04 March 2011

Para Penguasa Warung Kopi [5]

Maka mereka, para penguasa warung kopi itu---ini masih kesimpulan sementara, sesungguhnya adalah para pemuda yang sama seperti orang kebanyakan; ada yang berdenyut ngilu di pedalamannya, ada getar-getar halus yang merambat di langit jiwanya, ada saat-saat ketika mereka ingin menikam waktu dan jarak, ada perasaan yang tidak bisa mereka dijalani sendirian.

 

***

 

Pada beberapa hal tertentu, bunuh diri adalah ketika kita membenamkan pendapat, tidak berani bersuara, dan hanya membebek mengikuti pendapat oranglain. Sekalipun itu orang yang kamu cintai, kalau kamu tidak setuju, maka tidak ada alasan untuk diam. Hanya ada satu kata, "Lawan!!", begitu kata Wiji Thukul.

 

Dan begitulah, maka pada sebuah siang yang terik, ketika bayangan pohon di luar kelas terlihat seperti sketsa wajah monster, pak Wawan duduk di kursinya yang berwarna coklat tua. Kali ini beliau ingin kembali menggali keberanian murid-muridnya untuk belajar menyampaikan pendapat di dalam kelas.

 

Sebulan yang lalu, beliau memberi tugas untuk membaca novel karangan Ahmad Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara, dan kami disuruh untuk memberikan tanggapan kepada novel tersebut.

 

Cara pak Wawan mengajar, terlepas dari dia sering menepuk-nepuk bahu Olva, menurut saya, sangat mengesankan. Beliau tidak pernah “menyembunyikan” karya sastra seperti yang biasa dilakukan oleh buku-buku pelajaran bahasa Indonesia. Kami murid-muridnya, tahu para sastrawan dan karyanya bukan dari buku pelajaran bahasa Indonesia yang peredarannya diwajibkan, tapi dari pak Wawan, dari koran, dan dari internet.

 

Beliau mewajibkan kami untuk menabung minimal 500 rupiah setiap hari, dan setiap tiga bulan sekali beliau pasti mewajibkan kami untuk membeli sebuah novel yang harganya sekitar lima puluh ribuan, dengan judul yang telah beliau tentukan. Dengan asumsi bahwa setiap bulan dipukul rata menjadi 30 hari, maka setelah tiga bulan, dengan simpanan minimal 500 rupiah per hari, maka uang tabungan kami akan terkumpul sebesar 45,000 rupiah.

 

Negeri 5 Menara adalah novel wajib kedua yang kami beli, sebelumnya kami telah membeli novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata. Waktu itu, waktu saya dan teman-teman sekelas secara bergiliran mengemukakan pendapat dan tanggapan terhadap novel Laskar Pelangi, serta sesekali berdebat, Olva belum hadir, dia masih di Jakarta, masih belum bertemu dengan seseorang yang diam-diam mencintainya.

 

Selain hal itu, sebulan sekali kami disuruh membuat cerpen, dan dua minggu sekali disuruh membuat puisi. Pak Wawan sering berkata, “Bacalah karya sastra, karena akan memperhalus jiwamu.”

 

Kata anak-anak kelas tiga yang pernah diajar oleh pak Wawan, dulu novel wajib mereka adalah Bukan Pasar Malam (Paramoedya Ananta Toer), Burung-burung Manyar (Romo Mangunwijaya),Orang-orang Proyek (Ahmad Tohari), dan The Old and The Sea (Ernest Hamingway). Kata mereka, dari empat novel yang wajib dibeli dan dibaca dalam kurun waktu satu tahun, pak Wawan pasti akan menyelipkan satu buah novel karya satrawan asing.

 

Sekarang tibalah waktunya, seperti ketika membahas novel Laskar Pelangi, sekarang juga setiap murid harus berbicara, harus berani memberikan tanggapan dan mengungkapkan pendapat. Anak-anak yang namanya berinisial alphabet awal terlihat tenang saja, sebab kali ini pak Wawan mengacak nama semau dia, dan yang namanya dipanggil pertama kali adalah Dian, teman saya yang berkerudung.

 

“Silahkan Nak, bagaimana tanggapanmu terhadap novel Negeri 5 Menara?” Dian lalu berdiri, tapi tetap di tempatnya. “Menurut saya, ini adalah novel yang sangat bagus. Mantra Man Jadda Wajada yang dijalankan oleh si penulis sangat menawan. Siapa saja yang membaca novel ini, pasti akan dialiri oleh semangat yang lebih mencerahkan, ada motivasi yang menggigit, bahwa nasib buruk tidak akan pernah berpihak kepada orang-orang yang melebihkan usahanya, kepada orang-orang yang berusaha di atas rata-rata. Selain itu, novel ini juga seperti sebuah sikap perlawanan terhadap anggapan orang kebanyakan, yang seringkali menyepelekan lembaga pendidikan agama yang bernama pesantren. Ahmad Fuadi membuktikan bahwa alumni pesantren pun bisa bersaing, bisa bersosialisasi, dan yang lebih penting adalah bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya kira, itu yang saya tangkap dari novel ini.”

 

Kemudian Dian duduk kembali, dan pak Wawan memanggil nama yang lain untuk menyampaikan pendapatnya. Kesempatan kedua diberikan kepada Ajat, kawan saya sebangku, juga kawan saya dalam urusan mencuri buah milik bu Nina.

Ajat berdiri, teman-teman sekelas banyak yang tersenyum. Selama ini, kalau ada guru, Ajat dikenal sebagai siswa yang jarang berbicara di depan kelas. Hal tersebut bukan berarti dia pendiam, tapi dia malas berbicara secara formal.

 

Waktu berdiri, tangannya memegang bibir meja, kemudian dia mulai berbicara, “Euh…, kalau kata saya sih novel ini biasa saja.” Dian terlihat langsung memasang muka tidak setuju, tapi pak Wawan malah bertanya dengan nada penuh simpati dan ingin tahu, “Ini terdengar mantap sekali, coba jelaskan bung, bagaimana sampai bisa mengatakan bahwa novel ini biasa saja?”

 

Kemudian Ajat melanjutkan, “Jiwa dari novel ini hanyalah satu kalimat, yang tadi sempat disinggung oleh Dian, hanya kalimat Man jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Dan menurut saya, ungkapan tersebut tidak istimewa, bahkan sangat biasa. Bukankah setiap hari kita terbiasa dituntut untuk mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh? Orangtua kita, guru-guru kita, saudara-saudara kita, bahkan teman-teman kita pun seringkali mengungkapkan hal tersebut. Nenek saya sering bilang, “Sing soson-soson jang diajar teh, méh gancang pinter!” Jadi apanya yang istimewa? Tapi memang harus diakui bahwa semangat belajar keras yang ditulis oleh Ahmad Fuadi cukup bisa membangunkan siapa saja yang selama ini ditawan oleh malas atau siapa saja yang selama ini belajar dengan gaya minimalis alias alakadarnya.”

 

Dian langsung mengangkat tangan dan berdiri, dia kemudian mendebat pendapatnya Ajat. Pak wawan mempersilahkan, lalu kelas mulai menjadi ramai, karena ternyata Ajat pun tidak tinggal diam, dia bertahan dengan pendapatnya disertai argument-argument yang kuat. Anak-anak yang tadi sempat tersenyum karena meragukan Ajat, kini terlihat pucat, mereka menjadi ragu dengan pendapat mereka sendiri, mereka dibungkam dengan kenyataan.

 

Kalau saja pak Wawan tidak menengahi, debat pendapat antara Dian dan Ajat pasti tidak akan berakahir. Anak-anak yang lain kemudian secara bergantian dan acak dipanggil namanya dan disuruh menyampaikan pendapatnya masing-masing, tapi setelah “perseteruan” antara Dian dan Ajat, kelas tidak terlalu ramai karena tidak ada lagi perdebatan, sebelum akhirnya nama Olva dipanggil.

 

Semua sudah tahu, Olva pasti akan memberikan kejutan, dia diyakini akan menyampaikan pendapat yang tidak biasa, yang tidak sama dengan pendapat anak-anak yang cenderung seragam. “Silahkan Nak, sampaikan pendapatmu dengan lantang,” kata pak Wawan pada Olva, tapi kali ini tidak sambil dengan menepuk-nepuk bahu, beliau tetap duduk di kursinya yang berwarna coklat tua.

 

Olva berdiri dan mulai menyampaikan pendapatnya, dan pandangan saya lekat, tidak lepas dari dirinya, “Mengenai semangat dan pesan yang diusung oleh novel ini saya kira teman-teman sudah banyak yang membahasnya, oleh karena itu saya akan menyampaikan pendapat lain. Dalam novel ini penokohan yang ditulis oleh Ahmad Fuadi sangat menarik, dia membangun karakter tokoh-tokoh ceritanya dengan sangat jelas, tidak abu-abu, sehingga pembaca dapat mengingat dengan kuat mana tokoh A dan mana tokoh B, ini sangat membantu pembaca dalam memahami cerita dan menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebuah cerita, menurut saya, memang seharusnya seperti ini, seperti apa yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, harus jelas karakter setiap tokohnya, karena kalau ada yang karakter yang tidak kuat, maka cerita akan terasa buyar dan membingungkan.”

 

Seperti yang sudah diduga oleh semuanya, Olva keluar dari pembicaraan mayoritas yang dari tadi tidak beranjak dari pembahasan kalimat Man Jadda Wajada.

Entah kenapa, saya yang dari tadi lekat memandanginya, memandangi Olva, tiba-tiba diserbu oleh keinginana untuk mendebat pendapatnya, dan belum sempat saya menimbang, tiba-tiba saya sudah mengacungkan tangan sambil berdiri.

 

“Silahkan Bung, kata pak Wawan, yang artinya lampu hijau buat saya untuk mulai mendebat pendapat Olva.

 

“Apa yang diutarakan Olva adalah anggapan umum, pandangan apa yang seharusnya, tapi apakah setiap cerita harus seperti itu? Apakah harus membangun perbedaan karakter setiap tokohnya dengan jelas? Saya tidak setuju. Saya punya contoh nyata. Kakak saya punya kawan dua orang, semuanya laki-laki. Mereka berteman sangat dekat, dan mereka punya minat dan hobi yang sama, gaya bicara sama, wajah juga sama; sama-sama sederhana. Misalkan saja ada penulis hebat yang mau menuliskan kehidupan mereka bertiga dalam sebuah cerita, apakah kemudian cerita mereka menjadi membingungkan? Belum tentu bukan?”

 

Sebelum saya melanjutkan, Olva yang biasanya terlihat tenang, kali ini langsung berdiri dan mengacungkan tangan.

 

 “Silahkan Nak,” kata pak Wawan yang bertindak sebagai wasit.

 

“Maaf, kita sedang membicarakan novel Negeri 5 Menara, bukan cerita di luar buku ini, jadi kemungkinan-kemungkinan yang lain kita benamkan dulu. Saya hanya mengomentari tokoh Alif, Atang, Baso, dan kawan-kawannya, bukan kakakmu dan kawan-kawannya.”

 

Saya langsung berdiri lagi, dan tanpa menunggu pak Wawan mempersilahkan, saya langsung menyerang, “Justru karena kita sedang membicarakan Negeri 5 Menara, makanya saya mengungkapkan kemungkinan lain. Bukankah saya tidak harus menyanjung puja novel tersebut? Apakah tidak boleh ada kritik terhadap novel tersebut? Boleh kan? Nah, untuk menjelaskan apa yang saya tidak setuju dalam novel ini, yang kebetulan menurutmu adalah sisi menarik, makanya saya memberikan pembanding, memberikan contoh nyata, bahwa sebenarnya tidak semua cerita harus seperti itu.”

 

Olva tidak mau kalah, dia berdiri lagi dan juga tidak menunggu insyarat lampu hijau dari pak Wawan, “Hai Bung---mungkin karena emosi dia akhirnya berkata ‘Bung’---siapa yang melarang untuk mengkritik? Tidak pernah ada yang berkata bahwa pendapat kita harus sama, yang saya garis bawahi adalah karakter tokoh dalam cerita di buku ini sangat menarik, sangat membantu para pembacanya untuk memahami inti cerita, bukan soal adanya kemungkinan cerita lain dengan karakter tokoh yang seragam seperti yang bung ungkapkan.”

 

Saya tidak terima, dan langsung berdiri lagi. Selesai saya berbicara dia pun berdiri lagi dan terus terjadi perdebatan. Siang itu kelas menjadi saksi bahwa saya dan Olva berdebat dengan sengit. Pak Wawan memang wasit yang peka, sebelum menjadi debat kusir, beliau langsung menengahi dan memberikan kesempatan pada anak-anak yang lain untuk mengungkapkan pendapat mereka masing-masing.

 

Dan hari menjadi sangat siang setelah itu, matahari masih garang menyengat waktu akhirnya kelas bubar dan kami pulang. Kali itu kami, saya dan Olva, tidak satu mobil, kami naik angkot yang berbeda. Mobil berjalan di atas aspal yang berfatamorgana, debu di pinggir jalan beterbangan di tiup angin, langit gilang gemilang dan beberapa awan terlihat berarak, kemarau sedang berkuasa. Cuaca ini membuat saya teringat lagu yang akhir-akhir ini sering diputar bang Bisma, lagu The Monophones yang diputar waktu malam mulai merayap menjemput senja:

 

I'm standing here in the sky of july

With the blue and cloudy sky

With the land there's dry

The sun its burning all of the land

Turn the stone into the sand

Leave my world in pain

 

***

 

Ahmad Sumarjo namanya, tapi entah mulai kapan warga komplek memanggilnya hanya dengan panggilan Ajo, dan karena saya masih kelas dua SMP, sedang beliau sudah berusia sekira 50 tahun, maka saya memanggilnya pak Ajo.

 

Beliau adalah punggawa mesjid komplek. Jika ada anak yang bernasib malang, yang bapaknya terlalu sibuk mencari uang dan ibunya dijajah sinetron produksi dinasti Punjabi, sehingga anak tersebut tidak pernah punya kesempatan untuk belajar Iqro dan tajwid, maka beliau pun menjadi benteng moral cadangan bagi anak-anak malang tersebut.

 

Dulu waktu masih kelas dua SD, saya pernah diajar oleh beliau, tapi karena yang ngajinya terlalu banyak sementara pak Ajo tidak bisa difotocopy, maka kemudian bapak mengambil alih, saya akhirnya belajar Iqro di rumah bersama bapak.

 

Sekarang, ketika ilmu tajwid saya sudah lumayan jago, saya kembali belajar ke pak Ajo, belajar ilmu tajwid yang belum saya ketahui semuanya sambil mencoba menghafal Al qur’an yang bagi saya sangat sulit; sekarang hafal besok lupa. Kata bang Bisma, selama saya masih suka panen buah di rumah bu Nina, maka hafalan saya tidak akan maju-maju, tapi saya tidak mudah percaya, walaupun kepada kakak sendiri, maka saya tetap bersemangat kalau si Ajat mengajak ke sana, ke halaman rumah bu Nina yang ramai oleh pohon buah.

 

Sekarang pak Ajo sudah punya semacam asisten, dua orang pula, laki-laki dan perempuan, mereka adalah kak Ina dan bang Muhidin. Kedua orang asisten pak Ajo tersebut adalah kawannya para penguasa warung kopi. Tempo hari, waktu bang Bisma, bang Joni, dan bang Erlan datang ke kostannya kak Ina, mereka ternyata mengajak kak Ina untuk bergabung ke dalam gerakan semesta mereka.

 

Saya masih ingat pembicaraan mereka di warung kopi, waktu bang Erlan bingung mencari orang yang akan bergerak di lini keagamaan, rupanya orang yang mereka cari itu sekarang sudah ada, dialah kak Ina dan bang Muhidin, kawannya kak Ina. Aroma yang menguap dari wajah kak Ina dan bang Muhidin tak lain adalah aroma orang-orang baik. Kehadiran mereka setiap ba’da maghrib sangat membantu pak Ajo yang sering kewalahan mengajar anak-anak yang cukup banyak dan sering susah tertib.

 

Anak-anak yang masih belajar Iqro sekarang ditangani oleh kak Ina dan bang Muhidin, kak Ina mengajar anak perempuan dan bang Muhidin mengajar anak laki-laki, mereka sekarang dipisah. Sementara anak-anak yang belajar tajwid tetap ditangani oleh pak Ajo, termasuk saya.

 

Setiap selesai mengaji, sambil menunggu waktu sholat isya, bang Muhidin pasti bercerita tentang sahabat-sahabat Rasulullah yang berjuang demi Islam. Saya sering bergabung untuk mendengarkan ceritanya, karena cara bang Muhidin menuturkan riwayat-riwayat tersebut amat berkesan, sehingga membuat anak-anak betah, termasuk saya. Bahkan kadang-kadang saya berharap agar waktu isya tidak cepat datang karena akan menghentikan cerita bang Muhidin. Saya yakin gaya bang Muhidin lebih menarik daripada gaya bang Bisma yang sering mendongeng di lapangan komplek dengan topeng Gorgomnya.

 

Saya paling terkesan dengan cerita bang Muhidin tentang sahabat Rasulullah yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Abdullah terlahir dalam keadaan buta, maka ibunya bergelar Ummi Maktum (ibunya orang buta). Suatu hari ketika Rasullullah sedang berdialog dengan pemimpin-pemimpin suku Quraisy, dengan harapan pemimpin-pemimpin suku Quraisy itu masuk Islam, dengan sungguh-sungguh tiba-tiba Abdullah minta dibacakan ayat-ayat Al Qur’an. Kata Abdullah, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”

 

Rasulullah tidak memperdulikan permintaan Abdullah, lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy. Setelah Rasulullah selesai berbicara dengan mereka dan bermaksud pulang, maka turunlah wahyu:

 

“Dia bermuka masam dan berpaling karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya atau dia mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yg merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri. Adapun orang yang datang kepadamu degan bergegas sedangkan ia takut kepada Allah maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yg menghendaki tentulah ia memperbaikinya. Terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan yang ditinggikan lagi disucikan di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa : 1-16)

 

Riwayat tersebut sering membuat saya menjadi merasa tidak enak ketika malas untuk belajar mulai menyerang, saya sering membayangkan bagaimana Abdullah yang tidak bisa melihat tapi semangatnya untuk belajar begitu tinggi.

 

“Kalian yang kondisi fisiknya sempurna, bisa melihat dengan baik, jangan sampai malas belajar. Contohlah Abdullah bin Ummi Maktum, walaupun beliau matanya buta, tapi hatinya tidak buta, semangat belajarnya harus kalian tiru,” begitu kata bang Muhidin. Tapi waktu itu, waktu bang Muhidin bercerita mengenai riwayat Abdullah bin Ummi Maktum, kawan saya si Ajat, team leader aksi panen buah, tidak ikut hadir. [ ]

 


itp, 3/3/11

No comments: