Udayan dan Subhash adalah adik kakak
yang lahir dan tinggal di Tollygunge, Kolkata Selatan, Benggala Barat, India. Usia
keduanya terpaut 15 bulan. Sewaktu kecil, mereka selalu bersama-sama, termasuk
saat “menembus” tembok Tolly Club, wilayah bekas orang-orang Inggris bermain
golf. Hingga suatu saat mereka ketahuan polisi club yang sedang berpatroli dan
menghukumnya.
Sejak kecil, Udayan lebih aktif
dibanding kakaknya. Hal ini terbawa hingga besar. Ketika Subhash meneruskan
kuliah ke Amerika Serikat, Udayan justru memilih menjadi guru dan bergabung dengan
salah satu partai komunis di India. Ia bersama para kameradnya bergerak secara
klandestin dan kerap menjadi buruan aparat.
Sementara Udayan akhirnya menikahi
Gauri, adik kawannya, Subhash justru terlibat percintaan dengan Holly,
perempuan setengah baya yang punya satu anak dan telah berpisah dengan
suaminya.
Pernikahan Udayan dengan Gauri tak
direstui keluarga kedua belah pihak. Gauri telah diusir, kecuali oleh kakaknya.
Namun, meski orang tua Udayan tidak merestui, mereka masih mau menerima
pasangan muda itu untuk tinggal di Tollygunge.
Jarak yang begitu jauh memisahkan
Udayan dengan Subhash membuat mereka tidak mengetahui kondisi masing-masing
yang sebenarnya. Udayan tidak tahu jika Subhash menjalin hubungan dengan Holly.
Sementara Subhash tidak tahu jika Udayan kian aktif di partai komunis yang kian
membahayakan dirinya. Hingga suatu hari sebuah telegram datang ke Rhode Island,
AS, tempat tinggal Subhash:
“Udayan tewas. Pulanglah jika kamu bisa.”
***
Ketika Udayan tewas diberondong oleh
polisi, dia tidak tahu jika Gauri, istrinya, tengah mengandung. Di Tollygunge, Subhash
mendapati bahwa kedua orang tuanya terlihat tidak menyayangi Gauri: restu belum
juga diberi sejak pernikahan. Mereka hanya menunggu Gauri melahirkan.
Rencananya mereka akan merawat anak Udayan dan mengusir ibunya.
Subhash mengambil keputusan penting.
Dia menikahi Gauri demi menyelamatkan mantan istri adiknya beserta anaknya dari
kesewenang-wenangan orang tuanya. Setelah melewati pelbagai ketegangan, Gauri
akhirnya berangkat ke AS untuk menyusul Subhash.
Selama mengandung, Subhash tak berani
menyentuh Gauri, yang kini telah menjadi istrinya. Komunikasi mereka juga masih
kaku. Bagaimana tidak, dari ipar menjadi istri sendiri.
Gauri akhirnya melahirkan anak
perempuan yang diberi nama Bela. Sejak punya anak, Gauri yang masih dihantui
tragedi pembunuhan Udayan merasa hampa, dia tak terlalu sayang kepada Bela dan
Subhash. Hal ini kemudian mencapai puncaknya. Saat Subhash dan Bela baru pulang
dari India karena ayahnya meninggal, Gauri telah meninggalkan mereka dengan
meninggalkan sepucuk surat yang ditulis memakai bahasa Bengali:
“Aku tidak membuat keputusan ini dengan tergesa-gesa. Dari
segala segi, aku telah memikirkannya selama bertahun-tahun. Kamu berusaha
sebaik-baiknya. Demikian juga aku, tetapi tidak juga ketemu. Kita telah
berusaha untuk meyakini bahwa kita akan menjadi teman satu sama lain.
…………………………………………………………..
Selamat, Subhash. Dan juga selamat tinggal. Sebagai balasan
atas semua yang telah kamu lakukan untukku, aku tinggalkan Bela untukmu.”
Gauri pergi ke California untuk
mengajar di sebuah kampus. Sementara Subhash memutar otak bagaimana
menyampaikan perpisahan ini kepada Bela yang masih kecil. Tapi waktu akhirnya
mampu mengatasi segalanya. Bela beranjak dewasa. Setelah lulus kuliah, dia
bertualang ke pelosok AS, menyambangi para petani, orang-orang miskin, dan mengajar
anak. Aktivitasnya menyerupai Udayan, ayahnya yang tak pernah ia lihat, yakni
menolong masyarakat.
Ketika Subhash mulai menua, ibunya di
India telah pikun. Subhash kembali hidup sendirian: tanpa Udayan, tanpa Gauri,
tanpa Bela, tanpa kedua orang tuanya. Hingga suatu saat, seorang perempuan
seusianya, sama-sama tua, yang sudah punya anak dan cucu datang dalam hidupnya.
Selain itu, Bela akhirnya kembali ke Rhode Island, ia mengandung. Setelah
lahir, anaknya diberi nama Meghna.
***
“Berani-beraninya kamu menapak di
rumah ini!” kata Bela kepada Gauri saat ibunya datang ke rumah Subhash di Rhode
Island.
“Keluar. Pergilah kembali pada apa
pun yang lebih penting,” lanjut Bela.
Gauri akhirnya pergi, meninggalkan
cucu dan anaknya yang tak akan pernah memaafkannya. Ia bahkan tak sempat bertemu
dengan Subhash, suaminya.
***
The Lowland atau Tanah Cekung yang tebalnya 591 halaman,
secara getir menggambarkan bagaimana ideologi dan keluarga yang tak
terdamaikan. Tragedi kematian Udayan membawa persoalan yang rumit bagi orang-orang
terdekatnya, dan berkelindan selama puluhan. Kasih sayang raib, yang ada hanya
kosong.
Hubungan Subhash dan Gauri yang
dingin dan gagal, juga bagaimana Bela selama puluhan tahun tidak tahu siapa
ayah sebenarnnya, dan dengan kejam ditinggalkan begitu saja oleh ibunya. Sementara
Gauri yang cintanya tercerabut bersamaan dengan tewasnya Udayan, tak mampu lagi
membangun hubungan rumah tangga untuk selamanya. Hatinya telah tandus.
Begitu pula kedua orang tua Udayan.
Mereka hanya bisa diam di tengah peristiwa yang membuat jiwa keduanya remuk
redam. (irf)