09 May 2021

Sejarah Jampangkulon (Bagian 1)

Aku dilahirkan pada awal tahun 1918, di ibu kota Kewedanaan Jampangkulon. Zaman itu, yang disebut kewedanaan suka disebut juga distrik, sementara kecamatan onderdistrik. Seingatku, waktu aku masih kecil nama ibu kota Jampangkulon adalah Cicurug Pamerangan. Entah kenapa sebabnya ditambahi sebutan Pamerangan, seperti pernah menjadi tempat peperangan saja. 

Namun konon, hal itu untuk membedakannya dengan kota Cicurug yang menjadi ibu kota Kewedanaan Cicurug, yang letaknya di sebelah utara-barat Kabupaten Sukabumi, di sisi jalan menuju Bogor. Juga aku tidak tahu, kenapa sebabnya belakangan nama Cicurug Pamerangan tak pernah dipakai lagi, cukup disebut Jampangkulon saja, sama dengan sebutan untuk seluruh wilayah Kewedanaan Jampangkulon. Akhirnya sekarang—kalau bukan kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah sangat tua—sudah tidak ada lagi yang tahu bahwa dulu ibu kota Kewedanaan Jampangkulon bernama Cicurug Pamerangan.

Padahal di dua kewedanaan lain yang ada di daerah Pajampangan, yaitu Jampangtengah dan Jampangwetan, dari zaman dulu nama ibu kotanya tidak sama dengan nama kewedanaannya. Ibu kota Kewedanaan Jampangtengah bernama Bojonglopang, sementara ibu kota Kewedanaan Jampangwetan adalah Sukanagara. Dari dulu hingga kiwari tetap tak pernah berubah.

Kewedanaan Jampangkulon terletak di ujung selatan Kabupaten Sukabumi. Jaraknya dari ibu kota kabupaten kurang lebih 100 kilometer. Di sebelah barat dan selatan Jampangkulon berbatasan dengan Laut Kidul atau yang sekarang bernama Samudera Indonesia—dulu bernama Indische Oceaan atau Samudera Hindia. Di sebelah utara berbatasan dengan Kewedanaan Palabuanratu dan Kewedanaan Jampangtengah. Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Kewedanaan Jampangwetan yang secara administratfi masuk wilayah Kabupaten Cianjur. Ke laut sebenarnya masih jauh, khususnya ke pantai tempat bermain, yaitu Ujunggenteng dan Pangumbahan.

Dulu Ujunggenteng merupakan pelabuhan tempat menaikkan rupa-rupa hasil perkebunan ke atas kapal, seperti: karet kopra, dan tapioka. Namun sekarang pelabuhan itu tak pernah dipakai lagi. Kalau yang datang ke Pangumbahan tujuannya ingin melihat tempat penyu bertelur, malah kalau bisa sembari ingin melihat penyu tengah bertelur. Diintipnya malah hari saat bulan tak bersinar, bahkan tak boleh menyalakan lampu senter karena akan mengganggu yang akan bertelur.

Di Kabupaten Sukabumi, meski letak Jampangkulon adalah yang paling jauh dari pusat kota, tetapi dalam bidang kehidupan sehari-hari tidak terlalu ketinggalan dari daerah-daerah yang lain yang letaknya “lebih tengah” atau lebih dekat ke kota. Kemajuan Jampangkulon saat itu mencakup bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Buktinya pada tahun 1930-an sudah berdiri HIS Pasundan yang mandiri dengan jumlah murid yang lumayan banyak. Guru-gurunya juga punya wewenang yang sesuai dengan ketentuan. HIS Pasundan itu didirikan oleh Paguyuban Pasundan Cabang Jampangkulon.

Dalam bidang ekonomi juga tidak terlalu ketinggalan, sebab para pengusaha pribumi—meski usahanya kecil—sudah ada yang bisa diandalkan. Tidak semuanya dikuasai oleh para pengusaha Tionghoa. Sementara dalam bidang politik, selain Paguyuban Pasundan, terdapat juga Gerakan SI (Sarekat Islam).

Ketika para anggota SI banyak yang ditangkap oleh pemerintah kolonial pada tahun 1920-an—berdasarkan tuduhan terkait dengan gerakan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah—beberapa anggota SI Jampangkulon juga ikut ditangkap. Malah menurut kabar, para tahanan itu diikat dan ditarik oleh polisi dan selanjutnya dibawa ke pengadilan di Sukabumi. Beberapa orang dijatuhi hukuman oleh pengadilan. [bersambung]

 

Diterjemahkan dari Otobiografi Raden Muchtar Affandi berjudul Mulangkeun Panineungan: Dumasar Pangalaman-Pangalaman Sajati, Nu Cumantél kana Haté, Nyangkaruk dina Kalbu, Kumacacang na Implengan (1997).

No comments: