununggal,” ujar Bison pendek ketika Jaka hendak pamit.

Karsih rupanya mantan pembantu Adiguna yang tengah hamil karena disetubuhi majikannya. Sementara Karsa, kakaknya, mantan salah satu sopir Adiguna. Ya, kakak-beradik itu bekerja di rumah yang sama sebelum Kirana tewas.

Sebelum menemui Karsih, Jaka terlebih dulu menemui Duri, atau Kirana biasa memanggilnya Bi Duri. Wanita setengah baya yang masih menarik serta tinggal di rumah yang bagus. Dulu, saat Kirana dan Jaka masih dekat, mereka kerap berkunjung ke rumah itu.

Jaka mencoba mengorek keterangan dari Duri, namun wanita itu telah diperintahkan oleh Adiguna untuk tutup mulut kepada jurnalis. Meski mulanya susah, tetapi akhirnya Jaka berhasil membuat Duri percaya bahwa segala keterangannya tidak akan diwartakan.

Wawancara itu dibumbui dengan hasrat terpendam Jaka terhadap Duri yang rupanya merangsang berahinya.

“Dia (Bi Duri) menghirup dulu kopinya, seperti amat nikmat. Hati tak menentu, degdegan oleh dua tiga hal, degdegan oleh tali kutang [Bi Duri] dan cerita yang belum diungkapkan. Bibir manis [Bi Duri] terbasahi air kopi, menjadikannya terlihat semakin manis,” ungkap Jaka dalam senandika.

Setelah menemui Duri, Jaka minta bantuan kepada Suminar, rekan kerjanya. Mereka kemudian menemui Karsih dan Karsa. Teka-teki kematian Kirana pun mulai terbuka. Selubung misteri kian jelas saat mereka menemui Garnida—pacar Kirana yang pernah kuliah bareng di Australia. Garnida sakit. Kematian Kirana amat memukulnya. Pacarnya itu mati dalam keadaan mengandung anaknya.

Kemudian semuanya terbongkar setelah mobil yang dibawa Kirana saat jatuh ke jurang diperiksa ke bengkel.

Aam Amilia, penulis kisah ini, berhasil menggiring pembaca hingga ke pengujung cerita. Sayang, ketika otak pembunuhan Kirana terbongkar, motif pelaku terbilang klise. Tapi bagaimana pun, dalam khazanah sastra Sunda, kisah seperti Imah Agréng (Rumah Mewah)—cetakan pertama April 2021—terbilang masih langka. Bagi saya, kisah ini cukup mengejutkan.

Di sisi lain, jika ditilik latar belakang penulis yang merupakan tokoh jurnalistik, cerita seperti ini memang sangat memungkinkan lahir dari rahim sastra Sunda. Bagi pembaca muda yang terbiasa dengan dunia digital, teks ini akan sedikit berjarak karena Aam Amilia terbilang generasi lampau (kelahiran 1946).

Media yang tampil dalam cerita adalah media cetak, dan penulis masih setia memakai kata “wartawan” dan “wartawati” alih-alih “jurnalis”. Di luar itu, penulis berhasil mengemukakan kondisi kompetitif di antara media dalam “memegang” isu.

“Bagus, sampai sekarang belum ada wartawan dari koran lain yang mengetahui [kasus ini]. Soalnya, aku tidak buru-buru melapor ke polisi. Jika sudah ada di tangan polisi, biasanya sulit menutupinya dari pendengaran wartawan lain,” ujar Jaka kepada dirinya sendiri.       

Penulis juga berhasil menggambarkan suasana newsroom desk kriminal yang amat dinamis. Keseharian mereka sekilas seperti adegan dalam film-film detektif. Cara menutup cerita pun cukup menarik: menjelentrehkan bahwa kerja-kerja jurnalis adalah sambungan sejumlah halte, dari napas panjang satu ke napas panjang berikutnya.

Lebih dari itu, ungkap Aam Amilia melalui Jaka, kerja sebagai jurnalis akan terasa sangat nikmat ketika tulisan berdampak positif bagi masyarakat.

“Sebuah kegembiraan yang tak ternilai oleh uang sebanyak apa pun,” imbuhnya klise. (irf)

No comments: