21 September 2021

The Lowland: Ketika Ideologi dan Keluarga Tak Bisa Berdamai

 

Udayan dan Subhash adalah adik kakak yang lahir dan tinggal di Tollygunge, Kolkata Selatan, Benggala Barat, India. Usia keduanya terpaut 15 bulan. Sewaktu kecil, mereka selalu bersama-sama, termasuk saat “menembus” tembok Tolly Club, wilayah bekas orang-orang Inggris bermain golf. Hingga suatu saat mereka ketahuan polisi club yang sedang berpatroli dan menghukumnya.

Sejak kecil, Udayan lebih aktif dibanding kakaknya. Hal ini terbawa hingga besar. Ketika Subhash meneruskan kuliah ke Amerika Serikat, Udayan justru memilih menjadi guru dan bergabung dengan salah satu partai komunis di India. Ia bersama para kameradnya bergerak secara klandestin dan kerap menjadi buruan aparat.

Sementara Udayan akhirnya menikahi Gauri, adik kawannya, Subhash justru terlibat percintaan dengan Holly, perempuan setengah baya yang punya satu anak dan telah berpisah dengan suaminya.

Pernikahan Udayan dengan Gauri tak direstui keluarga kedua belah pihak. Gauri telah diusir, kecuali oleh kakaknya. Namun, meski orang tua Udayan tidak merestui, mereka masih mau menerima pasangan muda itu untuk tinggal di Tollygunge.

Jarak yang begitu jauh memisahkan Udayan dengan Subhash membuat mereka tidak mengetahui kondisi masing-masing yang sebenarnya. Udayan tidak tahu jika Subhash menjalin hubungan dengan Holly. Sementara Subhash tidak tahu jika Udayan kian aktif di partai komunis yang kian membahayakan dirinya. Hingga suatu hari sebuah telegram datang ke Rhode Island, AS, tempat tinggal Subhash:

“Udayan tewas. Pulanglah jika kamu bisa.”

***

Ketika Udayan tewas diberondong oleh polisi, dia tidak tahu jika Gauri, istrinya, tengah mengandung. Di Tollygunge, Subhash mendapati bahwa kedua orang tuanya terlihat tidak menyayangi Gauri: restu belum juga diberi sejak pernikahan. Mereka hanya menunggu Gauri melahirkan. Rencananya mereka akan merawat anak Udayan dan mengusir ibunya.

Subhash mengambil keputusan penting. Dia menikahi Gauri demi menyelamatkan mantan istri adiknya beserta anaknya dari kesewenang-wenangan orang tuanya. Setelah melewati pelbagai ketegangan, Gauri akhirnya berangkat ke AS untuk menyusul Subhash.

Selama mengandung, Subhash tak berani menyentuh Gauri, yang kini telah menjadi istrinya. Komunikasi mereka juga masih kaku. Bagaimana tidak, dari ipar menjadi istri sendiri.

Gauri akhirnya melahirkan anak perempuan yang diberi nama Bela. Sejak punya anak, Gauri yang masih dihantui tragedi pembunuhan Udayan merasa hampa, dia tak terlalu sayang kepada Bela dan Subhash. Hal ini kemudian mencapai puncaknya. Saat Subhash dan Bela baru pulang dari India karena ayahnya meninggal, Gauri telah meninggalkan mereka dengan meninggalkan sepucuk surat yang ditulis memakai bahasa Bengali:

“Aku tidak membuat keputusan ini dengan tergesa-gesa. Dari segala segi, aku telah memikirkannya selama bertahun-tahun. Kamu berusaha sebaik-baiknya. Demikian juga aku, tetapi tidak juga ketemu. Kita telah berusaha untuk meyakini bahwa kita akan menjadi teman satu sama lain.

…………………………………………………………..

Selamat, Subhash. Dan juga selamat tinggal. Sebagai balasan atas semua yang telah kamu lakukan untukku, aku tinggalkan Bela untukmu.”

Gauri pergi ke California untuk mengajar di sebuah kampus. Sementara Subhash memutar otak bagaimana menyampaikan perpisahan ini kepada Bela yang masih kecil. Tapi waktu akhirnya mampu mengatasi segalanya. Bela beranjak dewasa. Setelah lulus kuliah, dia bertualang ke pelosok AS, menyambangi para petani, orang-orang miskin, dan mengajar anak. Aktivitasnya menyerupai Udayan, ayahnya yang tak pernah ia lihat, yakni menolong masyarakat.

Ketika Subhash mulai menua, ibunya di India telah pikun. Subhash kembali hidup sendirian: tanpa Udayan, tanpa Gauri, tanpa Bela, tanpa kedua orang tuanya. Hingga suatu saat, seorang perempuan seusianya, sama-sama tua, yang sudah punya anak dan cucu datang dalam hidupnya. Selain itu, Bela akhirnya kembali ke Rhode Island, ia mengandung. Setelah lahir, anaknya diberi nama Meghna.

***

“Berani-beraninya kamu menapak di rumah ini!” kata Bela kepada Gauri saat ibunya datang ke rumah Subhash di Rhode Island.

“Keluar. Pergilah kembali pada apa pun yang lebih penting,” lanjut Bela.

Gauri akhirnya pergi, meninggalkan cucu dan anaknya yang tak akan pernah memaafkannya. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan Subhash, suaminya.

***

The Lowland atau Tanah Cekung yang tebalnya 591 halaman, secara getir menggambarkan bagaimana ideologi dan keluarga yang tak terdamaikan. Tragedi kematian Udayan membawa persoalan yang rumit bagi orang-orang terdekatnya, dan berkelindan selama puluhan. Kasih sayang raib, yang ada hanya kosong.

Hubungan Subhash dan Gauri yang dingin dan gagal, juga bagaimana Bela selama puluhan tahun tidak tahu siapa ayah sebenarnnya, dan dengan kejam ditinggalkan begitu saja oleh ibunya. Sementara Gauri yang cintanya tercerabut bersamaan dengan tewasnya Udayan, tak mampu lagi membangun hubungan rumah tangga untuk selamanya. Hatinya telah tandus.

Begitu pula kedua orang tua Udayan. Mereka hanya bisa diam di tengah peristiwa yang membuat jiwa keduanya remuk redam. (irf)

12 September 2021

Interpreter of Maladies: Kisah Penuh "Luka" yang Dituturkan Secara Hangat dan Menggugah

Perjumpaan saya dengan karya-karya Jhumpa Lahiri adalah perjumpaan yang memutar. Mula-mula saya menyukai film. Dan salah satu sutradara favorit saya adalah Mira Nair. Film karya Mira Nair yang pertama kali saya tonton adalah sebuah omnibus berjudul New York, I love You (2009) saat diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFes). Selanjutnya adalah film Amelia (2009), biopik penerbang Amelia Earhart yang hilang di perairan Pasifik.

Setelah itu saya mulai mencari film-film Mira Nair yang lain, dan ketemulah The Namesake (2006), film tentang pergulatan identitas yang diangkat dari novel Jhumpa Lahiri dengan judul sama. Seperti dua film sebelumnya, The Namesake juga begitu memukau hingga akhirnya saya mencari novelnya hingga dapat. Nah, mulai saat itulah saya berkenalan dengan karya Jhumpa Lahiri.

Setelah menamatkan novel The Namesake (2003), saya langsung menjadi penggemar baru Lahiri. Pengarang perempuan keturunan India ini benar-benar piawai dalam bertutur. Rangkaian kalimatnya begitu jernih, jauh dari rumit. Dia tak bergenit-genit dengan metafora dan majas lainnya. Ketekunan dan kesabarannya dalam menggambarkan latar cerita dan detail-detail lainnya begitu mengagumkan.

Sayang sekali, setelah novel The Namesake, saya kesulitan menemukan buku-buku Lahiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sempat suatu kali ada bukunya yang berjudul The Lowland (2015) atau Tanah Cekung beredar di toko besar, namun karena penerbit kurang terkenal maka saya menunda untuk membelinya (sekarang akhirnya dibeli juga buku itu).

Ada pula informasi yang menyebutkan bahwa Interpreter of Maladies telah diterjemahkan, tapi ketika saya cek, ternyata terbitnya sudah lama. Setelah sekian lama tertunda, akhirnya saya bisa mendapatkan buku tersebut.

Interpreter of Maladies telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tiga penerbit. Pertama, Akubaca dengan judul Penafsir Kepedihan. Kedua oleh Jalasutra dengan judul Benua Ketiga dan Terakhir. Dan ketiga oleh Gramedia Pustaka Utama berjudul Penerjemah Luka. Saya membaca yang terakhir.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen, total berjumlah sembilan. Dan sebagaimana The Namesake, dalam buku ini juga Lahiri bertutur dengan sangat baik.

Kisah pertama dibuka oleh “Masalah Sementara”, tentang bagaimana pasangan muda keturunan India yang hidup di AS saling menutup diri, tak acuh, dan dingin, padahal mereka belum lama menikah. Situasi ini bermula setelah sang istri melahirkan dan anaknya meninggal sesaat setelah persalinan. Setelah itu komunikasi beku, keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sampai akhirnya tibalah pemadaman listrik karena gangguan. Kegelapan rumah membuat mereka menyalakan lilin, makan bersama, dan mulai bicara lagi, lalu situasi pun mulai mencair kembali.

Cerpen favorit saya yang kedua adalah “Seksi”. Berkisah tentang Laksmi dan Miranda. Mereka rekan kerja. Sekali waktu Lakmi bercerita bahwa sepupunya yang telah punya anak dikhianati suaminya yang memilih pacaran dengan seorang pramugari. Sementara setiap hari Laksmi bercerita hal tersebut, Miranda sebetulnya tengah menjalin hubungan dengan seorang pria beristri.

“Seksi,” ucap kekasih Miranda suatu hari. Hati Miranda melambung.

Suatu hari, Laksmi hendak mengantar sepupunya untuk beberapa urusan. Nah, anak sepupunya itu dititipkan ke Miranda. Si bocah dan Miranda lumayan akrab. Saat si bocah melihat gaun yang dipegang Miranda, ia meminta Miranda untuk memakai. Meski awalnya menolak, tapi akhirnya Miranda mengenakannya juga.

Melihat Miranda dengan gaun tersebut, si bocah berkata, “Seksi.”

Miranda kaget, sebab ia teringat dengan ucapan kekasihnya, pria beristri yang kerap bercinta dengannya. Ia pun bertanya kepada si bocah, apa maksud ucapan tersebut.    

“Mencintai seseorang yang tidak kau kenal,” jawab anak itu.

Si bocah sebetulnya tengah membicarakan bapaknya yang berselingkuh dengan pramugari. Namun bagi Miranda, jawaban tersebut begitu menohok dirinya.

Cerpen favorit selanjutnya adalah “Benua Ketiga dan Terakhir”. Ini merupakan cerpen pengujung di buku Penerjemah Luka. Menceritakan persahabatan pria imigran India dengan perempuan AS yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Selain itu, juga hubungan kaku antara si imigran istrinya yang masih berada di India. Maklum, pasangan yang menikah karena dijodohkan.

Saat istrinya akhirnya menyusul dan tiba di AS, si pria tak menyambutnya dengan antusias, biasa saja. Namun seiring waktu, keduanya kemudian saling mengerti, saling memahami, hingga hubungan lebih hangat dan hidup. Dan sebagai perantau, si pria imigran merasa bersyukur atas pencapaian yang biasa-biasa saja.

“Aku sekarang tahu pencapaianku biasa saja. Aku bukan satu-satunya orang yang mencari keberuntungan jauh dari kampung halamannya, dan yang pasti aku bukan yang pertama. Namun tetap saja ada saat-saat ketika aku terheran-heran mengenang setiap kilometer yang kutempuh, setiap hidangan yang kusantap, setiap orang yang kukenal, setiap kamar tempat aku pernah tidur. Meski semuanya tampak biasa, ada saat-saat ketika itu semua melampaui bayanganku,” ucapnya.

Ya, cerpen ini begitu hangat. Tak heran jika Jalasutra menjadikannya sebagai judul buku, alih-alih menerjemahkan dari kalimat “Interpreter of Maladies”.

Sekarang saya tengah mulai membaca The Lowland, awalnya saja sudah menarik. Lain kali, mudah-mudahan sempat, akan saya tuangkan juga di sini. (irf)