23 September 2020

Mochtar Lubis: Pembangkang Dua Rezim yang Tak Gentar Berpolemik

Pertengahan 1950-an, Mochtar Lubis dipenjara. Pemimpin harian Indonesia Raya itu dituduh berkomplot dengan Zulkifli Lubis dalam ketegangan yang terjadi di Sumatera. Ia mendekam dalam tahanan Orde Lama selama sepuluh tahun. Pengalamannya itu ia tulis dalam Catatan Subversif (1980).

“Saya menitipkan catatan-catatan itu kepada kawan atau saudara. Setelah saya keluar dari penjara, catatan-catatan tersebut saya himpun kembali,” ucapnya dalam Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan (1995) yang disunting oleh Ramadhan K.H.

Kumpulan catatan harian ini bermula dari titimangsa 22 Desember 1956, dan berakhir pada 17 Mei 1966 saat tampuk kekuasaan beralih ke rezim Orde Baru. Sikapnya yang kritis pun mengakibatkan Indonesia Raya beberapa kali diberedel.

“Pembredelan [Indonesia Raya] karena keberaniannya membeberkan kasus pelecehan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, penindasan di masyarakat, dan lain sebagainya,” tulis Mansyur Sema dalam Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik (2008).

Tahun 1968, Orde baru mengizinkan surat kabar itu terbit kembali. Namun, hal itu tak membuat Lubis kendor dalam mengkritisi penguasa. Indonesia Raya gencar mengabarkan tentang korupsi di tubuh Pertamina hingga peristiwa Malari 1974.

Soeharto tak tinggal diam, ia segera menginstruksikan pemberedelan Indonesia Raya beserta sejumlah surat kabar lainnya seperti Harian Kami dan Abadi. Dan Lubis kembali ditahan selama dua setengah bulan.

Penahanan bermula pada 4 Februari 1975, saat ia baru selesai berolahraga tenis. Ketika tiba di rumah, sejumlah tamu telah hadir yang ternyata para aparat yang betugas untuk menahannya. Ia ditahan di sebuah bungalow. Menurutnya, penahanan itu lebih baik daripada zaman Orde Lama.

Selain karena waktunya lebih lama, juga karena pada era Orde Lama ia ditahan secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya dan benar-benar disekap dalam terali besi. Orde Lama juga sempat menahannya dalam penjara yang buruk, yakni di RTM (Rumah Tahanan Militer) Jalan Budi Utomo, Jakarta. Di situ ia dicampur dengan tahanan kriminal yang diperlakukan secara buruk.

Setelah Orde Baru membebaskannya, kepada Sinar Harapan ia menyampaikan bahwa dirinya akan tetap setia pada profesinya sebagai wartawan.

“Selain itu, saya juga merencanakan menulis beberapa buku yang kesemuanya menggambarkan Indonesia dalam tiga zaman. Masing-masing zaman kolonial Belanda, zaman Jepang, dan zaman kemerdekaan,” imbuhnya.

Seperti halnya Catatan Subversif (1980) yang lahir dari tahanan Orde Lama, Mochtar Lubis pun menuliskan pengalamannya saat ditahan Orde Baru dalam Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (2008).

“Seorang pembangkang,” tulis David T. Hill menggambarkan sosok Mochtar Lubis yang bersikap anti-kompromi terhadap dua rezim dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011).


Polemik “Manusia Indonesia”

Tahun 1977, di Taman Ismail Marzuki, Lubis menyampaikan pidato kebudayaan yang kemudian diterbitkan dengan tajuk Manusia Indonesia. Ia memaparkan enam sifat manusia Indonesia seperti yang distereotipkan banyak orang, yakni munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah watak atau karakter.

Pidato kebudayaan ini memicu polemik dan gelombang pemberitaan. Tak seperti ceramah-ceramah umum tentang kebudayaan yang biasanya hanya diberitakan dalam kolom sastra atau budaya di halaman dalam, pidato kebudayaan Lubis ini justru banyak muncul di halaman utama surat kabar.

“Rangkuman rinci, dan polemik yang mengisi halaman-halaman bergengsi rubrik ‘feature’ dan ‘surat kepada redaksi’ selama berminggu-minggu,” tulis David T. Hill.

Tanggapan masyarakat mayoritas memuji keterusterangannya dan mengakuinya sebagai seorang yang terbiasa menyerang lembaga-lembaga dan ide-ide mapan. Namun, ada pula yang mengkritiknya dengan cara meralat asumsi-asumsi yang dipaparkan Mochtar Lubis, salah satunya Margono Djojohadikusumo.

Margono menilai Mochtar Lubis menggambarkan feodalisme dengan begitu ekstrem sehingga menjadi karikatur yang menggelikan. Ia juga menganggap bahwa feodalisme yang diuraikan Mochtar Lubis hanya feodalisme dari suku Jawa sehingga dapat menimbulkan prasangka bahwa Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia yang anti-Jawa.

“Cara penulisannya menimbulkan efek yang tidak diharapkan (anti suku Jawa) […] saya sendiri merasa tersinggung, bahkan boleh dikatakan agak terluka,” tulisnya dalam Kompas edisi 13 Mei 1977.

Salah satu pendapat Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia yang ia bantah adalah sebagai berikut:

“Saudara-saudara kita dari Jawa tidak jemu-jemunya memakai ucapan: ‘Sepi ing pamrih rame ing gawe, amemayu ayuning bawana (bekerja keras tanpa mencari keuntungan untuk diri sendiri, manusia memajukan dunia)’. Seolah-olah pandangan hidup tidak terlihat dalam praktek, dan hanya buah bibir dan tidak ada kenyataannya.”

Margono membantah pendapat itu dengan contoh sepucuk surat yang ia terima dari cucunya, Prabowo Subianto, yang tengah bertugas di Timor Timur. Dalam surat tersebut sang cucu menyampaikan bahwa ia tak bisa merayakan Idul Fitri di tengah keluarga karena sedang di medan pertempuran, dan ia meminta maaf.

Dalam surat tersebut sang cucu menegaskan bahwa para prajurit Indonesia berjuang tanpa pamrih, dan yang diingat hanya sumpahnya sebagai prajurit dan ksatria.

“Apakah ‘tanpa pamrih’ yang ditulis dalam surat itu hanya buah bibir saja atau hiasan surat dari seorang cucu kepada kakeknya? Tidak adil kiranya kalau ada orang mengatakan ‘sepi ing pamrih rame ing gawe dan sebagainya’ hanya pepatah kosong belaka,” tulis Margono.

Hal lain yang mengusik Margono adalah pendapat Lubis tentang manusia Indonesia, terutama suku Jawa, yang tidak berani berterus terang. Margono mencuplik satu persitiwa dalam Kongres Kebudayaan tahun 1918 di kota Solo.

Saat itu, anggapan suka bohong yang melekat pada orang Jawa sempat juga menjadi pembicaraan. Hal tersebut menimbulkan reaksi, dan justru disampaikan bukan oleh orang Jawa melainkan oleh orang asing bernama Pastor van Lidt, seorang ahli bahasa dan filsafat Jawa, yang berkata:

“Orang Barat tidak dapat menyelami tabiat orang Jawa dalam pergaulan masyarakat. Bagi orang Barat anak-anak sampai dewasa dididik dan diberi anjuran ‘lieg niet’, artinya ‘jangan berbohong’. Tetapi anak Jawa sejak kecil diberi doktrin ‘grief niet’, yang artinya ‘jangan menyakiti hati orang’.”

Ungkapan van Lidt tersebut dijadikan argumen oleh Margono bahwa pendapat orang Jawa tidak suka berterus terang atau suka berbohong, tidak tepat. Orang Jawa justru mengedepankan sikap tidak menyakiti orang lain dalam mengungkapkan sesuatu.

Margono memberi contoh, jika ada orang yang bau badannya tak sedap, maka orang Jawa tak mengungkapkan, “Kamu jangan dekat-dekat saya, keringatmu bau”, melainkan dengan kata-kata, “Baiklah Saudara minum kencur atau bedak apu (kapur sirih) untuk menyegarkan badanmu”.

Sebagai seorang ningrat Jawa, Margono juga mengungkapkan hal-hal lain yang ia rasa tak tepat dalam menggambarkan manusia Indonesia, khususnya orang Jawa. Di pengujung tanggapannya ia menulis, “Mudah-mudahan sekadar dapat melunakkan gambaran yang begitu suram yang dicerminkan Mochtar Lubis.”

Dua pekan kemudian, Kompas memuat tanggapan Lubis atas tanggapan Margono terhadap Manusia Indonesia. Ia menyatakan bahwa dirinya merasa rawan atas kesan yang salah yang disampaikan oleh Margono.

“Pertama sekali kesannya seakan isi ceramah saya itu anti-Jawa. Dengan tercengang saya baca reaksi beliau yang demikian,” tulisnya.

Munurutnya, ciri manusia Indonesia kini yang ia tulis sama sekali jauh dari segala nilai-nilai ksatria aristokrasi Jawa seperti yang diwakili oleh Margono dan keluarganya. Ia bahkan menilai Margono termasuk jenis manusia yang sedang dalam proses “kepunahan” dan termasuk “kekecualian yang jarang dapat ditemukan kini”.

Lubis menambahkan, lukisan suram dalam tulisannya bukan berarti ia melihat hari depan manusia Indonesia dengan mata yang suram. Ia bahkan yakin bahwa hal-hal tersebut dapat diperbaiki.

“Dalam menanggapi ceramah saya, saya ingin mengundang kawan-kawan yang menanggapinya, agar jangan memakai ukuran dirinya sendiri, tetapi meletakkan persoalannya ke tingkat bangsa dan masyarakat kita,” imbuhnya.

Tanggapan-tanggapan lain yang bernada kritik terhadap ceramah tersebut terus bermunculan, salah satunya dari Sarlito Wirawan Sarwono, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pidato kebudayaan Lubis tersebut menjadi salah satu ceramah yang banyak diperbincangkan.


Kasus Hadiah Ramon Magsaysay

Saat Yayasan Magsaysay Filipina memberikan hadiah kepada Pramoedya Ananta Toer pada 1995 untuk bidang jurnalistik, Lubis menolaknya. Ia menilai Pramoedya tidak layak mendapatkannya karena pernah melakukan penindasan terhadap seniman lain pada era Demokrasi Terpimpin.

Lubis yang sempat mendapatkan hadiah yang sama pada 1958 bahkan mengembalikan hadiahnya itu. Ia menganggap pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya tidak mencerminkan semangat Ramon Magsaysay, mantan presiden Filipina yang memperjuangkan cita-cita politik, ekonomi, dan sosial bagi rakyat Filipina, serta semangat kedemokrasiannya yang teguh.

“Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan terhadap sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia,” ungkapnya seperti dikutip Maman S. Mahayana dalam “Pramoedya Ananta Toer dan Hadiah Magsaysay”.

Pendapat Lubis diamini oleh para penolak lainnya seperti dimuat dalam Panji Masyarakat No. 836, 21 Agustus 1995, yang menyatakan bahwa Pramoedya berperan aktif dalam menyingkirkan lawan-lawannya terutama seniman di luar Lekra.

Mahayana menambahkan, penolakan Mochtar Lubis tersebut berdasar pada penilaiannya terhadap Pramoedya yang punya bakat anti-kemanusiaan dan anti-kebebasan kreativitas.

“Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak kretivitas orang lain, yang pernah dihantam Pramoedya habis-habisan itu seakan-akan dianggap tidak ada. Nah, itu yang kami perjuangkan dalam aksi protes ini, supaya generasi muda yang akan datang, mengerti bahwa antara sastrawan dan karya sastranya yang pernah dibuat di masa lalu itu, tidak bisa dipisah-pisahkan,” imbuhnya.

Menanggapi sejumlah penolakan tersebut, beberapa anak muda seperti Ariel Haryanto, Tommy F. Awuy, Isti Nugroho dan lain-lain mencoba melawannya. Menurut mereka, kekhawatiran ideologis yang berlebihan tidak mendewasakan dan menghambat lahirnya gagasan kritis yang mencerdaskan. Dan polemik terus bergulir.

2 Juli 2004, tepat hari ini lima belas tahun yang lalu, Mochtar Lubis meninggal dunia. Ia seperti kata David T. Hill adalah “seorang pembangkang”. Ya, pembangkang atas segala gagasan yang dinilainya bertentangan dengan kemanusiaan. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 2 Juli 2019

Sejarah Bedil Cikeruh Penumpas DI/TII: Bertahan hingga Zaman Kiwari

Pada pagi yang tidak terlalu awal di Cipacing, seorang penjual senapan tampak belum sepenuhnya ditinggalkan kantuk. Ia baru membuka tokonya.

“Di Cikeruh,” jawabnya saat saya bertanya di mana pusat pembuatan bedil angin.

“Dari sini lurus, nanti ketemu plang bertuliskan ‘Brimob’, nah dari situ belok kiri,” imbuhnya.

Cikeruh adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Jalan desa yang saya lalui tidak terlalu bagus. Bolong di sana-sini dan berdebu. Di pinggir jalan terdapat beberapa patung orang yang tengah memegang senapan, juga replika bedil berukuran kira-kira dua meter.

Saya menemui Idih Sunaedi (77), salah seorang pengrajin bedil angin dan ketua Koperasi Bina Karya—koperasi yang beranggotakan para pengrajin dan penjual senapan angin.


Menak Sumedang sebagai Sang Pemula

Menurut Idih, mula-mula warga Cikeruh adalah pembuat pedang samurai yang dipesan orang-orang Belanda pada akhir 1800-an. Untuk lebih meningkatkan keterampilan, konon para leluhurnya disekolahkan ke Belanda. Mulai 1923 mereka membuat pelbagai perkakas sederhana yang biasa digunakan dalam keseharian. Bahkan mereka pun membuat jarum dan masker anjing.

Baheula kolot-kolot bapa kapaké ku Belanda (Dulu para leluhur bapak dapat diandalkan [untuk membuat barang-barang itu] oleh Belanda),” ujarnya.

Selain menemui Idih, saya juga menemui pengrajin yang lain, yakni Ade Supriatna (67). Berdasarkan keterangannya, pembuatan bedil angin di Cikeruh mula-mula dirintis kakeknya yang bernama Raden Soemadimadja, keturunan menak Sumedang.

Karena tidak betah dengan kehidupan di lingkungan para priyayi, Soemadimadja berkelana dan menetap di Cikeruh. Ia awalnya hanya membuka bengkel besi. Namun saat itu di wilayah Jatinangor terdapat sejumlah perkebunan milik orang Belanda, atau Ade menyebutnya “kontrak”. Dari sinilah cerita bedil di Cikeruh bermula.


Para pemilik perkebunan rata-rata mempunyai senapan untuk berburu dan keperluan lainnya. Sekali waktu, senapan milik seorang juragan kebun rusak dan kakeknya diminta untuk memperbaiki.

Da panginten ari kedah ngoméan ka Belanda mah tebih, janten dongkap ka pun aki miwarang dilereskeun (Karena mungkin untuk memperbaiki [senapan] ke Belanda terlalu jauh, maka [pemilik senapan itu] datang ke kakek saya menyuruh untuk memperbaikinya),” ucap Ade.

Soemadimadja sebetulnya awam soal senapan, tapi ia tak bisa menolak permintaan sang juragan kebun. Secara autodidak, ia akhirnya dapat memperbaiki senapan. Sejak itu namanya mulai dikenal para juragan kebun di Jatinangor sebagai ahli memperbaiki senapan.

Seiring waktu, Soemadimadja pun akhirnya mampu membuat bedil. Seperti keterangan Idih yang menyebut leluhurnya pernah disekolahkan ke Belanda, konon Soemadimadja pun pernah dibawa ke Belanda untuk mendalami ilmu tentang pembuatan senapan.

Ade menambahkan, Lingkungan Industri Kecil (LIK) di Desa Cibatu, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, yang terkenal sebagai pembuat senjata tajam, masih ada hubungannya dengan Soemadimadja.

Hal itu terjadi karena dalam pengembaraannya meninggalkan lingkungan menak di Kabupaten Sumedang, Soemadimadja pernah juga tinggal di Sukabumi dan mungkin mempunyai seorang istri dari daerah tersebut. Ade mengatakan kakeknya mempunyai tiga orang istri, dan neneknya adalah istri yang terakhir.

Keterampilan Soemadimadja diturunkan kepada salah seorang anaknya, yaitu Pipik Soemadimadja, ayahnya Ade. Menurut Ade, ayahnya sempat bekerja di Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) sehingga sekarang terdapat satu ruangan di Pindad yang bernama Pipik Soemadimadja sebagai bentuk penghargaan kepadanya. Ade pun menamai perusahaan dagangnya dengan nama “PD Pipik Putra”.

Bedil Dorlok untuk Menumpas DI/TII

Ketika pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo di Jawa Barat mulai mendekati masa akhir, para pengrajin di Cikeruh mendapat pesanan dari TNI untuk membuat bedil “dorlok” (didor kemudian dicolok). Dorlok artinya setelah ditembakkan, senapan mesti ditusuk untuk mengeluarkan selongsong, kemudian diisi peluru lagi.

Bedil dorlok diproduksi untuk mempersenjatai milisi bentukan TNI, yakni Organisasi Keamanan Desa (OKD), yang membantu TNI dalam menumpas DI/TII. Menurut Idih, pesanan bedil ini datang lewat sejumlah Komando Distrik Militer (Kodim) yang bermarkas di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat, yang hampir semuanya terpapar pemberontakan DI/TII.

Kusabab dorlok mah hiji-hiji, teras wéh ngadamel dorma, janten sakali némbak téh tiasa lima (Karena dorlok [sekali tembak] hanya satu peluru, maka dibuatlah [senapan] dorma (didor lima), jadi sekali tembak bisa [memuntahkan] lima [peluru]),” ujar Idih.

Baik Idih maupun Ade mengatakan, meski DI/TII tahu bahwa bedil yang dipakai para anggota OKD diproduksi di Cikeruh, kampung mereka tidak pernah sekali pun menjadi sasaran penyerangan para pemberontak tersebut.

Sigana sieuneun dibedil ogé ku urang dieu (Mungkin [DI/TII] takut ditembak juga sama orang sini),” imbuh Idih seraya tertawa.

Saat operasi Pagar Betis digelar, Idih sempat ikut operasi tersebut selama tiga hari di kaki Gunung Manglayang. Jika kawan-kawannya sesama warga sipil hanya bersenjatakan golok atau pedang, ia justru membawa bedil dorlok seperti para anggota OKD.


Tentara tak ada yang melarangnya, sebab mereka tahu Idih adalah salah seorang anak pengrajin senapan dari Cikeruh.

Sementara Ade yang saat itu masih kecil tidak pernah terlibat dalam operasi Pagar Betis. Namun ia masih ingat, kala itu permintaan bedil dorlok di Cikeruh cukup tinggi.


Nama Jawa untuk Anak Pertama

Setelah Kartosoewirjo ditangkap pada Juni 1962 dan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berhasil dipadamkan, TNI menghentikan permintaan bedil dorlok dan melarang para pengrajin Cikeruh untuk membuat senapan tersebut. Sejak itulah para pengrajin beralih ke senapan angin.

Berdasarkan lini kala, senapan angin di Cikeruh mula-mula dibuat dengan tenaga tembakan menggunakan per atau pegas. Setelah itu dengan pompa, dan yang terbaru dengan tenaga gas.

Peluru untuk semua bedil itu menggunakan mimis, berukuran kecil dan biasanya hanya digunakan untuk berburu binatang-binatang kecil. Namun, jika mengenai manusia apalagi dari jarak dekat, peluru tersebut bisa mengakibatkan luka yang serius.

Pembuatan bedil angin di Cikeruh sempat mengalami kelesuan yang parah. Hampir semua pengrajin berhenti memproduksi. Hal ini karena mereka terkena imbas operasi Sapu Jagad yang dilakukan pemerintah pada 1980-an.

Operasi ini sebetulnya hanya melarang pembuatan dan peredaran senjata api di masyarakat. Namun karena tampilan bedil angin yang menggunakan peluru mimis sama dengan senjata api lainnya, akhirnya mereka pun ikut kena larangan.

Saat krisis seperti itu, para pengrajin bedil angin banyak yang menjual barangnya dengan harga di bawah biaya produksi, tapi tetap saja yang terjual sangat minim. Dalam situasi seperti itu, Ade pergi ke Lampung untuk menjajakan bedil angin miliknya.

Wilayah di Sumatra itu ia pilih sebab berdasarkan catatannya, Lampung sudah lama menjadi pasar yang dapat diandalkan untuk menyerap bedil angin buatan Cikeruh.

Ia pergi membawa 20 bedil angin, dan sampai bekalnya menipis bahkan untuk ongkos pulang ke Sumedang pun tidak mencukupi, barang jualannya tidak laku. Namun, akhirnya Ade mendapat bantuan dari seorang pejabat kepolisian setempat.

Kisah bermula saat ia makan di sebuah warung nasi. Hampir semua orang membicarakan operasi Sapu Jagad. Dalam pembicaraan itu, seseorang menyebut satu nama yang merupakan penanggungjawab operasi tersebut di daerah Lampung, yaitu pejabat kepolisian bidang Pengawasan Senjata dan Bahan Peledak (Wasendak). Pejabat tersebut berasal dari Klaten, Jawa Tengah.

Ia kemudian nekat mendatangi Polres Metro, Lampung, dan kepada petugas piket ia mengatakan bahwa dirinya adalah saudara dari pejabat kepolisian bidang Wasendak.

Kawitna mah teu percateneun petugas pikét téh da dina KTP alamat bapa di Sumedang. Tapi ku bapa disaurkeun yén bapa téh wargi anjeunna ti pun biang (Awalnya petugas piket tidak percaya [kalau bapak saudara pejabat kepolisian itu] sebab alamat dalam KTP adalah Sumedang. Tapi sama bapak diberitahu bahwa bapak saudaranya dari pihak ibu),” ucapnya.

Setelah berhasil meyakinkan petugas piket, Ade akhirnya bertemu dengan kepala bidang Pengawasan Senjata dan Bahan Peledak yang namanya tak dapat ia ingat.

Ia mula-mula meminta maaf karena telah berbohong dengan mengaku sebagai saudara pejabat kepolisian tersebut. Selanjutnya Ade curhat mengenai kondisi penjualan bedil angin yang terkena imbas akibat diberlakukannya operasi Sapu Jagad. Ia juga menceritakan tentang dirinya yang telah kehabisan bekal dan tak punya ongkos untuk pulang ke kampung halaman.

Menerima penjelasan dan keluhan seperti itu, kepala bidang Wasendak Polres Metro, Lampung, terdiam. Ia berpikir sejenak.

“Sekali ini saya bantu, tapi jangan ke sini lagi. Nanti setelah laku, segera pulang ke Sumedang, ya,” ucapnya seperti dikutip Ade.

Atas bantuannya, sejumlah bedil angin itu akhirnya laku dijual ke beberapa koleganya sesama pejabat kepolisian dan pejabat daerah setempat. Ade tentu sangat berterimakasih kepadanya, sampai ia bernazar jika anak pertamanya lahir akan ia namai dengan nama Jawa.

Sebagai catatan, bagi mayoritas orang Sunda, sebutan Jawa selalu mengacu kepada etnis, bukan wilayah geografis. Sebagai contoh, jika orang Sunda hendak pergi ke Jawa Tengah atau Jawa Timur, mereka selalu berkata, “hendak pergi ke Jawa”.

Demikianlah, saat anak pertamanya lahir, Ade memberinya nama Sugeng Supriyanto. Nama yang sangat khas etnis Jawa.

Minangka ngahununkeun ka polisi nu orang Klatén éta. Budak bapa pituin Sunda, tapi namina Jawa pisan (Sebagai bentuk terimakasih kepada polisi yang orang Klaten itu. Anak bapak asli Sunda, tapi namanya sangat Jawa),” imbuhnya sambil tersenyum.

Dan benar saja, di depan rumahnya saya melihat sebuah papan nama bertuliskan “Sugeng S”.



Orang Tionghoa Mempersenjatai Diri

Setelah operasi Sapu Jagad periode itu berakhir, gairah penjualan bedil angin di Cikeruh kembali menggeliat. Dan puncaknya terjadi pada awal era Reformasi 1998.

Tah, taun éta ramé pisan. Béngkél unggal poé sibuk (Nah, tahun itu ramai sekali [yang memesan senapan angin]. Bengkel [pembuatan] setiap hari [menjadi] sibuk),” ucap Idih mengenang derasnya permintaan bedil angin pada awal era Reformasi.

Namun, ia tak menceritakan siapa sesungguhnya pasar terbesar pada tahun tersebut.

Keterangan serupa saya dapat dari Ade. Ia saat itu rajin ikut pameran industri di Jakarta, tepatnya di Balai Sidang Jakarta yang kini bernama Jakarta Convention Center, di bilangan Senayan.

Kawan-kawannya sesama pengrajin semula pesimis dengan keputusan Ade untuk mengikuti pameran tersebut. Di benak mereka, krisis ekonomi yang tengah menerjang jelang lengsernya penguasa Orde Baru itu membuat daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok rendah, apalagi terhadap senapan angin.

Tapi nyatanya keputusan Ade tidak keliru. Dalam pameran tersebut ia berkali-kali diserbu para pembeli keturunan Tionghoa—yang saat itu banyak yang menjadi sasaran amukan massa—untuk mempersenjatai diri.

Ketakutan yang mencekam, khususnya bagi warga keturunan Tionghoa, bagi Ade justru menjadi pintu rezeki. Bedil anginnya laris manis. Hasil penjualan itu bahkan membuatnya mampu mendirikan sebuah rumah yang kokoh di Cikeruh yang kini ia tempati.



Cipacing sebagai Etalase

Desa Cikeruh yang letaknya agak menjorok ke dalam dari jalan raya Cileunyi dan Jatinangor membuat para pengrajin mayoritas hanya sebagai pembuat bedil angin.

Sementara penjualan lebih banyak di Desa Cipacing yang letaknya lebih dekat ke jalan raya. Toko senapan angin berjajar di sepanjang jalan raya Cileunyi yang menuju ke arah Garut.

Di Desa Cipacing pun sebenarnya ada beberapa pengrajin, tapi jumlahnya lebih sedikit dan mereka hampir semuanya mula-mula belajar membuat bedil angin dari para pengrajin di Cikeruh.

Di sepanjang jalan desa yang rusak dan berdebu di Cikeruh pun sebetulnya ada beberapa toko kecil yang menjual senapan angin, tapi karena letaknya tidak strategis, jadi terlihat sepi dan agak kotor dihinggapi debu.

Situasi seperti ini pada akhirnya membuat Cipacing lebih dikenal luas oleh masyarakat. Dan Cikeruh, di mana sejarah bedil angin ini bermula, namanya seolah-olah kian tenggelam. (irf)



Tayang pertama kali di Tirto.id pada 25 Maret 2019

01 September 2020

Kang Ajip Sakolébatan…


Ku: Cecep Burdansyah

Keur kalangan sastra Sunda mah Kang Ajip téh kolot saréréa, nu teu weléh ngaping, ngajaring, nuyun, ngélingan, malah sakapeung nyentak sangkan nu ngarora éling. Kanyaah nu taya kendatna, lir cai hérang canémbrang nu salawasna ngocor.

Duh, karasa keueungna. Melang tur lewang jalan sorangeun. Moal kakuping deui sora nu sakapeung halon, sakapeung bedas. Moal katénjo deui ketakna nu teu weléh kaimpungan ku balaréa. Tempat urang ngumpul suka seuri ngalubarkeun kasono.

Nu kawilang unik tur menarik tina kahirupan Kang Ajip, dongéng patelakna jeung Goenawan Mohamad saparakanca, anu dugi ka Kang Ajip ngejat ka Jepang, ngadosénan di negeri Sakura.

"Akang dituduh mawaan urang Sunda ka Pustaka Jaya," saurna énténg.

Padahal sakaterang kuring, Pustaka Jaya jaman dicepeng ku Kang Ajip jadi penerbit anu komaraan dina dunya buku sastra. Penerjemahna gé teu saeutik urang Jawa saperti Sugiarta Sriwibawa, Hartojo Andangjaya. Malah Kang Ajip kaasup anu ngalahirkeun pangarang Titis Basino, naskah Pelabuhan Hati sasatna hasil timbangan Kang Ajip.

Dina sastra Sunda kungsi génjlong hadiah sastra "podol séro". Juri LBSS dikékéak ari hadiahna mah dicokot. Harita Kang Ajip ngomentaran énténg pisan.

"Goenawan Mohamad gé pernah narima hadiah tapi jurina dipoyok bébéakan. Ku Akang ditanya, 'Kenapa hadiahnya diambil?' Goenawan ngajawab, 'Habis butuh, sih."

Aya ogé dongéng Pa Popo Iskandar anu ku kuring teu sempet dikonfirmasi ka Kang Ajip, lantaran dicaram ku Pa Popo. Jaman jadi wartawan Manglé, kungsi ngawawancara Pa Popo sabudeureun kualitas sastra Sunda.

Harita kuring naros ka Pa Popo, naon saéna carpon “Di Cindulang Aya Kembang” karya Aam Amilia kénging hadiah Moh Ambri? Saur Kang Ajip, éta carpon saéna dicabut tina buku Sawidak Carita Pondok, jalaran ngepop. Eta carpon kénging hadiah Moh Ambri usulan Pa Popo anu keukeuh merjuangkeunana.

"Oh kitu?" Saur Pa Popo, lami anjeuna ngahuleng. Teras sasauran leuleuy pisan.

"Supados ayi uninga waé, saleresna anu keukeuh ngusulkeun carpon ‘Di Cindulang  Aya Kembang’ téh puguh Kang Ajip, akang anu teu satuju margi kalebetna carpon rumaja. Tapi ulah dimuat nya, ieu mah supados ayi uninga wé," saur Pa Popo.

Kuring rada protés. "Upami henteu diserat, atuh moal aya babandingan pamendak, pamendak Kang Ajip atuh bakal dianggap leres ku nu sanés."

"Ah Akang mah teu resep polémik. Sawios badé dianggap kitu gé," walerna.

Éta onjoyna Kang Ajip sareng nu séjén téh. Kaludeungna dina polémik. Padahal seratan kritik Popo Iskandar kana karya-karya sastra Sunda kawilang hadé ajénna tur weweg tatapakan sastrana. Lantaran henteu produktip siga Duduh Durahman sareng Ajip Rosidi, Popo Iskandar tara kasabit-sabit minangka kritikus sastra Sunda.

Ayeuna Kang Ajip tos teu aya di kieuna, komo Pa Popo mah tos lami pisan. Malah Kang Wahyu Wibisana gé batur hoghagna Kang Ajip, sami tos lami ngantunkeun. Nu karasa ku kuring, ieu tilu tokoh téh kualitas nulisna haradé, tapi tiluanana chemistry-na teu nyurup, alias remen gétréng.

Kang, asa moal haneuteun sastra Sunda teu aya Akang mah. Pasti Akang bendu tur ngawaler, "Ulah gumantung ka batur nyaah kana budaya mah. Kudu ludeung nyorangan."

Muhun, Kang, tapi asa moal katanagaan teu aya Akang mah. [ ]

Galakna Kang Ajip

 


Ku: Cecep Burdansyah

Kang Ajip mémang galak. Teu nginjeum ceuli teu nginjeum panon. Taun 2016 asana mah, déét kénéh. Aya nu seja ngawawancara Kang Ajip, hiji mojang ngora kénéh, jeung timna aya kana tiluan. Mun ku jaman ayeuna mah disebutna talkshow téa. Wawancara bari dirékam ku vidéo.

Saméméh ngawawancara Kang Ajip, Si Nénéng anu ngakuna utusan ti Kemendikbud téh ngawawancara heula kuring di kantor di Sékélimus, ngeunaan karya-karya Kang Ajip jeung sosokna.

Terus isukna ngawawancara Kang Ajip di perpustakaanana di Jalan Garut.

Geus timbul kamelang saenyana mah, ieu Si Nénéng paur diseukseukan ku Kang Ajip. Ari masalahna, Si Nénéng teu boga pisan bekel ngeunaan Kang Ajip, malah teu apaleun judul buku karya Kang Ajip. Lantaran kuring mah jalma teu tégaan, ah diladénan wé najan pertanyaanana matak pikaseurieun gé.

Isukna kuring ngahaja ka Jalan Garut nepungan Kang Ajip, panasaran duméh terus rasa bakal aya kajadian. Kasampak anjeuna tos calik di rohang biasa ngumpul. Anjeuna daréhdéh ngabagéakeun, da anjeuna sok bingaheun mun aya batur ngobrol téh.

"Rék aya nu ngawawancara Akang, duka saha ngan sigana proyék ti Kemendikbud, proyék biografi sastrawan. Saenyana mah Akang leuwih panuju ku Ahda Imran, tapi nyao saha nu meunang proyék ti Kemendikbudna," saurna.

Kuring ngahaminan bari nyebutkeun, muhun kamari gé ngawawancara abdi soal Akang, pok téh.

Teu lila kurunyung nu rék ngawawancara téh, Si Nénéng téa, jeung timna lalaki tiluan. Si Nénéng neda widi rék nyéting kaméra sapuratina kayaning lampu lihting. Kang Ajip ngahempékkeun. Malum wawancara keur vidéo, jadi butuh waktu rada lila. Salila nu rék ngawawancara nyéting, Kang Ajip anteng ngobrol jeung kuring, nyalsé pisan.

"Pak, sudah siap," ceuk Si Nénéng ngagentraan.

"Sok, rék nanya naon?" Saur Kang Ajip. Nu teu apal adat mah jawaban kitu matak nyorodcod tuur.

Caritana siap wawancara, calikna digenah-genah. Atuh nu midéo ngatur bloking sangkan sieup katingalina. Kuring nyisi sangkan teu karékam.

Kuring hemar-hemir lantaran geus apal kana bekel Si Nénéng jeung apal pisan kana adat Kang Ajip. Apan Budi Rahayu Tamsyah gé pundungna katutuluyan da diségag ku Kang Ajip jaman diskusi soal pantun di Paguyuban Pasundan taun 1990. Ti harita Budi Rahayu asana teu kungsi daék tepung deui jeung Kang Ajip.

"Pak, apa saja judul buku-buku yang Bapak tulis?" ceuk Si Nénéng.

Barang nguping patarosan kitu, Kang Ajip langsung tutunjuk bari nyarios bedas pisan.

"Pulang!" saurna.

Si Nénéng molohok mata simeuteun, kitu deui batur nu ngarékam vidéo. Kuring élékésékéng teu genah cicing.

"Kamu tidak tahu saya. Pulang! Buat apa wawancara!" saurna deui.

Si Nénéng masih can percaya kana situasi. Ngajengjen bari rarayna pias. Antukna Kang Ajip sasauran deui kalayan tandes, nitah kaluar ti perpustakaan.

Kaciri reuwas tur soak. Si Nénéng ngincid kaluar, atuh baturna sibuk mérésan deui alat-alat rékaman. kang Ajip terus gegelendeng awahing ku keuheul ka nu rék wawancara tapi teu nyaho nanaon pisan.

"Boro-boro maca buku Akang, judulna waé teu nyaho. Nanaonan kementerian ngutus nu kitu patut," saurna kalayan soanten teugeug.

Teu lila, ponsél Kang Ajip ngirining. Kabandungan, sigana Kang Ajip nuju sasauran perkara rékaman, ngan duka jeung saha. Ngan unina kieu, "Saya tahu, bagi kementerian kualitas tidak penting, yang penting asal ada dan anggaran keluar, tidak peduli dengan kualitas. Saya tidak butuh wawancara dengan kualitas pewawancara seperti itu," saurna.

Nu sasauran dina telepon ulet ngalobi Kang Ajip. Tapi batan léah, Kang Ajip malah tambih amarah. Anjeuna langsung mareuman teleponna. Kénging sababara menit ponsélna disada deui, tapi ku Kang Ajip diantep.

"Budak téh ngadu meureun ka kementerian, ti kementerian bieu nelepon Akang sangkan daék diwawancara jeung kudu ngamalum ka nu ngawawancara. Sangeunahna pisan. Maranéhna mah tara mikiran kumaha kualitasna, da nu dipikiran proyékna," saurna.

Kuring ukur ngabandungan, tur nyarita dina haté, deuh kajadian ogé anu disawang ti saméméhna téh. Kuring panuju kana sikepna anu tandes. Kudu kitu mémang ngadidik mah, sangkan nu dididikna mikir. Sanajan, dina haté, mangkarunyakeun ogé. [ ]

Usép Romli jeung Modernisasi


Ku: Cecep Burdansyah

Mun nilik lalampahan hirupna, Usép Romli HM (1949-2020)--kang Usép, kitu kuring nyebut ka suargi--lain tipe urang Indonesia sakumaha anu digambarkeun ku Mochtar Lubis dina Manusia Indonesia.

Kang Usép lain tipe jalma anu ngudag-ngudag jabatan jeung lélétak ka dunungan sakumaha karéréanana urang Indonesia dina sawangan Mochtar Lubis. Jadi mun aya nu nyebutkeun Kang Usép mirip Ajip Rosidi atawa Ali Sadikin, merenah waé.

Kaasup jalma langka. Teu kabita ku jabatan jeung ludeung paséa. Poksangna nu matak kayungyun téh deuih.

Da enya langka atuh urang Sunda nu ludeung paséa. Paséana lain dor-dar teu puguh marebutkeun paisan kosong siga tatangga marebutkeun kabogoh, gara-gara budak atawa alatan panasbaran, tapi paséa ideu, kontra pamanggih jeung nu séjén.

Mun Kang Usép tipe héroy ku jabatan, tangtu basa diangkat tina guru SD jadi kepala séksi di Dinas Pendidikan Kebudayaan Provinsi Jawa moal ditinggalkeun. Taun 1980-an mah, jaman Orde Baru ngabibita rayat ku harta jeung jabatan, apan sakitu paboro-borona hayang boga jabatan téh.

Komo deui di lével provinsi. Cacak ukur boga jabatan di Dinas Pendidikan tingkat kacamatan gé, beu, agul jeung adigungna jaman harita, sugan mah raja wé. Pangna apal lantaran pun bapa guru. Keur mah loba babaturan jadi guru deuih. Jadi apal dongéngna kumaha guménakna nu baroga jabatan.

Ku Kang Usép jabatan bergéngsi téh diécagkeun. Der ngablu asruk-asrukan ka pilemburan ngadon jadi wartawan. Tulisan jurnalistikna boca ciri nu mandiri. Haat nulis jalma-jalma leutik anu tagen ngayonan hirup anu pohara beuratna. Jalma-jalma leutik anu henteu gampang ngangluh ku bangbaluh.

Genah jeung betah macana. Di antara tulisan Kang Usép nu napel nepi ka ayeuna, ngeunaan tukang ngaput di sisi jalan. Asana di Pasar Baru, tungtung Jalan ABC. Onjoyna Kang Usép minangka sastrawan, nulis jalma leutik henteu sakadar réportase salancar (liniér), tapi dipiguraan ku émpati. Nepi ka nu maca ngarasa sanasib jeung sakapeurih.

Manakomo mun nyanghareupan lebaran, tulisan Kang Usép beuki remen muncul di Pikiran Rakyat. Hawa lebaran anu paboro-boro balanja baju anyar jadi kontras jeung kahirupan jalma laleutik samodél tukang ngaput téa.

Resep aprak-aprakanana kaanteur sabada remen ngaliput obyék wisata nu dikokolakeun ku Perhutani. Nu inget kénéh, tulisanana ngeunaan uncal di Rancaupas.

Méh saban reportaseuna teu weléh aya poto. Hartina Kang Usép boga kaparigelan motrét ku kaméra analog. Da harita mah can usum digital.

Rada kaharti jalan pikiranana naon sababna resep ngaliput leuweung jeung tempat-tempat anu dikokolakeun ku Perhutani. Basa di paméran buku, di landmark Braga, Kang Usép anu tagogna gagah, jangkung badag, raray mirip-mirip urang India atawa Arab, nyarios pertentang pisan.

"Resep kénéh ngaliput ka daérah mencil sabangsaning Laut Jayanti, Cianjur kidul, batan di kota, lantaran salian ti nulis réportaseu, bisa nulis novél kahirupan urang lembur," saurna.

Kabiasaan macana anu hese katuturkeun téh. Sanajan jadi wartawan bari pulang anting Limbangan - Bandung, mun naék mobil umum, salawasna bari maca. Kungsi papanggih dina beus kota jurusan Jatinangor-Cibeureum. Kang Usép badé ka kantorna di Jalan Soekarno-Hatta. Kasampak nuju calik caket kaca bari maca buku.


Matak Kapiasem

Poksangna matak pikayungyuneun. Mun urang teu apal kana watekna, tangtu bakal gagal ngabédakeun antara anjeuna nu nyarios guyon jeung daria. Contona soal ngawayuh.

“Tong sok ngomong soal nyandung ari euweuh kawani mah,” saurna.

Dikedalkeun tara sakali dua kali. Lantaran éksprési antara daria jeung heureuy sami, tara dibarung ku gumujeng, pasti bakal aya nu nganggap cariosanana daria. Rék disebut teu daria, apan anjeuna mah tos kabuktian kawanina deuih. Ěstuning lain surahaneun jalma joré-joré.

Aya deui dongéngna nu matak kapiasem. Saurna, di kantorna ngan anjeuna nu wantun nyuhunkeun artos ka Pa Atang Ruswita, bigbos di Pikiran Rakyat. Nu séjén mah tara aya nu wantuneun.

“Akang mah mun keur butuh, sup wé ka ruangan Pa Atang. Alhamdulillah tara dipersabenan. Batur mah boro-boro aya nu wani,” saurna.

Lantaran matak panasaran, harita ditaros, naha ka Akang mani bageur?

“Da Pa Atang mah apaleun kana kualitas tulisan Akang,”pokna.

Ku saliwatan siga nu sombong. Tapi mun ras kana tulisanana, kudu diaku tulisan reportaseuna di Pikiran Rakyat, mun ceuk pakar Marketing Hermawan Kartajaya mah, boga diférénsiasi. Jadi teu mustahil mun Pa Atang Ruswita kacida ngaaprésiasina. Cindekna, Kang Usép kagungan branding.

Sikepna ka Gus Dur jeung NU gé matak ahéng. Sakaterang Kang Usép téh NU bolongkotan. Malah asana kantos jadi pangurus NU di Garut. Ngan sabada Gus Dur dirorod ti Istana, sikepna ka NU janten robah. Katara tina obrolan politik jeung sababaraha tulisan éséyna.

Kasakit ateul biwir sok tara katahan, kungsi naros, naha Akang sapertos anu sinis ka NU? Sanesna Akang téh NU?

“NU mah bener jaman ketuana Gus Dur jeung Kiai Ilyas,” pokna. Tara dikobét papanjangan, salian ti teu kaélmuan, nu ngadenge cukup ku surti.

Anu robah téh soal pandanganana ka Yahudi. Ti saprak wanoh jeung Kang Usép, mun ngobrolkeun kasusastraan atawa kapangarangan, nyabit-nyabit waé Saul Bellow, pangarang Amérika katurunan Yahudi nu dileler Nobél. Katingal kasengsremna téh.

Padahal harita nu remen disabit ku Duduh Durahman, Rustandi Kartakusumah, Abdullah Mustappa jeung sastrawan Sunda mah kayaning Hemingway, Steinbeck, Saroyan, jeung sastrawan ti Prancis atawa Rusia. Ti Kang Usép pisan apal ka ngaran Saul Bellow nepi ka panasaran hayang maca karyana.

Ka dieunakeun, ti sabada medal kumpulan carpon Jiad Ajengan, Kang Usép tara nyabit-nyabit deui Saul Bellow jeung sikepna ka Yahudi jadi nembrak: ngéwa. Mun geus ngobrolkeun Yahudi, ijidna nataku. Sanajan ari kapinteran urang Yahudi mah tetep diangken, ngan sok ditungtungan ku kalimah kieu,

“Gusti Alloh mah ngahaja nurunkeun umat Yahudi jeung pinterna, ngarah kaciri culasna.”

Tara papanjangan, sakumaha biasa, cukup ku surti.


Nolak Modernisasi

Gurat karyana dina sastra Sunda bisa disebutkeun aya dua wanda. Reljiius jeung modernisasi.

Nu paling ngoncrang tur harus karya-karyana nu merkarakeun modernisasi. Cohagna mah, korban modernisasi. Nu ngalangkang dina karya sastrana sajalan jeung tulisan jurnalistikna nu ngabéla jalma-jalma leutik nu kadempét ku modernisasi.

Ceurik Santri kaasup karya fénomenal nu merkarakeun jalma nu salah kaprah nyorang alam modernisasi. Alur caritana saenyana basajan, tapi problematika, dilema jeung konflikna natrat tur kuat, nepi ka ngajanggélék karakter tokoh anu kuat, pangpangna tokoh Sarip, santri di hiji pasantrén nu kudu narima bantuan ti Gunawan, jalma atéis nu ngarasa pangmodérenna.

Sanajan karampa aya pangaruh novél Atheis karya Ahdiat Kartahadimadja, Ceurik Santri lahir dina konteks Orde Baru keur kuat-kuatna. Sajaba ti ngandung aspék relijius, Ceurik Santri jadi antitésis ka pamarentah Orde Baru nu keur getol-getolna ngabuldoser rayat ku program pangwangunan. Diukur ku jaman harita, kaludeng Usép Romli lain meumeueusan.

Konsisténsi nolak modernisasi manjang dugi ka pupusna. Karya-karyana dina mangsa anjeuna pangsiun tur produktif, keukeuh modernisasi téh salah kaprah lantaran béhna mah ngagunasika hirup urang lembur jeung ngarogahala lingkungan.

Dikontraskeun jeung kearifan lokal, diwakilan ku tokoh-tokohna ti kalangan pilemburan, modernisasi ibarat kajahatan nu ngabinasakeun kamanusaan jeung alam nu sakitu suburna. Tokoh jahat alias modernisasi umumna diwakilan ku urang kota.

Ngan aya bedana jeung Ceurik Santri. Mun Ceurik Santri kuat lebah diléma, konflik, plot jeung karakter tokoh-tokohna, carpon-carponna kadieunakeun salancar pisan, tos teu merhatikeun plot minangka sasahiji éstétika sastra. Carponna jadi mirip éséy anu ngiritik modernisasi.

Mun dina Ceurik Santri nu nyoara téh sora batin tokoh-tokoh samodél Sarip, nepi ka nu maca ngarasakeun kana nu karandapan ku tokoh Sarip, dina carpon-carpon kadieunakeun mah tokoh-tokohna laleungit boh sora batin boh karakterna, nu harus téh sora pangarangna. Antukna carpon jadi leungit éksisténsi sastrana, diperkosa jadi corong pangarang.

Sapeuting di Cipawening (jadi judul kumpulan carpon terbitan Kiblat) kaasup carpon anu henteu puguh plotna. Saukur dialog tokoh kuring jeung hiji ajengan di Cipawening anu ngarasa melang lantaran lembur Cipawening mimiti robah ninggalkeun taliparanti kaséréd ku modernisasi.

Taya konflik, diléma, angot alur carita. Malah sama sakali teu kapapaykeun rék naon si tokoh kuring sapeuting aya di Cipawening sajaba ti ukur ngadéngékeun humandeuarna tokoh ajengan nu melang kana kaayaan lemburna. Logika caritana teu kasusud.

Jiad Ajengan (jadi judul kumpulan carpon terbitan Rahmat Cijulang) kaasup carpon anu saukur dijadikeun alat keur da’wah pangarangna. Beuki jauh ti Ceurik Santri anu kuat diléma, konflik, problematikana jeung plotna, Jiad Ajengan mah lempeng pisan.

Sanajan dina kahirupan nyata teu mustahil aya, ari dicaritakeun salancar mah tangtu jadi matak kerung. Ieu carpon nyaritakeun jalma anu mangtaun-taun gering, ubar-abér ka ditu ka dieu boh ka dokter boh ka dukun tapi teu cageur-cageur. Barang datang ka ajengan terus dijiad, saharita kénéh cageur. Amanat pangarangna minangka juru da’wah écés, urang salaku umat muslim kudu solat.

Pertanyaanana, naha enya jalma anu geringna teu cageur-cageus otomatis cageur ku solat? Lamun enya kitu, moal aya rumahsakit, dokter jeung perawat. Jalma-jalma garering ngadadak calageur cukup dijiad ku ajengan.

Kulantaran Kang Usép nyerat dina wanda realis, lain wanda simbolik, logika carita Jiad Ajengan kaluli-luli.

Buku Jiad Ajengan terbit taun 1991. Sakumaha watekna, Kang Usép kagungan percaya diri anu kuat bari poksang. Harita anjeuna kantos nyarios tur yakin taun 1992 buku Jiad Ajengan bakal kéngéng hadiah sastra Rancagé. Tara ditémpas, ngan ukur ngagerentes dina haté, maenya carpon kitu meunang Rancagé.

Kanyataanana nu kéngéng Rancagé novel Tanjeur di Juritan Jaya di Buana karya Yoséph Iskandar. Kulantaran sok géték biwir, kungsi naros ka Kang Ajip (harita mah juri Rancage tunggal kénéh ku Ajip Rosidi).

“Naha Jiad Ajengan karya Kang Usep henteu kengeng?”

“Teu logis. Maenya aya jalma gering teu cageur-cageur, dijampé ku ajengan langsung cageur,” saur Kang Ajip, tandes. Lantaran ngarasa akur, teu papanjangan ngobrolkeun Jiad Ajengan téh.

Ti saprak tijengkang ku Jiad Ajengan, Kang Usép tara ngobrolkeun deui ngarep-ngarep kéngéng Rancagé sanajan merul karya-karyana. Taun 2010 anjeunna nembé kéngéng Rancagé dumasar karyana Sanggeus Umur Tunggang Gunung jeung 2011 dumasar kana jasa-jasana.

Ciri hasna anu teu leungit tina tulisanana dugi ka pupusna, gaya basana anu angger genah dibacana, pangpangna lebah ngadéskripsikeun pilemburan. [ ]