28 May 2021

Politikus dan Puisi-Puisi Buruk yang Menjadi Populer


Hari-hari ini, kondisi masyarakat gampang tersulut, terutama pasca polarisasi Pilpres 2014 yang berlanjut hingga Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Banyak hal dicurigai sebagai usaha satu kubu menyerang kubu yang lain. Ketegangan kerap terjadi dari satu peristiwa ke peristiwa. Kehidupan sosial menjadi rawan dan rentan.

Di tengah situasi masyarakat seperti itu, Kamis 29 Maret 2018, dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” di ajang Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati membacakan puisi berjudul “Ibu Indonesia”.

“Aku tak tahu syariat Islam / yang kutahu sari konde ibu Indonesia / sangatlah indah / lebih cantik dari cadar dirimu […] Aku tak tahu syariat Islam / yang kutahu suara kidung ibu Indonesia / sangatlah elok / lebih merdu dari alunan azanmu…”

Potongan puisi tersebut menyulut kemarahan. Sukmawati dilaporkan ke polisi dengan tuduhan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam.

“Seharusnya Sukmawati belajar dari kasus Ahok tentang penistaan agama yang telah menimbulkan kegaduhan luar biasa di masyarakat,” ujar 
Djudju Purwantoro, sekjen Ikatan Advokasi Muslim Indonesia (IKAMI).

Rabu, 4 April 2018, bertempat di Warung Daun, Cikini, Sukmawati mengklarifikasi puisi kontroversialnya tersebut. Menurutnya, seperti dilansir 
Kompas, puisi yang dibacakannya tersebut adalah refleksi keprihatinannya ihwal rasa wawasan berkebangsaan. Ia menambahkan bahwa puisi “Ibu Indonesia” ditujukan agar anak bangsa tidak melupakan jati dirinya.

Hasta Indriyana, penyair yang telah menerbitkan beberapa buku puisi, seperti Rahasia Dapur Bahagia, Belajar Lucu dengan Serius, Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta, dan Seni Menulis Puisi, menyebut puisi Sukmawati tersebut jelek. Menurutnya, makna puisi itu banyak yang kontradiktif.

“Ia mengaku tidak tahu syariat Islam, tapi kemudian membandingkannya dengan yang lain […] Mengapa harus membandingkan dua hal jika salah satu di antaranya tidak dipahami? Ini fatal,” 
ujarnya.

Namun, puisi tersebut kadung menjadi bahan perbincangan dan sawala di masyarakat. Sebagian menganggapnya penistaan, sebagian lagi menyebutnya sekadar ekspresi. Status Sukmawati sebagai salah satu anak Sukarno dan Ketua Umum PNI Marhaenisme, membuat puisi tersebut menguar ke ruang publik dan menjadi sorotan banyak media.

Sukmawati bukan tokoh publik pertama yang membacakan puisi-puisi yang sarat dengan kalimat-kalimat verbal. Setahun sebelumnya, Gatot Nurmantyo yang saat itu masih menjabat sebagai Panglima TNI, sempat juga membacakan cuplikan puisi berjudul “Tapi Bukan Kami Punya” karya Denny JA dalam acara Rapimnas Golkar di Novotel Hotel, Balikpapan.

“ […] Lihat padi menguning / menghiasi bumi sekeliling / desa yang kaya raya / tapi bukan kami punya / Lihat hidup di kota / pasar swalayan tertata / ramai pasarnya / tapi bukan kami punya / Lihatlah aneka barang / dijual belikan orang / oh makmurnya / tapi bukan kami punya...”

Dari teks lengkap puisi yang ditulis Denny JA, Gatot hanya membacakan bagian pertama saja yang menyoroti tentang ketimpangan, kepemilikan, yang “tapi bukan kami punya”.

Kekayaan desa dan kota dalam puisi itu begitu banyak, Denny JA menggambarkannya dengan: “sangat subur tanahnya, sangat luas sawahnya”, “lihat padi menguning, menghiasi sekeliling”, “pasar swalayan tertata, ramai pasarnya”, “lihatlah aneka barang, dijual belikan orang, oh makmurnya”, tapi masyarakat umum yang diwakili tokoh “Jaka” bukan pemilik kekayaan tersebut.

Namun, 
puisi itu belum selesai, sebab pada bagian berikutnya Denny JA juga membahas “Jaka” yang diperlakukan tidak adil di hadapan hukum. Ia diceritakan memimpin aksi demonstrasi yang memicu kerusuhan. Jaka ditangkap polisi. Di hadapan polisi, Jaka menjawab: “Kami tak punya sawah / hanya punya kata / Kami tak punya senjata / hanya punya suara”.

Jika Gatot membacakan utuh puisi itu, maka gagasan yang disampaikan Denny JA sejatinya adalah masalah konflik agraria yang sekarang begitu marak di perdesaan akibat agresifnya laju pembangunan.

Sebagai panglima penjaga teritorial, Gatot justru melihat kasus dalam puisi Denny JA sebagai ancaman kewilayahan, alih-alih konflik lahan yang kerap merugikan rakyat.

“Pengungsi ilegal masuk, pulau kita banyak, ini yang sangat berbahaya. Dampak imigrasi penduduk, dulu ada bangsa Indian, sekarang nggak ada, hampir punah. Aborigin sekarang hampir punah,” ujar Gatot seperti dilansir 
detik.com

Setahun sebelum Gatot membacakan puisi Denny JA, tepatnya tanggal 23 September 2016, Fadli Zon—politisi Partai Gerindra, membacakan puisi berjudul “Sajak Tukang Gusur”. Ia membacakannya saat pengumuman nama Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta, bertempat di rumah Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, di Jalan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Puisi penuh tendensi itu adalah genderang perang yang ditabuh Fadli Zon dan para sekondannya untuk menghadapi Pilgub Jakarta 2017. Sasaran tembaknya jelas Ahok sebagai gubernur petahana. Dari bait pertama, puisi 
“Sajak Tukang Gusur” telah garang menggedor-gedor:

“Tukang gusur, tukang gusur / Menggusur orang-orang miskin / Di kampung-kampung hunian puluhan tahun / Di pinggir bantaran kali Ciliwung / Di rumah-rumah nelayan Jakarta / Di dekat apartemen mewah / Mal yang gagah / Semua digusur, sampai hancur”

Sampai pengujung puisi, Fadli tak mengendorkan serangan. Puisi tersebut lalu mendapat sambutan meriah dari para pendukung Partai Gerindra dan PKS yang hadir dalam acara tersebut.

Dibacakan oleh seorang politikus yang berseberangan dengan pengampu kebijakan pembangunan dan penataan ibu kota, puisi itu hanyalah untaian bait banal. Kritik ditunggangi kepentingan politik. Oleh karenanya, puisi yang di bacakan Fadli Zon, barangkali, hanya sedikit di bawah agitasi.

Media menyoroti hal ini, “Sajak Tukang Gusur” menyebar lewat kanal-kanal pemberitaan. Lalu dilipatgandakan kekuatan daring.

Di luar respon masyarakat yang terbelah, ketiga puisi dalam paparan di atas, yakni “Ibu Indonesia”, “Tapi Bukan Kami Punya”, dan “Sajak Tukang Gusur” melenggang ke hadapan publik dengan mulus. Para tokoh politik dan militer punya keleluasan membacakan apa yang ingin mereka sampaikan. Sebelum dirisak masyarakat, mereka tak ada yang mengahalangi untuk membacakan puisi.

Sekali waktu, keleluasaan itu sempat menjadi barang mahal bagi seorang DN. Aidit, Ketua Umum Partai Komunis Indonesia: puisinya ditolak Harian Rakjat, media yang justru menjadi salah satu corong PKI.

Sabtu malam, sekitar awal 1965, telepon kantor Harian Rakjat yang beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan No. 93 berdering. DN. Aidit hendak menanyakan nasib puisinya yang ia kirim ke media tersebut. Amarzan selaku redaktur yang bertugas menyeleksi kiriman puisi menjelaskan, puisi karya Ketua Umum Comite Central PKI tersebut tak akan dimuat karena dinilai belum layak.

“Hening. Lalu brak! Telepon dibanting,” tulis 
Tempo.

Satu jam kemudian, telepon Harian Rakjat kembali berbunyi. Kali ini Njoto, kolega DN. Aidit di PKI yang sekaligus Pemimpin Redaksi Harian Rakjat yang menghubungi. Ia bertanya kepada Amarzan apakah tidak ada hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan agar puisi yang ditolak itu bisa dimuat. Singkat Amarzan menjawab, “tidak.”

“Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung,” balas Njoto.

Sekali itu, harapan DN. Aidit yang ingin menampilkan karyanya pupus. Meski marah dan menempuh cara lain dengan menghubungi Njoto demi puisinya dimuat di koran corong partainya, tapi ikhtiarnya tetap gagal. Puisinya terbenam. Kuasa tak menolongnya.

Puisi buruk DN. Aidit, atau “belum layak dimuat” kata Amarzan, dan sederet puisi banal yang dibacakan oleh para politikus kiwari, mengabarkan satu hal bahwa birahi tampil begitu menggelegak. Panggung politik seolah belum cukup menampung hasrat itu. (irf)

No comments: