24 August 2020

Ketika Ajip Rosidi Memelihara Itik


Oleh: Dadan Sutisna

Kang Ajip akhirnya mengubur "meri" (itik) itu di awal tahun 2017. Saya ikut berduka, juga merasa berdosa atas hilangnya sesuatu yang ia pelihara sejak tahun 1995. "Akang geus teu sanggup marabanana," ucapnya kala itu.

Selama hampir seperempat abad Kang Ajip "ngukut Tapak Meri" (memelihara jejak itik), yaitu catatan harian yang ia tulis dalam bahasa Sunda. Ini bukan cacatan asal-asalan. Dari judulnya saja bisa membikin kerung. Kang Ajip mengutip istilah "Tapak Meri" tersebut dari juru pantun Atjéng Tamadipura: 

Tapak meri dina leuwi

Galeuh kangkung awi bitung

Sanyataning suwung

 

(Jejak itik di lubuk

Isi kangkung bambu betung

Senyatanya tiada)

Di dalam "Pancakaki", Kang Ajip mengartikannya sebagai sesuai yang kosong, tak berbekas, dari tiada ke tiada. Ungkapan ini terkadang dikaitkan dengan kehidupan manusia Sunda di masa lampau. Para karuhun Sunda nyaris tak meninggalkan jejak sehingga rundayan-nya kesulitan melacak sejarah. Tapi itu hanya masalah tafsir.

Melalui catatan harian "Tapak Meri", Kang Ajip seolah-olah menyodorkan antitésis terhadap ucapan sang juru pantun. Hidup mémang harus punya jejak. Mesti ada titilar yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya, dan Kang Ajip sudah menunjukkannya.

Saya kira, banyak yang telah mendengar kisah "Tapak Meri" ini, tapi mungkin belum ada yang membacanya secara utuh. Beberapa petikannya pernah dimuat di majalah "Manglé". Lalu pada tahun 2018, dua jilid "Tapak Meri" diterbitkan bertepatan dengan 80 tahun Kang Ajip. Satu jilid lagi menyusul pada awal tahun 2020. Ketiga jilid ini dipilih dan disunting oléh Abdullah Mustappa. Namun, itu baru secuil dari perjalanan "sang meri".

Membaca keseluruhan "Tapak Meri" mémang butuh persiapan ékstra. Ketebalannya bisa bikin terlengar orang yang malas baca. Mari kita hitung. Kang Ajip mulai menulis (lagi) catatan harian tanggal 28 Juni 1995, dan berakhir tanggal 13 Séptémber 2016. Itu rentang 7.749 hari. Dalam satu hari, Kang Ajip menulis 4-5 halaman ukuran A4. Jadi, jika dihitung keseluruhan, bisa melebihi 30.000 halaman.

Tahun 2008 saya pernah meminta Kang Ajip berdiri di antara catatannya itu, lalu memotrétnya. Ketebalan "Tapak Meri" yang sudah dicétak bisa melebihi tinggi tubuhnya sendiri. Tanpa kedisiplinan, mustahil ada orang mampu menulis catatan harian tanpa henti selama dua dasawarsa. Selain yang telah dibukukan, "Tapak Meri" hanya bisa dijumpai di dua tempat, yaitu di KITLV Leiden dan Perpustakaan Jatiniskala.

***

Kang Ajip paham betul bahwa data-data di komputer terkadang hilang. Bisa terkena virus dan semacamnya. Sejak tahun 2003, Kang Ajip meminta saya untuk membuatkan cadangan data-data tersebut. Ketika datang ke Bandung, biasanya Kang Ajip menyerahkan CD (cakram keras) yang berisi data-data terakhir, termasuk "Tapak Meri".

Sewaktu membacanya di komputer, saya seperti melihat keseharian Kang Ajip pada layar. Gerak-geriknya. Pemikirannya. Sekalipun jenis pekerjaan yang tertera di KTP-nya adalah "pengarang", jangan katakan bahwa sehari-harinya menulis melulu. Ia juga melakukan apa yang biasa kita lakukan. Seperti yang saya katakan pada tulisan sebelumnya, hal ini agak membingungkan, seakan-akan Kang Ajip dibantu oleh jiwa lain. Ia seolah-olah punya waktu lebih banyak daripada manusia lain. Padahal rumusnya hanya satu: disiplin.

"Tapak meri" sarat dengan data. Kita tahu, hampir tak menemukan anakronisme dalam tulisan-tulisan Kang Ajip. Itu lantaran ia punya semacam kalender hidup. Juga ditunjang oléh daya ingat di atas rata-rata. Ketika orang lain kesulitan menghafal nomor telepon istrinya sendiri, Kang Ajip bisa menyebut ratusan nomor tanpa merenung. Meskipun begitu, ia masih saja membuat catatan. Ini benar-benar menyindir mereka yang suka "limpeuran" tapi kedul menulis.

Isi "Tapak Meri" banyak ragamnya, merangkum keseharian Kang Ajip sejak bangun hingga tidur kembali. Terkadang ada kritik, penafsiran, dan gagasan. Di sana pula Kang Ajip menuliskan isi buku yang ia baca, semacam résénsi atau ulasan. Juga hal-hal lain seperti makanan, jalan pagi, kunjungan ke suatu tempat, serta sesuatu yang ia tengah renungkan. Barangkali kita menyebutnya luar biasa, sementara Kang Ajip masih mengatakan bahwa "loba kajadian jeung pikiran anu kaburu dicatetkeun dina ‘Tapak Meri’ tapi leuwih loba nu henteu kaburu dicatetkeun" (banyak kejadian dan pemikiran yang dicatatkan dalam "Tapak Meri", tapi lebih banyak yang tak sempat dicatatkan).

Sebagaimana tulisan lainnya, "Tapak Meri" pun ditulis dengan gaya lugas. Nyaris tak ada kiasan atau ungkapan filosofis. Begitu adanya, tapi ini penting sebagai data. Saya kira, pemborong yang membuat rumah Kang Ajip di Pabélan sudah lupa berapa harga batu, genting, kunci, dan bahan lainnya. Kang Ajip mencatatnya, bahkan ia sekali-sekali pergi ke toko bangunan. Pada "bab" pembuatan rumah di Pabélan tahun 2003, saya malah memikirkan kegesitan Kang Ajip dalam memilih bahan-bahan bangunan. Berikut saya kutip catatan harian Kang Ajip tanggal 4 Agustus 2003:

Mimitina ka "Gajah Muda", meuli konci dua. Rp. 670.000-eun. Kudu jejeg sapasang, cenah. Jadi konci Chisa nu aya henteu bisa dipaké. Chisa buatan Italia, ari nu dibeuli ti "Gajah Muda" SES buatan Spanyol. Cenah mah saimbang alusna. Cina nu boga "Gajah Muda" téh ngaranna Rudy Hartono. Hayangeun nganjang lamun engké imah kuring geus anggeus. Waktu ngadéngé salakina maca kartu ngaran kuring "Ajip ..." pamajikanana motong, "Pa Ajip Rosidi? Bapak masuk angkatan mana, ya?" Meureun kungsi diajar kasusastran. Ku kuring diwalon, "Angkat besi". Tapi salakina mah bangun henteu wawuheun kana ngaran kuring.

(Mula-mula pergi ka "Gajah Muda", membeli dua kunci. Semuanya Rp. 670.000. Mesti genap sepasang, katanya. Jadi kunci Chisa [yang sudah dibeli sebelumnya] tidak bisa dipakai. Chisa buatan Italia, sedangkan yang dibeli dari "Gajah Muda" SES buatan Spanyol. Katanya supaya seimbang bagusnya. Cina pemilik "Gajah Muda" bernama Rudy Hartono. [Dia] mau berkunjung jika rumahku sudah selesai. Ketika mendengar suaminya membaca kartu namaku "Ajip…" isterinya menukas, "Pa Ajip Rosidi? Bapak masuk angkatan mana, ya?" Mungkin [dia] pernah belajar kesusastraan. Aku menjawab, "Angkat besi". Tapi suaminya seperti tak mengenali namaku).

***

Awal tahun 2017, Kang Ajip memutuskan berhenti memelihara sang itik. Dengan kata lain, ia tidak lagi menulis catatan harian sebab banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. "Ongkoh apan Akang téh dibéré pagawéan sakitu réana ku Dadan," katanya ketika kami berbincang-bincang di Bandung. Saya pun merasa berdosa pada sang itik.

Pekerjaan itu adalah penyusunan Kamus Utama Bahasa Sunda (KUBS). Meski awalnya disusun oleh sebuah tim, lama-kelamaan kian menyusut. Dan akhirnya nyaris hanya dikerjakan berdua saja, ditambah Kang Rachmat Taufiq Hidayat yang selalu mengingatkan tentang progres. Sebenarnya KUBS sudah selesai, tapi saya masih berhasrat menambahkan ribuan léma baru, dan Kang Ajip setuju. Sebagai pemimpin redaksi, selain memberikan définisi pada belasan ribu léma, Kang Ajip juga membaca dan mengoréksi draft yang tebalnya 7.000 halaman.

Untuk ukuran bahasa daérah, KUBS merupakan satu-satunya kamus berbasis korpus. Kamus ini disusun berdasarkan jutaan korpus yang diambil dari média cetak (buku dan média massa) dalam rentang seabad lebih. Sebab seperti yang tercatat dalam "The Professor and the Madman", tugas pekamus bukan sebagai diktator bahasa yang menyatakan suatu kata salah atau benar. Tugas pekamus adalah mencatat kata-kata yang (pernah) hidup di masyarakat, didukung oléh réferénsi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kendala dalam penyusunan KUBS bukan hanya melimpahnya kosakata bahasa Sunda. Contoh kalimat pun harus diambil dari buku atau media cetak untuk memperlihatkan gambaran bahasa Sunda sepanjang zaman. Dengan tekun Kang Ajip mencocokkan kalimat yang saya kutip dari sumber tulisan. Kang Ajip mengerjakannya secara manual, sementara saya bekerja secara digital. Ini juga jadi kendala. Apalagi, seperti yang ditulisnya dalam pengantar "Tapak Meri", tempat kami bekerja tidak idéal. Kang Ajip tinggal di Pabélan, sementara tim lainnya tinggal di Bandung. Ya, tentang KUBS, mungkin saya harus menuliskannya dalam téma khusus.

Sekarang, "Tapak Meri" benar-benar menjadi jejak. Catatan harian itu, kini sudah menjelma dalam artéfak yang memanjang puluhan ribu halaman. [ ]

Ajip Rosidi dan "Jalan Gedé"


Oléh: Dadan Sutisna

Para pujangga yang menggubah cerita pantun dapat berpikir futuristik. Setidaknya, sebagian kata-kata yang meréka ucapkan masih digunakan hingga berabad-abad kemudian. Meréka menyusun sebuah cerita dalam larik yang liris, tapi kuat dan bertenaga. Dalam Bébér Layar, Ajip Rosidi bahkan menyebut kekuatan rajah pantun tidak kalah oléh sajak-sajak Charil Anwar.

Pada cerita pantun ada ungkapan yang terus dipertahankan, ada pula yang menyesuaikan keadaan zaman. Dengan demikian, semestinya setiap génerasi dapat memahami isi cerita tanpa harus membuka kamus bahasa kuna. Beberapa kata yang diucapkan juru pantun di zaman sekarang, akan berbéda dengan seaabad lalu. Bahkan di zaman yang sama pun terdapat beberapa variasi, tergantung asal daérah sang juru pantun. Misalnya, dalam cerita "Munding Kawati" (berdasarkan transkripsi tahun 1970 oléh Ajip Rosidi), terdapat kata "lipen setip", "dikreul", "listring", "kulkas", dsb. Kata-kata ini mustahil muncul di abad sebelumnya, melainkan improvisasi sang juru pantun. Mémang, kita sulit mendapatkan cerita pantun yang benar-benar "asli" kecuali bisa beranjak ke masa lalu.

Ada banyak jenis sastra lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Sunda. Akan tetapi, cerita pantun punya tempat tersendiri. Sang juru pantun semacam utusan untuk menyampaikan pesan dari masa lalu. Ia mampu menghafal sebuah cerita yang jika ditranskripsikan bisa mencapai ratusan halaman. "Sampaikan cerita ini ke masa depan, dan kau akan tahu bagaimana dan di zaman mana cerita ini berujung." Begitulah kira-kira ucapan pembuat cerita pantun yang ada di pikiran saya.

Sekarang kita hampir tahu jawabannya, di zaman mana cerita pantun itu berhenti. Sebagaimana ratusan kesenian Sunda lainnya, cerita pantun pun menuju kemusnahan, bahkan sebelum kita mengetahui semua jenis cerita beserta isinya. Jangan memahami isinya, kini banyak orang Sunda yang tidak mampu membédakan pantun dan "sisindiran"—menyamakan pantun Sunda dengan empat baris puisi Melayu lama yang memiliki sampiran dan isi.

Dengah hilangnya warisan budaya, atau pada kasus tertentu dibiarkan musnah, ada sedérét pengetahuan dari masa silam yang terputus dan lenyap. Inilah kritik yang sering dilontarkan oleh Ajip Rosidi kepada sebagian besar orang Sunda. Bahkan di usia 70, Ajip Rosidi menulis dengan "nada jéngkél". Ia bertanya pada dirinya sendiri, "Bagaimana hari depan kebudayaan Sunda menurut pendapatmu?" Lalu Ajip Rosidi menjawab, "Karena orang Sunda sendiri pada hari ini tidak peduli terhadap keberadaan budaya dan orang Sunda, maka tidak ada hari depan." (Hidup Tanpa Ijazah, halaman 1.204)

Saya menyebut "nada jéngkél" karena pada dasarnya Ajip Rosidi masih memikirkan hari depan kebudayaan Sunda sampai menjelang wafat. Ia masih membicarakan naskah-naskah kuna, cerita pantun, dan hal-hal lain yang menurutnya harus menjadi pijakan orang Sunda. Ia terus mengusahakan itu karena, "Sebagai seorang Islam, aku berpegang pada hadis bahwa ketika menghadapi kiamat sekalipun, kita harus menanamkan apa pun walau sebiji sawi." (Hidup Tanpa Ijazah, halaman 1.220)

***

Meskipun tanpa kepastian tahun, ada yang menduga bahwa cerita pantun lahir sebelum zaman Padjadjaran. Asumsi ini didasarkan pada nama-nama kerajaan selain Pajajaran yang muncul dalam cerita pantun. Istilah pantun juga termuat dalam naskah Siksa Kandang Karesian (1518): "Hayang nyaho di pantun ma: 'Langgalarang', 'Banyakcatra', 'Siliwangi', 'Haturwangi'; prepantun tanya" (jika kita ingin tahu tentang pantun, seperti 'Langgalarang', 'Banyakcatra', 'Siliwangi', 'Haturwangi', tanyalah jurupantun").

A. Teeuw menyebut adanya pertautan antara pantun dengan naskah Sunda Kuna. Sebab, "meskipun bahasa pantun sebagaimana yang dituliskan atau direkam pada abad kesembilan belas dan kedua puluh tidak dapat disebut bahasa Sunda Kuna, di dalamnya terkandung banyak kata dan ungkapan arkhaik." ("Tiga Pesona Sunda Kuna", hal. 11-13).

Agar lebih memahami kiprah Ajip Rosidi dalam penyelamatan cerita pantun, kita dapat menéngok penelitian-penelitian sebelumnya. Sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, penelitian dan publikasi cerita pantun dilakukan atas inisiatif orang-orang Belanda, antara lain K.F Holle, J.J. Meijer, C.M. Pleyte, F.S Eringa, dan R.A Kern. Mémang ada beberapa tulisan péndék dalam bahasa Sunda yang mengguar cerita pantun, tetapi sebagian besar bersumber pada hasil kajian orang-orang Belanda tersebut. Adapun tulisan berbahasa Sunda yang cukup mendalam adalah "Tokoh Léngsér dina Carita Pantun" yang ditulis oléh Asmalasuta (Baranangsiang, 1964).

Tulisan Asmalasuta sangat penting untuk diperkenalkan kembali saat ini, karena di kalangan masyarakat Sunda tokoh Léngsér sudah bergésér menjadi semacam dagelan pada upacara pernikahan.

"Loetoeng Kasaroeng Een Mythologisch Verhaal Uit West-Java" (1949) karya F.S Eringa merupakan telaah paling kompréhénsif. Disertasi ini merangkum penelitian-penelitian sebelumnya, juga menyertakan senarai judul cerita pantun. Akan tetapi, hasil penelitian orang-orang Belanda ini menyisakan sedikitnya dua kekosongan. Pertama, meréka baru menelaah beberapa cerita pantun, terutama Lutung Kasarung, sehingga di Priangan tak ada cerita yang lebih terkenal daripada Lutung Kasarung. Tak héran jika cerita ini telah diadaptasi ke dalam berbagai bentuk sejak zaman kolonial: sandiwara, film, gending karesmén, dsb. Kedua, hanya satu-dua cerita saja yang ditranskripsi secara verbatim. Agak sulit untuk meneliti judul-judul lainnya karena keterbatasan sumber.

Ajip Rosidi mengisi dua kekosongan tersebut. Mula-mula, dalam sebuah éséy berbahasa Sunda yang ditulis tahun 1962 (selanjutnya dimuat dalam "Ngalanglang Kasusastraan Sunda"), Ajip menelaah carita pantun Lutung Kasarung. Tahun 1967 ia mengusulkan agar cerita pantun segera diselamatan. Ternyata ia sendiri yang melakukannya dengan mendirikan Proyék Penelitian Pantun & Foklor Sunda (PPP&FS) tahun 1969.

Ajip mulai merekam dan mentranskripsikan cerita pantun, dibantu oléh beberapa rékannya antara lain Mang Olla, Sajudi, Rachmat M. Sas. Karana, dan Iskandarwassid. Pada tulisan "Pangalaman Kuring Ngarekam Pantun" di majalah Manglé tanggal 13 Maret 1980, Ajip menyebut telah merekam 30 judul cerita pantun. Dua puluh telah ditranskripsi, 16 sudah dipublikasikan—ini sumber yang bagi léksikografi, dan sisanya masih dalam bentuk rekaman. Oléh karena itu, masih ada 14 judul yang belum diketahui khalayak. "Nasibnya" akan saya ceritakan di akhir tulisan ini. 

***

Ajip Rosidi memetik kata "Rancagé" dari cerita pantun yang kemudian dijadikan nama hadiah sastra serta yayasan yang didirikannya. Ajip berpendapat bahwa kata "Rancagé" sudah jarang digunakan. Itu benar, ketika saya mencoba menelusuri kata tersebut dari abad ke-19 hingga tahun 1955 menggunakan basis data korpus, nyaris tidak ditemukan kecuali dalam kutipan pantun dan syair Sunda (sawér).

Kata "rancagé" terdapat pada rajah Lutung Kasarung. Berikut beberapa baris kutipannya:

"diteundeun di jalan gedé,

dibuka ku nu ngaliwat,

ku nu weruh di semuna,

ku nu terang di jaksana,

ku nu rancagé di haté."

 

(disimpan di jalan besar,

dibuka oléh yang léwat,

oléh yang paham perangainya,

oléh yang tahu pertimbangan,

oléh yang kréatif hatinya.)

Ungkapan tersebut penuh siloka (énigma) yang konon merupakan sesuatu yang sakral. Seperti halnya dangding-dangding Haji Hasan Mustappa, sebagian menganggap cerita pantun punya nilai yang luhung sehingga tidak boléh ditafsirkan oléh sembarang orang. Ajip mendobrak hal-hal demikian. Misalnya, ia mengkritik Utuy T. Sontani yang menyebut pantun sebagai "kebudayaan atas", dan ungkapan "jalan gedé" di atas hanya bisa dipahami oléh raja-raja serta kaom féodal (tulisan Utuy dimuat pada Zaman Baru, édisi Novémber 1964).

Dalam "Ngalanglang Kasusastraan Sunda", Ajip Rosidi menafsirkan "jalan gedé" sebagai berikut:

"Hartina éta wijining pantun téh diajangkeun pikeun saha baé, henteu pilih ménak-kuringna, sing sakur anu kataji bari jeung enyana, tanwandé bisana muka bisana neuleuman jeung ngahartikeun. Mémang, ari urangna ngan ukur rék ngaliwat saliwatan mah, nya lapur, da tangtu moal kaburu niténan anu aya di sapanjang jalan anu kasorang, atuh moal nepi ka 'weruh di semuna, terang di jaksana', komo lamun bari jeung henteu rancagé di haté mah. Mubadir!"

(Arti keutuhan pantun itu diperuntukkan bagi siapa saja, tidak memilih ménak-abdi, siapa pun yang tertarik serta sungguh-sungguh, tentu dapat membuka, dapat menyelami dan mengartikan. Mémang, jika kita sekadar mau léwat selintas, pasti luput, sebab tentu tidak sempat meneliti keadaan di sepanjang jalan yang dilalui, sehingga tidak sampai ke "weruh di semuna, terang di jaksana", lebih-lebih jika tidak "rancagé di haté". Mubadir!)

Tahun 2002 bersama Kang Hawé, saya pun sempat menerka-nerka maksud sang juru pantun. Lalu tiba-tiba kami memikirkan bahwa "jalan gedé" itu adalah jagat maya, cyberspace, dunia Internét. Banyak pengetahuan yang disimpan di sana, lalu siapa pun bisa mengkajinya. Sekalipun bukan orang Sunda, asalkan memenuhi "persyaratan" dari sang juru pantun, tentu mampu memahaminya.

Begitulah, Ajip Rosidi kemudian menyimpan dokuméntasi pantun itu di "jalan gedé", lalu ia mengerjakan hal lainnya.

Tiga dasawarsa kemudian, di majalah Cupumanik édisi Maret 2007, Ajip menulis bahwa setelah F.S. Eringa (Belanda), yang meneliti pantun adalah Andrew Weintraub (Amérika). Jakob Sumadjo juga termasuk orang yang tekun meneliti struktur pantun dalam pandangan budaya yang lebih luas. Akan tetapi, belum ada sarjana Sunda yang menulis tésis atau disertasi tentang pantun atau lakon pantun. Padahal, kita jangan percaya begitu saja pada hasil penelitian bangsa asing tentang warisan karuhun Sunda. Meréka tidak akan sampai pada "enas-enasna" (inti sarinya).

***

Beberapa bulan sebelum wafat, Kang Ajip beberapa kali menanyakan apa yang ia sempat simpan di "jalan gedé". Saya bilang tidak begitu tahu, kecuali judul-judul yang telah dipublikasikan, sebab ketika Kang Ajip merekam cerita pantun, saya belum lahir. Dengan nada sedih Kang Ajip berkisah tentang 14 cerita pantun yang belum ketahuan rimbanya.

Empat judul yang sudah ditranskripsi, ia percayakan kepada sebuah percetakan untuk diperbanyak. Kang Ajip bahkan membeli mesin sténsil untuk mempercepat pengerjaan. Namun, manuskrip pantun itu lenyap beserta mesinnya. Harapan satu-satunya adalah rekaman 30 judul cerita pantun yang simpan di perpustakaan Belanda. Nasibnya nyaris sama, yang tersisa hanya dua judul. "Aya nu maok!" katanya.

Saya malah memikirkan hal lain. Kelak rekaman tersebut menjadi barang asing nan jauh di sana. Sebagaimana beberapa arsip penting lainnya yang tersimpan KITLV, Perpustakaan Universitas Leiden, Michigan, Cornell, Monash, Library of Congress, University Microfilm Internasional, dsb.

Namun, bagaimanapun akhir dari perjalanan pantun itu, Ajip Rosidi telah "menanam sebiji sawi". [ ]


23 August 2020

Nu Mulang ka Jatiniskala


Ku: Dadan Sutisna

Bari ngahanca buku “Renaisans Sunda” nu diserat ku Teddi Muhtadin, nu ngolébat téh tangtu baé nu dicaritakeun dina éta buku: jirim Ajip Rosidi. Nu kaimpleng téh lain gaya kritik kawas nu dipaké jejer éta buku, tapi kaayaan Kang Ajip ayeuna. Sabada nyorang lalampahan panjang saperti nu kagambar dina karya-karyana, ayeuna Kang Ajip calik di Pabélan, tos sesah angkat-angkatan. Salirana henteu jagjag kawas kapungkur, tapi sumangetna teu kungsi melempem. “Akang keur nulis roman,” cenah, basa Kang Ajip nélépon dina hiji peuting.

Biasana mah Kang Ajip téh pulang-anting ka Bandung—Jakarta—Pabélan keur ngaréngsékeun hanca padamelanana. Basa Kang Yoyon (Moh. Yoyon Sonjaya, 1937—2020) ngantunkeun, Kang Ajip dugi ka ngersakeun angkat ka Bandung. Badé nyerat obituari, cenah, da di Jakarta mah taya bahan-bahanna. Teu tiasa dicaram. Méh sawengi jeput anjeunna macaan arsip, tuluy ngetik dina komputer. Éta tulisan tuluy dikirim ka “Pikiran Rakyat”. Tapi sakaterang mah, nepi ka ayeuna gé ku “PR” teu kungsi dimuat. Duka naon tinimbanganana.

Leuwih ti sataun maturan Kang Ajip mun anjeunna keur di Bandung téh. Biasana kulemna téh di hiji kamar di Perpustakaan Ajip Rosidi. Méméhna mah sok nyalira, tapi ka dieunakeun disarengan ku Ceu Nani (Nani Widjaja). Kitu baé, nganteur upami badé tuang, atawa ngawangkong pirang-pirang pasualan. Sakapeung Kang Ajip sok ngajak néang tapak lacak kapungkur. Kungsi hiji mangsa mah maluruh rumah makan leutik, da baheula taun 1970-an, anjeunna kantos tuang di dinya. Hareupeun Uninus, cenah. Dijugjug téh teu aya, pindah ka wewengkon Ciméncrang.

Ari ayeuna, geus lima bulan, kamar wewengkon perpustakaan téh simpé. Nu kasampak ukur buku-buku, raksukan Kang Ajip katut méja komputer paranti anjeunna ngetik. Saméméh usum sasalad, Kang Ajip miang ka Pabélan. Bumina nu sakomplék jeung perpustakaan dingaranan “Jatiniskala” (dina kosmologi Sunda, “jatiniskala” téh hartina “kagaiban nu sayakti”, panglinggihan Sang Hyang Manon). Ti harita teu angkat ka mamana deui. Eukeur mah usum sasalad, katurug-turug sabada geubis dina paro bulan puasa, Kang Ajip teu tiasa angkat tebih.

Salami anjeunna di Pabélan téh sering pisan tétéléponan. Da kitu apan, teu kaop aya nu ngolébat, sok teras baé nélépon. Ti mimiti perkara carita pantun nepi ka naskah-naskah nu pantes dibukukeun. Kitu pisan, dina kaayaan teu damang, Kang Ajip tiasa kénéh nataharkeun opat-lima judul buku. Boa dina émutanana teu kantos lésot ti dinya, tina buku, tina literasi, tina kabudayaan. Lebah konsisténsi mah sigana tos papada terang, yén gagasan naon baé nu kantos dikedalkeun, kudu dilaksanakeun kajaba engkéna jadi “hutang”. Lebah dinya mah hamo aya nu tiasa nyaram, lantaran tos jadi bagian tina dédikasina kana Sunda jeung kabudayaan.

Pamikiran anjeunna kana kabudayaan tos papada uninga. Balatak dina buku-buku. Tapi sabada ngabandungan Kang Ajip dina sakitu taun, bawirasa réa hal teu katuliskeun ku anjeunna, nu nguruyung tina “rohang bawah sadar” upami anjeunna keur nyarios. Sabada dioperasi jajantung taun 2016, daya émutna rada ngiringan, pangpangna ka nami-nami jalmi, iwal nu bener-bener caket jeung anjeunna. Naon nu dicarioskeun ku anjeunna dina opat taun katompérnakeun, tangtu jadi hal-hal nu penting.

Nepi ka tilu minggu kapengker mah Kang Ajip remen kénéh nélépon. Sakapeung teu aya soraan, sakapeung semu sesah nyarios, sakapeung lancar. Malah aya kalana néléponna téh wanci janari. “Mun rék ngalongok Akang, kirim kécap nu biasa,” saurna.


***

Tanggal 11 Juli 2020, miang ti Bandung téh tiluan, supir katut babaturan ti lembur. Saméméh Ciawi, méngkol heula ka Panjalu, da Dhipa Galuh Purba rék nyuguhan dahar. Nya antukna mah Dhipa gé milu, da cenah balikna rék sakalian milu ka Bandung. Di jalan téh nyalsé wé, mindeng pisan eureun.

Da puguh sumpang-simpang heula, nepi ka Jatiniskala téh ampir tengah peuting—13 jam diitung ti barang indit mah. Geus simpé, Kang Ajip gé tos kulem, nu nyaring kénéh Kang Nundang. Tuluy baé ngawangkong nepi ka subuh.

Kakara nepungan Kang Ajip téh isukna. Ngobrol bari sasarap, tiluan sareng Ceu Nani. Wangkongan téh sabudereun kaayaanana ayeuna, diselang-selang ku nyaritakeun buku, dokuméntasi, kaasup naskah roman nu nuju diserat. Dina méja paranti ngetik ngahunyud pinuh ku beundeul majalah keur bahan seratan téa.

 

***

Cara sasari, mun ka Pabélan téh sok betah di perpustakaan. Niténan puluhan rébu buku nu ngéntép dina lomari. Basa keur motrétan buku, Pa Sarif gugupay ti lawang. “Bapa geubis,” pokna téh. Enya baé mastakana buncunur. Tapi anéhna téh teu katingal nyeri. Malah bada lohor gé tos calik deui mayunan méja makan, dibaturan ku Ceu Nani katut Dhipa. Bari tuang téh Kang Ajip ngobrol soal film, KPI, malah kabujeng kénéh gogonjakan jeung Ceu Nani. Pasosonten anjeunna dicandak ka dokter. Mulih ti dokter katingal jagjag, malah kabujeng kénéh ngajak tuang wengi sasarengan.

Sabada tuang, basa rék amitan mulang ka Bandung, anjeunna calik dina korsi roda. Mayun ka kiblat da badé netepan isa. Disaksian ku réréncangan Kang Nundang, anjeunna nyarios semu dareuda, “Akang nitip dokuméntasi.”

Sihoréng, éta téh cariosan panungtung nu kapireng. Basa di perjalanan ka Bandung, Kang Ajip sababaraha kali nélépon deui. Tapi barang diangkat teu aya soantenna.

Sababaraha poé ti harita, nguping wartos Kang Ajip badé dioperasi. Aya samingguna anjeunna dirawat di Rumah Sakit Tidar, Magelang. Sabada dioperasi, Kang Ajip lebet ka ICU. Ari nembé nampi deui iber, réhna Kang Ajip parantos ngantunkeun.

Seueur kénéh tuliseun mah, Kang. Mung ieu ramo kabujeng ngadégdég. Seja ngintun dunga baé, mugia Akang kénging kabagjaan di kalanggengan. [ ]

16 August 2020

Ajip Rosidi, Sosok yang Sungguh-Sungguh dalam Rumah Persahabatan


Sejak muda Ajip Rosidi terbiasa hidup ditumpangi banyak orang. Kesungguhannya dalam berkarya sukar ditiru. 

Dua bulan setelah Mingguan Sunda terbit, tepatnya pada April 1965, Ajip Rosidi dan keluarga pindah dari Jatiwangi ke Bandung. Bersama Ramadhan K.H., Ajip menjadi direktur media tersebut.

Ia sebetulnya telah mengontrak rumah di Gang Natawijaya, tempatnya menginap dan bertemu kawan-kawannya bila sedang di Bandung. Namun rumah itu telah diisi Ahmad Hidayat Sutisna, pegawai YKI (Yayasan Kebudayaan Indonesia), beserta anak-anaknya yang masih kecil, adiknya, juga kemenakannya. Bendaharawan YKI itu baru ditinggal wafat istrinya sehingga mesti meninggalkan rumah mertuanya.

“Tentu aku tak mungkin mengeluarkan mereka dari sana (rumah yang Ajip sewa) hanya karena keluargaku sendiri akan datang,” tulis Ajip dalam autobiografi Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008).

Ajip akhirnya menyewa rumah lain yang letaknya tak jauh dari Gang Natawijaya, yaitu di Gang Asmi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di rumah ini juga ia banyak menampung orang, bahkan terlalu banyak. Saat pindah ke Bandung, Fatimah yang biasa dipanggil Empat, istrinya, tengah mengandung anak keenam. Selain mereka bertujuh, di rumahnya ada lagi sepuluh orang yang tinggal dengan pelbagai keperluan.

Di antaranya adalah adik Ajip lain ibu, adik sepupunya yang dititipkan untuk disekolahkan, dua orang pemuda asal Cirebon yang hendak mempelajari teater, pegawai Mingguan Sunda dengan adiknya, dan anak tetangganya di Jatiwangi karena melanjutkan sekolah di Bandung. Total yang tinggal di rumah itu tujuh belas orang.

Jika bulan puasa tiba dan kawan-kawan Ajip yang bertamu keasyikan ngobrol hingga datang waktu magrib, maka yang berbuka puasa di rumah itu bisa lebih dari dua puluh orang. Mereka berkumpul menikmati hidangan di ruang tengah setelah semua kursi dan meja disingkirkan.

“Sekarang aku sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana atau di mana mereka tidur dalam rumah yang sebenarnya tidak besar itu,” tulis Ajip.

Sejak merantau ke Jakarta pada awal 1950-an, Ajip tak pernah tinggal sendirian. Saat melanjutkan sekolah di SMP VIII di Pegangsaan Barat, ia mula-mula tinggal dengan keluarga pamannya di sebuah gang becek di bilangan Senen. Setelah itu pindah ke sebuah ruangan di sekolahnya yang ia sebut bekas kandang sepeda. Di sana ia tinggal bersama kawannya orang Minang yang rumahnya di Manggarai.

Ajip bisa tinggal di kandang sepeda karena dia mengurus majalah sekolah yang bernama Suluh Peladjar. Maka ketika ia telah lulus dari SMP, terpaksa majalah itu tak bisa ia pegang lagi dan Ajip pun mesti keluar dari kandang sepeda. Setelah ia keluar, Suluh Peladjar hanya berjalan satu sampai dua nomor dan tak berlanjut.

Ajip kemudian pindah lagi ke rumah saudaranya di daerah Rasamulya, bilangan Senen. Berbeda dengan rumah-rumah lain yang beratapkan rumbia, rumah yang ia tinggali atapnya genting dan lantainya tegel meski dindingnya masih bilik bambu.

Di rumah ini, Ajip mulai sering dikunjungi kawan-kawannya. Trisnoyuwono, penulis novel Pagar Kawat Berduri (1961), kerap berkunjung dan menginap, bahkan kadang-kadang dengan pacarnya yang masih sekolah di SGA Bandung. D.S. Moeljanto ketika akan bekerja di majalah Kisah juga menginap di rumah yang Ajip tinggali. Ada pula Esce, pengarang cerita pendek yang karyanya selalu ditolak H.B. Jassin, lagi-lagi menginap di rumah ini karena tidak punya uang dan tengah menunggu kiriman dari saudaranya. Kiriman uang itu baru datang beberapa minggu kemudian.

“Pendeknya, kawan-kawan sering datang bertamu, bahkan yang dari luar kota sampai menginap berhari-hari, malah berminggu-minggu,” tulis Ajip.

Setelah menikah, Ajip dan Empat tinggal di daerah Kramatpulo. Ayatrohaedi, adiknya seayah dan seibu; Karsita, saudara jauh dari pihak ayahnya; juga Nashar—pelukis kere yang oleh Sudjojono disebut tak punya bakat melukis—tinggal bersama mereka. Saat Ajip memutuskan untuk pulang ke Jatiwangi, Majalengka karena Jakarta dirasa terlalu pengap untuk pengarang seperti dirinya, rumah kontrakan di Kramatpulo tetap disewa untuk tempat tinggal Ayatrohaedi yang masih sekolah di SMA Muhammadiyah, Karsita, dan Nashar yang ingin terus ikut tinggal di sana.

Nyatanya Ajip hanya bertahan lima bulan di Jatiwangi. Alasannya karena di kampung kehidupan rohaninya jenuh, tak bisa bertemu kawan-kawan untuk bertukar pikiran. Kondisi ini ia ceritakan dalam pengantar buku karyanya sendiri, Cari Muatan: Empat Kumpulan Sajak (1975).

Ia pun kembali ke Kramatpulo, ke rumah yang masih ia sewa dan ditempati adiknya. Kali ini penghuni rumah itu kian bertambah. Selain Ayatrohaedi, Karsita, dan Nashar, juga ditambah kehadiran anak pertamanya.

Persahabatannya dengan Nashar beberapa kali diceritakan Ajip dalam surat-surat yang ia tulis saat tinggal di Jepang. Di buku Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (2008), dalam kondisi teringat mati karena kerap mengimpikan kawan-kawannya yang telah meninggal dunia, ia meminta Nashar untuk saling mengikhlaskan dengan dirinya.

Dalam suratnya bertitimangsa 15 Januari 1992, Ajip mengatakan bahwa selama mereka bersahabat, baik ia maupun Nashar tak pernah menghitung-hitung soal uangnya yang dipakai Nashar atau lukisan Nashar yang dibawa Ajip. Menurutnya, Nashar setuju dengan ajakannya untuk saling mengikhlaskan.

Sementara di buku Surat-surat ti Jepang 1 (2018), di bagian yang bertitimangsa 7 Juli 1980 yang ditujukan kepada Sadeli Winantadireja (biasa dipanggil Entik), dalam suasana sakit hati karena permasalahan di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) menyeret namanya sebagai pesakitan, Ajip menjelaskan bahwa dirinya yakin rezeki telah ada yang mengatur. Dan sebagai contoh bagaimana ia menjalankan keyakinannya itu dengan menceritakan kebiasaannya yang kerap menampung kawan-kawan yang membutuhkan tempat tinggal:

“Kebiasaanku berbagi hidup dengan yang lain, terutama sesama seniman, seperti telah menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan dari zaman aku baru menikah. Barangkali kamu juga ingat waktu aku tinggal di Sumedang dan di Kramat Pulo, kan banyak orang seperti Nashar yang tinggal bersamaku. Aku tak pernah perhitungan kepada mereka.”

Keterbukaan Ajip menolong kawan-kawannya bahkan sekali waktu mendorong Pramoedya Ananta Toer—pengarang yang Ajip sebut sangat individualistis dan egosentris—datang juga ke rumahnya hendak meminta makan saat ia dililit kemiskinan.


Hidup Tanpa Ijazah

Pada September 1954 Ajip ikut menjaga salah satu stan dalam Pameran Buku Nasional yang diadakan toko buku dan penerbit Gunung Agung milik Tjio Wie Tay alias Masagung. Sukarno, Hatta, dan Yamin yang waktu itu menjabat menteri hadir dalam acara tersebut. Saat mengunjungi stan buku kesusastraan yang dijaga Ajip, Sukarno dan Hatta hanya berbasa-basi. Sementara Yamin menawarinya untuk hadir dalam Kongres Kebudayaan di Solo.

Ajip, yang saat itu baru berusia 16 tahun, banyak bercakap dengan Armijn Pane dan J.E. Tatengkeng yang usia keduanya hampir setengah abad. Tatengkeng malah mengajaknya ikut ke Makassar untuk disekolahkan. Pada kesempatan itu pula Ajip yang masih bercelana pendek mendebat makalah Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah.

“Tak ingat lagi apa yang aku katakan pada waktu itu, tetapi pada pokoknya aku menyatakan tidak sependapat dengan Ki Hadjar,” tulisnya dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008). Dan tiga tahun kemudian Ajip menerima Hadiah Sastra Nasional.

Dua hal itu menerakan jejak tentang pilihan hidup Ajip. Ia sepenuhnya ingin terjun ke dunia seni, apalagi saat ia akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti ujian akhir SMA dan hidup tanpa ijazah. Setelah itu, Ajip menulis ribuan karya yang terbuhul dalam ratusan buku dan hampir tak berhenti menulis sampai akhir hayatnya.

Saya tak mengenal Ajip secara personal, bahkan melihatnya secara langsung baru sekali, itu pun dari kejauhan, saat ia menghadiri peresmian Perpustaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Kec. Batununggal, Kota Bandung. Namun saya membaca beberapa bukunya. Tulisan-tulisannya menguarkan kesan bahwa ia seorang yang daria, sungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu.

Kumpulan tulisan obituari karyanya yang dibukukan dengan judul Mengenang Hidup Orang Lain (2010) begitu dingin. Tak ada bunga-bunga kenangan yang hendak ia taburkan sebagai kesedihan. Sekali waktu, Ajip bahkan menulis obituari A.S. Dharta, mantan sekjen Lekra, secara sinis, yang kemudian menuai “serangan” dari mantan wartawan Harian Rakjat, Martin Aleida.

Selera humornya hanya muncul sangat sedikit dalam beberapa surat yang ia tulis dari Jepang, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Ya, sangat sedikit, selebihnya seperti biasa ia begitu daria membicarakan banyak hal yang terkait dengan kebudayaan.

Dalam suratnya, Ajip juga kerap meminta kepada kawan-kawannya untuk dikirimi koran nasional, majalah berbahasa Sunda, naskah buku untuk ia edit, melaporkan perkembangan penyuntingan buku, mendorong kawannya untuk menulis biografi tokoh nasional, mengusulkan untuk mengadakan sayembara cerpen Sunda secara rutin, dan sebagainya.

Keseriusan Ajip terlihat juga pada beberapa pengantar buku. Ia enggan sekadar menerakan puja-puji kepada penulis dan isi buku. Dalam novel Rasiah nu Goreng Patut—pertama kali diterbitkan pada 1928—misalnya, Ajip panjang lebar mengupas kisah karangan Soekria/Joehana itu. Untuk buku yang tebalnya hanya 67 halaman, ia menulis pengantar sebanyak 9 halaman. Contoh lain dalam buku Awéwé Dulang Tinandé (2011) karangan Wiranta alias Tjaraka, Ajip lagi-lagi menggeledah kumpulan cerpen itu secara saksama.

Hari-harinya dipenuhi banyak pekerjaan yang ia lakoni secara disiplin dan seperti tak habis-habis. Karya-karyanya yang bejibun lahir dari keseriusan, seperti juga kawan-kawannya yang banyak datang dari pergaulannya yang luas dan luwes. Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (2008) setebal 801 halaman, sementara Surat-surat ti Jepang 1 Jilid 1-6 setebal 979 halaman. Dari dua buku kumpulan surat itu, ditambah dengan autobiografinya Hidup Tanpa Ijazah (2008), kita bisa melihat siapa saja kawannya dan apa yang biasa ia bicarakan.

Pekan lalu, saat saya bersepeda mencari rumah kontrakan ke daerah sekitar Alun-Alun Bandung, saya melintas lagi Gang Asmi. Seperti yang sudah-sudah, setiap kali menyambangi gang itu, ingatan saya selalu tertuju pada kisah Ajip dan rumahnya yang dipenuhi manusia. (irf)


Ket: Terbit pertama kali di Tirto.id pada 2 Agustus 2020