Dia tiba sekira jam setengah delapan malam. Dan mula-mula
yang ditanyakan Kang Sastro waktu dia datang ke Bandung bukanlah kantong
literasi, tapi tempat ngopi yang enak. Saya teringat sebuah tempat di sekitar Dipati
Ukur, tempat anak-anak muda betah berlama-lama nongkrong sambil berbicara
banyak yang isinya entah tentang apa, tapi saya tak bawa dia ke sana. Saya
hanya pergi ke warung sebelah kontrakan dan membeli empat sachet kopi hitam
serta dua bungkus rokok. Dia setuju saja saya bawa duduk di balkon, “ini saya
kira tempat yang bagus buat ngobrol.” Kang Sastro melihat ke langit, mencari
bulan, dia dapati hanya sepotong. “Bung tak sekalian beli kue?,” rupanya dia kasihan
melihat dua gelas kopi tanpa berkawan dengan yang bisa mengganjal perut dari
serbuan angin malam. Saya balik tanya, “Loh, saya kira Kang Sastro bawa
bakpia?.” Dia keluarkan tiga lembar sepuluh ribuan, “lupa, Bung belilah dulu
martabak keju di bawah, biar saya menunggu di sini.” Siwalan. Tapi apa boleh
bikin, tamu harus dimuliakan, meskipun hanya dengan menuruti kemauannya. Setengah
jam berselang saya sudah duduk lagi di sebelahnya.
Dia ini kawan lama, hanya baru sekarang bisa bertemu
langsung, selebihnya adalah diskusi di jejaring sosial yang sudah almarhum;
Multiply. Dia guru saya yang kedua setelah Muhidin, dan sekali ini dunia boleh
dibilang sempit, nyatanya Kang Sastro ini adalah kawannya Muhidin di industri rumahan
perbukuan Yogyakarta. Tulisannya melimpah, meskipun belum sebiji buku pun dia
punya. Bukan tak mau dan tak mampu untuk menerbitkan buku, tapi dia ingin batu
tapal itu dimulai dari pernikahannya.
Begini sekuplet alasannya, “Aing mau bikin buku buat
souvenir pernikahan. Bung tahu, gantungan kunci, gelas, patung kecil, kipas
absurd, dan semua souvenir mainstream itu tidak terlalu mampu memprovokasi
kenangan. Lagi pula alangkah tidak bersopan-santun jika aing tidak bikin buku
di hari perbatasan itu.” Dan alasan dia datang ke Bandung adalah meminta saya
untuk berduet dalam proyek tersebut. “Kang Sastro ini absurd betul, buat apa
saya dibawa-bawa segala dalam proyek ini, saya kira ini bukan ide bagus,
tulisan saya hanya akan mengurangi estetika buku saja.” Martabak keju masih
menyumpal mulutnya sehingga dia belum bisa menjawab. Lalu sisa manis yang
menggigit di kerongkongan didorongnya dengan kopi. Segera membakar rokok dan
menghembuskan asapnya ke udara Bandung utara yang selalu dingin. Lalu sederhana
pula jawabannya, “sebaik-baik orang adalah yang memberi pekerjaan kepada
pengangguran.”
Memang sudah sebulan ini saya tuna pekerjaan. Semenjak
ladang mencangkul semakin meresahkan hati, pada akhirnya saya tinggalkan
Pulogadung dan bermukim di Bandung, di kota yang kata Pidi : “Inilah Bandung,
Tuan. Bagi aku, Bandung bukan cuma masalah geografis, tetapi juga menyangkut
perasaan.” Kerja sehari-hari hanya mengkronik dan membaca buku, lalu
sekali-kali ikut nonton tv di kamar tetangga jika Persib main. Rupanya alasan
ini yang membuat Kang Sastro berbaik hati mengajak saya terlibat dalam proyek
personalnya.
Sejujurnya saya merasa tidak enak hati, siapalah saya ini
jika dibandingkan dengan dia yang tiap hari bergelut dan berdarah-darah dalam
dunia perbukuan, tulisannya pun jauh di atas saya; kualitas sekaligus
kuantitas. Ini adalah semacam ajakan guru kepada muridnya dalam proyek di
simpang hidup sang guru yang sangat menentukan. Saya pun kesulitan menakar,
apakah ini rendah hati atau minder. Tapi Kang Sastro kukuh. Dia bilang, “bantuan
aing Bung, jangan banyak pertimbangan.” Tentu ini juga sekaligus sebuah
kehormatan bagi saya bisa membantu guru kedua ini. Dia melanjutkan, “boleh
cerpen atau esai, asal jangan kumpulan kicauan di twitter.”
Dia minta saya menulis limabelas tulisan dengan judul yang
berbeda. Dan dia sendiri, juga akan menulis limabelas tulisan, jika digabungkan
jumlahnya akan menunjukkan usia dia waktu nanti merebut anak perempuan orang
dari tangan bapaknya. Temanya apa kira-kira?, bebas dia bilang. “Sejauh tidak
membawa-bawa resonansi Eyang Subur dan orang-orang yang menjadi objek indutri
tv, kau tulislah semaumu.” Kalau sepakbola?, “bolehlah itu, selain karena aing
juga bobotoh, sepakbola adalah passion saya sejak kecil.” Lalu pembicaraan
perlahan bergulir menjauh dari proyek personal tersebut.
Kampung halaman Kang Sastro akhir-akhir ini dilanda musibah.
Pergeseran tanah menggoyang Majalengka. Rumah dia aman. Tapi do’a mah kerap
saya panjatkan, katanya. Selepas kuliah dia mengabdikan hidupnya di dunia
perbukuan. Kerap menyunting atau juga kerja-kerja lainnya yang masih berkaitan.
Di blog, tulisan-tulisannya kerap dibedaki paragraf-paragraf puisi, tapi dia
menolak disebut penyair. “Aing mah masih belajar,” katanya sambil menyulut
rokok entah batang yang ke berapa, saya tidak menghitungnya.
Sebanyak apapun pembicaraan yang kami hamburkan, tapi dia
tak hendak membahas perempuannya. Ihwal ini saya tanyakan karena untuk keperluan
bahan sumber tulisan yang akan saya buat. Setidaknya dengan begitu saya bisa mengambil
latar, atau karakter yang bisa mendekati. “Tentu saya percaya, Bung ini bukan
antek-antek Ilham Bintang yang doyan membikin polusi privasi rumahtangga
orang,” perkataannya ini pahit betul, tapi juga sekaligus mengundang senyum.
Hanya satu informasi yang mau dia katakan : perempuannya buruh di pabrik tekstil.
Kang Sastro memang tidak membawa bakpia, tapi dia tak lupa
membawa titipan saya; beberapa eksemplar harian Kedaulatan Rakyat, koran nomor
wahid di Yogyakarta. Edisinya berlain-lainan. Saya ingin tahu bagaimana
redaktur harian itu menulis dan memilih warta. Ada juga beberapa artikel yang
hendak saya kronik, lumayan menambah sumber yang sejauh ini didominasi oleh
Kompas dan Pikiran Rakyat. Ihwal minat ini, seperti juga kepada buku, diprovokasi
oleh Muhidin yang bergiat di @radiobuku dan @warungarsip. Tentu, Kang Sastro
juga paham belaka dengan kegiatan ini, sebab sudah saya bilang, dia adalah
kawannya Muhidin.
Apa yang dilakukan Muhidin dan kawan-kawannya di Yogya,
tentu lebih besar, lebih gigantik dari apa yang saya mulai kerjakan. Mereka
mengkronik bahkan dari sumber sekelas Medan Priyayi, koran yang terbit di tahun
1800-an, yang dimotori oleh Tirto Adi Suryo, seorang tokoh pribumi yang
menggulirkan arus pergerakan mula-mula dalam menggugat kolonialisme. Tokoh yang
kemudian dicangkok Pram ke dalam diri Minke dalam Tetralogi Buru yang kesohor
itu. Bahkan mereka pun pernah melacak jejak pers nasional dalam tajuk Seabad
Pers Kebangsaan yang melibatkan @zenrs, seorang esais muda yang
tulisan-tulisannya kuat, lincah, dan lihai dalam beradu argumen, seorang
pemilik akun twitter yang kicauannya akhir-akhir ini kerap saya baca.
“Siapa?, Zen?, Zen Rahmat Sugito, bukan?,” dan saya
mengiyakan. “Hahaha…., dia mah atuh kawan aing waktu kuliah.” Duhai, sesempit
inikah dunia?. Asap rerak berhamburan dari rokok yang kami bakar. Lalu
pembicaraan mengenai arsip bergulir dengan dibumbui martabak keju yang masih
tersisa.
Dia bilang bahwa di film Everything is illuminated yang
bersetting kota perdikan Ukraina, Lutsk, ada satu dialog pendek yang memerikan
tentang pentingnya arsip. Dialog itu antara Jonathan Foer, seorang arsiparis
sejarah keluarga berusia belia dengan Alex seorang pemandu wisata.
Alex : “Kenapa kamu
mengoleksi benda-benda itu?”
Jonathan : “Karena aku takut, aku akan lupa.”
Dalam rangka menjaga semangat dalam mengkronik, tak lupa saya
membaca juga beberapa artikel Muhidin tentang arsip yang dimuat di beberapa
harian nasional. Di Jawa Pos edisi Jumat, 29 Juni 2012, Muhidin menulis tentang
bobroknya kesadaran arsip para pemangku olahraga terutama sepakbola. Jika
sastra punya Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin, sementara film punya Pusat
Dokumentasi dan Informasi Perfilman (Sinematek), serta dunia senirupa
kontemporer punya Indonesia Visual Art Archieve (IVAA), dunia sepakbola kita malah
teledor dan mampus seperti prestasinya. Ya, dunia sepakbola nasional tak
mempunyai Pusat Dokumentasi Sepakbola Indonesia yang berwibawa. Maka tak heran
jika sejarawan Freek Colombijn berujar, sepakbola Indonesia itu memang anomali
lantaran negeri ini punya 250 juta penduduk yang nyaris semuanya penggila bola,
tapi segelintir kecil saja ilmuwan sosial yang menulisnya.
Sementara di Jawa Pos edisi 6 Mei 2012, Muhidin menulis
tentang arsip personal yang dikerjakan dengan gayeng dan penuh minat pada
akhirnya akan menjadi arsip nasional, seperti yang dilakukan oleh DR. Melani W
Setiawan yang pada bulan April 2012 bertempat di Galeri Nasional Jakarta secara
resmi mengumumkan kepada publik senirupa arsip personalnya yang berjumlah besar
dalam rentang waktu 4 dekade.
Kang Sastro diam saja sambil takzim menghisap rokok waktu
saya ceritakan mengenai artikel-artikel tersebut. Mungkin dalam benaknya
menggema, “Kau baru membaca tulisan si Muhidin itu?, aing sudah lebih dulu
khatam!.”
Saya sambung lagi. Di Koran Tempo edisi 20 April 2012,
lagi-lagi Muhidin menulis, sekali ini dengan aroma yang penuh geram. Dalam tulisannya
yang berjudul Pengarsipan Total dia menulis, “Kegairahan itu bisa menjadi
gerakan nasional yang utuh dan sistemik, seperti yang terjadi di Kanada, jika
negara memiliki visi besar : Arsip Total. Pengertian ‘Arsip Total’ di sini
adalah ikhtiar nasional menyatukan seluruh kerja kearsipan dari semua lini
kebangsaan; mulai dari pemerintah, swasta, hingga ke ranah individu-individu. Ini
butuh dana besar tentu saja. Mengharapkan hari-hari ini pemerintah mengeluarkan
dana tanpa batas untuk proyek ‘politik arsip’ juga imaji keterlaluan. Tapi
dengan ‘cinta-buta’ yang keras kepala ini kita tak bosan-bosan ingatkan
pemangku negara soal pentingnya ‘politik arsip’ dengan meminjam kutipan penulis
seni Chistine Cocca (2012 : 12) ihwal kebijakan arsip Hindia Belanda yang
menjajah kita selama ‘350’ tahun.”
Di ujung tulisannya dia menegaskan, “Ketika pemerintah
mengeluarkan dana triliunan untuk sensus penduduk, mengapa tak berpikir efisien
dan jangka panjang menggaet komunitas semacam Combine Resources Yogya dan
‘siswa-siswa’ Ono W. Purbo yang pintar-pintar untuk melatih karangtaruna
membuat arsip desa berbasis digital. Arsip desa itu tak hanya berguna untuk
sensus, tapi untuk segala hal yang terkait dengan usaha ‘penyejahteraan’ warga.
Dan yang pasti, data yang dikelola oleh warga sendiri lebih akurat ketimbang
data yang dibikin pemerintah pusat lewat ‘relawan-relawan’ musiman bayarannya.”
“Gak sia-sia atuh aing bawa Kedaulatan Rakyat, ya?”. Tak
saya jawab. Kini asap rokok saya yang berhamburan. Bandung telah membuat kopi
menjadi dingin dan tetap enak sampai tegukan terakhir. Di bawah bunyi-bunyian
tukang nasi goreng, tukang sate, dan peluit bambu tukang kue putu sudah lenyap.
Itu tandanya malam semakin bergegas mendekati dinihari. Kang Sastro kini yang
berbicara. Dengan semangat yang bergelumbang-gelumbang dia bercerita tentang
‘pertempuran’ di sosial media. Sekali waktu dia pernah diserang di facebook. Sang
raider mengusik eksistensi kedirian wilayah ladang penghidupannya. Secara tidak
langsung Kang Sastro dan kolega-koleganya yang bergelut di industri perbukuan
disebut tengah menggali kubur sendiri. Divonis sedang khidmat berharakiri. Maka
dengan emosi yang menjompak Kang Sastro melakukan agitasi personal. Sebuah
tulisan gahar dia rilis, dia muntah di kanal kata-kata.
Tiba-tiba Einstein datang. Berbicara tentang waktu. Lalu
pergi. Ya, ketika Kang Sastro menghabiskan martabak keju potong terkahir, di
tempat lain mungkin tukang mie rebus sedang memotong-motong cabe rawit untuk
ditaburkan di menu si pemesan. Atau mungkin ada juga sepasang kekasih LDR yang
tengah menghabiskan pulsa dan bercinta di luar angkasa. Waktu tidak pernah
mengerjakan dua hal berbeda pada orang yang sama secara berbarengan. Dia sangat
tertib merawat riwayat yang bergulir dari makhluk yang denyut nadinya belum
berakhir.
Ah, dan ini Mei, Kang
Sastro juga bersemangat membicarakan peristiwa 1998, meskipun di tahun itu dia
dan saya masih sama-sama duduk di bangku SMA tahun permulaan, dia lebih tua
tiga bulan dari saya. Malam terus beranjak, dan waktu seperti tunduk kepada
teori Einstein. Martabak keju dan kopi sudah tandas, meskipun rokok masih
tersisa beberapa batang. Mei juga seperti sengaja membuat saya teringat kembali
kepada Thukul, penyair kerempeng asal Solo yang hilang di pusaran kerusuhan. Sebuah
puisinya lalu saya niatkan untuk menjadi kata pembuka di buku pernikahan Kang
Sastro :
"Anjing nyalak
Lampuku padam
Aku nelentang
sendirian
Kepala di bantal
Pikiran menerawang
Membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak
lebih dua ratus rupiah per jam)
Kukibaskan pikiran tadi dalam
gelap makin pekat
Aku ini penyair miskin
Tapi kekasihku cinta
Cinta menuntun kami ke masa
depan…."
uwa, mei '13
No comments:
Post a Comment