22 July 2022

10 Lagu Semakbelukar: Tak kan Melayu Hilang di Bumi

Ketika mereka tampil terakhir kali dan menghancurkan alat-alat musiknya di Kineruku, saya masih di depan monitor tabung di bilangan Pulogadung. 

Berkat Jakartabeat, saya berkenalan dengan Elevation Records dan tahu ada grup asal Palembang ini. Nahas, saat mulai mendengarkan lagu-lagunya, Semakbelukar mengumumkan bahwa mereka bubar dan tak akan pernah reuni. 

"Musik hanya membuat ramai, tak membuat kami damai," kira-kira begitu alasannya.

Padahal, bagi pendengar seperti saya, lagu-lagu Semakbelukar justru membuat sebaliknya. Apalagi suara David Hersya terdengar meliuk-liuk bak seorang muazin. Syairnya apalagi, seperti petitih. Sekilas akan langsung teringat Gurindam 12 Raja Ali haji.   

Seperti juga Taufiqurrahman, pemilik Elevation Records, saya menyukai suara akordeon yang mereka mainkan dalam sejumlah lagunya. Sayang, bagaimanapun, kiwari, Semakbelukar telah bubar. David Hersya, mantan vokalis, di chanel Youtube-nya sesekali masih membuat syair yang seolah digumamkan, juga menekuni soal-soal mesin motor matic.

Suatu malam, saya memutar sebuah album Semakbelukar di Jl. Solontongan. Pengunjung kedai tampak mengernyitkan dahi. Barangkali ia pikir ini album nasyid yang tak pantas diperdengarkan di warung kopi. Lalu album itu saya ganti dengan Float. Tengah malam, saya baru bisa mendengarkan "lagu-lagu nasyid" ini:

1. Be (re)ncana


"Terlahir dan terasingkan tak lantas menjadi duka
hanya karena berbeda tak berarti hilang muka
karena sempurna itu hanya sebuah rencana 
karena sempurna itu hanya sebuah bencana

Terbuang dan terlupakan tak lantas menjadi luka
hanya karena terbatas tak berarti tanpa belas
karena sempurna itu hanya sebuah rencana 
karena sempurna itu hanya sebuah bencana

Untuk yang memuja
bukan yang dipuja

Terlahir dan terasingkan tak lantas menjadikan luka, hilang, murka." 

2. Gita Cempala


"Cempala mulut dengan penggering
dalam gita gersang yang digubah
menyulut pawaka di jiwa yang kering
hembus pawana tebarkan wabah

Dursila yang tumbuh dan berkembang
dalam genggam yang bermata satu
atas bintang terang yang selalu bersambang
percikan air sekeras batu

Tinggikan akan ternyata dangkal
jelas tak kekal tetap menyangkal."

  3. Hina Dina


"Kurasakan yang kau rasa
disaat kau tersingkirkan
padahal engkau bukanlah sembarang

Insan yang selalu berkarya
bermimpi tak untuk kaya
berdirimu dengan daya upaya

Bertahan ku dalam karya
yang selalu teraniaya
atas nama seni yang berbudaya

Bayangkan sepi tak lagi
menusuk seperti duri
karena diri tak kan bisa sembunyi

Kita ini bukan yang mulia
bukan pula yang kuasa
kita hanya manusia biasa
hina dina dari tanah

Kudapatkan sebuah arti
dari bentuk kerelaan
tatkala aku dicaci dimaki

Coba berhenti meratap
dan mulai untuk percaya
kematian itu akan terjadi
kematian itu sedang terjadi
kematian itu pasti terjadi." 
 

4. Dendang Lalai


5. Mekar Mewangi


"Kau mekar seperti bunga
melati di tanganku putih dan menyejukkan
kau terang dan berkilauan
seperti pagi ini penuh warna dan cerah

Aku ada dalam harapan 
di masa yang kan datang
di masa yang kan datang
kau kan selalu mewangi."

6. Berlayar di Daratan



7. Sejuk Matahari & Lebah



8. Antologi bagian 1


 

9. Antologi bagian 2 


10. Antologi bagian 3 




08 July 2022

Rumah-Rumah yang Hilang dan Hancur


 "Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu

Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!"

(kutipan dari "Catetan Th. 1946" karya Chairil Anwar)


Kisah Helikopter 

Sekali sore, saat hendak berziarah ke makam orang tua, seperti biasa melewati perkampungan di belakang Masjid Agung Jampang Kulon. Di sebelah kiri jalan, sebuah rumah tampak mengenaskan: atapnya rusak parah dan hampir ambrol. Itu adalah rumah Pak Memed Sudarman, salah satu tokoh masyarakat di kampung saya yang telah lama meninggal dunia. 

Dulu, salah seorang anaknya merupakan perwira Polri. Jika mengunjungi orang tuanya, sang anak datang menggunakan helikopter yang diparkir di alun-alun. Warga heboh, entah mimpi apa semalam ujug-ujug helikopter yang begitu nyata singgah di kampung. 

Pada kedatangan pertama, saya sedang mandi di Cikaum--pemandian umum di seberang alun-alun. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh seperti hendak membelah langit. Rumput dan sampah beterbangan, orang-orang berlarian menuju alun-alun. Saya segera melilit diri dengan handuk dan bertelanjang dada, lalu berlari ke pusat kegaduhan. MasyaAlloh.. seekor helikopter yang begitu gagah telah hinggap di tanah lapang. Sang perwira bersama ajudannya terlihat tengah berjalan ke arah barat menuju rumah Pak Memed.

Setiap kali datang, helikopter itu tidak pernah mau berlama-lama. Barangkali paling lama hanya setengah jam sejak kemunculannya, sang perwira kembali ke medan tugasnya di wilayah hukum entah. Setelah kedatangannya yang ketiga entah keempat, waktu bergerak bergulung-gulung, ia tak menunggu siapa pun, melesat meninggalkan siapa saja yang tercecer di belakang. Hingga akhirnya sore itu, rumah tua yang mengenaskan itu mengembalikan semua ingatan.

   

Lima Hasta

Ini tetangga saya sendiri. Mak Engkom namanya. Pemilik warung nasi di pasar lama. Anaknya empat, perempuan dua, laki-laki dua. Dalam ingatan masa kecil, beliaulah penyandang raja kuliner yang tak terbantahkan. Ayam-ayam kampungnya yang setiap pagi menemui ajal, diolah sedemikian rupa: digoreng, disup, dan jeroannya dipepes. Semuanya gak ada obat!  

Jika petang datang atau tidak sedang berjualan, ia kerap duduk di sebuah bangku panjang di sisi utara rumahnya, menghadap ke kali kecil: melamun, atau entah apa namanya yang jelasnya tatapannya kosong. Suaminya telah lama pergi. Bahkan sejak saya mulai bisa mengingat, suaminya memang telah tiada.

Salah seorang anaknya yang paling akrab bernama Mang Engkos, sementara orang-orang tua memanggilnya Aja. Jika bermain sepak bola ia berdiri di bawah mistar gawang alias jadi kiper. Ketika PSSI Primavera terkenal, panggilannya berubah menjadi Kurnia Okon, merujuk kepada kiper Timnas: Kunia Sandy.  

Kira-kira lima tahun terakhir, setiap kali pulang kampung, rumah Mak Engkom yang jaraknya hanya lima hasta dari rumah saya itu selalu sangat sunyi dan gelap. Kiwari bahkan hampir rata dengan tanah. Entah di mana anak-anaknya, yang jelas sebuah kisah telah berakhir. 


Jambu Air dan Stiker PDI

Letaknya persis di pinggir jalan raya Jampang Kulon-Sukabumi. Halamannya dirimbuni pohon jambu air, tempat favorit bermain kelereng. Itulah dia rumah si Iki alias Pepeng (pemuda pengkolan) karena memang pas di depan rumahnya jalan raya agak berbelok. Ia anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara. 

Yang paling saya ingat dari rumah itu adalah sebuah stiker PDI lama (bukan perjuangan) yang menempel di kaca jendela paviliun. Tak istimewa, tapi sungguh tak menyangka, di tengah hegemoni Golkar dan PPP di era Orde Baru, di kampung saya ternyata sampai juga suara kaum Marhaen. Memang minoritas, tapi minimal ada.

Di belakang rumah si Iki ada pemandian umum yang dipenuhi ikan gurame dan ikan mas yang ukurannya besar-besar. Kami biasa menyebutnya Cimangtajudin karena letaknya menempel dengan rumah Mang Tajudin. Airnya bersih meski kalah jernih dangan pemandian Cikaum. Sekarang pemandian itu hanya jadi kolam ikan biasa setelah rumah Mang Tajudin dijual, dan oleh pemilik baru dirombak habis-habisan.

Sebelum si Iki dan keluarganya pindah ke Bekasi, orang tuanya sempat berjualan bubur ayam dan sate kambing. Namun tak lama, karena segera gulung tikar. Rumahnya kemudian dijual, sekarang menjelma jadi dealer motor Yamaha. Bekas rumahnya benar-benar tak bersisa. 


Kelerang dan Alat Memancing

Saat George Orwell menceritakan George Bowling--sales asuransi yang keranjingan memancing dalam buku Coming Up for Air (2021)--saya langsung teringat toko ini. Letaknya di pojok tenggara alun-alun, dipisahkan sebuah jalan yang cukup lebar. Pemiliknya suami istri yang sudah sepuh: Wa Heni dan Wa Empip. Cucu mereka banyak, beberapa di antaranya kawan saya.

Selain menjual perlengkapan memancing seperti joran (jeujeur), kail, kukumbul, dan babanem, mereka juga menjual kelereng. Dan jika bulan puasa tiba, mereka tak ketinggalan menjual layangan, gelasan, nilon, dan golong. Singkatnya surga bagi hobi dan permainan anak laki-laki. Selain dimakan usia, bisnis mereka juga digerogoti kerusakan lingkungan. Kali mengering, sungai kotor, dan kolam satu-satu mulai menghilang. Para pemancing haurs pergi ke sungai-sungai yang jauh atau ke laut selatan untuk menyalurkan hobinya.

Di sebelah toko itu ada warung kelontong milik Ceu Miming yang sudah tua dan berdebu. Ini warung legendaris karena menyediakan perlengkapan nyeupah alias menyirih, di antaranya gambir dan apu. Entah kapan masa jayanya, yang jelas ketika saya mulai bisa mengingat, warung kelontong ini sudah sepi dan barang-barangnya telah kuno.

Kini toko dan warung itu telah tiada. Digantikan toko hp merek Oppo dan kantor ekspedisi JNE. Perekonomian Jampang Kulon memang beranjak maju meski tak secepat habisnya generasi tua yang layaknya pasar malam: satu persatu dijemput ajal. 

Dan daftar ini akan terus bertambah. Demikianlah sejarah bergerak bersama gelinding roda zaman. Dari tempat dan waktu yang telah berjarak, saya hanya bisa menggapai-gapai lewat ingatan. [irf]