Setelah berguru kepada Resi Susuk Lampung,
Wastu Kancana dan Rakean Hujung akhirnya kembali ke Negeri Sunda. Mereka
berpisah di sebuah pelabuhan. Rakean Hujung pulang ke kampungnya di Hujung
Kulon, dan Wastu Kancana kembali ke Kawali, ibu kota Sunda.
Wastu Kancana berlabuh di Muara Jati
(Cirebon). Sebelum sampai ke Kawali, dia singgah dulu ke Gunung Indrakila
(Gunung Ciremai) dan bertemu dengan Ni Larang Sariti. Nenek ini adalah penunggu
wilayah bekas negara (kerajaan) yang masih leluhur Kerajaan Sunda.
Setelah itu, Wastu Kancana melanjutkan
perjalanan dan singgah lagi ke sebuah perguruan Budha Mahayana Sarwastiwada di
daerah Gunung Bitung, Talaga Manggung. Kemudian dia laju lagi dan akhirnya
sampai ke Kawali serta langsung menuju Lemah Kabuyutan Sanghiyang Linggahiyang,
tempat kedua orang tua dan kakak perempuannya disemayamkan.
Kedatangan Wastu Kancana disambut
gembira oleh pamannya dan seluruh warga yang hidup di lingkungan keraton. Prabu
Bunisora Suradipati, pamannya, yang menjabat sebagai raja sementara, ingin
segera melantik Wastu Kancana sebagai raja pelanjut ayahnya yang gugur di
Bubat. Namun, Wastu Kancana belum bersedia.
Karena seorang raja harus mempunyai
permaisuri, maka Prabu Bunisora Suradipati mendorong keponakannya untuk segera
berumah tangga. Ketika Wastu Kancana berkata bahwa selama berkelana dia tidak
pernah sembarangan menggunakan penglihatannya termasuk kepada perempuan,
pamannya percaya tapi terus mendesaknya:
“Paman percaya kana kapengkuhan dia,
tapi ogé Paman percaya kana kajujuran dia! Naha Anom teu kungsi papanggihan
basa guguru di Maharesi Susuk Lampun? Tong mungkir, Anom! Beubeur nu dipaké ku
dia, kaambeuna ku Paman, asa seungit cawéné?”
Memang betul, ketika Wastu Kancana hendak
meninggalkan Lampung, dia diberi kenang-kenangan ikat pinggang oleh Dewi
Sarkati, putri Maharesi Susuk Lampung. Setelah Wastu kancana mengakuinya, maka Prabu
Bunisora Suradipati segera mengirimkan utusan untuk melamar Dewi Sarkati untuk
dikawinkan dengan keponakannya.
Di sisi lain, ketika utusan dari
Kerajaan Sunda berangkat ke Lampung, Dewi Sarkati bermimpi didatangi Batara
Wisnu yang menunggangi Garuda. Namun dalam mimpi tersebut, wajah Batara Wisnu
mirip dengan Wastu Kancana. Hal tersebut ia ceritakan kepada ayahnya dan
meminta izin untuk menyusul Wastu Kancana ke Negeri Sunda.
“Lamun éta lalaki geus diguratkeun
pijodoeun kami, poé isuk kami rék lunta ka Tatar Sunda! Muga Ramaresi nyaluyuan!”
ujar Dewi Sarkari.
“Eulis! Anaking! Naha bet luluasan
kitu?” tanya ayahnya penuh kekhawatiran.
“Tong disebut seuweuna Maharesi Susuk
Lampung mun teu wani meuntasan sagara! Anggursi jurungkeun! Muga kami waluya
dina enggoning lalampahan!” jawab Dewi Sarkati.
Maka Dewi Sarkati pun akhirnya
berangkat ke Tatar Sunda hendak menemui pujaan hatinya yang datang lewat
impian. Namun, bukankah Negeri Sunda itu luas? Harus ke mana dia menuju? Perjalanan
Dewi Sarkati tidak mudah, dia harus melewati pelbagai tantangan dan rintangan
yang mengadang, bahkan putri Maharesi Susuk Lampung itu hampir diperkosa oleh
kawanan begal di sebuah hutan dekat Kawali.
Dewi Mayangsari
Di lingkungan keraton Sunda, salah
seorang putri Prabu Bunisora Suradipati, yakni Dewi Mayangsari—sepupunya Wastu
Kancana, yang dulu kawan bermainnya sewaktu bocah—kini telah tumbuh dewasa. Dia
juga menyimpan hati kepada kakak sepupunya tersebut, pun sebaliknya Wastu
Kancana—meski fokusnya tetap kepada Dewi Sarkati.
Singkat cerita, Dewi Sarkati akhirnya
dapat mencapai Kawali setelah sebelumnya ditolong oleh Rakean Hujung saat
hendak diperkosa oleh kawanan begal. Ya, Rakean Hujung kawan seperjalanan Wastu
Kancana saat berkelana ke Pakuan dan Lampung.
Kegembiraan pun tumpah di keraton.
Pelbagai persiapan dipercepat untuk acara pernikahan Wastu Kancana dan Dewi
Sarkati. Di tengah kesibukan itu, Dewi Sarkati mulai dekat dengan Dewi
Mayangsari, dan dia melihat bahwa putri Prabu Bunisora Suradipati itu seperti
dirinya: mencintai Wastu Kancana.
Maka sehari sebelum pernikahannya
dengan Wastu Kancana, Dewi Sarkati mengajukan satu permintaan yang harus
dipenuhi: Wastu Kancana boleh menikahinya asal sekaligus dengan Dewi
Mayangsari. Tanpa diduga banyak orang, calon Raja Sunda itu akan menikahi dua
perempuan sekaligus!
Selain itu, pada kesempatan yang
hampir bersamaan, Wastu Kancana yang belum juga menyanggupi untuk menjadi raja,
oleh para tetua diberi gelar Prabu Wangisutah.
(irf)