Hari-hari ini, kondisi masyarakat
gampang tersulut, terutama pasca polarisasi Pilpres 2014 yang berlanjut hingga
Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Banyak hal dicurigai sebagai usaha satu kubu
menyerang kubu yang lain. Ketegangan kerap terjadi dari satu peristiwa ke
peristiwa. Kehidupan sosial menjadi rawan dan rentan.
Di tengah situasi masyarakat seperti itu, Kamis 29 Maret 2018, dalam acara “29
Tahun Anne Avantie Berkarya” di ajang Indonesia Fashion Week 2018, Sukmawati
membacakan puisi berjudul “Ibu Indonesia”.
“Aku tak tahu syariat Islam / yang kutahu sari konde ibu Indonesia / sangatlah
indah / lebih cantik dari cadar dirimu […] Aku tak tahu syariat Islam / yang
kutahu suara kidung ibu Indonesia / sangatlah elok / lebih merdu dari alunan
azanmu…”
Potongan puisi tersebut menyulut kemarahan. Sukmawati dilaporkan ke polisi
dengan tuduhan telah melakukan penistaan terhadap agama Islam.
“Seharusnya Sukmawati belajar dari kasus Ahok tentang penistaan agama yang
telah menimbulkan kegaduhan luar biasa di masyarakat,” ujar Djudju Purwantoro, sekjen Ikatan Advokasi
Muslim Indonesia (IKAMI).
Rabu, 4 April 2018, bertempat di Warung Daun, Cikini, Sukmawati mengklarifikasi
puisi kontroversialnya tersebut. Menurutnya, seperti dilansir Kompas, puisi yang dibacakannya
tersebut adalah refleksi keprihatinannya ihwal rasa wawasan berkebangsaan. Ia
menambahkan bahwa puisi “Ibu Indonesia” ditujukan agar anak bangsa tidak
melupakan jati dirinya.
Hasta Indriyana, penyair yang telah menerbitkan beberapa buku puisi,
seperti Rahasia Dapur Bahagia, Belajar Lucu dengan Serius, Tuhan Aku
Lupa Menulis Sajak Cinta, dan Seni Menulis Puisi, menyebut
puisi Sukmawati tersebut jelek. Menurutnya, makna puisi itu banyak yang
kontradiktif.
“Ia mengaku tidak tahu syariat Islam, tapi kemudian membandingkannya dengan
yang lain […] Mengapa harus membandingkan dua hal jika salah satu di antaranya
tidak dipahami? Ini fatal,” ujarnya.
Namun, puisi tersebut kadung menjadi bahan perbincangan dan sawala di
masyarakat. Sebagian menganggapnya penistaan, sebagian lagi menyebutnya sekadar
ekspresi. Status Sukmawati sebagai salah satu anak Sukarno dan Ketua Umum PNI
Marhaenisme, membuat puisi tersebut menguar ke ruang publik dan menjadi sorotan
banyak media.
Sukmawati bukan tokoh publik pertama yang membacakan puisi-puisi yang sarat
dengan kalimat-kalimat verbal. Setahun sebelumnya, Gatot Nurmantyo yang saat
itu masih menjabat sebagai Panglima TNI, sempat juga membacakan cuplikan puisi
berjudul “Tapi Bukan Kami Punya” karya Denny JA dalam acara Rapimnas Golkar di
Novotel Hotel, Balikpapan.
“ […] Lihat padi menguning / menghiasi bumi sekeliling / desa yang kaya raya /
tapi bukan kami punya / Lihat hidup di kota / pasar swalayan tertata / ramai
pasarnya / tapi bukan kami punya / Lihatlah aneka barang / dijual belikan orang
/ oh makmurnya / tapi bukan kami punya...”
Dari teks lengkap puisi yang ditulis Denny JA, Gatot hanya membacakan bagian
pertama saja yang menyoroti tentang ketimpangan, kepemilikan, yang “tapi bukan
kami punya”.
Kekayaan desa dan kota dalam puisi itu begitu banyak, Denny JA menggambarkannya
dengan: “sangat subur tanahnya, sangat luas sawahnya”, “lihat padi menguning,
menghiasi sekeliling”, “pasar swalayan tertata, ramai pasarnya”, “lihatlah
aneka barang, dijual belikan orang, oh makmurnya”, tapi masyarakat umum yang
diwakili tokoh “Jaka” bukan pemilik kekayaan tersebut.
Namun, puisi itu belum selesai,
sebab pada bagian berikutnya Denny JA juga membahas “Jaka” yang diperlakukan
tidak adil di hadapan hukum. Ia diceritakan memimpin aksi demonstrasi yang
memicu kerusuhan. Jaka ditangkap polisi. Di hadapan polisi, Jaka menjawab:
“Kami tak punya sawah / hanya punya kata / Kami tak punya senjata / hanya punya
suara”.
Jika Gatot membacakan utuh puisi itu, maka gagasan yang disampaikan Denny JA
sejatinya adalah masalah konflik agraria yang sekarang begitu marak di
perdesaan akibat agresifnya laju pembangunan.
Sebagai panglima penjaga teritorial, Gatot justru melihat kasus dalam puisi
Denny JA sebagai ancaman kewilayahan, alih-alih konflik lahan yang kerap
merugikan rakyat.
“Pengungsi ilegal masuk, pulau kita banyak, ini yang sangat berbahaya. Dampak
imigrasi penduduk, dulu ada bangsa Indian, sekarang nggak ada, hampir punah.
Aborigin sekarang hampir punah,” ujar Gatot seperti dilansir detik.com
Setahun sebelum Gatot membacakan puisi Denny JA, tepatnya tanggal 23 September
2016, Fadli Zon—politisi Partai Gerindra, membacakan puisi berjudul “Sajak
Tukang Gusur”. Ia membacakannya saat pengumuman nama Anies Baswedan dan
Sandiaga Uno sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta,
bertempat di rumah Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, di Jalan Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
Puisi penuh tendensi itu adalah genderang perang yang ditabuh Fadli Zon dan
para sekondannya untuk menghadapi Pilgub Jakarta 2017. Sasaran tembaknya jelas
Ahok sebagai gubernur petahana. Dari bait pertama, puisi “Sajak Tukang Gusur” telah
garang menggedor-gedor:
“Tukang gusur, tukang gusur / Menggusur orang-orang miskin / Di kampung-kampung
hunian puluhan tahun / Di pinggir bantaran kali Ciliwung / Di rumah-rumah
nelayan Jakarta / Di dekat apartemen mewah / Mal yang gagah / Semua digusur,
sampai hancur”
Sampai pengujung puisi, Fadli tak mengendorkan serangan. Puisi tersebut lalu
mendapat sambutan meriah dari para pendukung Partai Gerindra dan PKS yang hadir
dalam acara tersebut.
Dibacakan oleh seorang politikus yang berseberangan dengan pengampu kebijakan
pembangunan dan penataan ibu kota, puisi itu hanyalah untaian bait banal.
Kritik ditunggangi kepentingan politik. Oleh karenanya, puisi yang di bacakan
Fadli Zon, barangkali, hanya sedikit di bawah agitasi.
Media menyoroti hal ini, “Sajak Tukang Gusur” menyebar lewat kanal-kanal
pemberitaan. Lalu dilipatgandakan kekuatan daring.
Di luar respon masyarakat yang terbelah, ketiga puisi dalam paparan di atas,
yakni “Ibu Indonesia”, “Tapi Bukan Kami Punya”, dan “Sajak Tukang Gusur”
melenggang ke hadapan publik dengan mulus. Para tokoh politik dan militer punya
keleluasan membacakan apa yang ingin mereka sampaikan. Sebelum dirisak
masyarakat, mereka tak ada yang mengahalangi untuk membacakan puisi.
Sekali waktu, keleluasaan itu sempat menjadi barang mahal bagi seorang DN.
Aidit, Ketua Umum Partai Komunis Indonesia: puisinya ditolak Harian
Rakjat, media yang justru menjadi salah satu corong PKI.
Sabtu malam, sekitar awal 1965, telepon kantor Harian Rakjat yang
beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan No. 93 berdering. DN. Aidit hendak
menanyakan nasib puisinya yang ia kirim ke media tersebut. Amarzan selaku
redaktur yang bertugas menyeleksi kiriman puisi menjelaskan, puisi karya Ketua
Umum Comite Central PKI tersebut tak akan dimuat karena dinilai belum layak.
“Hening. Lalu brak! Telepon dibanting,” tulis Tempo.
Satu jam kemudian, telepon Harian Rakjat kembali berbunyi.
Kali ini Njoto, kolega DN. Aidit di PKI yang sekaligus Pemimpin Redaksi Harian
Rakjat yang menghubungi. Ia bertanya kepada Amarzan apakah tidak ada
hal-hal lain yang bisa dipertimbangkan agar puisi yang ditolak itu bisa dimuat.
Singkat Amarzan menjawab, “tidak.”
“Baik. Kalau begitu, saya mendukung keputusan Bung,” balas Njoto.
Sekali itu, harapan DN. Aidit yang ingin menampilkan karyanya pupus. Meski
marah dan menempuh cara lain dengan menghubungi Njoto demi puisinya dimuat di
koran corong partainya, tapi ikhtiarnya tetap gagal. Puisinya terbenam. Kuasa
tak menolongnya.
Puisi buruk DN. Aidit, atau “belum layak dimuat” kata Amarzan, dan sederet
puisi banal yang dibacakan oleh para politikus kiwari, mengabarkan satu hal
bahwa birahi tampil begitu menggelegak. Panggung politik seolah belum cukup
menampung hasrat itu. (irf)
28 May 2021
Politikus dan Puisi-Puisi Buruk yang Menjadi Populer
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment