Aku dilahirkan pada awal tahun 1918, di ibu kota Kewedanaan Jampangkulon. Zaman itu, yang disebut kewedanaan suka disebut juga distrik, sementara kecamatan onderdistrik. Seingatku, waktu aku masih kecil nama ibu kota Jampangkulon adalah Cicurug Pamerangan. Entah kenapa sebabnya ditambahi sebutan Pamerangan, seperti pernah menjadi tempat peperangan saja.
Namun konon, hal itu untuk
membedakannya dengan kota Cicurug yang menjadi ibu kota Kewedanaan Cicurug,
yang letaknya di sebelah utara-barat Kabupaten Sukabumi, di sisi jalan menuju
Bogor. Juga aku tidak tahu, kenapa sebabnya belakangan nama Cicurug Pamerangan
tak pernah dipakai lagi, cukup disebut Jampangkulon saja, sama dengan sebutan
untuk seluruh wilayah Kewedanaan Jampangkulon. Akhirnya sekarang—kalau bukan
kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah sangat tua—sudah tidak ada lagi yang
tahu bahwa dulu ibu kota Kewedanaan Jampangkulon bernama Cicurug Pamerangan.
Padahal di dua kewedanaan lain yang
ada di daerah Pajampangan, yaitu Jampangtengah dan Jampangwetan, dari zaman
dulu nama ibu kotanya tidak sama dengan nama kewedanaannya. Ibu kota Kewedanaan
Jampangtengah bernama Bojonglopang, sementara ibu kota Kewedanaan Jampangwetan
adalah Sukanagara. Dari dulu hingga kiwari tetap tak pernah berubah.
Kewedanaan Jampangkulon terletak di
ujung selatan Kabupaten Sukabumi. Jaraknya dari ibu kota kabupaten kurang lebih
100 kilometer. Di sebelah barat dan selatan Jampangkulon berbatasan dengan Laut
Kidul atau yang sekarang bernama Samudera Indonesia—dulu bernama Indische
Oceaan atau Samudera Hindia. Di sebelah utara berbatasan dengan Kewedanaan
Palabuanratu dan Kewedanaan Jampangtengah. Sementara di sebelah timur
berbatasan dengan Kewedanaan Jampangwetan yang secara administratfi masuk
wilayah Kabupaten Cianjur. Ke laut sebenarnya masih jauh, khususnya ke pantai tempat
bermain, yaitu Ujunggenteng dan Pangumbahan.
Dulu Ujunggenteng merupakan pelabuhan
tempat menaikkan rupa-rupa hasil perkebunan ke atas kapal, seperti: karet
kopra, dan tapioka. Namun sekarang pelabuhan itu tak pernah dipakai lagi. Kalau
yang datang ke Pangumbahan tujuannya ingin melihat tempat penyu bertelur, malah
kalau bisa sembari ingin melihat penyu tengah bertelur. Diintipnya malah hari
saat bulan tak bersinar, bahkan tak boleh menyalakan lampu senter karena akan
mengganggu yang akan bertelur.
Di Kabupaten Sukabumi, meski letak
Jampangkulon adalah yang paling jauh dari pusat kota, tetapi dalam bidang
kehidupan sehari-hari tidak terlalu ketinggalan dari daerah-daerah yang lain
yang letaknya “lebih tengah” atau lebih dekat ke kota. Kemajuan Jampangkulon
saat itu mencakup bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Buktinya pada tahun
1930-an sudah berdiri HIS Pasundan yang mandiri dengan jumlah murid yang
lumayan banyak. Guru-gurunya juga punya wewenang yang sesuai dengan ketentuan.
HIS Pasundan itu didirikan oleh Paguyuban Pasundan Cabang Jampangkulon.
Dalam bidang ekonomi juga tidak
terlalu ketinggalan, sebab para pengusaha pribumi—meski usahanya kecil—sudah
ada yang bisa diandalkan. Tidak semuanya dikuasai oleh para pengusaha Tionghoa.
Sementara dalam bidang politik, selain Paguyuban Pasundan, terdapat juga
Gerakan SI (Sarekat Islam).
Ketika para anggota SI banyak yang
ditangkap oleh pemerintah kolonial pada tahun 1920-an—berdasarkan tuduhan
terkait dengan gerakan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan pemberontakan
terhadap pemerintah—beberapa anggota SI Jampangkulon juga ikut ditangkap. Malah
menurut kabar, para tahanan itu diikat dan ditarik oleh polisi dan selanjutnya
dibawa ke pengadilan di Sukabumi. Beberapa orang dijatuhi hukuman oleh
pengadilan. [bersambung]
Diterjemahkan dari Otobiografi Raden Muchtar Affandi berjudul Mulangkeun Panineungan: Dumasar Pangalaman-Pangalaman Sajati, Nu Cumantél kana Haté, Nyangkaruk dina Kalbu, Kumacacang na Implengan (1997).
No comments:
Post a Comment