Candri Winarta, menurut keterangan polisi,
tinggal di hotel yang berbeda-beda. Ia berpindah-pindah dari Twin Plaza,
Peninsula, dan Le Meridien. Menghabiskan biaya yang tak sedikit tentu saja.
Menurut pengakuannya ia mendapat bantuan dana dari gereja, dan ia juga mengaku
melakukan praktik pengobatan tradisional, sehingga menganggap wajar tinggal di
hotel selama bertahun-tahun.
“Kalau punya duit, memangnya kenapa?” ujarnya.
Meski dengan motivasi berbeda, pada 1960-an,
Iwan Simatupang (selanjutnya ditulis Iwan)—sastrawan pengarang novel Merahnya
Merah (1968), Ziarah (1969), dll, pernah melakukan
hal yang sama dengan Candri: memutuskan tinggal di hotel.
Iwan pertama kali menikah dengan Corinne Imalda
de Gaine (Corry) pada tahun 1955. Mereka dikaruniai dua orang anak, Ino Alda
dan Ion Portibi. Lima tahun kemudian istrinya meninggal. Hal ini membuat ia
terpukul. Warsa 1961, Iwan menikah lagi dengan Tanneke Burki, penari balet di
Bandung. Dari pernikahannya yang kedua, Iwan mempunyai lagi anak bernama
Violeta. Pernikahan keduanya kemudian bubar pada tahun 1964.
Kehidupan rumahtangga Iwan dan relasi lainnya
menjadi salah satu penyebab yang mendorongnya untuk tinggal di hotel. Bagaimana
sesungguhnya perjalanan hidup Iwan sebelum tinggal di hotel?
Riwayat hidup Iwan berdasarkan catatan Dami N. Toda
dalam Novel Baru Iwan Simatupang (1984) mula-mula sekolah di
SMA Padang Sidempuan, tapi tidak selesai karena keburu terjadi Agresi Militer
Belanda II. Dalam kecamuk revolusi itu Iwan bergabung dengan Tentara Republik
Indonesia Pelajar (TRIP) sebagai komandan, dan aktif juga di Perhimpunan
Pelajar Indonesia Sumatra Utara sebagai ketua.
Tahun 1949 ia tertangkap Belanda dan dilepaskan
di Medan. Setelah tamat dari HBS Medan, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran
Surabaya, lalu melanjutkan studi di Belanda dan mendapatkan jodoh orang sana.
Setelah itu belajar pada Full Course International Institute For Social Studies
di Den Haag, dan Ecole de L’Europe (Brugge), sambil belajar drama di Amsterdam.
Tahun 1958 belajar filsafat pada Prof. Jean Wahl di Sorbonne (Paris).
Namun riwayat pendidikan Iwan diragukan Ajip
Rosidi. Dalam kumpulan mini biografi dan tulisannya lainnya yang dihimpun di
buku Lekra Bagian dari PKI (2015) bab “Iwan Simatupang”,
Ajip menyebutkan bahwa Iwan berangkat ke Eropa pada tahun 1954 atas undangan
dari Sticusa atau Stichting voor Culturele Samenwerking (Yayasan Kerjasama
Kebudayaan) di Belanda dengan tujuan memajukan kehidupan budaya di daerah jajahan
Belanda.
Sticusa dibubarkan pada 1956 dan Iwan kembali ke
Indonesia awal 1958. Ajip menjelaskan bahwa kalau benar Iwan kuliah, itu
dimungkinkan setelah Sticusa bubar. Tapi jarak antara lembaga tersebut bubar
dengan kepulangan Iwan ke Indonesia amat pendek, sedangkan kalau kuliah
membutuhkan waktu yang lebih dari dua tahun.
“Kalau dia benar masuk universitas niscaya
dibutuhkan waktu yang lebih lama, karena dia baru mungkin kuliah setelah
Sticusa bubar, yaitu tahun 1956. Dengan disebutnya nama empat universitas […]
sedangkan ia di Eropa [di luar Belanda] setelah undangan Sticusa habis hanyalah
kira-kira dua tahun saja. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cerita tentang
Iwan mengikuti kuliah di empat universitas itu semuanya hanya angan-angan saja,”
tulis Ajip. (hlm. 138)
Anggapan Ajip tentang Iwan yang berangan-angan, ia
tegaskan dalam hal lain di luar cerita kuliah.
“Banyak cerita tentang Iwan yang dikisahkan
sebagai anekdot saja. Kita tak tahu sampai di mana kebenarannya. [...] Saya
sendiri kalau mendengar cerita Iwan, banyak diam, karena tidak semua ceritanya
dapat dengan mudah dikenali sebagai khayalan. Dan caranya bercerita sangat
mengasyikkan,” terangnya. (hlm. 139)
Sepulangnya dari Eropa, ia tinggal sebentar di
Cipanas, lalu pindah ke Bogor. Di sinilah istrinya meninggal karena sakit tifus
yang membuat Iwan sangat menderita. Di tahun yang sama dengan kematian
istrinya, Iwan dirawat di Klinik Sakit Jiwa dengan komplikasi bronchitis.
Novel Ziarah yang ia tulis dari bulan Oktober sampai
November 1960 adalah persembahan untuk istrinya.
Hotel Salak Kamar 52
Bersama dua orang anaknya Iwan pernah tinggal di Hotel
Salak, Bogor, di kamar 52. Berapa lama ia tinggal di hotel tersebut? M. Ryana Veta dalam “Selamat
Sore, Pak Iwan: Memori 4 Agustus, Setahun Meninggalnya Iwan Simatupang” yang
dimuat Harian Abadi, 8 Agustus 1971, menyebutnya 4 tahun.
M. Ryana Veta yang tergabung dalam grup Study
Teater Bogor menceritakan bahwa Iwan menyediakan konsumsi latihan drama untuk
ia dan kawan-kawannya ketika akan mementaskan drama “Pangeran Wiraguna” karya
Mochtar Lubis. Ia menambahkan bahwa itu terjadi sekitar bulan Juli tahun 1967
saat Iwan masih tinggal di hotel Salak.
“Kehadirannya selama 4 tahun di kota Bogor
banyak memberi pikiran-pikiran baru bagi sementara pekerja kesenian kota itu,”
tulisnya.
Sementara Aulia A. Muhammad dalam Bayang Baur
Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia (2003) bab “Si
Manusia Hotel” menulis bahwa Iwan tinggal di Hotel Salak selama 9 tahun (sejak
13 Agustus 1961-5 November 1969).
Di luar perbedaan tentang berapa lama Iwan
tinggal di Hotel Salak, dalam surat-suratnya kepada H.B. Jassin, seperti
dikutip Aulia A. Muhammad, Iwan terlihat tertekan oleh persoalan-persoalan
hidup.
Dalam surat bertitimangsa 14 April 1968 yang ia
tulis di kamar 52 Hotel Salak, Iwan menyampaikan bahwa ia banyak mengalami
kegetiran, dan itu hanya bisa diobati jika novel-novelnya terbit.
“Aku banyak sekali mengalami kegetiran
akhir-akhir ini, Hans. Dan, hanya dengan terbitnya novel-novelku inilah yang
mampu memberi kompensasi kepada frustasi-frustasiku. Bahkan, kegetiran yang
bagaimanapun aku tak gentar menghadapinya, bila saja karya-karyaku dapat
terbit,” tulis Iwan.
Lalu pada 3 Desember 1968, saat bulan Ramadan,
ia menulis, “Mengapa terasa begini menyesakkan dada kesulitan yang kita alami,
Hans? Cari uang susah, memelihara hubungan pribadi baik dengan kenalan atau
kawan sangat sulit, sedangkan langit terlalu biru dan cerah sekali, serta
jalan-jalan aspal kering sekali.”
5 November 1969, Iwan menulis surat lagi, “Rasa
asing dalam diriku, terhadap diriku, anak-anakku, dan dunia selebihnya semakin
parah saja. Aku semakin tak punya kepentingan apa-apa lagi dengan kehidupan dan
dunia ini. Aku semakin letih saja.”
Dari ketiga kutipan surat tersebut tampak sekali
hidup Iwan tidak sedang baik-baik saja. Ia kesulitan mencari uang,
novel-novelnya yang kata dia mampu memberi kompensasi terhadap
frustasi-frustasinya tak kunjung terbit. Ia juga kesulitan memelihara hubungan
pribadi dengan kawan dan kenalannya. Pada akhirnya hal-hal itu membuat ia
merasa asing dan menyatakan tak punya kepentingan lagi dengan kehidupan.
Iwan memang sempat mengalami hubungan yang
kurang baik dengan sebuah penerbit. Hal itu ia sampaikan kepada H.B. Jassin di
surat tanggal 30 Oktober 1963.
Menurutnya, ia dibuat repot oleh Zaini dari Mega
Bookstore. Novel Merahnya Merah yang rampung ditulis pada
Oktober 1961, dijanjikan Zaini akan segera terbit dalam sebulan. Namun ternyata
Zaini meralatnya, bahwa novel tersebut baru bisa terbit paling cepat setelah
Januari 1964. Hal ini tenrtu saja menjengkelkan Iwan, sebab ia membutuhkan uang
untuk biaya hidupnya.
“Alangkah nonchalant-nya penerbit
macam Saudara Zaini ini. Dia terlalu sadar rupanya akan pentingnya
dia—penerbit, bagi kita, para pengarang! Apa boleh buat aku terpaksa mengalah.
Sebab, aku mempunyai kepentingan yang sangat agar terbit segera mungkin!”
tulisnya.
Karya-karya Iwan memang mengalami jeda
cukup panjang antara waktu selesai penulisan dengan waktu terbitnya: Merahnya
Merah selesai ditulis 5 Oktober 1961, terbit 1968 oleh Gunung
Agung. Ziarah selesai 2 Desember 1960, terbit 1969 oleh
Djambatan. Kering kelar 5 Desember 1961, terbit 1972 oleh
Gunung Agung. Kooong selesai tahun 1968, terbit 1975 oleh
Pustaka Jaya.
Dalam surat-suratnya yang lain, Iwan menyampaikan bahwa ia tinggal di hotel
karena suka dan terpaksa, meski ia pun menulis bahwa pada dasarnya “kita tak
pernah merasa betah”.
“Inilah inti dari psikologi manusia hotel. Ia adalah tamu! Dan tamu selalu
berarti: (baru) datang, (bakal) pergi (lagi). Jadi, ia manusia datang dan
pergi. Ia manusia mobil. Ia selalu ada dalam perjalanan, antara datang dan
pergi. Oleh sebab itu, bumi kehidupan manusia hotel juga berlangitkan
relativisme. Filsafat hidup hari-harinya adalah juga filsafat riskan,”
tambahnya.
Tuhan bagi manusia hotel, terang Iwan, adalah polisi yang setiap hari mengontrol
hidup melalui buku tamu. Selain itu, piket patrol garnisun bagi manusia hotel
selalu menyediakan banyak penamaan: manusia
tersangka-gerombolan-petualang-penganggur.
“Pada hakikatnya, tanpa berita acara dari piket patrol garnisun ini, manusia
hotel sudah lama menjadi kesemuanya itu. Manusia hotel adalah the
modern tramp, pengembara yang berpretensi punya kegelisahan modern,
berpretensi jadi Don Kisot modern. Manusia hotel adalah partisan dalam arti
yang sebenarnya,” ujar Iwan.
Iwan keluar dari Hotel Salak karena kondisi keuangan dan kesehatannya semakin
memburuk. Ia kemudian menumpang di bagian belakang rumah adiknya di Jalan
Kencana 11, Jakarta.
Saat Sides Sudyarto—penulis buku Salat Lebaran di Kamp Konsentrasi (2006)
menjenguknya, ia harus menahan tangis melihat kondisi Iwan yang dijerat
kemiskinan. Iwan duduk seorang diri di tepi tempat tidurnya dengan hanya
mengenakan celana dalam. Tangannya tengah menjahit bagian celana anaknya. Ia
menyambut Sides dengan perubahan muka yang menjadi cerah.
Sambil menjahit kancing celana anaknya ia berkata, “Sides, sudah lama kutunggu
kau. Hari ini, kau harus mengemis untukku. Kalau tidak, resep dokter ini tak
tertebus dan aku akan segera meninggal,” ujar Iwan. (Aulia A. Muhammad
dalam Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia:
2003, hlm. 87)
4 Agustus 1970, pukul 10 pagi, Iwan meninggal dunia di rumah kakak
perempuannya. Pada pidato pemakamannya, Frans Seda (teman dekat Iwan yang waktu
itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan) berkata:
“Saya teringat pada Iwan di saat saya mengajarkan Schubert, yaitu Simfoni yang
tak selesai-selesai, dan inilah yang saya lihat dalam hidupmu berjalan, simfoni
dari pahit getir, frustasi, kontradiksi-kontradiksi. Iwan, kamu selalu intensif
dalam hidup ini, intensif dalam marah, dalam hal-hal yang menggiurkan,
kepahlawanan yang hebat-hebat, dan di situlah kau Iwan menjadi besar.” (irf)
No comments:
Post a Comment