Maka mereka, para penguasa warung kopi
itu---ini masih kesimpulan sementara, sesungguhnya adalah para pemuda yang sama
seperti orang kebanyakan; ada yang berdenyut ngilu di pedalamannya, ada
getar-getar halus yang merambat di langit jiwanya, ada saat-saat ketika mereka
ingin menikam waktu dan jarak, ada perasaan yang tidak bisa mereka dijalani
sendirian.
***
Pada beberapa hal tertentu, bunuh diri adalah ketika kita membenamkan
pendapat, tidak berani bersuara, dan hanya membebek mengikuti pendapat oranglain.
Sekalipun itu orang yang kamu cintai, kalau kamu tidak setuju, maka tidak ada
alasan untuk diam. Hanya ada satu kata, "Lawan!!", begitu kata Wiji
Thukul.
Dan begitulah, maka pada sebuah siang
yang terik, ketika bayangan pohon di luar kelas terlihat seperti sketsa wajah
monster, pak Wawan duduk di kursinya yang berwarna coklat tua. Kali ini beliau
ingin kembali menggali keberanian murid-muridnya untuk belajar menyampaikan
pendapat di dalam kelas.
Sebulan yang lalu, beliau memberi tugas
untuk membaca novel karangan Ahmad Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara,
dan kami disuruh untuk memberikan tanggapan kepada novel tersebut.
Cara pak Wawan mengajar, terlepas dari dia sering menepuk-nepuk bahu Olva,
menurut saya, sangat mengesankan. Beliau tidak pernah “menyembunyikan” karya
sastra seperti yang biasa dilakukan oleh buku-buku pelajaran bahasa Indonesia.
Kami murid-muridnya, tahu para sastrawan dan karyanya bukan dari buku pelajaran
bahasa Indonesia yang peredarannya diwajibkan, tapi dari pak Wawan, dari koran,
dan dari internet.
Beliau mewajibkan kami untuk menabung
minimal 500 rupiah setiap hari, dan setiap tiga bulan sekali beliau pasti
mewajibkan kami untuk membeli sebuah novel yang harganya sekitar lima puluh
ribuan, dengan judul yang telah beliau tentukan. Dengan asumsi bahwa setiap
bulan dipukul rata menjadi 30 hari, maka setelah tiga bulan, dengan simpanan
minimal 500 rupiah per hari, maka uang tabungan kami akan terkumpul sebesar
45,000 rupiah.
Negeri 5 Menara adalah novel wajib kedua yang kami beli, sebelumnya kami telah
membeli novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Waktu
itu, waktu saya dan teman-teman sekelas secara bergiliran mengemukakan pendapat
dan tanggapan terhadap novel Laskar Pelangi, serta sesekali
berdebat, Olva belum hadir, dia masih di Jakarta, masih belum bertemu dengan
seseorang yang diam-diam mencintainya.
Selain hal itu, sebulan sekali kami
disuruh membuat cerpen, dan dua minggu sekali disuruh membuat puisi. Pak Wawan
sering berkata, “Bacalah karya sastra, karena akan memperhalus jiwamu.”
Kata anak-anak kelas tiga yang pernah
diajar oleh pak Wawan, dulu novel wajib mereka adalah Bukan Pasar
Malam (Paramoedya Ananta Toer), Burung-burung Manyar (Romo
Mangunwijaya),Orang-orang Proyek (Ahmad Tohari), dan The
Old and The Sea (Ernest Hamingway). Kata mereka, dari empat novel
yang wajib dibeli dan dibaca dalam kurun waktu satu tahun, pak Wawan pasti akan
menyelipkan satu buah novel karya satrawan asing.
Sekarang tibalah waktunya, seperti ketika membahas novel Laskar
Pelangi, sekarang juga setiap murid harus berbicara, harus berani
memberikan tanggapan dan mengungkapkan pendapat. Anak-anak yang namanya
berinisial alphabet awal terlihat tenang saja, sebab kali ini pak Wawan
mengacak nama semau dia, dan yang namanya dipanggil pertama kali adalah Dian,
teman saya yang berkerudung.
“Silahkan Nak, bagaimana tanggapanmu
terhadap novel Negeri 5 Menara?” Dian lalu berdiri, tapi tetap di
tempatnya. “Menurut saya, ini adalah novel yang sangat bagus. Mantra Man
Jadda Wajada yang dijalankan oleh si penulis sangat menawan. Siapa
saja yang membaca novel ini, pasti akan dialiri oleh semangat yang lebih
mencerahkan, ada motivasi yang menggigit, bahwa nasib buruk tidak akan pernah
berpihak kepada orang-orang yang melebihkan usahanya, kepada orang-orang yang berusaha
di atas rata-rata. Selain itu, novel ini juga seperti sebuah sikap perlawanan
terhadap anggapan orang kebanyakan, yang seringkali menyepelekan lembaga
pendidikan agama yang bernama pesantren. Ahmad Fuadi membuktikan bahwa alumni
pesantren pun bisa bersaing, bisa bersosialisasi, dan yang lebih penting adalah
bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya kira, itu yang saya tangkap dari novel
ini.”
Kemudian Dian duduk kembali, dan pak
Wawan memanggil nama yang lain untuk menyampaikan pendapatnya. Kesempatan kedua
diberikan kepada Ajat, kawan saya sebangku, juga kawan saya dalam urusan
mencuri buah milik bu Nina.
Ajat berdiri, teman-teman sekelas banyak yang tersenyum. Selama ini, kalau
ada guru, Ajat dikenal sebagai siswa yang jarang berbicara di depan kelas. Hal
tersebut bukan berarti dia pendiam, tapi dia malas berbicara secara formal.
Waktu berdiri, tangannya memegang bibir
meja, kemudian dia mulai berbicara, “Euh…, kalau kata saya sih novel ini biasa
saja.” Dian terlihat langsung memasang muka tidak setuju, tapi pak Wawan malah
bertanya dengan nada penuh simpati dan ingin tahu, “Ini terdengar mantap
sekali, coba jelaskan bung, bagaimana sampai bisa mengatakan bahwa novel ini
biasa saja?”
Kemudian Ajat melanjutkan, “Jiwa dari
novel ini hanyalah satu kalimat, yang tadi sempat disinggung oleh Dian, hanya
kalimat Man jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan
berhasil. Dan menurut saya, ungkapan tersebut tidak istimewa, bahkan sangat
biasa. Bukankah setiap hari kita terbiasa dituntut untuk mengerjakan sesuatu
dengan sungguh-sungguh? Orangtua kita, guru-guru kita, saudara-saudara kita,
bahkan teman-teman kita pun seringkali mengungkapkan hal tersebut. Nenek saya
sering bilang, “Sing soson-soson jang diajar teh, méh gancang pinter!”
Jadi apanya yang istimewa? Tapi memang harus diakui
bahwa semangat belajar keras yang ditulis oleh Ahmad Fuadi cukup bisa
membangunkan siapa saja yang selama ini ditawan oleh malas atau siapa saja yang
selama ini belajar dengan gaya minimalis alias alakadarnya.”
Dian langsung mengangkat tangan dan
berdiri, dia kemudian mendebat pendapatnya Ajat. Pak wawan mempersilahkan, lalu
kelas mulai menjadi ramai, karena ternyata Ajat pun tidak tinggal diam, dia
bertahan dengan pendapatnya disertai argument-argument yang kuat. Anak-anak
yang tadi sempat tersenyum karena meragukan Ajat, kini terlihat pucat, mereka
menjadi ragu dengan pendapat mereka sendiri, mereka dibungkam dengan kenyataan.
Kalau saja pak Wawan tidak menengahi,
debat pendapat antara Dian dan Ajat pasti tidak akan berakahir. Anak-anak yang
lain kemudian secara bergantian dan acak dipanggil namanya dan disuruh
menyampaikan pendapatnya masing-masing, tapi setelah “perseteruan” antara Dian
dan Ajat, kelas tidak terlalu ramai karena tidak ada lagi perdebatan, sebelum
akhirnya nama Olva dipanggil.
Semua sudah tahu, Olva pasti akan memberikan kejutan, dia diyakini akan
menyampaikan pendapat yang tidak biasa, yang tidak sama dengan pendapat
anak-anak yang cenderung seragam. “Silahkan Nak, sampaikan pendapatmu dengan
lantang,” kata pak Wawan pada Olva, tapi kali ini tidak sambil dengan
menepuk-nepuk bahu, beliau tetap duduk di kursinya yang berwarna coklat tua.
Olva berdiri dan mulai menyampaikan
pendapatnya, dan pandangan saya lekat, tidak lepas dari dirinya, “Mengenai
semangat dan pesan yang diusung oleh novel ini saya kira teman-teman sudah
banyak yang membahasnya, oleh karena itu saya akan menyampaikan pendapat lain.
Dalam novel ini penokohan yang ditulis oleh Ahmad Fuadi sangat menarik, dia
membangun karakter tokoh-tokoh ceritanya dengan sangat jelas, tidak abu-abu,
sehingga pembaca dapat mengingat dengan kuat mana tokoh A dan mana tokoh B, ini
sangat membantu pembaca dalam memahami cerita dan menangkap pesan yang ingin
disampaikan oleh penulis. Sebuah cerita, menurut saya, memang seharusnya
seperti ini, seperti apa yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, harus jelas karakter
setiap tokohnya, karena kalau ada yang karakter yang tidak kuat, maka cerita
akan terasa buyar dan membingungkan.”
Seperti yang sudah diduga oleh semuanya,
Olva keluar dari pembicaraan mayoritas yang dari tadi tidak beranjak dari
pembahasan kalimat Man Jadda Wajada.
Entah kenapa, saya yang dari tadi lekat memandanginya, memandangi Olva,
tiba-tiba diserbu oleh keinginana untuk mendebat pendapatnya, dan belum sempat
saya menimbang, tiba-tiba saya sudah mengacungkan tangan sambil berdiri.
“Silahkan Bung,” kata pak Wawan, yang artinya lampu hijau buat saya untuk mulai mendebat
pendapat Olva.
“Apa yang diutarakan Olva adalah
anggapan umum, pandangan apa yang seharusnya, tapi apakah setiap cerita harus
seperti itu? Apakah harus membangun perbedaan karakter setiap tokohnya
dengan jelas? Saya tidak setuju. Saya punya contoh nyata. Kakak saya
punya kawan dua orang, semuanya laki-laki. Mereka berteman sangat dekat, dan
mereka punya minat dan hobi yang sama, gaya bicara sama, wajah juga sama;
sama-sama sederhana. Misalkan saja ada penulis hebat yang mau menuliskan
kehidupan mereka bertiga dalam sebuah cerita, apakah kemudian cerita mereka
menjadi membingungkan? Belum tentu bukan?”
Sebelum saya melanjutkan, Olva yang biasanya terlihat tenang, kali ini
langsung berdiri dan mengacungkan tangan.
“Silahkan Nak,” kata pak Wawan
yang bertindak sebagai wasit.
“Maaf, kita sedang membicarakan
novel Negeri 5 Menara, bukan cerita di luar buku ini, jadi
kemungkinan-kemungkinan yang lain kita benamkan dulu. Saya hanya mengomentari
tokoh Alif, Atang, Baso, dan kawan-kawannya, bukan kakakmu dan kawan-kawannya.”
Saya langsung berdiri lagi, dan tanpa
menunggu pak Wawan mempersilahkan, saya langsung menyerang, “Justru karena kita
sedang membicarakan Negeri 5 Menara, makanya saya mengungkapkan
kemungkinan lain. Bukankah saya tidak harus menyanjung puja novel tersebut? Apakah
tidak boleh ada kritik terhadap novel tersebut? Boleh kan? Nah,
untuk menjelaskan apa yang saya tidak setuju dalam novel ini, yang kebetulan
menurutmu adalah sisi menarik, makanya saya memberikan pembanding, memberikan
contoh nyata, bahwa sebenarnya tidak semua cerita harus seperti itu.”
Olva tidak mau kalah, dia berdiri lagi dan juga tidak menunggu insyarat
lampu hijau dari pak Wawan, “Hai Bung---mungkin karena emosi dia akhirnya
berkata ‘Bung’---siapa yang melarang untuk mengkritik? Tidak
pernah ada yang berkata bahwa pendapat kita harus sama, yang saya garis bawahi
adalah karakter tokoh dalam cerita di buku ini sangat menarik, sangat membantu
para pembacanya untuk memahami inti cerita, bukan soal adanya kemungkinan
cerita lain dengan karakter tokoh yang seragam seperti yang bung ungkapkan.”
Saya tidak terima, dan langsung berdiri
lagi. Selesai saya berbicara dia pun berdiri lagi dan terus terjadi perdebatan.
Siang itu kelas menjadi saksi bahwa saya dan Olva berdebat dengan sengit. Pak
Wawan memang wasit yang peka, sebelum menjadi debat kusir, beliau langsung
menengahi dan memberikan kesempatan pada anak-anak yang lain untuk
mengungkapkan pendapat mereka masing-masing.
Dan hari menjadi sangat siang setelah
itu, matahari masih garang menyengat waktu akhirnya kelas bubar dan kami
pulang. Kali itu kami, saya dan Olva, tidak satu mobil, kami naik angkot yang
berbeda. Mobil berjalan di atas aspal yang berfatamorgana, debu di pinggir
jalan beterbangan di tiup angin, langit gilang gemilang dan beberapa awan
terlihat berarak, kemarau sedang berkuasa. Cuaca ini membuat saya teringat lagu
yang akhir-akhir ini sering diputar bang Bisma, lagu The Monophones yang
diputar waktu malam mulai merayap menjemput senja:
I'm standing here in the sky of july
With the blue and cloudy sky
With the land there's dry
The sun its burning all of the land
Turn the stone into the sand
Leave my world in pain
***
Ahmad Sumarjo namanya, tapi entah mulai
kapan warga komplek memanggilnya hanya dengan panggilan Ajo, dan karena saya
masih kelas dua SMP, sedang beliau sudah berusia sekira 50 tahun, maka saya
memanggilnya pak Ajo.
Beliau adalah punggawa mesjid komplek.
Jika ada anak yang bernasib malang, yang bapaknya terlalu sibuk mencari uang
dan ibunya dijajah sinetron produksi dinasti Punjabi, sehingga anak tersebut
tidak pernah punya kesempatan untuk belajar Iqro dan tajwid, maka beliau pun
menjadi benteng moral cadangan bagi anak-anak malang tersebut.
Dulu waktu masih kelas dua SD, saya
pernah diajar oleh beliau, tapi karena yang ngajinya terlalu banyak sementara
pak Ajo tidak bisa difotocopy, maka kemudian bapak mengambil alih, saya
akhirnya belajar Iqro di rumah bersama bapak.
Sekarang, ketika ilmu tajwid saya sudah
lumayan jago, saya kembali belajar ke pak Ajo, belajar ilmu tajwid yang belum
saya ketahui semuanya sambil mencoba menghafal Al qur’an yang bagi saya sangat
sulit; sekarang hafal besok lupa. Kata bang Bisma, selama saya masih suka panen
buah di rumah bu Nina, maka hafalan saya tidak akan maju-maju, tapi saya tidak
mudah percaya, walaupun kepada kakak sendiri, maka saya tetap bersemangat kalau
si Ajat mengajak ke sana, ke halaman rumah bu Nina yang ramai oleh pohon buah.
Sekarang pak Ajo sudah punya semacam asisten, dua orang pula, laki-laki
dan perempuan, mereka adalah kak Ina dan bang Muhidin. Kedua orang asisten pak
Ajo tersebut adalah kawannya para penguasa warung kopi. Tempo hari, waktu bang
Bisma, bang Joni, dan bang Erlan datang ke kostannya kak Ina, mereka ternyata
mengajak kak Ina untuk bergabung ke dalam gerakan semesta mereka.
Saya masih ingat pembicaraan mereka di
warung kopi, waktu bang Erlan bingung mencari orang yang akan bergerak di lini
keagamaan, rupanya orang yang mereka cari itu sekarang sudah ada, dialah kak
Ina dan bang Muhidin, kawannya kak Ina. Aroma yang menguap dari wajah kak Ina
dan bang Muhidin tak lain adalah aroma orang-orang baik. Kehadiran mereka
setiap ba’da maghrib sangat membantu pak Ajo yang sering kewalahan mengajar
anak-anak yang cukup banyak dan sering susah tertib.
Anak-anak yang masih belajar Iqro sekarang ditangani oleh kak Ina dan bang
Muhidin, kak Ina mengajar anak perempuan dan bang Muhidin mengajar anak
laki-laki, mereka sekarang dipisah. Sementara anak-anak yang belajar tajwid
tetap ditangani oleh pak Ajo, termasuk saya.
Setiap selesai mengaji, sambil menunggu
waktu sholat isya, bang Muhidin pasti bercerita tentang sahabat-sahabat
Rasulullah yang berjuang demi Islam. Saya sering bergabung untuk mendengarkan
ceritanya, karena cara bang Muhidin menuturkan riwayat-riwayat tersebut amat
berkesan, sehingga membuat anak-anak betah, termasuk saya. Bahkan kadang-kadang
saya berharap agar waktu isya tidak cepat datang karena akan menghentikan
cerita bang Muhidin. Saya yakin gaya bang Muhidin lebih menarik daripada gaya
bang Bisma yang sering mendongeng di lapangan komplek dengan topeng Gorgomnya.
Saya paling terkesan dengan cerita bang Muhidin tentang sahabat Rasulullah
yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Abdullah terlahir dalam keadaan buta,
maka ibunya bergelar Ummi Maktum (ibunya orang buta). Suatu hari ketika
Rasullullah sedang berdialog dengan pemimpin-pemimpin suku Quraisy, dengan
harapan pemimpin-pemimpin suku Quraisy itu masuk Islam, dengan sungguh-sungguh
tiba-tiba Abdullah minta dibacakan ayat-ayat Al Qur’an. Kata Abdullah, “Ya
Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada
Anda!”
Rasulullah tidak memperdulikan
permintaan Abdullah, lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan
pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy. Setelah Rasulullah selesai berbicara
dengan mereka dan bermaksud pulang, maka turunlah wahyu:
“Dia bermuka masam dan
berpaling karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia
ingin membersihkan dirinya atau dia mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu
memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yg merasa dirinya serba cukup maka
kamu melayaninya. Padahal tidak ada atasmu kalau mereka tidak membersihkan
diri. Adapun orang yang datang kepadamu degan bergegas sedangkan ia takut
kepada Allah maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan! Sesungguhnya ajaran
itu suatu peringatan. Maka siapa yg menghendaki tentulah ia memperbaikinya.
Terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan yang ditinggikan lagi disucikan
di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa : 1-16)
Riwayat tersebut sering membuat saya menjadi merasa tidak enak ketika
malas untuk belajar mulai menyerang, saya sering membayangkan bagaimana
Abdullah yang tidak bisa melihat tapi semangatnya untuk belajar begitu tinggi.
“Kalian yang kondisi fisiknya sempurna,
bisa melihat dengan baik, jangan sampai malas belajar. Contohlah Abdullah bin
Ummi Maktum, walaupun beliau matanya buta, tapi hatinya tidak buta, semangat
belajarnya harus kalian tiru,” begitu kata bang Muhidin. Tapi waktu itu, waktu
bang Muhidin bercerita mengenai riwayat Abdullah bin Ummi Maktum, kawan saya si
Ajat, team leader aksi panen buah, tidak ikut hadir. [ ]
itp, 3/3/11
No comments:
Post a Comment