Pertama, masjid di pesantren yang
dikelola Ajat di Gemarasa. Kedua, masjid di pesantren Umar di Panglayungan (Pasirpogor),
atau mungkin lebih tepatnya di kompleks Yayasan Pendidikan Nida Bahari.
Dulu, setidaknya sejak saya ingat
(kira-kira tahun 1988) sampai mulai merantau pada 1998, dua wilayah ini semua
warganya salat lima waktu di Masjid Agung, termasuk salat Jumat dan
taraweh—kecuali sebagian ibu-ibu yang salat taraweh di Masjid Nurul Huda atau
masjid Pak Deden Daenuri.
Tahun 1986, berdasarkan catatan pada
plakat, Masjid Agung Jampangkulon diresmikan oleh Bupati Sukabumi ke-13, Drs.
H. Ragam Santika. Bangunannya megah, ditopang enam pilar kokoh di dalam dengan
diameter kira-kira 1,5 meter. Pilar-pilar ini menjadi tempat favorit para orang
tua untuk bersandar saat mendengarkan ceramah Kuliah Subuh.
Di bagian depan, sisi sebelah kanan,
terdapat menara yang menjulang, yang ujungnya dihiasi kubah bawang. Menara ini
seluruhnya terbuat dari tembok, termasuk kubah. Di bagian bawah menara,
terdapat empat “kaki” yang masing-masing membentuk sudut, tempat bermain
anak-anak di waktu petang.
Masjid ini tak punya nama, maksudnya
tak seperti masjid-masjid lain yang sering diberi nama Al-Ikhlas, An-Nuur,
At-Taubah, Al-Muhajirin, Al-Furqon, dll, tapi cukup diberi nama Masjid Agung
Jampangkulon.
Tembok masjid, termasuk menara,
secara umum berwarna putih sedikit gading. Sementara jendela dan pintu berwarna
merah bata. Dinding bagian dalam hampir sepenuhnya dihiasi kaligrafi Al Qur’an
beserta terjemahnya yang terbuat dari karpet hijau beralas triplek putih. Salah
satu ayat yang dibuat kaligrafi itu adalah Surat An Nisa ayat 103:
Innaṣ-ṣalāta kānat 'alal-mu`minīna kitābam mauqụtā.
“Sungguh, salat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Sekeliling masjid dipagar tembok
berhias bata-bata bolong bermotif. Atasnya dipasang besi runcing mirip mata
trisula. Pengecualian di sisi utara yang sebetulnya menjadi pagar Kantor Urusan
Agama (KUA), di atas pagar dipasang paku besar dengan mata paku menghadap ke
atas.
Tak seperti pintu dalam yang ada tiga
(depan, kiri, kanan), pintu luar hanya ada dua, yaitu depan dan samping kanan
(selatan). Di samping utara dibatasi KUA dan tanahnya tinggi.
Tempat wudhu berada di sisi utara
bagian belakang, bersebelahan dengan KUA. Mula-mula, tempat wudhu ini hanya
petak-petak tembok sedada yang dipasangi beberapa keran. Setelah dipugar, jadi
bangunan tertutup yang dalamnya dibagi dua, tapi semuanya untuk wudhu. Lalu
dipugar lagi jadi terbuka, hanya toiletnya yang tertutup dan tempat kecingnya
dibatasi pintu koboi. Sementara tempat wudhunya dilengkapi tempat duduk yang
dilapisi keramik putih. Secara umum lebih terang dan bersih.
Namun usia tempat wudhu terbaru itu
tidak lama. Masjid Agung yang diresmikan pada 1986 tersebut dirobohkan dan
diganti pada 1996 oleh masjid baru yang dibikin Yayasan Amalbakti Muslim
Pancasila (YAMP) milik Soeharto. Artinya masjid yang diresmikan Drs. H. Ragam
Santika hanya berusia 10 tahun, singkat sekali.
Sebelum masjid berganti, beduk dan
kohkol berada di samping tempat wudhu, persis di depan pintu menuju ruangan
takmir. Diameter beduk yang terbuat dari kulit sapi sekitar 1,5 meter. Seingat
saya, beduk tak dipukul lima kali dalam hari, tapi hanya digunakan untuk
ngadulag saat bulan puasa dan menjelang Lebaran.
Entah kenapa mereka yang jago
ngadulag hanya orang-orang Gemarasa seperti Mang Dadun, Udan, Yadi (Ebod),
Hendra, Dede Hendi (Ebod), dll. Secara kebetulan mereka semaunya bertentangga
dan bersaudara. Ajaib.
Di bagian belakang masjid, tepatnya
di kiri dan kanan mimbar, terdapat dua ruangan yang lumayan luas. Ruangan di
sisi utara adalah tempat takmir azan, juga terdapat lemari kaca tempat
menyimpan beberapa Al Qur’an. Kami, anak-anak kecil biasanya pupujian
(puji-pujian) di ruangan ini. Tapi seingat saya, pupujian hanya terjadi di era
Aki Eman Selaeman (kakeknya Roni). Sementara di zaman Mang Rohman dan Mang Aang
pupujian tidak ada atau mungkin jarang. Pupujian andalan adalah “Eling-Eling
Umat”.
Sementara ruangan di sisi selatan
mimbar adalah tempat untuk menyimpan pasaran (keranda) dan tempat pemandian
jenazah. Ruangan ini tentu saja tempat yang paling dihindari anak-anak kecil.
Apalagi sering tersiar cerita tentang bunyi-bunyi keras pada malam hari di
ruangan ini. Cerita tersebut biasanya bermula dari Ceu Titi, warga yang rumahnya
persis di belakang masjid.
Di masing-masing ruangan terdapat
pintu yang dilengkapi kotak kaca yang menghadap ke ruangan utama masjid. Jika
anak-anak ribut atau berlari-larian di dalam masjid, maka Mang Rohman akan
mengintipnya dari ruangan takmir lewat kotak kaca di pintu itu.
Lantai masjid terbuat dari tegel
berwarna kelabu. Bagian serambi atau teras tampak mengkilat hitam karena sering
diinjak jamaah. Sementara bagian dalam hanya sebagian, karena sisanya ditutupi
karpet panjang berwarna hijau.
Tak seperti masjid pada umumnya yang
seluruhnya dikelilingi teras, Masjid Agung hanya bagian tengah depan saja.
Sisanya bukan teras, karena posisinya lebih rendah dan bukan batas suci. Jadi
hanya ubin biasa tempat menyimpan sandal.
Saat Masjid Agung masih berdiri ataupun ketika dirobohkan, lazimnya anak kampung dengan ekonomi pas-pasan, saya tak punya kamera untuk mengabadikan semuanya. Sebuah riwayat telah berakhir.
Masjid Besar Mihrobul Muslimin
Menjelang kejatuhan Soeharto, Golkar
tetap kuat di Wilayah Enam Jampangkulon yang meliputi Jampangkulon, Surade,
Kalibunder, Ciracap, Ciemas, dan Lengkong—setelah pemekaran, wilayah ini
menjadi sembilan kecamatan, ditambah Waluran, Cibitung, dan Cimanggu.
Barangkali atas dasar itu, YAMP mau
membikin masjid di Jampangkulon. Saat itu kondisi Masjdi Agung lama masih baik,
hanya saja atap bagian depan sedikit terlihat cekung ke bawah, seperti mau
ambrol. Sisanya masih baik, bahkan seperti saya sebutkan di atas, tempat wudhunya
masih sangat baru.
Ketika masjid lama diruntuhkan dan
masjid baru masih dibangun, tempat ngaji anak-anak pindah ke Pesantren Nurul
Huda milik Pak Deden Daenuri. Kami mengaji di lantai dua bagian depan yang
menghadap jalan raya. Namun lama-kelamaan Pak Haji Mahmudin atau Pak Amud (guru
mengaji kami) menggeser temat ngaji ke rumahnya di sebelah Kantor PLN yang
berisik.
Waktu itu listrik di Jampangkulon yang
bertenaga diesel belum menyala siang malam. Listrik hanya menyala dari setengah
enam sore sampai setengah enam pagi. Maka dulu jika mau membubarkan anak-anak
yang sedang bermain sepak bola, orang tua bisanya berteriak, “Geura bubar, listrik geus hurung”
(Segera bubar, listrik sudah menyala).
Sumber berisik tentu saja dari mesin diesel. Tapi itu tak menyurutkan kami untuk mengaji. Yang paling diingat, selepas Subuh yang dingin, kami tetap mendatangi rumah guru untuk mengaji kitab Ta’lim Muta’allim, Tijan, Safinah, dan Jurumiyyah.
Saya tak ingat terlalu pasti, berapa
lama waktu yang dihabiskan untuk pembangunan masjid baru, yang jelas dua tahun
sejak pembangunan dimulai saya mulai merantau untuk sekolah di Kota Sukabumi.
Belakangan, setelah masjid baru
selesai dibangun, pemerintah membuat klasifikasi tipe-tipe masjid. Jika dulu di
tingkat kecamatan disebutnya Masjid Agung, maka sekarang menjadi Masjid Besar. Demikianlah,
masjid Jampangkulon berubah namanya menjadi Masjid Besar. Lalu DKM-nya menambah
nama baru, yakni Mihrobul Muslimin. Maka nama lengkapnya menjadi Masjid Besar
Mihrobul Muslimin.
Masjid baru ini tak punya pilar di
bagian dalam, tapi ada di bagian luar yang berjejer. Teras terdapat di bagian
depan, kiri, dan kanan. Seluruh lantai terbuat dari keramik putih. Tempat wudhu
ada dua, di sisi utara dan selatan, masing-masing dilengkapi dengan toilet.
Semua Masjid YAMP terinspirasi dari
Masjid Demak. Tak ada kubah bawang, tapi atap berumpak yang di ujungnya
terdapat lafaz “Allah”. Sekilas mengingatkan pada ungkapan orang Sunda dulu
terhadap masjid, yaitu Bale Nyungcung, karena ujung atapnya runcing.
Sekarang beduk dan kohkol di masjid
tak terlalu besar dan biasanya ditempatkan di teras utara atau selatan. Jadi
anak-anak tak perlu lagi ke belakang jika hendak ngadulag. Pelataran masjid
ditutupi paving blok dan ditanami beberapa pohon berdaun rindang. Pagarnya terbuat
dari besi dan tembok.
Kini KUA sudah pindah ke bekas Kantor
BRI Jampangkulon di sebelah utara Masjid Besar yang letak tanahnya agak tinggi.
Meski bergeser, tapi masih tetap berdekatan. Orang-orang yang menikah di KUA
masih mudah menjangkau masjid jika hendak salat berjamaah dengan pasangan
barunya yang sudah sah. [ ]