30 May 2023

Hikayat Ari-ari


Sore di hari istri melahirkan, saya harus segera menguburkan ari-ari, orang Sunda menyebutnya bali. Konon dia saudara kembar si bayi. Sejumlah informasi telah saya kantongi bahwa sebagian orang mencampur ari-ari itu dengan pelbagai bumbu dapur. Kakak saya menyebutnya "disamaraan" atau "digulaasem".

Memang dulu di kampung juga orang-orang memperlakukan istimewa ari-ari ini. Setelah dikubur, biasanya dikasih penerangan berupa lampu. Konon agar saudara si bayi itu tetap merasa hangat seperti saat berada di dalam rahim.

Dari teks keagamaan, saya mendapati keterangan bahwa memperlakukan ari-ari sama saja seperti kita memperlakukan potongan rambut dan kuku, yakni dengan hanya menguburnya.  

Setelah dicuci untuk menghilangkan darah yang masih tersisa, gumpalan daging sebesar dua kepal tangan manusia dewasa itu saya masukan ke dalam kendi, lalu dibawa pulang menggunakan kantong plastik.

Di rumah, sambil merenung-renung mempertanyakan kenapa orang-orang dulu banyak yang membubuhi bumbu dapur pada ari-ari, akhirnya terbukalah ilham: kiranya alasannya sederhana, yakni agar tidak cepat berbau busuk.

Maka saya beranjak menuju kulkas, mengambil lemon, dan membelahnya. Ari-ari itu, selain dibubuhi garam, juga saya kucuri air lemon, lalu diaduk. Setelah itu dimasukkan kembali ke dalam kendi.

Jejentik jam terus berdetak. Saya segara menggali tanah dengan alat seadanya. Cangkul tak punya, linggis tak ada, golok pun tiada. Saya menggali menggunakan sendok semen yang sudah tidak ada gagangnya. Dapat dibayangkan betapa repotnya. Apalagi tanah yang saya gali ternyata dipenuhi bebatuan sehingga penggalian harus dibantu menggunakan obeng.

Setelah salah satu obeng saya rontok, akhirnya mencoba menghubungi seorang kawan yang tinggal di Simpang Dago. Berkali-kali ditelpon, berkali-kali juga tidak diangkat. Barangkali dia sedang di jalan.

Hari kian petang, saya mencoba mencari toko alat-alat pertanian terdekat via Google. Yang terdekat rupanya di daerah Ranca Oray, sekitar 9,6 kilometer, ah terlalu jauh. Saya kemudian teringat seorang kawan yang tinggal di daerah Parung Halang, Andir.

"Anyeuna pisan?" 

"Enya," jawab saya singkat.

Sepuluh menit kemudian dia datang membawa cangkul dan golok yang sangat tajam. Karena tanahnya berbatu, cangkul dia pun akhirnya rontok. Sementara goloknya tak saya gunakan karena sayang terlalu bagus. 

Setengah frustasi, kami akhirnya rehat. Dia menyulut api dan merokok, masih setia dengan Dji Sam Soe. Sementara saya sudah dua tahun berhenti. Kami ngobrol sampai tak terasa azan Magrib telah berkumandang. 

"Geus weh dikuburkeun di deukeut imah urang."

"Moal nanaon?"

"Moal, da nu penting mah dikuburkeun meh teu bau. Komo batur mah sok aya nu dipiceun ka Citarum. Tapi ari kitu-kitu teuing mah ulah, asa teu boga adab pisan," imbuhnya.

Dia pun akhirnya pamit, membawa kembali cangkul, golok, dan kembaran si bayi. 

Kira-kira pukul 19.30, dia mengirim foto ari-ari yang tengah ditanam di bawah rumpun bambu. Ya, rumah dia memang berdekatan dengan beberapa rumpun bambu dan permakaman yang tanahnya merah serta gembur.

Kelak, jika anak saya menanyakan di mana ari-arinya ditanam, saya dapat menceritakannya dengan mudah. [ ]   

23 May 2023

Putri Sang Surya

Tak pernah saya duga sebelumnya, istri melahirkan di RS Muhammadiyah, Bandung. Mula-mula adalah kabar sumir. Rumah sakit ini kerap dikabarkan agak jorok: puntung rokok konon kerap ditemui di lorong dan kusen. Kedua, RSMB sering dituding kurang sigap dalam menolong pasien sehingga berujung pada kematian. 

Dua kabar burung itu cukup membuat saya tak pernah mendekatinya. Terlebih asuransi kantor yang saya kantongi memberi banyak pilihan rumah sakit lain. 

Pada minggu awal kahamilan, istri diperiksa di Klinik Brawijaya. Setelah itu, sampai usia kehamilan 38 minggu, istri rutin kontrol di RS Limijati dan Puskesmas Cijagra. Memasuki hari-hari menjelang kelahiran, saya terhenyak: persalinan ternyata tak ditanggung asuransi kantor!

Di tengah keringat dingin yang tiba-tiba menyerang, karena terbayang biaya puluhan juta yang mesti dikeluarkan untuk persalinan SC, saya segera mengurus KK dan KTP agar BPJS yang digunakan istri saya dari kantornya dapat digunakan.

Setelah urusan dokumen kependudukan selesai, kami segera menuju faskes 1: Klinik Bona Mitra Keluarga. Tak banyak cingcong, faskes 1 langsung mengeluarkan surat rujukan. Rumah sakit rujukannya hanya empat: (1) RSUD Otista, Soreang, (2) RS Bina Sehat, Dayeuhkolot, (3) RS Muhammadiyah, dan (4) RS Pindad.

Sejumlah pertimbangan akhirnya menggiring kami ke RS Muhammadiyah. Kami tiba di IGD malam hari tanggal 18 Mei 2023. Esoknya, setelah menunggu sepenuh cemas, anak kami akhirnya dibawa keluar dari ruang operasi oleh bidan menuju ruang bayi. Dua jam kemudian, baru ibunya menyusul.

Selama proses pendaftaran di IGD, observasi di ruang isolasi, lalu pra dan pasca persalinan di ruang perawatan: pelayanannya baik, jauh dari bayangan buruk yang sebelumnya selalu menghantui. Para dokter, bidan, perawat, bagian farmasi, administrasi dan keamanan: semuanya bekerja dengan baik.

Sebagai Muslim, saya juga merasa tenang karena di ruang perawatan selalu terdengar lantunan murotal Al-Qur'an, diselingi ceramah, dan azan dalam lima waktu. Masjid di dalam rumah sakit pun sangat lapang dan bersih. 

Sebagai bonus, di sekitar RS Muhammadiyah juga banyak sekali kuliner yang enak. Ada RM Roda Baru (masakan Padang), Siomay Sinchan, Bubur Ayam Mang Andi, Mie Kocok Mang Dadeng, Nasi Kuning Teh Ida, dll. Dari pagi sampai malam, keluarga pasien tidak akan kesulitan mencari makanan.

Dua hari setelah dioperasi, istri dan bayi diperbolehkan pulang sambil dibekali surat kontrol. Tanggal 21 Mei 2023, siang sebelum Zuhur, kami pulang. Saya pakai motor. Sementara istri dan saudara memakai mobil. Mereka membawa pulang putri Sang Surya. [ ]  

07 May 2023

Pesan Nabi Telah Tiba di Ciledug



"Hidup bagaikan garis lurus

Tak pernah kembali ke masa yang lalu

Hidup bukan bulatan bola

Yang tiada ujung dan tiada pangkal"


Saya mengenal KLA Project, dan terutama Bimbo, sejak awal tahun 1990-an. Kakak yang nomor dua, yang di kamarnya ada tape recorder merek Sony, kerap memutarnya lewat kaset-kaset pita.  Artinya, jauh sebelum saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, lagu berjudul lagu itu telah lebih dulu hinggap di pendengaran. 

Meski demikian, sebetulnya kaset KLA Project itu cuma ada satu, yakni album The Best. Di album itu, favorit saya bukan "Yogyakarta", melainkan "Tentang Kita", "Anak Dara", dan "Lagu Baru".  Sementara Bimbo, seingat saya ada dua kaset. Pertama, album nostalgia berisi lagu-lagu cinta. Kedua, album qasidah (religi).

Tiga album itulah yang mula-mula menemani saya di usia SD dan SMP. Itu pun bukan didengarkan di kamar sendiri karena saya tidak punya kamar, seringnya tidur di sofa. Lagu-lagu itu terdengar saat saya duduk di sofa, di sebelah kamarnya.

Dia lulus SMA tahun 1994. Lalu kuliah di PGTKA Tarbiyatun Nisaa di Bogor. Setelah itu kerja berpindah-pindah, dari satu TK ke TK yang lain. Setelah melewati berliku jalan, akhirnya sampai juga di batas antara sendiri dan berpasangan. Dia diboyong ke Ciledug.

Tahun-tahun panjang setelah pernikahan tak hendak saya ulas. Tiap manusia punya nasib sendiri-sendiri dan kesunyian masing-masing. 

Pertemuan terakhir saat dia masih sehat terjadi di Wonogiri, 3,5 tahun yang lalu, pada pesta pernikahan yang sederhana. Masih terngiang di telinga lagu "Sepanjang Jalan Kenangan", seolah baru kemarin lagu itu dibawakannya di samping pelaminan.

Lalu badai datang. Sakit keras. Keberuntungan dan pengelolaan finansial yang kurang memadai perlahan membuatnya kian tak berdaya. Doa-doa membubung. Sekali dua ikhtiar pengobatan. 

Tahun berlalu, bulan berganti, hari dijemput hari baru. Maka datanglah saat itu: napas yang penghabisan. Malam itu juga ia dikebumikan.

Pada siapa pun yang meninggal, saya selalu ingin mengingatnya dengan memori yang baik. Saat-saat dia berjaya dalam kehidupan, saat senyum ceria, saat tertawa riang, saat semangat hidup masih menggelegak. 

Saya tak ingin mengingatnya saat dia sakit, tak perdaya, murung, bersedih, menangis. 

Maka setiap kali ada fotonya ketika sakit dibagikan di grup WA keluarga, saya hampir tak pernah membukanya. Ya, sakit dan kematian memang nasihat bagi yang hidup, tapi foto-foto saat dia tidak dalam kondisi terbaiknya hanya menyisakan pilu.

Kini, saat saya tengah menanti kelahiran, menunggu kehidupan baru, ia kembali kepada Yang Maha Hidup.  


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27-30)