Oleh : Ade Maruf
Status
di Facebook bisa bermakna apa pun. Ini jagat maya, siapa pun bisa
menulis (lihat: “menulis”, bukan “berkata”) apa pun. Kita bahkan boleh
memajang gambar anak usia sekolah dasar sedang senggama, asli ataupun
moda kreasi-duplikasi ala Photoshop, di tampilan situs jejaring sosial
ini. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masihlah
perlu sosialisasi, dan kita boleh sedikit memanfaatkan celahnya untuk
bersenang-senang.
Lanturan awal saya itu sengaja saya
ungkapkan karena saya merasa aneh dengan respons tidak langsung yang
disampaikan oleh seorang teman—setidaknya “teman” karena saya menaruhnya
di friendlist— ketika pada suatu hari saya menulis sesuatu di status
saya. Waktu itu suasana hati saya sedang senang karena profesi saya
sebagai pekerja di industri buku telah membuat saya bisa hidup dalam
kadar yang cukup.
Sang teman ini kemudian menulis
respons tidak langsung terhadap saya. Saya sebut “tidak langsung” karena
dia justru menulis di statusnya, bukan mengomentari status saya. Maka
muncullah status dia di halaman Facebook saya, intinya dia menyebutkan
bahwa profesi yang saya, juga dalam hal ini banyak kawan-kawan
partikelir buku, jalani hanyalah menggali kubur sendiri.
Mungkin
dia sedang merasa menjadi Jucelino, Nostrodamus, atau Ronggowarsito.
Mungkin dia tengah sibuk belajar meniup terompet Israfil hanya untuk
mengingatkan saya bahwa ujung hari berada di tangannya. Atau
jangan-jangan dia sedang kursus bahasa Indonesia sehingga repot memakai
peribahasa sekadar demi menjewer saya yang berlatar belakang profesi
yang serupa tapi tak sama dengan dia.
Saya mungkin
suudzan terhadapnya. Bisa jadi dia tak bermaksud merespons status saya.
Tapi, taruhlah saya berdosa karena suudzan, maka saya tetap merasa perlu
berkomentar balik terhadapnya. Saya segera mengepalkan tangan ke
angkasa dan memberikan cangkul justru kepadanya: “Anda justru akan mati
duluan, Tuan Sastro!”
Orang-orang menjalani hidup dalam
lokus kegemaran masing-masing. Setiap orang memilih bertahan hidup di
belantara Indonesia nan kejam ini dengan ransel dan ransum
sendiri-sendiri. Masing-masing orang harus berperang dengan senjata yang
paling dekat pada jangkauan tangan serta kemampuannya. Maksud saya,
siapa pun tak mungkin selamat dengan kehidupannya tanpa pernah tahu apa
yang harus dilakukannya.
Zeus tak pernah sepenuhnya
bisa mengendalikan Hercules, walau Hera adalah istri dan ibu yang tak
bisa ditolak risalahnya oleh mereka. Isis akan selalu berpundak Horus,
walau banyak jenis burung lain yang bisa saja bertengger di pundak sang
dewi pagan. Rel hidup seseorang memang tidak sepasti matahari yang
terbit pagi dan balik petang. Jalan hidup seseorang lebih mirip
doorprize ala panitia lomba sepeda gembira: susah ditebak siapa
pemenangnya.
Itulah sebabnya Kuda Troya menjadi siasat
nan luar biasa setelah anak panah, pedang, tameng, dan baju zirah
dianggap kurang sigap memenangi peperangan. Itulah mengapa Johan Untung
di tahun 80-an rela memelihara kumis setebal ulat bulu seukuran dua ibu
jari demi pencitraan publik bahwa Si Johan adalah penyanyi yang bisa
menirukan suara siapa pun.
Life is a battle, bahkan
tukang siomay pun memahami hal tersebut. Saya menempatkan hidup sebagai
palagan. Untuk menyadari hal itu, saya merasa tak perlu merujuk pada
diagnosis Marxis ortodoks tentang negasi buruh kontra majikan. Saya
menaruh konteks pekerjaan sebagai perjuangan, tanpa harus mengeja
catatan kaki seperti keyakinan kaum Wahabbi tentang negasi khilafah
versus demokrasi.
Saya pikir, bangku sekolahan mengajarkan
soal kompetisi yang higienis, tapi saya lebih memahaminya sebagai bahasa
lain dari kenyataan bahwa kaum tetua kita sudah sejak awal
mengingatkan: “Ini dunia, Nak. Onak beranak pinak, hambatan hidup
meruyak. Bersiaplah kau untuk menghadapinya. Menanglah dengan caramu.
Kalaupun kalah, terimalah biasa saja.”
Jadi, kalau ayah
Anda adalah penjual obat palsu di pasar kecamatan, maka berbanggalah
karena ayah Anda bukan pemilik pabrik ekstasi. Jika ibu Anda adalah
pengepul rongsokan yang kadang-kadang mencuri sandal jepit milik orang,
maka berbahagialah karena ibu Anda bukan sosialita yang sibuk arisan
dengan uang hasil korupsi yang dilakukan suaminya.
Kalau
Anda bisa sebangga dan sebahagia itu, berarti Anda paham bahwa “dosa”
dan “kesalahan” memiliki kadar serta tingkatan yang tak sepadan. Maksud
saya, tak semua hal di dunia ini melulu mesti dihujat dan disesali.
Kalaupun ada yang Anda anggap kurang memuaskan, anggaplah saja sebagai
kesialan. Dan sial adalah perkara yang bersahaja, tidak sama seramnya
dengan komik yang menceritakan siksa neraka.
Saya tak
sangat pintar dibanding kawan-kawan saya yang berada di jaringan
industri perbukuan di Tanah Mataram: penerbit, penulis, penerjemah,
percetakan, distributor, toko buku, dan seterusnya. Saya juga pernah
berada di titik paling menjengkelkan dalam pilihan profesi sebagai
pabrik buku.
Saya senang berada di arena bisnis barang bacaan
yang kalah meriah dengan bisnis Kacang Garuda ini. Saya betah menggumuli
kapitalisasi atas buku dalam kalkulasi yang paling masuk akal dibanding
bisnis janji-janji ala investasi Bank Century. Dan senang itu mempunyai
arti yang beragam. Dan betah itu memiliki makna yang tidak tunggal.
Kalau
Anda pengusaha superkaya, memiliki harta yang membuat Anda mampu
membeli negara-negara di Karibia, juga disembah oleh cantrik-cantrik
yang bermuka palsu di hadapan Anda karena puas dengan besaran gaji
mereka, lantas Anda menjadi bagian dari batalion elite selebriti bisnis
tingkat Nusantara, maka saya pikir hidup Anda tak berkaitan dengan saya.
Kalaupun ada kaitannya, mungkin itu hanya karena pada suatu hari saya
bertemu Anda di jalan raya dan membantu Anda mencari tukang tambal ban
untuk menambal Lamborghini tunggangan Anda yang dihunjam paku.
Kalau
saya setiap hari mengerjakan buku, lalu menjualnya melalui jejaring
rumit yang kadang-kadang sarat dengan gaya makelaran, sedangkan Anda
adalah mahasiswa diploma tiga nan kere yang kerap menunggak uang kuliah,
maka hidup saya tak berkaitan dengan Anda. Kalaupun ada kaitannya,
mungkin itu hanya ketika kita bertemu di warung makan, memesan ikan
bakar yang sama, dan meminum es jeruk yang tak beda kecutnya.
Diskusi
adalah hal yang berbeda dengan poligami. Siapa pun bisa menyatakan apa
pun dalam sebuah diskusi, tanpa perlu sangat meyakini kebenaran
pernyataan dirinya ataupun orang lain. Lagi pula, kebenaran itu sebangsa
hantu yang suka kencing sembarangan. Kebenaran sering kali merupakan
ketidakjelasan. Sedangkan poligami adalah “kebingungan” yang
memverifikasi diri sebagai “kecintaan”. Jadi, Anda tak mungkin berhak
membenamkan kepala saya ke pasir penghisap hanya untuk meyakinkan saya
agar menyetujui keyakinan Anda. Sama halnya dengan haramnya saya jika
memaksa Anda menjadi makmum atas keimanan saya.
Anda
menyukai Green Day sejak Dookie, sedangkan saya menghamba The Clash
karena London Calling. Saya memilih Steve McQueen ketika Anda membela
Johnny Depp. Anda memungut Pablo Neruda dan saya memamah Al Chaidar.
Sama saja, bukan?.
Saya menyesalkan
ayah saya yang pernah ikut pagar betis mengepung Darul Islam di gunung
sekitar Kuningan, sementara Anda mengagumi barisan pemuda radikal
pasca-Gestapu. Namun perbedaan itu bukan berarti saya adalah pendukung
NII dan Anda pembela PKI.
Diferensiasi adalah sesuatu
yang lebih dekat dengan komparasi, tapi berbeda dengan kompetisi.
Artinya, jika saya dan Anda berbeda, begitulah faktanya, tapi tidak
berarti kita saling melakkan agresi. Yang bermain bukanlah telunjuk,
melainkan ibu jari. Muaranya: You’re OK, so I’m fine.
Dari
tiga orang yang saya temui dalam rentang nine-to-five waktu kerja
harian di tengah kepadatan bisnis buku, misalnya, tak satu pun rekan
yang setahu saya berniat harakiri karena frustrasi. Benar bahwa keluhan,
jumlah keringat yang kebanyakan, dan kompensasi atas hasil kerja yang
belum seimbang, sering kali membuat mereka, juga saya, merasa kelelahan.
Tapi, seperti kata ibu tua pemilik rumah kontrakan saya, “Nyambut gawe
kuwi sing sabar, Mas.”
OMG, terima kasih atas semangat
yang selalu tampak. Karena siang hari saya lebih banyak jalan-jalan,
maka malam adalah waktu saya untuk mengerjakan tulisan dan terbitan.
Nawaitu saya dalam hal profesi ini bersanding lunak dengan kuping saya
yang banyak dihajar peringatan tentang sejumlah kewajiban: bahwa saya
punya keluarga, bahwa saya punya anak, bahwa saya punya hutang cetak,
bahwa saya harus bekerja keras.
Dalam lorong kesadaran
yang serupa, malam hari bagi saya adalah saat yang sama untuk menekan
tombol volume speaker ke derajat medium demi Lamb Of God, juga menonton
unduhan Flight 666: Iron Maiden saat rehat dari tangan yang terus
berkawan dengan notebook. Saya senang mengerjakan buku tanpa membuang
kesukaan saya pada lelucon satanik musik keras khas Kabbalis.
Suudzan
saya pada status teman saya di Facebook bahwa dia melakukan invasi atas
pekerjaan yang saya lakukan, akhirnya saya anggap kesalahan. Mungkin
saja dia tak bermaksud seperti dugaan saya. Mungkin saja dia tak
berkaitan dengan saya. Lalu kenapa saya diam-diam harus repot menjadi
fasis-dadakan dengan menilainya sebagai tersangka perusuh kebun sayuran
milik saya?
Namun ternyata saya tetap menekan tombol
keyboard, membuka friendlist, dan nama dia saya remove. Saya
melakukannya bukan karena saya kesal atas cara dia berkomentar, tetapi
karena ingatan saya atas sosok dia dan pengalaman buruk yang saya alami
dengannya di masa lampau. Jika saya lalu bertemu dengan Abidin Bin
Jalil, teman SMP saya, dan dia bertanya, “Kenapa?”, maka jawaban saya
adalah: “Males, euy!”
Saya alhamdulillah tidak menjadi
bagian dari fakta bahwa sejumlah orang yang mengais rezeki di bisnis
buku adalah mereka yang akrab dengan scanner dan rental komputer.
Syukurlah saya bukan penumpang di gerbong para penulis dan penerbit
klepto-konten yang menyimpan celengan jago berisi rupiah berjuta-juta
dari hasil proyek mencontek luar biasa.
Andai saya
seperti mereka, barulah teman yang menulis status di Facebook itu
menemukan relevansinya dengan diri saya. Tapi nyatanya saya tidak,
itulah sebabnya kami perang suudzan: dia menduga saya, saya menerka dia.
Ternyata kami sama-sama keliru.
Bisnis saya, juga
kawan-kawan pelaku buku di kota penghasil Traktat Giyanti ini, bukanlah
semacam korporasi literasi lokal nan besar seperti milik Jakob Utama.
Kami entah kapan bisa membangun saluran pipa kejayaan sebagaimana
kilang-kilang minyak kepunyaan Medco dan Prabowo Subianto di Kazakhstan.
Ah, tak banyak lingkup profit dan skala pendapatan kami dibanding
mereka, setidaknya untuk saat ini. Namun kami bertawakal menjalaninya.
Benar
bahwa tak setiap isi kepala di antara kami bersepakat dengan idealitas
sinkretisme produk bernama buku. Jangankan pabrik buku skala medioker
macam kami, bahkan industri rumahan jamu tradisional ala Banyumasan pun
tidak selalu seragam dalam meracik bahan baku. Jadi, saya tak menafikan
bahwa penduduk Indonesia yang membeli lalu membaca buku sambil minum
jamu mungkin saja akan muntah keracunan. Maksud saya, produk apa pun tak
semuanya menyehatkan badan dan pikiran.
Saya tahu
perniagaan barang bacaan memiliki demarkasi yang lebih tegas dibanding
ijab konsinyasi untuk produk semisal Indomie. Kawan-kawan pengurus IKAPI
dan para penggiat gerakan literasi menyebut marka tersebut sebagai
“peningkatan minat baca”, “buku bermutu”, “masyarakat cerdas”, and any
type shit of that. Entah berapa biji bola mata para pemilik pabrik buku
yang selalu mengingat marka tersebut. Mungkin justru lebih banyak yang
mengenangnya sebagai kampanye non-profit atas nama hukum, moral, masa
depan, bangsa, dan negara. “Ah, kami sih berdagang saja,” kata para
saudagar buku itu.
Saya akan berhenti menulis di
paragraf ini. Jika setengah jam sesudah titik terakhir tulisan saya
tiba-tiba saya bertemu dengan seorang kawan pemilik pabrik buku, maka
saya akan mengatakan: “Jangan ikuti Legenda 47 Ronin. Mari kita
selesaikan digram kombinasi dagang dan kesenangan.”
Lalu,
jika lima menit kemudian saya berpapasan dengan seorang kawan penulis
buku yang namanya tak pernah tercantum dalam deret hitung dan deret ukur
kreator kebudayaan di negeri ini, maka saya akan berkata: “Jangan
lanjutkan keimanan pada scanner. Rak-rak di toko buku masih bisa
menunggumu untuk membuat sesuatu yang melebihi daya juang seorang copet
di pasar malam.”
Tuan Sastro, semoga Anda terus
berkarya di dunia yang tak saya pahami arogansinya. Kami akan tetap
berada di sini, membangun rumah-aman yang menyenangkan pasca-banjir
bandang teori-teori kebudayaan khas dunia perbukuan. Anda tak perlu
khawatir karena saya tahu masih banyak kawan yang memiliki kesadaran
tentang peradaban bacaan. Juga masih banyak teman yang mampu membedakan
cara membuat barang layak dan barang apak.
Setelah ini, saya harap kita tak lagi saling suudzan.
* Ade Maruf adalah penulis buku Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1999-2004
* Dinukil dari Note Facebook Ade Maruf pada 3 September 2009 dengan judul asli: “Ini Profesi, Bukan Proyek Harakiri”
[ Disalin dari web kronik indonesiabuku.com ]