12 March 2024

Jampangkulon – Masjid Agung




Kabar terbaru dari teman-teman di kampung, sekarang Masjid Agung tak begitu makmur seperti dulu. Musababnya, sekarang ada dua masjid lain yang rutin menggelar salat lima waktu.

Pertama, masjid di pesantren yang dikelola Ajat di Gemarasa. Kedua, masjid di pesantren Umar di Panglayungan (Pasirpogor), atau mungkin lebih tepatnya di kompleks Yayasan Pendidikan Nida Bahari.

Dulu, setidaknya sejak saya ingat (kira-kira tahun 1988) sampai mulai merantau pada 1998, dua wilayah ini semua warganya salat lima waktu di Masjid Agung, termasuk salat Jumat dan taraweh—kecuali sebagian ibu-ibu yang salat taraweh di Masjid Nurul Huda atau masjid Pak Deden Daenuri.

Tahun 1986, berdasarkan catatan pada plakat, Masjid Agung Jampangkulon diresmikan oleh Bupati Sukabumi ke-13, Drs. H. Ragam Santika. Bangunannya megah, ditopang enam pilar kokoh di dalam dengan diameter kira-kira 1,5 meter. Pilar-pilar ini menjadi tempat favorit para orang tua untuk bersandar saat mendengarkan ceramah Kuliah Subuh.

Di bagian depan, sisi sebelah kanan, terdapat menara yang menjulang, yang ujungnya dihiasi kubah bawang. Menara ini seluruhnya terbuat dari tembok, termasuk kubah. Di bagian bawah menara, terdapat empat “kaki” yang masing-masing membentuk sudut, tempat bermain anak-anak di waktu petang.

Masjid ini tak punya nama, maksudnya tak seperti masjid-masjid lain yang sering diberi nama Al-Ikhlas, An-Nuur, At-Taubah, Al-Muhajirin, Al-Furqon, dll, tapi cukup diberi nama Masjid Agung Jampangkulon.

Tembok masjid, termasuk menara, secara umum berwarna putih sedikit gading. Sementara jendela dan pintu berwarna merah bata. Dinding bagian dalam hampir sepenuhnya dihiasi kaligrafi Al Qur’an beserta terjemahnya yang terbuat dari karpet hijau beralas triplek putih. Salah satu ayat yang dibuat kaligrafi itu adalah Surat An Nisa ayat 103:

Innaṣ-ṣalāta kānat 'alal-mu`minīna kitābam mauqụtā.

“Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”   

Sekeliling masjid dipagar tembok berhias bata-bata bolong bermotif. Atasnya dipasang besi runcing mirip mata trisula. Pengecualian di sisi utara yang sebetulnya menjadi pagar Kantor Urusan Agama (KUA), di atas pagar dipasang paku besar dengan mata paku menghadap ke atas.

Tak seperti pintu dalam yang ada tiga (depan, kiri, kanan), pintu luar hanya ada dua, yaitu depan dan samping kanan (selatan). Di samping utara dibatasi KUA dan tanahnya tinggi.

Tempat wudhu berada di sisi utara bagian belakang, bersebelahan dengan KUA. Mula-mula, tempat wudhu ini hanya petak-petak tembok sedada yang dipasangi beberapa keran. Setelah dipugar, jadi bangunan tertutup yang dalamnya dibagi dua, tapi semuanya untuk wudhu. Lalu dipugar lagi jadi terbuka, hanya toiletnya yang tertutup dan tempat kecingnya dibatasi pintu koboi. Sementara tempat wudhunya dilengkapi tempat duduk yang dilapisi keramik putih. Secara umum lebih terang dan bersih.

Namun usia tempat wudhu terbaru itu tidak lama. Masjid Agung yang diresmikan pada 1986 tersebut dirobohkan dan diganti pada 1996 oleh masjid baru yang dibikin Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) milik Soeharto. Artinya masjid yang diresmikan Drs. H. Ragam Santika hanya berusia 10 tahun, singkat sekali.

Sebelum masjid berganti, beduk dan kohkol berada di samping tempat wudhu, persis di depan pintu menuju ruangan takmir. Diameter beduk yang terbuat dari kulit sapi sekitar 1,5 meter. Seingat saya, beduk tak dipukul lima kali dalam hari, tapi hanya digunakan untuk ngadulag saat bulan puasa dan menjelang Lebaran.

Entah kenapa mereka yang jago ngadulag hanya orang-orang Gemarasa seperti Mang Dadun, Udan, Yadi (Ebod), Hendra, Dede Hendi (Ebod), dll. Secara kebetulan mereka semaunya bertentangga dan bersaudara. Ajaib.

Di bagian belakang masjid, tepatnya di kiri dan kanan mimbar, terdapat dua ruangan yang lumayan luas. Ruangan di sisi utara adalah tempat takmir azan, juga terdapat lemari kaca tempat menyimpan beberapa Al Qur’an. Kami, anak-anak kecil biasanya pupujian (puji-pujian) di ruangan ini. Tapi seingat saya, pupujian hanya terjadi di era Aki Eman Selaeman (kakeknya Roni). Sementara di zaman Mang Rohman dan Mang Aang pupujian tidak ada atau mungkin jarang. Pupujian andalan adalah “Eling-Eling Umat”.

Sementara ruangan di sisi selatan mimbar adalah tempat untuk menyimpan pasaran (keranda) dan tempat pemandian jenazah. Ruangan ini tentu saja tempat yang paling dihindari anak-anak kecil. Apalagi sering tersiar cerita tentang bunyi-bunyi keras pada malam hari di ruangan ini. Cerita tersebut biasanya bermula dari Ceu Titi, warga yang rumahnya persis di belakang masjid.

Di masing-masing ruangan terdapat pintu yang dilengkapi kotak kaca yang menghadap ke ruangan utama masjid. Jika anak-anak ribut atau berlari-larian di dalam masjid, maka Mang Rohman akan mengintipnya dari ruangan takmir lewat kotak kaca di pintu itu.     

Lantai masjid terbuat dari tegel berwarna kelabu. Bagian serambi atau teras tampak mengkilat hitam karena sering diinjak jamaah. Sementara bagian dalam hanya sebagian, karena sisanya ditutupi karpet panjang berwarna hijau.

Tak seperti masjid pada umumnya yang seluruhnya dikelilingi teras, Masjid Agung hanya bagian tengah depan saja. Sisanya bukan teras, karena posisinya lebih rendah dan bukan batas suci. Jadi hanya ubin biasa tempat menyimpan sandal.   

Saat Masjid Agung masih berdiri ataupun ketika dirobohkan, lazimnya anak kampung dengan ekonomi pas-pasan, saya tak punya kamera untuk mengabadikan semuanya. Sebuah riwayat telah berakhir.

Masjid Besar Mihrobul Muslimin

Menjelang kejatuhan Soeharto, Golkar tetap kuat di Wilayah Enam Jampangkulon yang meliputi Jampangkulon, Surade, Kalibunder, Ciracap, Ciemas, dan Lengkong—setelah pemekaran, wilayah ini menjadi sembilan kecamatan, ditambah Waluran, Cibitung, dan Cimanggu.

Barangkali atas dasar itu, YAMP mau membikin masjid di Jampangkulon. Saat itu kondisi Masjdi Agung lama masih baik, hanya saja atap bagian depan sedikit terlihat cekung ke bawah, seperti mau ambrol. Sisanya masih baik, bahkan seperti saya sebutkan di atas, tempat wudhunya masih sangat baru.

Ketika masjid lama diruntuhkan dan masjid baru masih dibangun, tempat ngaji anak-anak pindah ke Pesantren Nurul Huda milik Pak Deden Daenuri. Kami mengaji di lantai dua bagian depan yang menghadap jalan raya. Namun lama-kelamaan Pak Haji Mahmudin atau Pak Amud (guru mengaji kami) menggeser temat ngaji ke rumahnya di sebelah Kantor PLN yang berisik.

Waktu itu listrik di Jampangkulon yang bertenaga diesel belum menyala siang malam. Listrik hanya menyala dari setengah enam sore sampai setengah enam pagi. Maka dulu jika mau membubarkan anak-anak yang sedang bermain sepak bola, orang tua bisanya berteriak, “Geura bubar, listrik geus hurung” (Segera bubar, listrik sudah menyala).



Sumber berisik tentu saja dari mesin diesel. Tapi itu tak menyurutkan kami untuk mengaji. Yang paling diingat, selepas Subuh yang dingin, kami tetap mendatangi rumah guru untuk mengaji kitab Ta’lim Muta’allim, Tijan, Safinah, dan Jurumiyyah.    

Saya tak ingat terlalu pasti, berapa lama waktu yang dihabiskan untuk pembangunan masjid baru, yang jelas dua tahun sejak pembangunan dimulai saya mulai merantau untuk sekolah di Kota Sukabumi.

Belakangan, setelah masjid baru selesai dibangun, pemerintah membuat klasifikasi tipe-tipe masjid. Jika dulu di tingkat kecamatan disebutnya Masjid Agung, maka sekarang menjadi Masjid Besar. Demikianlah, masjid Jampangkulon berubah namanya menjadi Masjid Besar. Lalu DKM-nya menambah nama baru, yakni Mihrobul Muslimin. Maka nama lengkapnya menjadi Masjid Besar Mihrobul Muslimin.

Masjid baru ini tak punya pilar di bagian dalam, tapi ada di bagian luar yang berjejer. Teras terdapat di bagian depan, kiri, dan kanan. Seluruh lantai terbuat dari keramik putih. Tempat wudhu ada dua, di sisi utara dan selatan, masing-masing dilengkapi dengan toilet.

Semua Masjid YAMP terinspirasi dari Masjid Demak. Tak ada kubah bawang, tapi atap berumpak yang di ujungnya terdapat lafaz “Allah”. Sekilas mengingatkan pada ungkapan orang Sunda dulu terhadap masjid, yaitu Bale Nyungcung, karena ujung atapnya runcing.

Sekarang beduk dan kohkol di masjid tak terlalu besar dan biasanya ditempatkan di teras utara atau selatan. Jadi anak-anak tak perlu lagi ke belakang jika hendak ngadulag. Pelataran masjid ditutupi paving blok dan ditanami beberapa pohon berdaun rindang. Pagarnya terbuat dari besi dan tembok.

Kini KUA sudah pindah ke bekas Kantor BRI Jampangkulon di sebelah utara Masjid Besar yang letak tanahnya agak tinggi. Meski bergeser, tapi masih tetap berdekatan. Orang-orang yang menikah di KUA masih mudah menjangkau masjid jika hendak salat berjamaah dengan pasangan barunya yang sudah sah. [ ]


10 March 2024

Jampangkulon – Mukadimah


Dalam beberapa tahun ini, status rumah di kampung hendak dijual, tapi sampai sekarang belum juga laku. Seperti dialami banyak keluarga lain, menjual peninggalan orang tua yang paling subur dijejaki dan dirimbuni kenangan sering kali bukan dorongan ekonomi, melainkan kehidupan yang sudah berlain-lainan.

Dalam keluarga guru seperti kami, mesti terseok-seok soal biaya, merantau untuk sekolah hampir niscaya. Dan sebagaimana diramalkan, jalan sekolah adalah juga jalan untuk tak pernah benar-benar kembali ke kampung halaman.

Maka begitulah akhirnya. Orang tua pergi satu-persatu, juga saudara. Yang masih diberi hayat, satu-persatu membangun keluarga, menjalani hari-hari di rumah, alamat, masalah, dan kesibukan masing-masing.

Rumah masa kecil dan remaja akhirnya kosong, berdebu, mulai keropos, dan sunyi. Siapapun, barangkali, dalam situasi seperti ini, akan muncul tarik-menarik antara kewajiban pembagian harta waris dan kenangan yang mengentak-entak.

Saya mulai meninggalkan rumah untuk sekolah di kota lain saat Jakarta mendidih. Pak Tua sudah tak dapat dukungan. Mahasiswa bergolak di jalanan. Kerusuhan membara. Reformasi pecah. Kadang saya lupa, mulai kapan saya merantau, padahal tinggal ingat saja 1998: persalinan bayi harapan yang 32 tahun sebelumnya diredam Orde Baru.

Masa-masa muda, maksudnya usia 20-an dan 30-an telah lewat beberapa tahun. Lingkar pertemanan kian mengecil. Kesibukan makin mengimpit. Waktu bergerak begitu cepat di linikala media sosial, juga pada keseharian. Buku menumpuk, terus dibeli, sementara membaca sudah amat jarang. Menulis? Setali tiga uang, blog hampir disinggahi laba-laba.

Dua hari lagi Ramadan tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan ini selalu menarik-narik ingatan ke masa kecil, padahal saya tahu jarak dan waktu sudah begitu berkhianat.

Empat hari ini kerja libur. Dorongan menulis muncul lagi. Saya tahu konsistensi adalah barang mahal, tapi mulai jua mencatat.

Jika suatu hari nanti rumah di kampung akhirnya terjual, kesedihan itu masih bersisa. Hati yang rawan sesekali pasti akan datang. Bagaimanapun, orang tak bisa dicerabut dari akarnya. Tempat masa kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.

Meminjam dari Aan Mansyur, pada akhirnya, “kenangan adalah satu-satunya masa depan yang tersisa”. [ ]